Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Profil kasus batu empedu di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2015-Oktober 2016 Tuuk, Andreyne L.Z.; Panelewen, Jimmy; Noersasongko, A. Djarot
e-CliniC Vol 4, No 2 (2016): Jurnal e-CliniC (eCl)
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v4i2.14454

Abstract

Abstract: Gallstones are solid materials or crystals formed in gallbladder, common bile duct, or in both. Gallstones constitute a significant health problem in developed countries. Epidemiologic studies showed that increasing age was associated with increasing prevalence of gallstones. This study was aimed to obtain the profile of gallstone cases at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital from October 2015 to October 2016. This was a retrospective descriptive study. The results showed that there were 113 cases of gallstones. The majority of cases were females, age group 60 years, serum bilirubin ≥3 mg/dl associated with apparent jaundice, and treated with surgery using cholecystectomy laparotomy and cholecystectomy laparoscopy techniques.Keywords: gallstone, profile Abstrak: Batu empedu adalah material atau kristal yang terbentuk dalam di dalam kandung empedu, saluran empedu, atau keduanya. Batu empedu merupakan masalah kesehatan yang signifikan dalam masyarakat berkembang. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi batu empedu berkaitan dengan meningkatnya usia dan lebih sering ditemukan pada perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien batu empedu di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dalam periode Oktober 2015 - October 2016. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif. Hasil penelitian mendapatkan 113 kasus penyakit batu empedu, Majoritas kasus ialah perempuoan, kelompok usia 60 tahun, kadar bilirubin ≥3 mg/dl disertai ikterik yang jelas, dengan penanganan operatif kolesistektomi laparatomi dan kolesistektomi laparoskopik. Kata kunci: batu empedu, profil
International Normalizing Ratio (INR) pada pasien multitrauma di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Ratuwalangon, Verro; Kalesaran, Laurens T. B.; Panelewen, Jimmy; Sapan, Heber B.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12671

Abstract

Abstract: Trauma is the leading cause of deaths in patients aged less than 45 years. Life-threatening bleeding which usually occurs in multitraumatic patients is caused by vascular injury along with coagulopathy. Several studies on multitraumatic patients showed that the risk of coagulopathy occurred along with increasing Injury Severity Score (ISS) which is directly proportional to the increase of International Normalizing Ratio (INR) with an impact of increase of mortality rate. Although INR as an indicator of coagulopathy in multitraumatic patients is still unclear, early monitoring of coagulation is important to detect coagulopathy due to trauma. This study aimed to obtain the relationship of INR and multi-traumatic patients. This was an analytical study with a cross sectional design conducted in Energency Room Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from December 2015 to March 2016. ISS for multi trauma was ˃16, meanwhile INR for coagulopathy risk was ˃1.5 and without that risk was ≤1.5. There were 30 patients in this study aged 13-80 years old. Of 26 patients with ISS 17-25, one had INR >1.5. Moreover, ISS 26-59 was found in 4 patients; all had INR >1.5. All patients with INR ˃1.5 died. Conclusion: Increase of ISS was proportionally to increase of INR which was further proportionally to the increase of mortality rate in multiraumatic patients.Keywords: coagulopathy, INR, ISSAbstrak: Trauma merupakan penyebab kematian utama pada pasein berusia kurang dari 45 tahun. Perdarahan yang mengancam nyawa pada pasien multitrauma biasanya disebabkan oleh cedera vaskular disertai koagulopati. Studi mengenai pasien multitrauma memperlihatkan adanya risiko koagulopati pada peningkatan nilai Injury Severity Score (ISS), yang secara proporsional sejalan dengan peningkatan nilai INR dengan akibat peningkatan angka kematian. Monitoring dini dari koagulasi sangat penting untuk mendeteksi terjadinya koagulopati akibat trauma. Walaupun demikian INR sebagai indikator koagulopati belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan INR dan pasien multitrauma agar dapat mengenali terjadinya koagulopati. Jenis penelitian ini analitik dengan desain potong lintang, dilaksanakan di Ruang Emergensi Bedah BLU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado sejak Desember 2015 sampai dengan Maret 2016. Batasan multi trauma untuk ISS ialah skor ˃16, sedangkan batasan untuk INR dengan risiko koagulopati ˃1,5 dan yang tanpa risiko koagulopati ≤1,5. Hasil penelitian mendapatkan 30 pasien multi trauma berusia 13-80 tahun. Pada kelompok ISS 17-25 terdapat 26 pasien; satu diantaranya dengan INR >1,5. Pada kelompok ISS 26-59 terdapat 4 pasien; semuanya mempunyai INR >1,5. Semua pasien dengan INR ˃1,5 meniggal. Simpulan: Peningkatan ISS proporsional dengan peningkatan INR yang selanjutnya proporsional terhadap peningkatan angka kematian pasien multitrauma.Keywords: koagulopati, INR, ISS
Kadar Bilirubin, Alkalin Fosfatase, dan Gamma Glutamil Transpeptidase Serum sebagai Prediktor Batu Duktus Koledokus pada Pasien Batu Empedu Simtomatik Kaunang, Maria; Panelewen, Jimmy; Mambu, Toar
Jurnal Biomedik : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.1.2019.23209

Abstract

Abstract: Complications of the common bile duct stone occur in 10-15% of patients with gallstones. Bilirubin, alkaline phosphatase (ALP), and gamma glutamyl transpeptidase (GGT) are routine laboratory tests performed on patients with gallstones. This study was aimed to determine whether bilirubin, ALP, and GGT serum could be used as predictors of common bile duct stone in patient with symptomatic gallstone at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado and its satellite hospitals. This was a prospective analytical observational study with a cross sectional design. Subjects were 38 patients with symptomatic gallstone that underwent definitive surgery. The bilirubin, ALP, and GGT serum levels were taken at presentation. Receiver operating character-istic curve analysis was used to determine optimal biochemical cut-off value of each parameter. The results showed that of 38 patients, 22 patients were male and 16 patients were female. The mean ages were 52 years in males and 47 years in females. There were 28 patients proven to have stones in common bile ducts. All parameters were proven to be effective in predicting common bile duct stone, as follows: bilirubin cut-off point was 1.6 U/L with sensitivity of 96.4% and specifity of 90%; ALP cut-off point was 114 U/L with sensitivity of 82.1% and specifity of 90%; and GGT cut-off point was 102.5 U/L with sensitivity of 85.7% and specifity of 90%. Conclusion: Bilirubin, ALP, and GGT serum levels can be used as predictors of common bile duct stone in patient with symptomatic gallstone.Keywords: bilirubin, ALP, GGT, common bile duct stoneAbstrak: Komplikasi batu duktus koledokus terjadi pada 10-15% pasien dengan batu empedu. Bilirubin, alkalin fosfatase (ALP), and gamma glutamil transpeptidase (GGT) merupakan pemerik-saan laboratorium rutin pada pasien dengan batu empedu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah bilirubin, ALP, dan GGT serum dapat dipakai sebagai prediktor batu duktus koledokus pada pasien dengan batu empedu simtomatik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan rumah sakit jejaringnya. Jenis penelitian ialah observasional analitik prospektif dengan desain potong lintang. Pemeriksaan kadar bilirubin, ALP, dan GGT serum dilakukan pada semua subyek saat didiagnosis batu empedu simtomatik. Receiver operating characteristic curve analysis diguna-kan untuk menentukan nilai titik potong biokimia yang optimal dari setiap parameter. Hasil penelitian mendapatkan sebanyak 38 pasien dengan batu empedu simtomatik yang menjalani operasi definitif, terdiri dari 22 pasien laki-laki and 16 pasien perempuan. Rerata usia subyek ialah 52 tahun pada laki-laki dan 47 tahun pada perempuan. Terdapat 28 pasien terbukti dengan batu duktus koledokus. Semua parameter terbukti efektif dalam memrediksi batu doktus koledokus sebagai berikut: titik potong bilirubin serum 1,6 U/L dengan sensitivitas 96,4% and spesifitas 90%; titik potong ALP serum 114 U/L dengan sensitivitas 82,1% dan spesifitas 90%; titik potong GGT serum 102,5 U/L dengan sensitivitas 85,7% dan spesifitas 90%. Simpulan: Kadar bilirubin, ALP, dan GGT serum dapat dipakai sebagai prediktor batu duktus koledokus pada pasien dengan batu empedu simtomatik.Keywords: bilirubin, ALP, GGT, batu duktus koledokus
Perbandingan mortalitas antara tindakan drainase perkutan dan laparotomi eksplorasi pada pasien perforasi ulkus peptikum Tamuntuan, Yenzher C.; Sapan, Heber B.; Panelewen, Jimmy
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12701

Abstract

Abstract: Perforated peptic ulcer is a serious complication of peptic ulcer and surgery is the main selected treatment. Nowadays, conservative treatment is performed on highrisk patients or those with poor condition to be operated. Percutaneous drainage using intraabdominal drain under local anaesthesia combined with conservative treatment could improve the patient’s condition and decrease the mortality rate. This was a comparative study between two treatments: laparotomy with simple patch closure under general anesthesia and percutaneous drainage under local anesthesia. The study was conducted at Surgery Department Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado from Januari 2014 until the samples were completed. Subjects were obtained by using inclusion ctriteria. The number of samples were: N1 = N2 = 21 with a total of 42. The results showed that among patients with Boey score 3 the mortality of those with percutaneous drainage was lower (8 out of 15 patients; 53.3%) than those with laparotomy (4 out of 5 patients; 80%). Conclusion: Percutaneous drainage combined with conservative treatment was the best treatment among perforated peptic ulcer patients that were highrisk or had Boey score 3.Keywords: perforated peptic ulcer, percutameous drainage, laparotomy, mortalityAbstrak: Perforasi ulkus peptikum merupakan komplikasi serius ulkus peptikum yang mengancam nyawa. Pembedahan merupakan pilihan penanganan utama. Saat ini penanganan konservatif dilakukan pada pasien berisiko tinggi atau dengan kondisi terlalu buruk untuk dilakukan operasi. Drainase perkutan dengan memasukkan drain intraabdominal di bawah anastesi lokal dikombinasikan dengan penanganan konservatif dapat memperbaiki kondisi pasien dan menurunkan angka mortalitas. Jenis penelitian yang digunakan ialah studi perbandingan dua tindakan: laparotomi disertai simple patch closure dengan anestesi umum dan drainase perkutan dengan anestesi lokal. Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah BLU/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sejak bulan Januari 2014 sampai sampel tercukupi. Subjek penelitian diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi. Besar sampel ialah: N1 = N2 = 21 dengan jumlah total 42. Hasil penelitian memperlihatkan pada pasien dengan skor Boey 3 didapatkan mortalitas pasien drainase perkutan lebih rendah yaitu 8 dari 15 pasien (53,3%), dibanding laparotomi dengan mortalitas 4 dari 5 pasien (80%). Simpulan: Tindakan drainase perkutan dikombinasi dengan perawatan konservatif merupakan tindakan yang paling baik pada pasien perforasi ulkus peptikum dengan risiko operasi yang tinggi atau pasien dengan skor Boey 3.Kata kunci: perforasi ulkus peptikum, drainase perkutan, laparotomi, mortalitas
Perbandingan indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang pinggul sebagai faktor risiko kanker kolorektal Khosama, Yuansun; Sapan, Heber B.; Panelewen, Jimmy; Kalesaran, Laurens T. B.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12670

Abstract

Abstract: Globally, colorectal cancer is the 4th cause of deaths. Risk factors of colorectal cancer are divided into modified and unmodified; obesity is one of the modified factors. It is accepted that insulin resistance and metabolic dysfunction act as a link between obesity and colorectal cancer. Distribution of fat tissue in Asian including Indonesian differs from that in Western people. Although of the same body mass index (BMI), Asian have higher fat tissue level than the Westerns. Body fat tissue can be measured by using BMI, waist circumference (WC), and waist-hip ratio (WHR). Acurate anthropometric measurements play some important roles in prevention of colorectal cancer. This study aimed to compare the three anthropometric parameters in colorectal cancer patients. This was a descriptive analytical study with a cross sectional design. Subjects were colorectal patients admitted to Surgery Department of Sam Ratulangi University Manado and its collaborationg hospitals from June 2015 to December 2015. There were 33 colorectal cancer patients in this study consisted of 22 males and 11 females. The ages ranged from 27 years to 77 years. The sensitivity result was as follows: BMI 33.3%, WC 51%, and WHR 42%, meanwhile the specifity result was 75.80%; 60.60%; and 60.60% respectively. The X2 test showed a P value of 0.327. Conclusion: Statistically, BMI, WC, and WHR showed no significant difference as the risk factors of colorectal cancer. However, the three parameters have to be used together to detect the accumulation of body fat tissue. It is suggested that the detection has to be applied in primary health care to diminish the colorectal cancer risk.Keywords: colorectal cancer, BMI, WC, WHRAbstrak: Kanker kolorektal (KKR) merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia. Secara garis besar faktor risiko KKR terbagi atas yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi, salah satunya ialah obesitas. Resistensi insulin dan disfungsi metabolik menjadi penghubung antara obesitas dan karsinoma kolorektal. Distribusi lemak tubuh pada orang Asia, termasuk Indonesia, berbeda dengan distribusi lemak tubuh pada orang Barat. Pada indeks massa tubuh (IMT) yang sama, orang Asia memiliki kadar lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan orang Barat. Kadar lemak tubuh dapat dinilai melalui pengukuran IMT, lingkar pinggang (LP), dan rasio pinggang-pinggul (RPP). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketiga parameter ukuran antropometri tubuh pada pasien KKR. Penentuan patokan antropometri tubuh yang tepat membantu tindakan preventif KKR. Jenis penelitian ialah deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Subyek penelitian ialah pasien KKR yang dirawat di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dan RS jejaringnya sejak bulan Juni 2015-Desember 2015. Hasil penelitian mendapatkan 33 pasien KKR (22 laki-laki dan 11 perempuan). Usia pasien berkisar 27-77 tahun. Sensitivitas IMT ialah 33,3%; LP 51%; dan RPP 42%, sedangkan spesifisitas berturut-turut ialah 75,80%; 60,60%; dan 60,60%. Uji X2 mendapatkan nilai P = 0,327. Simpulan: IMT, LP, dan RPP secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna sebagai faktor risiko KKR. Ketiganya harus diukur bersama-sama untuk mendeteksi akumulasi lemak tubuh. Disarankan deteksi harus dimulai di pelayanan primer untuk mengurangi risiko KKR.Kata kunci: KKR, IMT, LP, RPP
Analisis pengaruh pemberian virgin coconut oil (VCO) terhadap adhesi intraperitoneal ., Erwin; Panelewen, Jimmy; Lahunduitan, Ishak
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12700

Abstract

Abstract: Intraperitoneal adhesion is an attachment between intraperitoneal tissue and organ in the form of fibrosis. The occurences of intraperitoneal adhesion are 67-93% after laparotomy and 97% after gynecological operation. Adhesion between wound and omentum occurs in 80% of patients; 50% involve the intestines. Prevention and inhibition of adhesion formation can be done by decreasing post traumatic inflammation. There are several substances that can be used for that purpose, inter alia: anti-inflammation, anti-histamine, anti-coagulant (heparin), anti-oxidant, proteolytic enzymes, and tissue plasminogen activator. It is already known that virgin coconut oil (VCO) has several important roles, such as: anti-inflammation, antithrombosis, mechanical barrier, and antioxidant due to its tocopherol content. This study aimed to obtain the influence of several doses of intraperitoneal VCO on intraperitoneal adhesion macroscopically and microscopically after laparotomy. This was an analytical interventional study using control. Samples were male Wistar rats (Rattus norvegicus) with an average body weight of 175-200 g. The results of Kruskal-Wallis chi-square tests were 16.381, df = 4, and Asymp sig = 0.003 (P < 0.05) for macroscopical grading (Zühlke) meanwhile 15.160, df = 4, and Asymp sig = 0.004 (P < 0.01) for microscopical grading (Yilmaz). Conclusion: There was a statistically significant difference in macroscopical grades according to Zühlke and in microscopical grades according to Yalmiz among the five groups concerning the occurence of intraperitoneal adhesion in Rattus norvegicus.Keywords: intraperitoneal adhesion, virgin coconut oil (VCO).Abstract: Adhesi intraperitonial adalah timbulnya perlengketan berupa fibrosis antara jaringan dan organ di dalam rongga abdomen. Kejadian adhesi intraperitoneal sekitar 67-93% setelah operasi laparotomi bedah dan mencapai 97% pada operasi ginekologi. Adhesi antara luka dan omentum terjadi pada 80% pasien dan sekitar 50% melibatkan usus. Untuk mencegah atau mengurangi pembentukan adhesi dapat dilakukan dengan menurunkan inflamasi pasca trauma melalui bahan atau obat anti-inflamasi, anti-histamin, anti-koagulan (heparin), anti-oksidan, enzim proteolitik, dan tissue plasminogen activator. Virgin Coconut Oil (VCO) telah diketahui berperan sebagai antiinflamasi, antitrombotik, barier mekanik, dan antioksidan dengan bahan aktif utama tokoferol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh VCO secara makroskopik dan mikroskopik terhadap adhesi intraperitoneal dengan menganalisis perbandingan dosis VCO yang diberikan intraperitoneal pada hewan coba tikus Wistar. Jenis penelitian ini analitik intervensional dengan kontrol. Hewan coba ialah tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang diseragamkan berat badan 175-200 g, jenis kelamin jantan, dan variannya. Hasil uji Kruskal-Wallis chi-square ialah 16,381 dengan df = 4 dan Asymp sig = 0,003 (P < 0,05) untuk penilaian makroskopik (Zühlke) sedangkan nilai 15,160, dengan df = 4 dan Asymp sig = 0,004 (P < 0,01) untuk penilaian mikroskopik (Yilmaz). Simpulan: Terdapat perbedaan bermakna dalam derajat makroskopik menurut Zühlke dan derajat mikroskopik menurut Yilmaz pada ke-5 perlakuan dalam kejadian adhesi intraperitoneal pada Rattus norvegicus.Kata kunci: adhesi intraperitoneal, VCO
Rasio Neutrofil Limfosit sebagai Prediktor Kejadian Kebocoran Anastomosis pada Pasien Kanker Kolorektal Panelewen, Jimmy; Tendean, Michael; Langi, Fima; Akmal, Nuzly Q.
e-CliniC Vol. 12 No. 3 (2024): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v12i3.58246

Abstract

Abstract: Anastomotic leakage is a serious complication following colorectal cancer resection that can increase morbidity and mortality. This study aimed to analyze the potential of the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) as a predictor of anastomotic leakage in colorectal cancer patients. This was a retrospective analytical and observational study involving 30 patients who underwent colorectal cancer resection and anastomosis at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital in Manado. The NLR values were analyzed preoperatively and on the first (D+1), third (D+3), fifth (D+5), and seventh (D+7) postoperative days. The results showed significant differences in NLR values between leakage and non-leakage groups across all phases (p<0.001). The receiver operating characteristic (ROC) curve analysis yielded optimal NLR cut-offs for leakage prediction: preoperative >2.1150, D+1 >3.4750, D+3 >2.7650, D+5 >3.0200, and D+7 >3.2850, with sensitivity and specificity reaching 100% in several phases. In conclusion, neutrophil-lymphocyte ratio has a potential as an accurate predictor of anastomotic leakage, enabling early detection and improved risk management. Further research with larger samples is needed to validate these findings and explore their clinical applications. Keywords: neutrophil-lymphocyte ratio; anastomotic leakage; colorectal cancer    Abstrak: Kebocoran anastomosis merupakan komplikasi serius pasca reseksi kanker kolorektal yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi rasio neutrofil limfosit (RNL) sebagai prediktor kejadian kebocoran anastomosis pada pasien kanker kolorektal. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik retrospektif, melibatkan 30 pasien yang menjalani reseksi dan anastomosis kanker kolorektal di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Nilai RNL dianalisis pada fase preoperatif, hari pertama (H+1), ketiga (H+3), kelima (H+5), dan ketujuh (H+7) pasca operasi. Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan bermakna nilai RNL antara kelompok kebocoran dan tanpa kebocoran pada semua fase (p<0,001). Analisis kurva ROC menghasilkan cut-off optimal RNL untuk prediksi kebocoran: preoperatif >2,1150, H+1 >3,4750, H+3 >2,7650, H+5 >3,0200, dan H+7 >3,2850, dengan sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100% pada beberapa fase. Simpulan penelitian ini ialah rasio neutrofil limfosit memiliki potensi sebagai prediktor yang akurat untuk kebocoran anastomosis, serta memungkinkan deteksi dini dan manajemen risiko yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk memvalidasi temuan ini dan mengeksplorasi aplikasi klinisnya. Kata kunci: rasio neutrofil limfosit; kebocoran anastomosis; kanker kolorektal
Delayed Staged Hepatectomy for Metastatic Colorectal Cancer: A Single Case Report Tendean, Michael; Paparang, Steven; Tjandra, Ferdinand; Mambu, Toar; Panelewen, Jimmy; Salem, Billy
e-CliniC Vol. 13 No. 2 (2025): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v13i2.59701

Abstract

Abstract: Liver metastases are common in patients with colorectal cancer; almost 70% will develop liver metastases during the course. The recommended treatment for colorectal liver metastasis (CRLM) is multidisciplinary, including liver resection and chemotherapy. We reported a 52-year-old female with stage 3B distal third rectal adenocarcinoma which eight months earlier underwent Mile’s procedure plus total mesorectal excision (TME) followed by adjuvant radiotherapy (50gy). During surveillance, liver metastases was found at segments 4B-5. A delayed anatomical staged hepatectomy segments 4B-5 was performed. Intraoperative USG findings suggested liver metastases at segments 7, 8, and 3, and non-anatomical liver resection was performed in accordance with parenchymal liver sparing principles. No post-hepatectomy liver failure (PHLF) was detected, but billoma occured at 1-month post hepatectomy. USG guided percutaneous drainage was performed to resolve the billoma. Colorectal metastasis (CRLM) was detected at six months post-hepatectomy, and the patient underwent adjuvant chemotherapy with improvement in survival rate. In conclusion, delayed staged hepatectomy for CRLM is a safe and beneficial procedure, though there is still no guideline regarding the sequence of resection. Keywords: hepatectomy; colorectal metastasis; billoma; colorectal cancer
Complete Laparoscopic Excision and Bilio-digestive Reconstruction of a Type IA Choledochal Cyst Tendean, Michael; Ayawaila, Marven; Mambu, Toar D B; Tjandra, Ferdinand; Salem, Billy E. Ch.R.; Panelewen, Jimmy; Luciana, Fanni
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 25, No 2 (2025): Juli
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/jiubj.v25i2.5990

Abstract

Choledochal cysts  (CC) adalah dilatasi langka dari struktur empedu yang dapat muncul sebagai anomali tunggal atau ganda, mempengaruhi saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik. Kista bawaan ini diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis berdasarkan lokasinya, termasuk tipe I, II, III, dan IVa, dengan tipe V mempengaruhi segmen intrahepatik. Secara tradisional, eksisi terbuka telah menjadi pengobatan standar; namun, eksisi laparoskopi telah diterima secara global sejak diperkenalkan. Penelitian menggambarkan kasus yang melibatkan seorang wanita berusia 42 tahun yang mengalami nyeri kuadran perut kanan atas dan penyakit kuning intermiten, dengan MRI sebelumnya mengungkapkan kista koledokal tipe 1A yang mempengaruhi pertemuan saluran hati ke saluran empedu umum. Pasien menjalani eksisi laparoskopi lengkap dari kista koledokal, diikuti oleh hepaticojejunostomi Roux-en-Y untuk rekonstruksi bilio-pencernaan. Meskipun kebocoran empedu pasca operasi diamati di saluran pembuangan, itu sembuh pada hari pasca operasi (POD) 5, dan pasien dipulangkan dengan POD 7 tanpa efek samping. Temuan menunjukkan bahwa operasi laparoskopi untuk Choledochal cysts adalah pilihan yang aman dan efektif, terkait dengan rawat inap yang lebih singkat, komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit, dan penurunan kehilangan darah dibandingkan dengan operasi terbuka. Dengan kemajuan berkelanjutan dalam keterampilan dan teknik laparoskopi, eksisi laparoskopi akan menjadi metode yang lebih disukai untuk mengobati kista koleskopi.
Peningkatan Insiden Trombosis Mesenterial Terkait Infeksi Pasca Covid-19: Sebuah Kasus Serial Tendean, Michael; Mambu, Toar DB; Tjandra, Ferdinand; Salem, Billy; Panelewen, Jimmy; Akmal, Nuzly
Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO) Vol. 6 No. 02 (2024): Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO)
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jsi.v6i02.180

Abstract

Pendahuluan: Penyakit virus corona 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Keadaan hiperkoagulasi COVID-19 dapat meningkatkan risiko komplikasi trombosis dan tromboemboli. Trombosis mesenterika adalah komplikasi vaskular yang umumnya terkait dengan hiperkoagulabilitas, yang mengakibatkan nyeri perut dan iskemia usus. Presentasi kasus: kami melaporkan 3 kasus pasien yang datang kepada kami setelah terinfeksi Covid-19, yang datang dengan keluhan dan gejala berupa nyeri perut hebat, kembung dengan tanda-tanda obstruksi, dengan hasil D-dimer yang tinggi. Dilakukan laparotomi darurat dan ditemukan trombosis mesenterika, dilakukan reseksi anastomosis dan heparinisasi pasca operasi. Diskusi: Trombosis Mesenterika setelah Covid 19 biasanya muncul dengan gejala abdomen akut dan pemeriksaan d-dimer yang meningkat. Laparotomi darurat dilakukan dengan reseksi anastomosis usus, diikuti dengan heparinisasi pasca operasi. Dua pasien menunjukkan hasil yang baik dan menjalani rawat jalan, tidak ditemukan adanya kebocoran anastomosis maupun sindrom usus pendek. Gegar otak: Diagnosis trombosis mesenterika dapat dicurigai pada pasien pasca Covid-19 dengan gejala abdomen akut di mana terdapat peningkatan D-Dimer.