Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

ANALISIS HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PERSAINGAN USAHA BERDASARKAN KEPUTUSAN KPPU Dwi F. Mokoagow; Ronny A. Maramis; Grace H. Tampongangoy
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 2 (2023): lex privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami aturan hukum mengenai penyelesaian perkara persaingan usaha di Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan bagaimana kekuatan hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: Pengaturan hukum penyelesaian perkara persaingan usaha di KPPU diatur dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur beberapa tahapan penyelesaian perkara dimulai dari adanya laporan/inisiatif, pemeriksaan pendahuluan, putusan pada pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan, pemeriksaan setempat, dan putusan. Putusan KPPU telah memiliki kekuatan hukum tetap hanya jika tidak ada upaya hukum keberatan dan kasasi. Apabila putusan KPPU diajukan keberatan ataupun kasasi maka Putusan berpotensi dibatalkan baik oleh Pengadilan maupun Mahkamah Agung karena adanya permasalahan utama pada proses penyelesaian perkara yaitu pendekatan untuk menentukan pelanggaran yang digunakan yaitu pendekatan rule of reason dan pembuktian indirect evidence (pembuktian tidak langsung) dimana kedua hal ini tidak dikenal pada peradilan umum. Kata Kunci: Penyelesaian Perkara Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Kekuatan Hukum Putusan KPPU.
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA PIHAK PERBANKAN TERHADAP NASABAH AKIBAT TINDAKAN KEJAHATAN SKIMMING Clariella L. Z. Lekahena; Grace H. Tampongangoy; Susan Lawotjo
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab perdata pihak perbankan terhadap nasabah korban kejahatan skimming dan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah akibat tindakan kejahatan skimming. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Tanggung jawab hukum perdata pihak perbankan yaitu berupa sebuah tindak ganti rugi yang dapat dilihat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berupa sebuah tindakan ganti rugi. Tidak hanya diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, hal ini juga ditegaskan tepatnya pada Pasal 19 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 yang menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib untuk memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen. Adapun jumlah atau besaran dalam tindakan ganti rugi inipun harus setara atau sesuai nilainya dengan kerugian yang ditimbulkan, atau yang dialami para nasabah korban tindakan kejahatan skimming dan 2. Bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah akibat tindakan kejahatan skimming yaitu dengan menjatuhkan sanksi pidana serta sanksi administratif kepada pihak bank, serta memberi upaya-upaya untuk mencegah tindakan kejahatan skimming. Kata kunci: Tanggung Jawab, Perlindungan Hukum, Perbankan, Nasabah, Skimming.
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP SISTEM PENGEMBALAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DI MANADO Allove Risard Manolong; Grace H. Tampongangoy; Edwin N. Tinangon
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah Mengetahui dan memahami bagaimana pengaturan hukum perlindungan konsumen sistem pengembalian uang di Industri Retail dan Mengetahui dan memahami bagaimana akibat hukum dari sistem pengembalian uang kembalian pelanggan di Industri Retail. Dengan metode penelitian yuridis normative: 1. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu persyaratan untuk melakukan transaksi jual beli adalah adanya alat tukar yang “sah”. Hal tersebut dipertegas dengan merujuk pada UU Bank Indonesia dalam pasal 2 ayat (2), yang menyebutkan “Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia”. Penggantian uang kembalian menggunakan permen ini seringkali dilakukan dengan alasan para pelaku usaha di Industri retail tidak mempunyai uang kembalian ataupun kehabisan stok uang koin. Namun jika dilihat dalam Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen (UUPK) seharusnya pelaku usaha sudah seharusnya memiliki kemauan atau itikad yang baik untuk memberikan sisa uang kembalian dengan memakai uang rupiah sebagai alat pembayarannya. 2. Mengacu pada UU No 7 Tahun 2011 tentang mata uang, alat pembayaran yang sah pada dasarnya adalah uang. Dan bukan permen atau yang lainnya. Selain itu, masih di aturan yang sama, Pasal 21 ayat 2 dijelaskan, bahwa rupiah wajib digunakan dalam penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Indonesia. Jadi, bagi penjual atau pedagang yang tidak menjalankan ketentuan tersebut, sesuai pasal 33 ayat 1 UU Mata Uang, bisa dikenai pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Kata Kunci: perlindungan konsumen, sistem pengembalian uang, industri retail.
KEDUDUKAN HUKUM BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP LEMBAGA PERBANKAN Nelson Gulo; Merry Elisabeth Kalalo; Grace H. Tampongangoy
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui kedudukan Hukum Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pailit terhadap lembaga perbankan. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Pengaturan Mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Lembaga Perbankan diatur secara keseluruhan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lebih spesifik diatur dalam pasal 6 sampai pada pasal 13 yang membahas tentang hukum acara mengajukan pernyataan permohonan pailit. Dalam hal UU 37 Tahun 2004 Tentang K-PKPU yang memiliki kewenangan mengajukan permohonan pernyataan Pailit yaitu, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan disesuaikan menurut Debitornya. 2. Peralihan kewenangan permohonan pernyataan pailit terhadap bank dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan yaitu diawali adanya peralihan pengawasan micropudential bank dari BI ke OJK. Sehingga saat ini yang mengetahui kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan adalah OJK. Namun peralihan pengawasan tersebut tidak turut mengalihkan kewenangan dalam permohonan pernyataan pailit bagi bank dari BI ke OJK menimbulkan kekosongan hukum. Serta perlu dilakukannya harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan pengajuan permohonan pailit lembaga perbankan. Kata Kunci : BI, OJK, permohonan pernyataan pailit
TINJAUAN YURIDIS PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM PEMBENTUKAN WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT Marlinda Eva Paransi; Dani R.Pinasang; Grace H. Tampongangoy
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pembentukan wilayah pertambangan rakyat yang dahulu menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati dan Walikota berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, kewenangan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat didelegasikan kembali atau ditarik kembali menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral dengan cara Pemerintah Daerah mengusulkan Wilayah Pertambangan ke Kementrian dengan memenuhi persyaratan Dalam hal Pelaksanaan Pemberian Izin dalam Pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan dengan melihat potensi mineral, batubara, juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan serta pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan. Selanjutnya diperlukan koordinasi dan kerja sama antar pemerintah daerah apabila pertambangan terjadi di lintas batas pemerintahan daerah. Terkait dengan Izin Petambangan Rakyat telah didelegasikan kembali kepada Pemerintah Daerah, sedangkan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Energi Sumber Daya Mineral dengan tetap memperhatikan faktor lingkungan. Kata Kunci: Wilayah Pertambangan Rakyat, Pendelegasian Perizinan, Ilegal Mining
PENERAPAN PRINSIP KEHATI – HATIAN BANK BERBASIS DIGITAL DALAM MEMBERIKAN KREDIT KEPADA DEBITUR Steven Joenathan Maluw; Grace H. Tampongangoy; Revy S. Korah
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi Prinsip Kehati-Hatian terhadap kredit Bank Berbasis Digital dan Untuk mengetahui bagaimana dampak hukum terhadap Prinsip Kehati-Hatian dalam kredit Bank Berbasis Digital. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian oleh Bank Berbasis Digital dalam penyaluran kredit Tanpa Agunan (KTA), yang cenderung bergantung pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Ketergantungan ini menghasilkan kurangnya analisis terhadap karakter dan jaminan debitur, serta meningkatkan risiko kredit macet di masa depan karena kekurangan regulasi yang jelas untuk KTA. 2. Penerapan Prinsip Know Your Customer (KYC) sebagai langkah awal untuk mengenal debitur sebelum evaluasi, serta perlunya regulasi internal yang jelas dalam penyaluran KTA untuk menghindari ketidakpastian hukum. Pelanggaran terhadap Prinsip Kehati-Hatian dapat mengakibatkan sanksi dari BI dan merusak reputasi bank, sehingga Bank Berbasis Digital perlu meningkatkan proses analisis risiko, menerapkan teknologi keamanan, dan memberikan keterbukaan informasi kepada nasabah untuk menjaga stabilitas dan integritas sistem perbankan. Kata Kunci : prinsip kehati-hatian, bank berbasis digital, kredit
FORCE MAJEURE SEBAGAI ALASAN TIDAK TERPENUHINYA SUATU PERJANJIAN UTANG PIUTANG Cicilian Tasya Pinontoan; Elko Lucky Mamesah; Grace H. Tampongangoy
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 3 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami dasar sebuah keadaan dikatakan sebagai force majeure dan untuk melakukan kajian terhadap penyelesaian perjanjian utang piutang dengan alasan keadaan memaksa atau force majeure. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Secara umum, suatu keadaan dapat dianggap sebagai force majeure jika memenuhi beberapa kriteria, seperti bersifat absolut, tidak dapat diprediksi sebelumnya, di luar kemampuan dan kontrol seseorang, tidak dapat dihindari, dan menghalangi seseorang untuk memenuhi kewajibannya. 2. Penyelesaian utang piutang dalam keadaan force majeure dapat dilakukan berupa renegosiasi kontrak antara para pihak yang terlibat, restrukturisasi utang, atau pengurangan bunga. Jika penyelesaian damai tidak tercapai, maka sengketa dapat dibawa ke pengadilan dan juga jika penyelesaian utang piutang debitur meninggal dunia dan debitur memiliki ahli waris maka perjanjian utang piutangnnya akan berlanjut dan tanggungannya diberikan kepada ahli warisnya, sedangkan jika debitur tidak memiliki ahli waris maka perjanjian utang piutang tersebut telah dianggap selesai. Kata Kunci : force majeure, alasan tidak terpenuhinya suatu perjanjian utang piutang
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN ASURANSI KECELAKAAN BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM PERDATA Inggrid Feinsiela Bawotong; Ronny A. Maramis; Grace H. Tampongangoy
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 4 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perusahaan asuransi kecelakaan berperan penting dalam memberikan perlindungan finansial terhadap risiko kecelakaan yang dihadapi oleh tertanggung. Dalam hubungan hukum antara perusahaan asuransi dan tertanggung, terdapat perjanjian yang disebut polis asuransi yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perspektif hukum perdata memberikan kerangka hukum yang mengatur tanggung jawab perusahaan asuransi dalam memenuhi klaim yang diajukan oleh tertanggung. Hukum perdata, khususnya dalam konteks kontrak asuransi, mengatur bahwa perusahaan asuransi wajib memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan yang ada dalam polis asuransi. Polis asuransi adalah dokumen hukum yang mencerminkan perjanjian antara perusahaan asuransi dan tertanggung, di mana perusahaan asuransi berjanji untuk membayar klaim asuransi apabila terjadi risiko yang diasuransikan, seperti kecelakaan.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL PONSEL ILEGAL PADA E-COMMERCE SHOPEE Kerenia Syalomita Ponow; Herlyanty Y. A. Bawole; Grace H. Tampongangoy
LEX PRIVATUM Vol. 14 No. 5 (2025): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum tentang penjualan ponsel ilegal pada e-commerce dan untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang menjual ponsel ilegal di e-commerce Shopee. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1. Pengaturan hukum terkait penjualan ponsel ilegal pada e-commerce sejauh ini belum diatur secara khusus. Namun beberapa peraturan yang ada saat ini, yaitu: UU 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menegaskan bahwa pelaku usaha harus memastikan bahwa barang yang dijual sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Undang-Undang Kepabeanan yang mengatur tentang barang yang diselundupkan dari wilayah luar Indonesia (penyulundupan), dan dalam PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mengatur tentang kegiatan e-commerce. Peraturan-peraturan tersebut menunjukkan adanya harmonisasi atau sinkronisasi hukum dalam mengatur penjualan ponsel ilegal pada e-commerce. 2. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang menjual ponsel ilegal di e-commerce Shopee dilakukan melalui kerja sama antara pemerintah, pihak e-commerce, dan aparat penegak hukum. Upaya tersebut mencakup pelaporan masyarakat, pengawasan berkala oleh pemerintah, penerapan sanksi, serta tindakan langsung dari pihak Shopee seperti penghapusan daftar atau penangguhan dan pengakhiran akun. Kata Kunci : ponsel ilegal, e-commerce shopee
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERAN BANK TANAH DALAM PEMBERIAN HAK-HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH Ryan Renova; Ronny A. Maramis; Grace H. Tampongangoy
LEX PRIVATUM Vol. 15 No. 2 (2025): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan bank tanah dalam pemberian hak pengelolaan atas tanah dan untuk mengetahui peran bank tanah dalam penanganan sengketa hak-hak pengelolaan atas tanah. Dengan menggunakan metode penelitian Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dapat disimpulkan: 1. Bank Tanah dalam melaksanakan kewenangannya untuk mengelola tanah dapat bertindak, membuat keputusan, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang ataupun badan lain. Sebagai badan yang berfungsi untuk mengelola tanah, Bank Tanah berwenang memberikan hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Dalam proses pemberian hak tersebut, Bank Tanah bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai administrator di bidang pertanahan. Meskipun demikian, pemberian hak atas tanah oleh Bank Tanah tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria dan pertanahan. Kerjasama ini diharapkan dapat menciptakan pengelolaan tanah yang lebih efisien, adil, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Bank Tanah memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa hak pengelolaan atas tanah, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Dalam proses litigasi, Bank Tanah berfungsi sebagai penyedia data dan informasi terkait tanah yang disengketakan, terutama dengan tanah yang dimiliki oleh Bank Tanah atau yang diberikan hak atas tanah di atas hak pengelolaan bank tanah. Selain itu Bank Tanah dapat memberikan bantuan hukum kepada seluruh pejabat struktural dan pegawai bank tanah pada saat dan setelah menjabat atas tuntutan pidana dan/atau gugatan perdata dan tata usaha negara. Kata Kunci: Bank Tanah, Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Hak Atas Tanah di atas Hak Pengelolaan, sengketa, sengketa hak atas tanah.