Ajeng Kusuma Wardani
Dosen pada Jurusan Tradisi Lisan, FIB, UHO

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

TUTURAN DALAM TRADISI SANGIA PADA MASYARAKAT KAMBOWA BUTON UTARA Hartati Muslihi Zimani; La Niampe; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 1 No 2 (2018): Volume 1 Nomor 2, Juli-Desember 2018
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v1i2.474

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses tradisi sangia masyarakat Kambowa di Buton Utara,mendeskripsikan makna tuturan tradisi sangia pada masyarakat Kambowa di Buton Utara, dan mendeskripsikannilai-nilai yang terkandung dalam tradisisangia pada masyarakat Kambowa di Buton Utara.Penelitian ini di Kecamatan Kambowa, Kabupeten Buton Utarapada bulan Februari sampai April 2018menggunakan pendekatan kualitatif. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi,wawancaramendalam, dandokumentasi.. Informandalampenelitianiniberjumlahlima orang, yaknidua orangpemimpin ritual atau bhisa, dantiga orang penari dalam tradisi sangia. Yang ditentukan melalui teknik purposivesampling. Teknik analisis data terdiri atas tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikankesimpulan.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proses tradisi sangiamemiliki dua tahapan utama yaitu tahap persiapan dantahap proses pelaksanaan. Tahap persiapan yaitumelakukan musyawarah antara bhisa dan pemerintah desa denganmenentukan hari dan tanggal baik pelaksanaan tradisi sangia. Tahap proses pelaksanaan meliputi (1) ziarah kemakam Wa Ode Kalantue, (2) menuju wamalau atau tepi pantai, (3) penanda dahi, (4) memutari kamali sangia, (5)haroa atau baca-baca,(6)tarian sarungga atau mesarungga, (7) tarian mangaru, (8) pekolilima, (9) pembersihan,(10) batatombi, dan (10) pembagian ketupat.Makna pada setiap tuturannya menjelaskan adanya keinginanmasyarakatnya untuk mendapatkan keberkahan dan rahmat agar terlindungi dari berbagai bencana atau malapetakayang menimpa kampung dan dirinya. Nilai yang terkandung pada tradisi sangia mencakup empat nilai yaitu nilaireligi, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai etika.
TRADISI PENGOBATAN PAMOLE PADA SUKU MUNA DESA WAKONTU KEC. WADAGA KABUPATEN MUNA BARAT Jamilah Harwati; La Ode Dirman; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 1 No 2 (2018): Volume 1 Nomor 2, Juli-Desember 2018
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v1i2.475

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana proses pelaksanaan tradisi pengobatan pamolepada suku Muna Desa Wakontu Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat, dan (2) bagaimana makna tuturan yang terkandung dalam pengobatan pamole pada Suku Muna Desa Wakontu Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data yang diperoleh adalah data primer yang berupa catatan observasi, hasil wawancara dengan informan, serta dokumentasi berupa rekaman video, foto dan data sekunder berupa buku-buku, artikel, jurnal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data terdiri dari observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik penentuan informan menggunakan teknik purposivesampling dengan 5 orang informan adalah 1 orang dukun, 1 orang tokoh agama, 1 aparatur desa (kepala Desa Wakontu), dan 2 orang masyarakat yang salah satunya adalah pasien dalam pengobatan pamole. Teknik analisis data terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi pengobatan pamole masih dipercaya dan dilakukan oleh masyarakat Muna sebagai alternatif pengobatan tradisional. Penelitian ini meliputi sejarah pengobatan pamole, proses pelaksanaan pengobatan pamole dan makna tuturan yang terkandung dalam tradisi pengobatan pamole. Adapun proses pelaksanaan pengobatan pamole yaitu (1) menentukan waktu dan tempat; (2) pihak yang terlibat dalam pengobatan; (3) alat dan bahan dalam pengobatan; dan (4) prosesi pelaksanaan pengobatan pamole. Prosesi pengobatan pamole diantaranya adalah (1) Tahap persiapan dan (2) Tahap pelaksanaan pengobatan. Pengobatanpamole mengandung dua makna tuturan yaitu makna religius dan makna penyembuhan. Makna religius dalam pengobatan pamole mengandung makna yang berkaitan dengan nilai ketuhanan karena dalam mantra pengobatan pamole didasari dengan ucapan basmalah artinya hanya kepada Allah SWT meminta kesembuhan. Sedangkan makna penyembuhan maksudnya atas izin Allah SWT penyakit yang diderita pasien dapat disembuhkan hanya dengan menggunakan telur ayam kampung.
EKSISTENSI TRADISI KAPARIKA PADA MASYARAKAT DESA WAMBULU KECAMATAN KAPUNTORI KABUPATEN BUTON Fauzziyah Putri; Wa Kuasa Baka; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.607

Abstract

Eksistensi Tradisi Kaparika Pada Masyarakat Desa Wambulu Kecamatan Kapuntori Kabupaten Buton. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan eksistensi tradisi kaparika pada masyarakat Desa Wambulu, (2) mendeskripsikan proses tradisi kaparika pada masyarakat Desa Wambulu, (3) menjelaskan makna simbolik yang terkandung dalam proses pelaksanaan tradisi kaparika pada masyarakat Desa Wambulu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data, dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Wambulu Kecamatan Kapuntori Kabupaten Buton masih melakukan tradisi kaparika. Karena, masyarakat Buton masih percaya kepada makhluk-makhluk gaib yang menempati alam sekitar yang akan dipakai untuk bercocok tanam, untuk itu sebelum menanam masyarakat setempat harus meminta izin kepada allah swt dari gangguan makhluk gaib atau penunggu wilayah tersebut. Adapun proses pelaksanaan tradisi kaparika yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan diantaranya (1) katingka’a, (2) sombuno wite, (3) kalawa dan tahap akhir. Sedangkan setiap symbol memiliki makna khusus sebagai pengharapan terhadap masyarakat Wambulu untuk memohon agar tanaman dapat dilindungi dan harapan masyarakat agar menghasilkan panen yang berlimpah.
RITUAL POPANGA PADA ETNIK MUNA Hesni hesni; Wa Kuasa Baka; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.608

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wakuni Kecamatan Sawerigadi Kabupaten Muna Barat dengan tujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan, makna simbolik, dan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual popanga pada Etnik Muna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, adapun informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang yang terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan informan lainnya yang mengetahui adat tersebut. Teknik analisis data dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan ritual popanga memiliki beberapa tahap yaitu (1) tahap persiapan ritual popanga, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap kasolo (melihat keadaan). Makna simbolik dalam ritual popanga terbagi dua jenis yaitu (1) makna alat dan bahan sesajen, serta (2) makna tuturan. Adapun nilai yang terkandung dalam ritual popanga yaitu nilai religi, nilai budaya, dan nilai sosial.
UPACARA POMALOANA MATE BAGI ORANG BUTON (STUDI DI KELURAHAN KADOLOKATAPI KECAMATAN WOLIO KOTA BAU-BAU) Siti Sahrani; La Ode Dirman; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.609

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana proses upacara pomaloana mate bagi orang Buton khususnya di Kelurahan Kadolokatapi, (2) nilai- nilai apa yang terkandung dalam upacara pomaloana mate, (3) apa makna simbolik yang terkandung dalam sesajen upacara pomaloana mate bagi orang Buton di Kelurahan Kadolokatapi Kota Bau-Bau. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Penentuan informan dilakukan melalui purposive sampling. Informan penelitian ini terdiri dari tiga orang yaitu satu orang kepala adat sebagai informan kunci, satu orang imam mesjid, satu orang tokoh masyarakat. Selanjutnya teknik analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan menarik kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa hal. Pertama adalah proses upacara pomaloana mate bagi orang Buton khususnya di Kelurahan Kadolokatapi. Upacara ini merupakan penghantar untuk seseorang yang masuk dalam siklus hidup terakhir, yaitu kematian. Upacara ini meliputi dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan. Beberapa hal yang harus disiapkan dalam pomaloa, yaitu dupa, Al-Quran, dan sesajian yang berupa waje, onde-onde, sanggarana hole, sanggarana kauwi-uwi, baruasa, bolu yang dipersiapkan dalam talang. Sesajian ini dipersembahkan sebagai syarat untuk melaksanakan sebuah hajat bagi keluarga yang berduka maupun kelompok masyarakat Buton Wolio. Kedua adalah nilai yang terkandung dalam upacara ini yaitu nilai etika, yang meliputi sikap dan tingkah laku dalam perbuatan seseorang dalam berkomunikasi, serta tokoh agama dan masyarakat dan hubungan antar sesama manusia dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan aturan adat dan budaya yang berlaku dalam upacara pomaloana mate tersebut seperti menghargai orang tua, dan nilai religi mempercayai Al-Quran karena mereka mengetahui adanya kepercayaan agama karena di Kelurahan Kadolokatapi dominan agama Islam, tapi Islamnya beradat dalam artian dia masih mempertahankan adat . Hasil penelitian yang kedua adalah makna ritual Pomaloana Mate yang disimbolkan dari sesajen dalam upacara Pomaloana. Seperti nasi simbolnya adalah usus, onde-onde simbolnya adalah mata, waje simbolnya adalah alat vital, pisang simbolnya adalah lidah, dan ubi simbolnya adalah bibir.
MAKNA SIMBOLIK TRADISI PENGOBATAN PEDOLE-DOLE PADA SIKLUS HIDUP MASA ANAK-ANAK DI KELURAHAN WATOLO KECAMATAN MAWASANGKA KABUPATEN BUTON TENGAH Weni Mane; La Ode Dirman; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.610

Abstract

Tujuan penelitian adalah (1) untuk mengetahui bentuk tradisi pengobatan pada siklus hidup masa anak-anak (2) untuk menjelaskan makna simbolik tradisi pengobatan pedole-dole dalam siklus hidup masa anak-anak di Kelurahan Watolo Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi (pengamatan) secara pasif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling yaitu secara sengaja. Dengan informan penelitian terdiri dari dukun (bhisa), orang tua anak dan tokoh masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses tradisi pengobatan pada siklus hidup masa anak-anak (pedole-dole) melalui proses pelaksanaan tradisi pengobatan pedole-dole terdapat lima tahapan. Pertama, yaitu penyiapan sesajen yakni nasi, umbi-umbian, ikan katamba, pisang, daun sirih, kapur sirih, gambir, pinang, rokok, pisau, dan uang. Tahap kedua, penyiapan tempat pengalas bayi yang akan diobati pedole-dole. Tahap ketiga, persiapan air mandi. Tahap keempat, singku (membuka kunci). Tahap kelima, penutupan dengan menyiapkan makanan yang ada di tala untuk dimakan oleh delapan pembantu bhisa atau kerabat yang tidak melaksanakan tradisi pengobatan pedole-dole, sedangkan setiap simbol memiliki makna khusus sebagai pengharapan terhadap barakatina tanah wolio keberkahan tanah wolio, tergantung pada Tuhan fo tulungi Allah Taala berharap dengan adanya pertolongan Allah SWT.
SUA-SUA PEPAKAWIA PADA MASYARAKAT TOLAKI DI KELURAHAN AMBEKAIRI KECAMATAN UNAAHA KABUPATEN KONAWE Sarah Faradillah; La Ode Ali Basri; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.611

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Ambekairi Kecamatan Unaaha Kabupaten Konawe dengan tujuan untuk mengetahui bentuk syair, kostum pelantun, dan makna yang terkandung dalam lirik sua-sua pepakawia pada masyarakat Tolaki di Kelurahan Ambekairi Kecamatan Unaaha Kabupaten Konawe. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam (indepth interview) yang didukung dengan dokumentasi dan perekaman/video. Informan ditentukan secara purposive sampling. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat, kepala sanggar seni, pelantun, guru seni dan budaya, dan informan tambahan. Teknik analisis data dalam penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan, dan verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk syair sua-sua pepakawia memiliki dua jenis yaitu (1) bentuk syair sua-sua pepakawia versi informan bapak MY, dan; (2) syair sua-sua pepakawia versi informan bapak HD. Bentuk Kostum pelantun sua-sua pepakawia terdiri dari (1) pine wota; (2) sarung adat; (3) andi-andi; (4) eno-eno; (5) bolosu; (6) tabere; (7) towe ndowe; dan (8) kalu nggalu. Adapun makna yang terkandung dalam lirik sua-sua pepakawia yaitu makna penghormatan, makna sosial, makna religi, dan makna estetika.
RITUAL MEWUHIHA LIMANO BHISA DALAM MENYAMBUT PESTA PANEN PADA MASYARAKAT DESA MORINDINO KECAMATAN KAMBOWA KABUPATEN BUTON UTARA Ilwan Ilwan; La Ode Dirman; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.741

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan proses ritual mewuhiha limano bhisa dalam menyambut pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara, (2) menguraikan makna simbolik yang terkandung dalam ritual mewuhiha limano bhisa dalam menyambut pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara, dan (3) mengetahui fungsi ritual mewuhiha limano bhisa dan implikasinya dalam penyambutan pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data, dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan ritual mewuhiha limano bhisa terdiri dari beberapa tahap pelaksanaan yaitu tahap persiapan diantaranya pengambilan seserahan (kaweti), memasak (mendambai), tahap pelaksanaan yaitu mewuhiha limano bhisa, haroa dan tahap akhir. Adapun setiap simbol memiliki makna khusus sebagai wujud ucapan rasa syukur kepada Allah SWT dan para roh-roh leluhur atas hasil panen pertanian yang didapatkan. Sedangkan fungsi ritual mewuhiha limano bhisa yaitu sebagai ajang silaturahmi dan perlindungan diri dari marabahaya.
RITUAL TUMPEK LANDEP PADA MASYARAKAT SUKU BALI: (STUDI DI DESA PUUDONGI KECAMATAN POLINGGONA KABUPATEN KOLAKA) Saraswati Saraswati; La Niampe; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.753

Abstract

Ritual Tumpek Landep merupakan hari peringatan turunnya kekuatan Sang Hyang Widhi ke dunia, yang dikhususkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Senjata atau dengan kata lain ritual Tumpek Landep merupakan rasa syukur umat Hindu terhadap Sang Hyang Widhi yang telah memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia, adapun ketajaman itu disimbolkan layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan prosesi pelaksanaan ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi, (2) menguraikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi, (3) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Pengumpulan data, dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat suku Bali Desa Puudongi Kecamatan Polinggona Kabupaten Kolaka masih melakukan ritual Tumpek Landep. Karena masyarakat Bali masih percaya bahwa dengan mendoakan setiap benda pusaka dan alat alat yang diupacarai pada ritual Tumpek Landep maka akan membawa keselamatan bagi penggunanya. Adapun prosesi pelaksanaan ritual Tumpek Landep diantaranya (1) tahap persiapan yaitu mengumpulkan seluruh benda atau alat alat yang akan diupacarai, (2) tahap pelaksanaan yaitu menghaturkan doa kepada Sang Hyang Pasupati yang dipimpin oleh manggala upacara, (3) tahap akhir yaitu sembahyang bersama sampai selesai metirtha dan memakai bija. Dalam ritual Tumpek Landep mempunyai nilai-nilai budaya diantaranya (1) nilai budaya religius (2) nilai budaya keselarasan hidup dengan alam dan (3) nilai budaya kerja sama. Kemudian faktor perubahan yang terjadi dalam ritual Tumpek Landep itu disebabkan oleh adanya penemuan baru atau inovasi.
TARI REJANG DEWA: BENTUK GERAK, MAKNA DAN POLA PEWARISANNYA PADA MASYARAKAT BALI DI DESA PUUROE KECAMATAN ANGATA Niluh Putu Ayu Wardani; La Ode Ali Basri; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 1 No 2 (2018): Volume 1 Nomor 2, Juli-Desember 2018
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v1i2.770

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk gerak, makna dan pola pewarisan tari rejang dewa pada masyarakat Bali di Desa Puuroe Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam (indepth interview) yang didukung dengan dokumentasi dan perekaman/video. Informan ditentukan secara purposive. Informan dalam penelitian ini adalah penari, guru tari, tokoh adat dan masyarakat. Teknik analisisdata dalam penelitian ini terdiri dari empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk gerak tari rejang dewa pada masyarakat Bali di Desa Puuroe sekarang ini ada enam gerakan yaitu (1) gerak pembuka diawali dengan sekelompok penari berbaris sejajar kebelakang membentuk satu baris sambil berjalan setengah jinjit kedepan dengan seorang penari yang berada didepan meletakkan kedua tangan di depan dada dan penari lainnya yang berada di baris belakang memegang selendang penari lainnya. Lalu para penari berpencar sambil melepas selendang dan membentuk dua baris yang setiap barisnya terdapat tiga orang penari, (2) gerak ngagem adalah sikap dasar tari Bali yang artinya bersiap, dalam tari rejang dewa artinya bersiap untuk menyambut datangnya para Dewa yang turun ke bumi dan berstana di pralingga atau bangunan suci seperti pura terdiri atas dua gerak yaitu ngagem kanan yaitu gerakan tari yang dimulai dari sebelah kanan dan ngagem kiri yaitu gerakan yang dimulai dari sebelah kiri, (3) gerak nedunan dalam tari rejang dewa artinya menyambut, jadi gerakan nedunan mengambarkan sikap sedang menyambut datangnya para Dewa yang turun ke bumi. (4) gerak ngayab artinya mempersembahkan atau mempersilahkan, gerakan ini berarti mempersembahkan sesajen yang telah disiapkan oleh krama desa atau masyarakat setempat. (5) gerak ngewaliang artinya mengembalikan, jadi gerak ngewaliang dalam tari ini artinya mengembalikan sifat-sifat adharma (tidak baik) menjadi dharma (baik) atau menyebarkan aura positif agar sebelum melakukan persembahyangan atau upacara inti suasana telah menjadi jalan dharma (kebaikan), dan (6) gerak penutup yang menandai pertunjukan tari telah selesai. Makna tari rejang dewa adalah sebagai makna edukasi, makna religi, makna estetika, dan bermaknahiburan.