Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Klasifikasi Accipitriformes dan Falconiformes Berdasarkan Penanda DNA Parsial Cytochrome Oxidase 1 (CO1) secara In Silico Ekajaya, Renandy Kristianlie; Endlessa, Chayra; Salsabila, Amalia Putri; Ningrum, Siti Ratu Rahayu; Hidayat, Topik
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 8, No 3 (2023): October 2023
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/biota.v8i3.6761

Abstract

Kategori burung pemangsa atau raptors dibagi ke dalam 3 ordo utama, yaitu Accipitriformes, Falconiformes, dan Strigiformes. Klasifikasi antara ordo Accipitriformes dan Falconiformes sering menjadi perdebatan karena spesies-spesiesnya memiliki kesamaan morfologi, namun berbeda saat memakan mangsa. Klasifikasi burung pemangsa yang telah ada memisahkan kedua ordo tersebut berdasarkan perilakunya saat menyergap dan membunuh mangsa. Maka, tujuan penelitian adalah untuk membuktikan pemisahan kedua ordo dengan pendekatan molekuler berupa data DNA. Penelitian ini menggunakan data sekunder sekuens penanda genetik DNA parsial cytochrome oxidase subunit 1 (COI) dari 15 spesies masing-masing ordo dan 1 spesies Strigiformes sebagai outgroup. Data diolah dengan menggunakan software Clustal-X dan PAUP. Hasilnya menunjukkan bahwa semua spesies memiliki tingkat homologi yang tinggi berdasarkan sekuens DNA-nya. Rekonstruksi pohon filogenetik mengklasifikasi kedua ordo ke dalam kelompok monofiletik yang membentuk dua cluster berbeda. Penelitian ini telah membuktikan bahwa Accipitriformes dan Falconiformes tidak hanya berbeda berdasarkan perilaku makann saja, melainkan namun juga berdasarkan genetik dari kedua ordo. Meskipun begitu, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk meningkatkan reliabilitas hubungan filogenetik kedua ordo dengan menambahkan jumlah sampel sekunder, jenis penanda genetik, dan data primer.  
Potential of Bitter Melon (Momordica charantia L.) Extract for Chronic Kidney Disease Based on In Vitro Study via TGF/SMADs Signaling, Antioxidant, Antiinflammation, Apoptosis Inducer Activities Prahastuti, Sijani; Rahardja, Fanny; Wargasetia, Teresa Liliana; Zahiroh, Fadhilah Haifa; Sabrina, Adilah Hafizha Nur; Kusuma, Hanna Sari Widya; Azis, Rizal; Hadiprasetyo, Dhanar Septyawan; Ningrum, Siti Ratu Rahayu; Widowati, Wahyu; Sarwono, Sylvie
Science and Technology Indonesia Vol. 10 No. 2 (2025): April
Publisher : Research Center of Inorganic Materials and Coordination Complexes, FMIPA Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26554/sti.2025.10.2.538-551

Abstract

Chronic kidney disease (CKD) is a physiological abnormality in the kidneys whose prevalence is expected to continue to increase. On the other hand, Bitter melon (Momordica charantia L.) is known to have the potential to manage CKD. This study explores the compound content of M. charantia ethanol extract (MCEE) and its potential for CKD based on in vitro assays. To model chronic kidney disease (CKD), SV40 MES-13 (mouse glomerular mesangial) cells were exposed for 3 days to 20 mM glucose. After glucose induction, the cells were subjected with different concentrations of MCEE (Momordica charantia L. ethanolic extract). The chemical profile of MCEE was analyzed using LC/MS-MS. Cell viability was examined through the WST assay, while intracellular ROS and apoptosis levels were measured by flowcytometry. Colorimetry was used to analyze SOD, MDA, and CAT levels. ELISA was used to analyze inflammatory proteins (TGF-β 1, IL-6, TNF-α, IL-1β ) levels. Meanwhile, the relative gene expression of SMAD-2, SMAD-3, SMAD-4, SMAD-7 was examined through qRT-PCR. The results exhibited that MCEE contains cucurbitane p-coumaric, ferulic acid, caffeic acid, gallic acid, chlorogenic acid, and epicatechin. MCEE was also known to be non-toxic to SV40 MES-13 cells. In addition, MCEE reduced intracellular ROS levels, MDA, necrosis levels, and inflammatory proteins, while also regulating SMAD-2, SMAD-3, and SMAD-4 gene expression. MCEE increased levels of CAT, and SOD, and regulated SMAD-7 gene expression in the CKD cells model. The most effective MCEE is MCEE 50 μg/mL. MCEE demonstrated potential as a CKD treatment based on in vitro studies through TGF/SMADs signaling activity, antioxidant, anti-inflammatory, and apoptosis inducer.
Klasifikasi Accipitriformes dan Falconiformes Berdasarkan Penanda DNA Parsial Cytochrome Oxidase 1 (CO1) secara In Silico Ekajaya, Renandy Kristianlie; Endlessa, Chayra; Salsabila, Amalia Putri; Ningrum, Siti Ratu Rahayu; Hidayat, Topik
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 8, No 3 (2023): October 2023
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/biota.v8i3.6761

Abstract

Kategori burung pemangsa atau raptors dibagi ke dalam 3 ordo utama, yaitu Accipitriformes, Falconiformes, dan Strigiformes. Klasifikasi antara ordo Accipitriformes dan Falconiformes sering menjadi perdebatan karena spesies-spesiesnya memiliki kesamaan morfologi, namun berbeda saat memakan mangsa. Klasifikasi burung pemangsa yang telah ada memisahkan kedua ordo tersebut berdasarkan perilakunya saat menyergap dan membunuh mangsa. Maka, tujuan penelitian adalah untuk membuktikan pemisahan kedua ordo dengan pendekatan molekuler berupa data DNA. Penelitian ini menggunakan data sekunder sekuens penanda genetik DNA parsial cytochrome oxidase subunit 1 (COI) dari 15 spesies masing-masing ordo dan 1 spesies Strigiformes sebagai outgroup. Data diolah dengan menggunakan software Clustal-X dan PAUP. Hasilnya menunjukkan bahwa semua spesies memiliki tingkat homologi yang tinggi berdasarkan sekuens DNA-nya. Rekonstruksi pohon filogenetik mengklasifikasi kedua ordo ke dalam kelompok monofiletik yang membentuk dua cluster berbeda. Penelitian ini telah membuktikan bahwa Accipitriformes dan Falconiformes tidak hanya berbeda berdasarkan perilaku makann saja, melainkan namun juga berdasarkan genetik dari kedua ordo. Meskipun begitu, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk meningkatkan reliabilitas hubungan filogenetik kedua ordo dengan menambahkan jumlah sampel sekunder, jenis penanda genetik, dan data primer.