Ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Namun dalam prakteknya masih terjadi malpraktek akibat kelalaian tenaga medis, yang mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien dan dalam praktek peradilan, korban belum memperoleh hak restitusi. Adapaun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia? Serta bagaimana penegakan hukum terhadap pemenuhan hak restitusi bagi korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia? Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori penegakan hukum menurut Satjipto Raharjo dan Restorative Justice menurut Liebmann. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, konseptual dan analitis. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum studi pustaka. Adapun analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia yaitu masih tergantung pada upaya hukum Jaksa Penuntut Umum, selain itu jika pelaku tidak mampu atau enggan memberikan restitusi, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi apapun. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pengaturan khusus mengenai restitusi maupun kompensasi bagi korban tindak pidana kelalaian medis, dimana pengaturannya masih menginduk pada KUHAP, KUHP dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun perubahannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (UU PSK) yang masih terdapat kelemahan sepereti pada KUHAP hanya terbatas pada ganti rugi atas kerugain materiil, dalam KUHP pemberiannya tergantung pada putusan bagi terdakwa, serta dalam UU PSK kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran HAM berat dan tindak pidana terorisme. Penegakan hukum terhadap pemenuhan hak restitusi bagi korban tindak pidana kelalaian medis belum mampu terealisasi dengan baik, hal tersebut dikarenakan tidak adanya kewajiban restitusi yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana di bidang medis yang diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-perundangan. Sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana kelalaian medis, keberadaan korban belum menjadi hal-hal yang dipertimbangkan, dalam hal ini penegakan hukum lebih berorientasi pada pemberian sanksi bagi pelaku dan belum berorientasi pada pemenuhan hak-hak korban.