Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Pengaturan Periodesasi Masa Jabatan Anggota DPR RI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebagai Negara Hukum Demokratis Afandi Sahidin, Ihtisab; Sibuea, Hotma; Adianto Mau, Hedwig
Blantika: Multidisciplinary Journal Vol. 3 No. 2 (2024): Reguler Issue
Publisher : PT. Publikasiku Academic Solution

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57096/blantika.v3i2.272

Abstract

Di Indonesia, pembatasan kekuasaan dalam jabatan publik, khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi isu penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keadilan dalam sistem demokrasi. Meskipun terdapat pembatasan masa jabatan untuk Presiden, anggota DPR tidak memiliki pembatasan yang sama, yang dapat berakibat pada praktik korupsi dan perilaku tidak etis lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan masa jabatan anggota DPR Republik Indonesia dan urgensi pembatasan masa jabatan dalam konteks negara hukum yang berkeadilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yang mengutamakan penggunaan norma hukum yang berlaku serta dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber terkait. Data dikumpulkan dari sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakadaan pembatasan masa jabatan anggota DPR berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. Penelitian ini juga mengidentifikasi perlunya regulasi yang lebih ketat untuk mendorong regenerasi kepemimpinan dan meningkatkan akuntabilitas anggota legislatif. Pembatasan masa jabatan anggota DPR sangat penting untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Regenerasi kepemimpinan di DPR akan membantu meningkatkan kinerja legislatif dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.
THE PROBLEM OF CORRUPTION LAW ENFORCEMENT THAT CAUSES STATE LOSSES SINCE THE CONSTITUTIONAL COURT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 25 / PUU-XIV / 2016 DECISION Zaki, Muhammad; Y Chandra, Tofik; Adianto Mau, Hedwig
POLICY, LAW, NOTARY AND REGULATORY ISSUES Vol. 1 No. 3 (2022): JULY
Publisher : Transpublika Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.644 KB) | DOI: 10.55047/polri.v1i3.204

Abstract

are increasingly widespread, so that the boundaries of the characteristics of acts of corruption and the characteristics of acts that are not corrupt but characterized by very detrimental to the state and society become difficult to distinguish, and lead to uncertainty about how to formulate groups. his crime. This research is a normative legal research that uses primary and secondary legal sources with library research collection techniques through legislation approach, historical approach and case approach. The results obtained are the legal considerations of the judges of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia in the Decision of the Constitutional Court Number 25/PUU/XIV/2016 in Article 2 Paragraph (1) and Article 3 of Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Criminal Acts of Corruption in Decision Number 25/ PUU-XIV/2016 which grants the abolition of the phrase “can” is to create legal certainty for the State Civil Apparatus (ASN) regarding discretionary policies or decisions or the implementation of the Ermessen freies principle which is criminalized as a criminal act of corruption because it is detrimental to state finances.
Pertanggungjawaban Pidana Penyelenggara Negara Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pertambangan Nikel di Indonesia Bimantoro, Rendiyanto; Yanuar Chandra, Tofik; Adianto Mau, Hedwig
Mutiara: Multidiciplinary Scientifict Journal Vol. 2 No. 8 (2024): Multidiciplinary Scientifict Journal
Publisher : Al Makki Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57185/mutiara.v2i8.228

Abstract

Kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin pada pertambangan nikel yang peneliti rangkum diantaranya adalah kasus korupsi pemberian IUP nikel oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, Kasus suap pertambangan operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara, dan Kasus suap praktik izin pertambangan oleh Gubernur Maluku Utara. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan sekaligus, yitu pendekatan perundang-undangan (statute aproach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui desk research dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam sektor pertambangan nikel di Indonesia melibatkan isu suap dan penyalahgunaan wewenang. Dalam Pasal 418 KUHP, tindak pidana suap melibatkan unsur pemberian atau perjanjian sesuatu. Sedangkan  menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana suap melalui tiga parameter: pemberi suap, penerima suap, dan barang atau objek yang bernilai, seperti diatur dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2, Pasal 12 a dan b, serta Pasal 13. Sedangkan untuk penyalahgunaan wewenang dalam hukum korupsi, tolak ukurnya diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pertanggungjawaban pidana penyelenggara negara pelaku tindak pidana korupsi pertambangan nikel di Indonesia dibebankan kepada pelaku pelanggaran yang melanggar hukum sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Application of Restorative Justice in Criminal Offences of Domestic Violence Domestic Violence in Indonesia Maharani Tarigan Sibero, Sari; Adianto Mau, Hedwig; Achmad Darodjat, Tubagus
LAW & PASS: International Journal of Law, Public Administration and Social Studies Vol. 1 No. 5 (2024): December
Publisher : PT. Multidisciplinary Press Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47353/lawpass.v1i5.55

Abstract

This research examines the application of Restorative Justice in the settlement of criminal acts of Domestic Violence (DV) in Indonesia using a normative legal approach. The focus of the research lies on analyzing laws and regulations related to the application of restorative justice in handling domestic violence cases. Restorative Justice is proposed as a more humane alternative to the dominant retributive justice system, with the aim of improving relationships between victims and perpetrators and providing space for healing. This research concludes that although the application of Restorative Justice faces significant challenges, such as social norms that discourage victims from reporting and the unpreparedness of law enforcement officials in applying the principles, this approach has the potential to offer a more effective solution in reducing domestic violence. Through an analysis of existing legal policies, this research provides recommendations to strengthen the implementation of Restorative Justice in Indonesia by involving more parties, including law enforcement officials, social institutions, and communities.
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelanggaran Pesawat Sipil Asing Diwilayah Udara Negara Kesatuan Republik Indonesia Dwiyanto, Erwin; Lina Sinaulan, Ramlani; Adianto Mau, Hedwig
Jurnal Multidisiplin Indonesia Vol. 2 No. 9 (2023): Jurnal Multidisiplin Indonesia
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/jmi.v2i9.576

Abstract

Ruang udara nasional merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di udara, dan sekaligus merupakan wilayah nasional sebagai wadah atau ruang/media, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan yuridiksinya. Indonesia sebagai negara berdaulat, memiliki kedaulatan yang utuh dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah NKRI, sesuai dengan ketentuan dalam konvensi Chicago 1944 Tentang Penerbangan Sipil Indonesia. Pelanggaran kedaulatan udara terjadi karena, kurangnya jumlah radar milik TNI AU dibawah Kohanudnas dalam melindungi wilayah udara Indonesia, dan tugas berat Kementerian Luar Negeri untuk membangun kepercayaan negara tetangga ditengah dinamika konflik teritorial Laut China Selatan apabila pemerintah menetapkan ADIZ Indonesia. Penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan Indonesia dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Hasil yang dapat ditarik benang merah dalam penulisan ini menunjukan bahwa ada celah dan kekosongan hukum dalam penetapan denda sanksi administratif, dan sanksi pidana. Sehingga penegakan hukum untuk sanksi pidana dan administratif bagi pesawat sipil asing yang masuk ke Indonesia harus dilaksanakan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan konvensi Chicago 1944.
Pemenuhan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Kelalaian Medis di Indonesia Shindyani Halim, Risha; Yanuar Chandra, Tofik; Adianto Mau, Hedwig
Jurnal Multidisiplin Indonesia Vol. 2 No. 9 (2023): Jurnal Multidisiplin Indonesia
Publisher : Riviera Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58344/jmi.v2i9.580

Abstract

Ketentuan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat. Namun dalam prakteknya masih terjadi malpraktek akibat kelalaian tenaga medis, yang mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien dan dalam praktek peradilan, korban belum memperoleh hak restitusi. Adapaun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia? Serta bagaimana penegakan hukum terhadap pemenuhan hak restitusi bagi korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia? Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori penegakan hukum menurut Satjipto Raharjo dan Restorative Justice menurut Liebmann. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, konseptual dan analitis. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum studi pustaka. Adapun analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana kelalaian medis di Indonesia yaitu masih tergantung pada upaya hukum Jaksa Penuntut Umum, selain itu jika pelaku tidak mampu atau enggan memberikan restitusi, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi apapun. Hal tersebut dikarenakan tidak ada pengaturan khusus mengenai restitusi maupun kompensasi bagi korban tindak pidana kelalaian medis, dimana pengaturannya masih menginduk pada KUHAP, KUHP dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun perubahannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (UU PSK) yang masih terdapat kelemahan sepereti pada KUHAP hanya terbatas pada ganti rugi atas kerugain materiil, dalam KUHP pemberiannya tergantung pada putusan bagi terdakwa, serta dalam UU PSK kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran HAM berat dan tindak pidana terorisme. Penegakan hukum terhadap pemenuhan hak restitusi bagi korban tindak pidana kelalaian medis belum mampu terealisasi dengan baik, hal tersebut dikarenakan tidak adanya kewajiban restitusi yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana di bidang medis yang diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-perundangan. Sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana kelalaian medis, keberadaan korban belum menjadi hal-hal yang dipertimbangkan, dalam hal ini penegakan hukum lebih berorientasi pada pemberian sanksi bagi pelaku dan belum berorientasi pada pemenuhan hak-hak korban.
Pertanggungjawaban Pidana Penyelenggara Negara Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pertambangan Nikel di Indonesia Bimantoro, Rendiyanto; Yanuar Chandra, Tofik; Adianto Mau, Hedwig
Mutiara: Multidiciplinary Scientifict Journal Vol. 2 No. 8 (2024): Mutiara: Multidiciplinary Scientifict Journal
Publisher : Al Makki Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57185/mutiara.v2i8.228

Abstract

Kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin pada pertambangan nikel yang peneliti rangkum diantaranya adalah kasus korupsi pemberian IUP nikel oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, Kasus suap pertambangan operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara, dan Kasus suap praktik izin pertambangan oleh Gubernur Maluku Utara. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode yuridis normatif. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan sekaligus, yitu pendekatan perundang-undangan (statute aproach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui desk research dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dalam sektor pertambangan nikel di Indonesia melibatkan isu suap dan penyalahgunaan wewenang. Dalam Pasal 418 KUHP, tindak pidana suap melibatkan unsur pemberian atau perjanjian sesuatu. Sedangkan  menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana suap melalui tiga parameter: pemberi suap, penerima suap, dan barang atau objek yang bernilai, seperti diatur dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2, Pasal 12 a dan b, serta Pasal 13. Sedangkan untuk penyalahgunaan wewenang dalam hukum korupsi, tolak ukurnya diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pertanggungjawaban pidana penyelenggara negara pelaku tindak pidana korupsi pertambangan nikel di Indonesia dibebankan kepada pelaku pelanggaran yang melanggar hukum sebagai dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Legal Certainty of the Existence of Foreign Workers According to Law Number 11 of 2020 Concerning Job Creation Yowargana, Tine; Lina Sinaulan, Ramlani; Adianto Mau, Hedwig
Jurnal Indonesia Sosial Sains Vol. 5 No. 03 (2024): Jurnal Indonesia Sosial Sains
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jiss.v5i03.1024

Abstract

Through Law Number 11 of 2020 on Job Creation, it is easy for foreign workers to enter Indonesia because written permits are replaced by only using a plan for the use of foreign workers. The method used in this research is the normative or legal research method. As a normative legal research, the approach used by the author in discussing this problem is to use a statutory approach. From the results of the research, it is obtained that the policy regarding the regulation of foreign workers in Indonesia has been contained in several regulations, including Minister of Manpower Regulation Number 8 of 2021 which explains the implementation of Government Regulation Number 34 of 2021 concerning the Use of Foreign Workers, as well as Law Number 6 of 2023 which stipulates Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 into the Job Creation Law. The use of foreign workers actually aims to meet the needs of labour with certain skills and expertise in supporting the country's development, especially when the Indonesian workforce is still inadequate in achieving the necessary professionalism. The ratification of Law Number 11 of 2020 brought significant changes in the Labour Law by facilitating the entry of foreign workers into Indonesia, through the deletion and amendment of several articles. In relation to legal certainty regarding the use of foreign workers in Indonesia, Law No. 11/2020 stipulates procedures for the use of foreign workers in Indonesia
Constitutionality of Restrictions on the Right to Freedom of Speech in the Digital Era from a Constitutional Law Perspective Adianto Mau, Hedwig
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 23 No. 2 (2024): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study aims to analyze the constitutionality of restrictions on the right to freedom of expression in the digital era from the perspective of constitutional law. Freedom of expression is a fundamental human right guaranteed by the Indonesian Constitution, as stated in Article 28E paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, the exercise of this right is not absolute and may be limited as stipulated in Article 28J of the 1945 Constitution. In the context of the digital era, various regulations have emerged, such as the Electronic Information and Transactions Law (UU ITE), which often serves as an instrument to restrict digital expression. This research uses a normative juridical method with statutory, conceptual, and case approaches. The results of the study show that freedom of expression in the digital era is a constitutional right essential to democratic life, but its implementation in Indonesia still faces challenges. Although guaranteed by the 1945 Constitution and various legal instruments such as the Human Rights Law and the ITE Law, its implementation often sparks controversy due to multiple interpretations and the potential misuse of certain articles to limit expression, especially in digital spaces. From the perspective of constitutional law, restrictions on freedom of expression are permissible but must fulfill the principles of legality, proportionality, and urgent necessity, and should not be used to silence criticism. Therefore, a fairer and clearer regulatory revision is needed, along with cooperation between the government, civil society, and stakeholders to create a safe, inclusive, and democratic digital space