Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TERAPI PERILAKU KOGNITIF PADA EPISODE DEPRESIF SEDANG DENGAN GEJALA SOMATIK DAN GANGGUAN CEMAS MENYELURUH: LAPORAN KASUS WIGUNA, I GUSTI RAI PUTRA; SUTRISNA, I PUTU BELLY; TULUS, ANGELINA
KNOWLEDGE: Jurnal Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Vol. 4 No. 1 (2024)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/knowledge.v4i1.3261

Abstract

A moderate depressive episode with somatic symptoms accompanied by generalized anxiety disorder disrupts the patient's daily functioning and affects their quality of life. Individuals with feelings of sadness and anxiety often hold various irrational beliefs that require therapeutic intervention. One potential treatment is cognitive behavioral therapy (CBT). This study will present the effectiveness of CBT in addressing cases of depression and anxiety. CBT sessions, which typically consist of 8-12 sessions, not only alleviate mood disturbances but also improve cognitive processes. This case report will also highlight the importance of CBT in managing the patient’s condition, in conjunction with pharmacotherapy and supportive psychotherapy. It is hoped that this study will pave the way for the future development of CBT. ABSTRAKEpisode depresif sedang dengan gejala somatik disertai dengan gangguan cemas menyeluruh menimbulkan gangguan dalam fungsi sehari-hari pasien dan mempengaruhi kesejahteraan hidup. Seseorang dengan suasana perasaan sedih dan cemas memiliki berbagai kepercayaan irasional yang perlu untuk diberi terapi. Salah satu terapi yang dapat diberikan adalah terapi perilaku kognitif (CBT). Studi ini akan memaparkan tentang efektivitas CBT dalam menangani kasus depresi dan cemas. Adapun sesi CBT terdiri dari 8-12 sesi yang tidak hanya dapat meredahkan gangguan suasana perasaan, tetapi juga memperbaiki cara berpikir. Laporan kasus ini akan menunjukkan pula pentingnya CBT untuk menangani kondisi pasien diimbangi dengan psikofarmaka dan psikoterapi suportif. Diharapkan penelitian ini dapat membuka jalan untuk pengembangan CBT di masa mendatang.
HUBUNGAN SPIRITUAL WELL-BEING DENGAN GEJALA MENOPAUSE TULUS, ANGELINA; DARMAYASA, I MADE; ARIANI, NI KETUT PUTRI
HEALTHY : Jurnal Inovasi Riset Ilmu Kesehatan Vol. 4 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/healthy.v3i4.4358

Abstract

Spirituality has become an essential part of human life, yet it still raises various questions regarding its relationship with health. Spiritual well-being indicates a person’s quality of life in terms of spiritual dimensions or serves as an indicator of an individual’s spiritual health. In 2016, 7.4% of women in Indonesia were menopausal, and by 2020, this was projected to reach 11.54%, with an average menopause age of 49 years. The Study of Women's Health Across the Nation in the United States found that menopause is associated with psychological stress. Approximately 28.9% experienced stress in early perimenopause, 20.9% during perimenopause, and 22% post-menopause. Menopause triggers physical and psychological symptoms, causing women to experience various complaints. Good spiritual well-being is associated with lower anxiety and depression and a higher quality of life. Spiritual Well-Being (SWB) arises from a state of spiritual health and manifests as overall well-being. SWB is an indication of a person’s quality of life in terms of spiritual dimensions or an indicator of their spiritual health. The spiritual element has a positive relationship with emotional responses. Spirituality affects the limbic and autonomic nervous systems, creating pleasant feelings and stimulating GABA and endorphins. Spiritual experiences can influence neurotransmitters in the brain, such as serotonin, dopamine, and oxytocin. Serotonin and dopamine are linked to feelings of happiness and satisfaction, while oxytocin is associated with empathy and social interaction. Menopause is defined as one year without menstruation due to a decrease in estrogen production. Although some women are asymptomatic, estrogen deficiency can cause hot flushes, sweating, insomnia, and vaginal dryness and discomfort in nearly 85% of menopausal women. This state is often referred to as the “change of life.” Spirituality has a significant relationship with the severity of menopause symptoms, including mood, cognition, vasomotor, and sexual symptoms. Spiritual well-being is related to menopausal symptoms. ABSTRAKSpiritualitas telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia, namun masih menimbulkan berbagai pertanyaan terkait hubungannya dengan kesehatan. Spiritual well-being atau kesejahteraan spiritual menjadi indikasi kualitas hidup seseorang dari segi dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan spiritual seseorang. Pada tahun 2016, di Indonesia terdapat 7,4% wanita menopause dari total populasi dan tahun 2020 diperkirakan mencapai 11,54% dengan usia rata-rata menopause 49 tahun. Hasil Study of Women’s Health Across the Nation di Amerika Serikat menunjukkan bahwa masa menopause berhubungan dengan tekanan psikologi. Sebanyak 28,9% mengalami stres diawal premenopause, 20,9% pada premenopause, dan sebanyak 22% pada post menopause. Menopause memunculkan gejala fisik maupun psikis yang membuat wanita mengalami berbagai macam keluhan. Kesejahteraan spiritual yang baik dikaitkan dengan kecemasan dan depresi yang lebih rendah, dan kualitas hidup yang lebih baik. Spiritual Well Being (SWB) adalah situasi yang muncul dari keadaan kesehatan spiritual dan tampak melalui kesehatan yang baik. SWB menjadi indikasi kualitas hidup seseorang dari dimensi spiritual atau indikasi dari kesehatan spiritual seseorang. Unsur spiritual memiliki hubungan positif terkait dengan respons emosional. Spiritualitas memengaruhi sistem limbik dan saraf otonom, sehingga menghasilkan suasana perasasan yang menyenangkan dan merangsang GABA dan endorfin. Pengalaman spiritual dapat memengaruhi neurotransmitter dalam otak seperti serotonin, dopamin, dan oksitosin. Serotonin dan dopamin terkait dengan perasaan bahagia dan kepuasan, sementara oksitosin terkait dengan empati dan interaksi sosial. Menopause didefinisikan sebagai satu tahun tanpa menstruasi dikarenakan semakin berkurangnya produksi estrogen. Meskipun beberapa perempuan asimtomatik, defisiensi estrogen dapat menyebabkan gejolak hot flushes, berkeringat, insomnia, kekeringan dan ketidaknyamanan pada vagina pada hampir 85% perempuan menopause. Keadaan ini sering disebut “change of life”. Spiritual memiliki hubungan signifikan pada keparahan menopause, yaitu dari gejala mood, kognisi, vasomotor dan seksual. Spiritual well-being memiliki hubungan dengan gejala menopause.
SINDROM AMNESTIK ORGANIK PADA ANAK DENGAN EPILEPSI Tulus, Angelina; Ayu Trisna Windiani, I Gusti; Agung Ngurah Sugitha Adnyana, I Gusti; Ayu Indah Ardani, I Gusti
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 2 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i2.6708

Abstract

Epilepsy is a chronic neurological disorder that can affect physical, cognitive, psychological, and social aspects in children. One of the prominent impacts is memory impairment, which in severe cases may develop into organic amnestic syndrome, particularly when accompanied by structural abnormalities such as hippocampal sclerosis. This article aims to report a case of organic amnestic syndrome in an adolescent with epilepsy and bilateral mesial temporal sclerosis, and to emphasize the importance of early detection and multidisciplinary management. The patient was a 15-year-old female adolescent with a history of generalized tonic-clonic epilepsy for the past two years and persistent memory complaints for six months. Cognitive assessment using the Indonesian version of the MoCA (MoCA-INA) showed a score of 19/30, and emotional evaluation using the CDI yielded a score of 19. Brain MRI revealed bilateral hippocampal atrophy, while EEG showed bilateral temporal epileptiform activity. The diagnosis was established based on clinical, neuropsychological, and radiological findings. The patient received combination therapy consisting of fluoxetine 10 mg/day, carbamazepine 300 mg twice daily, and supportive psychotherapy. The findings revealed a close association between epilepsy, hippocampal damage, memory impairment, and depressive symptoms. This case highlights the importance of structured memory screening and multidisciplinary intervention to minimize the cognitive and psychosocial impact of epilepsy in children and adolescents. ABSTRAK Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang dapat berdampak pada aspek fisik, kognitif, psikologis, dan sosial anak. Salah satu dampak yang menonjol adalah gangguan memori, yang pada kasus berat dapat berkembang menjadi sindrom amnestik organik, khususnya jika disertai kelainan struktural seperti sklerosis hipokampus. Artikel ini bertujuan melaporkan kasus sindrom amnestik organik pada remaja dengan epilepsi dan sklerosis mesial temporal bilateral, serta menekankan pentingnya deteksi dini dan manajemen multidisipliner. Pasien adalah remaja perempuan usia 15 tahun dengan riwayat epilepsi tonik-klonik umum sejak dua tahun terakhir dan keluhan gangguan memori menetap selama enam bulan. Pemeriksaan kognitif menggunakan MoCA-INA menunjukkan skor 19/30, dan penilaian emosional menggunakan CDI menghasilkan skor 19. MRI otak menunjukkan atrofi hipokampus bilateral, sementara EEG memperlihatkan aktivitas epileptiform di area temporal bilateral Diagnosis ditegakkan berdasarkan data klinis, neuropsikologis, dan radiologis. Pasien menerima terapi kombinasi berupa fluoxetine 10 mg/hari, carbamazepine 300 mg dua kali sehari, serta psikoterapi suportif. Temuan menunjukkan adanya hubungan erat antara epilepsi, kerusakan hipokampus, gangguan memori, dan gejala depresi. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya skrining memori terstruktur dan intervensi multidisipliner untuk meminimalkan dampak kognitif dan psikososial epilepsi pada anak dan remaja.