Penelitian ini membahas terkait isu hukum Pelayanan Publik Pada Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya Dalam Pembuatan E – Ktp agar dinas kependudukan catatan sipil dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi problematic di kalangan masyarakat. Jenis penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris atau merupakan jenis penelitian hukum sosiologis. Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan layanan yang berkualitas, transparan, dan akuntabel kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, terdapat berbagai hambatan, seperti ketidaksesuaian regulasi, keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya sosialisasi, serta kendala teknis dalam sistem pelayanan berbasis elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun dinas kependudukan catatan sipil Kota Surabaya telah berupaya meningkatkan kualitas pelayanan, masih ditemukan berbagai masalah hukum, seperti tidak terpenuhinya standar waktu pelayanan, penggandaan data warga,kebocoran data, penyalagunaan data dan kepastian hukum dalam proses pembuatan E-KTP. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. e-government menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta meningkatkan partisipasi publik. Electronic-KTP (e-KTP) adalah KTP yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaturan tindak pidana pemalsuan e-KTP, pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana Pemalsuan e-KTP dan kebijakan kriminal hukum pidana terhadap tindak pidana pemalsuan e-KTP. Berdasarkan hasil studi diperoleh hasil bahwa (1) Pengaturan pemalsuan dalam Pemalsuan surat (valschheid in gescheriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s/d 276 diatur mengenai sanksi pidana minimum, sehingga sekalipun sanksi pidananya paling berat diantara lainnya namun tidak menutup kemungkinan hakim memutus dengan pemberian sanksi yang ringan bagi pelakunya oleh karenya akan menimbulkan adanya suatu disparitas pidana. Sehingga diharuskan adanya ancaman sanksi yang minimum dalam Pemalsuan surat (valschheid in gescheriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dar Pasal 263 s/d 276 agar terciptanya kepastian hukum. (2) Pertanggung jawaban dalam KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan e-KTP, dinilai sudah tidak lagi bersesuaian dengan tuntutan jaman. Karena dalam KUHP pertanggung jawaban pidananya hanya kepada Pelaku saja sedangkan terhadap lembaga yang menghasilkan dan mendistribusikan e-KTP tidak diatur. Untuk itu terhadap tindak pidana pemalsuan e-KTP harus menggunakan KUHP. (3) Perlu dipertegas penerapan ancaman pidana penjara dan denda terhadap pemalsuan e-KTP, yang semakin berkembang dengan modus yang lebih canggih.