Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

SANKSI HUKUM TERHADAP ANGGOTA POLISI YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA: SANKSI HUKUM TERHADAP ANGGOTA POLISI YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI INDONESIA Idayana Putri, Siti; M Syahrul Borman; Nur Handayati; Vieta Imelda Cornelis
JURNAL MULTIDISIPLIN ILMU AKADEMIK Vol. 1 No. 4 (2024): Agustus
Publisher : CV. KAMPUS AKADEMIK PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61722/jmia.v1i4.2042

Abstract

Members of the police who commit criminal acts of narcotics abuse in the Indonesian NationalPolice need special attention, they cannot be said to be ordinary things, but law enforcement must be strict.If the enemy in the police force continues to exist, the eradication of narcotics crimes will not be maximized,bearing in mind that Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics stipulates that in addition toinvestigators from the National Narcotics Agency (BNN), Indonesian National Police investigators havethe authority to conduct investigations into criminal acts. narcotics and illicit drug trafficking. The mainproblems that will be discussed in writing this thesis are how to enforce the law against members of thepolice who abuse narcotics and what are the legal sanctions against members of the police who commitnarcotics abuse. In this study, the Statute Approach was used, carried out by examining all laws andregulations that are related to the legal issues being handled. And the conceptual approach (ConceptualApproach), moving from the views and doctrines that developed in the science of lawKeywords: Legal Sanctions, Police Members, Narcotics Abuse
Implementasi Pelayanan Publik Pada Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya Dalam Pembuatan E-KTP Tribuana Tunggal Dewi Rachman; Vieta Imelda Cornelis
AT-TAKLIM: Jurnal Pendidikan Multidisiplin Vol. 2 No. 1 (2025): At-Taklim: Jurnal Pendidikan Multidisiplin (Edisi Januari)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/at-taklim.v2i1.93

Abstract

Penelitian ini membahas terkait isu hukum Pelayanan Publik Pada Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya Dalam Pembuatan E – Ktp agar dinas kependudukan catatan sipil dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi problematic di kalangan masyarakat. Jenis penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris atau merupakan jenis penelitian hukum sosiologis. Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan layanan yang berkualitas, transparan, dan akuntabel kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, terdapat berbagai hambatan, seperti ketidaksesuaian regulasi, keterbatasan sumber daya manusia, kurangnya sosialisasi, serta kendala teknis dalam sistem pelayanan berbasis elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun dinas kependudukan catatan sipil Kota Surabaya telah berupaya meningkatkan kualitas pelayanan, masih ditemukan berbagai masalah hukum, seperti tidak terpenuhinya standar waktu pelayanan, penggandaan data warga,kebocoran data, penyalagunaan data dan kepastian hukum dalam proses pembuatan E-KTP. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. e-government menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta meningkatkan partisipasi publik. Electronic-KTP (e-KTP) adalah KTP yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaturan tindak pidana pemalsuan e-KTP, pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana Pemalsuan e-KTP dan kebijakan kriminal hukum pidana terhadap tindak pidana pemalsuan e-KTP. Berdasarkan hasil studi diperoleh hasil bahwa (1) Pengaturan pemalsuan dalam Pemalsuan surat (valschheid in gescheriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s/d 276 diatur mengenai sanksi pidana minimum, sehingga sekalipun sanksi pidananya paling berat diantara lainnya namun tidak menutup kemungkinan hakim memutus dengan pemberian sanksi yang ringan bagi pelakunya oleh karenya akan menimbulkan adanya suatu disparitas pidana. Sehingga diharuskan adanya ancaman sanksi yang minimum dalam Pemalsuan surat (valschheid in gescheriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dar Pasal 263 s/d 276 agar terciptanya kepastian hukum. (2) Pertanggung jawaban dalam KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan e-KTP, dinilai sudah tidak lagi bersesuaian dengan tuntutan jaman. Karena dalam KUHP pertanggung jawaban pidananya hanya kepada Pelaku saja sedangkan terhadap lembaga yang menghasilkan dan mendistribusikan e-KTP tidak diatur. Untuk itu terhadap tindak pidana pemalsuan e-KTP harus menggunakan KUHP. (3) Perlu dipertegas penerapan ancaman pidana penjara dan denda terhadap pemalsuan e-KTP, yang semakin berkembang dengan modus yang lebih canggih.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DI SIDOARJO (STUDI KASUS PUTUSAN PN SIDOARJO NOMOR 230/PID.B/2023/PN SDA) Mohammad Fikri Alfada Wijaya; Syahrul Borman; Vieta Imelda Cornelis
Jurnal Hukum Ius Publicum Vol 5 No 2 (2024): Jurnal Hukum Ius Publicum
Publisher : LPPM Universitas Doktor Husni Ingratubun Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55551/jip.v5i2.145

Abstract

This research discusses the elements of criminal acts and the considerations of the panel of judges in one of the cases which was a crime of murder. The author is interested in studying more deeply the application of law and the legal considerations of the panel of judges regarding the crime of murder in the case study of the Sidoarjo District Court decision Number 230/Pid.B/2023/PN Sda dated 21 June 2023, especially as there is an interesting thing about the perpetrator before committing murder with the intention of carrying a sharp sickle type weapon which can be subject to Article 340 of the Criminal Code because it meets the elements of "intentionally and with prior planning to take another person's life" but based on the judge's considerations, the perpetrator was sentenced according to Article 338 of the Criminal Code. In preparing this journal, the research method used was normative juridical legal research. The normative juridical research method is library legal research which is carried out by examining library materials or secondary data alone.
Pertimbangan Hakim dalam Menentukan Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Penjatuhan Pidana atau Rehabilitasi berdasarkan Undang-undang Narkotika Mardiman; Vieta Imelda Cornelis; Noenik Soekorini
PILAR Vol 5 No 1 (2025): PACIVIC: Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Publisher : Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36456/p.v5i1.10241

Abstract

Kejahatan narkotika sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial yang semakin marak terjadi di masyarakat. Menghadapi situasi ini, aparat penegak hukum perlu memiliki strategi yang tepat, baik upaya preventif maupun represif, menanggulangi kejahatan narkotika. Salah satu aspek krusial penanganan kasus ini adalah pertimbangan hakim dalam menentukan apakah pelaku tindak pidana narkotika dijatuhi pidana atau rehabilitasi. Penelitian bertujuan menganalisis pengaturan hukum terkait pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia dan memahami urgensi motif dalam dakwaan pelaku tindak pidana ini. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan pada perundang-undangan. Data penelitian terdiri dari data primer, yaitu Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, KUHP, KUHAP, dan putusan pengadilan serta data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang mendukung analisis penelitian ini. Hasil menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana atau rehabilitasi didasarkan pada berbagai aspek, antara lain peran pelaku dalam jaringan peredaran narkotika, jumlah barang bukti, serta kondisi psikologis dan sosial terdakwa. Penelitian ini menekankan pengambilan keputusan hakim harus mempertimbangkan keseimbangan antara keadilan, perlindungan masyarakat, dan rehabilitasi bagi pengguna narkotika sebagai korban penyalahgunaan.
TINJAUAN HUKUM SANKSI PIDANA PADA PELAKU PENYEBARAN KONTEN PORNOGRAFI DI INTERNET Rengga Fatma Jaya; Noenik Soekorini; Sri Astutik; Vieta Imelda Cornelis
JURNAL MULTIDISIPLIN ILMU AKADEMIK Vol. 2 No. 5 (2025): Oktober
Publisher : CV. KAMPUS AKADEMIK PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61722/jmia.v2i5.6169

Abstract

Abstrak. The development of the times is so rapid, the mode of spreading pornographic content has also spread through the internet. The formulation of the crime of pornography is also regulated in article 27 paragraph (1) of Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, which reads: "Every person intentionally and without right distributes and/or transmits and/or makes electronic information accessible and/or Electronic Documents that contain content that violates decency.”the formulation of the problem that will be raised in this thesis is: How is the law enforced for perpetrators of spreading pornographic content on the internet? What are the criminal sanctions for those who spread pornographic content on the internet? This type of research is normative legal research. Normative legal research is solving legal problems normatively which basically relies on a critical and in-depth study of library materials and legal documents that are relevant to the legal problems being studied. Conclusion: Legal review of the distribution of pornographic content on the internet according to Law number 1 of 2024 concerning the second amendment to Law number 11 of 2008 concerning electronic information and transactions, that content within the scope of information and electronic transactions which is included in the category of decency is several types of content pornography, namely in the form of writing, images or videos. Meanwhile, Legal sanctions for the purpose of distributing pornographic content on the internet according to Law Number 44 of 2008 concerning Pornography must meet the criminal elements for uploading decency content on social media according to Law Number 1 of 2024 concerning the second amendment to Law Number 11 of 2008 Regarding electronic information and transactions, content or sentences uploaded to social media services that contain elements of decency are distributed without any rights and become public consumption for users. other social media services. The legal consequences arising from the use of content containing decency on social media based on the criminal law in force in Indonesia are that you will be punished with imprisonment for a maximum of 6 (six) years and/or a fine of a maximum of IDR. 1,000,000,000.00 (one billion rupiah) in accordance with Article 45 of Law Number 1 of 2024. Second amendment to Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. Keywords: Criminal Sanctions, Distribution, Pornographic Content, Internet Abstrak. Perkembangan zaman yang begitu pesat, modus penyebaran konten pornografi pun juga merambah melalui internet. Rumusan tindak pidana pornografi juga diatur pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”Penelitian ini menjelaskan penegakan hukum pelaku penyebaran konten pornografi di internet? Bagaimana sanksi pidana pelaku penyebaran konten pornografi di internet ? Penelitian hukum normatif adalah memecahkan masalah hukum secara normatif yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan- bahan pustaka dan dokumen- dokumen hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang dikaji. Kesimpulan penyebaran konten pornografi di internet menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik, Bahwa konten dalam lingkupan informasi dan transaksi elektronik yang termasuk dalam kategori kesusilaan adalah beberapa jenis konten pornografi yaitu dalam bentuk tulisan, gambar atau video. Sedangkan Sanksi hukum penyebaran konten pornografi di internet menurut Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi harus memenuhi unsur pidana atas unggahan konten konten berbentuk kesusilaan pada media sosial menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik adalah konten-konten atau kalimat-kalimat yang diunggah kedalam layanan media sosial yang mengandung unsur kesusilaan disebar luaskan secara tanpa memiliki hak dan menjadi konsumsi publik bagi pengguna layanan media sosial lainnya. Akibat hukum yang timbul terhadap penggunaan konten yang mengandung kesusilaan pada media sosial berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah) sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Kata Kunci: Sanksi Pidana, Penyebaran, Konten Pornografi, Internet
Legal Review of Local Government Institutions in Papua under Government Regulation No. 106/2021 Billy Muskitta Bastian Erlando; Vieta Imelda Cornelis; Noenik Soekorini; Sri Astutik; Hartoyo Hartoyo
Journal of International Multidisciplinary Research Vol. 3 No. 9 (2025): September 2025
Publisher : PT. Banjarese Pacific Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62504/jimr1368

Abstract

The Province of Papua holds a special constitutional status under Law No. 2 of 2021, implemented through Government Regulation (PP) No. 106 of 2021, which assigns 23 governmental functions to regional authorities. The regulation embodies asymmetric decentralization intended to protect the rights of Indigenous Papuans (OAP) and address local needs. However, it raises legal concerns regarding ambiguous authority distribution between central, provincial, and municipal levels, as well as the unclear operational role of the Papuan People’s Assembly (MRP). The main research problem is whether PP No. 106/2021 provides a coherent and constitutionally consistent governance framework. This study applies doctrinal legal research using normative-analytical methods, including statutory interpretation, constitutional tests, and comparative perspectives. The findings indicate weak accountability mechanisms in managing Special Autonomy Funds, limited integration of customary law, and institutional fragility in newly established bodies such as BP-DOP and UPAP. The study concludes that PP No. 106/2021 does not fully align with the constitutional principles of legal certainty and decentralization. It recommends substantial revisions, strengthening MRP’s legal status, formal recognition of customary law through Perdasus, and an institutional blueprint with clear performance indicators to ensure effective, inclusive, and adaptive governance in Papua
Legal Safeguards for Justice Collaborators in Murder Cases: The Richard Eliezer Verdict Analysis Charles Ardani; Sri Astutik; Vieta Imelda Cornelis; Siti Marwiyah; Bachrul Amiq
Journal of International Multidisciplinary Research Vol. 3 No. 12 (2025): Desember 2025
Publisher : PT. Banjarese Pacific Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62504/jimr1405

Abstract

Justice collaborators, or "crown witnesses," have become essential in modern criminal justice systems, particularly in dismantling organized crime and uncovering complex murder cases. This study explores the legal protections afforded to justice collaborators in Indonesia through a doctrinal analysis of the Supreme Court Decision No. 1704 K/PID.SUS/2022, commonly known as the Richard Eliezer verdict. The objective is to critically examine the adequacy and application of legal safeguards provided to individuals who cooperate with law enforcement while implicated in serious crimes. Employing normative legal research methods and a statutory and case approach, the paper reveals discrepancies in the implementation of protections for justice collaborators. While the Indonesian Witness and Victim Protection Agency (LPSK) offers procedural protections, this analysis identifies significant gaps in enforcement, judicial interpretation, and institutional coordination. The findings underscore a need for stronger legislative frameworks and consistent judicial standards to uphold the rights and safety of justice collaborators. The implications extend to criminal law reform and the balancing of retributive justice with restorative mechanisms. This study contributes to the legal discourse on human rights protections in criminal procedure, particularly concerning vulnerable individuals assisting the justice system under duress or threat.