This research aims to compare the forms of resistance in the novel "Lelaki di Tengah Hujan" by Wenri Wanhar with the novel "Lelaki yang Membunuh Kenangan" by Faisal Tehrani. Both novels focus on the post-independence setting, specifically the second resistance carried out by students in Indonesia and Malaysia. Comparative literary research with a qualitative descriptive approach is used to present the necessary data. Data collected after reading and recording, along with the tested validity of the descriptions, will be analyzed by comparing the forms found in both novels. The dominance of the comparison between the two novels tends towards similarity, where the majority of 14 forms of similarity are found, namely student equality, acceptance attitude, and the application of left-wing theories, group study and activist transitions, student conferences and associations, movement efficiency, issue adoption, campus occupation, pro-people actions, institutional and governmental demonstrations, student attitudes towards press limitations, press function emphasis, counter-student press avoidance tactics, and the use of art and literature. Meanwhile, three forms of differences are identified based on student leadership movements, the direction of resistance goals, and the functional role of student press. Abstrak Penelitian ini bertujuan membandingkan bentuk perlawanan dalam novel Lelaki di Tengah Hujan karya Wenri Wanhar dengan novel Lelaki yang Membunuh Kenangan karya Faisal Tehrani. Kedua novel ini menitik fokuskan latar pasca kemerdekaan, yaitu perlawanan kedua yang dilakukan mahasiswa di negara Indonesia dan Malaysia. Penelitian sastra banding dengan pendekatan berbentuk deskriptif kualitatif digunakan untuk memaparkan data yang diperlukan. Data yang dikumpulkan setelah melalui hasil pembacaan dan pendataan, deskripsi yang telah diuji validitasnya tersebut akan dianalisis dengan membandingkan bentuk-bentuk yang ditemukan dalam kedua novel tersebut. Dominasi perbandingan terhadap kedua novel tersebut cendrung ke arah kemiripan, yang mana ditemukan sebanyakan 14 (empat belas) bentuk kesamaan, yaitu ekualitas mahasiswa, sikap penerimaan dan aplikasi teori kiri, transisi kelompok studi dan aktivis, konferensi dan asosisasi mahasiswa, efisiensi pergerakan, pengangkatan isu, pendudukan kampus, aksi pro rakyat, demonstrasi instansi dan pemerintahan, sikap mahasiswa terhadap keterbatasan pers, penekanan fungsi pers, siasat penghindari pers kontra mahasiswa, penggunaan seni dan sastra. Sedangkan perbedaan ditemukan sebanyak 3 (tiga) bentuk yaitu berdasarkan pergerakan kepemimpinan mahasiswa, arah tujuan perlawanan, serta fungsional pers mahasiswa.