Pernikahan beda agama di Indonesia menjadi topik perdebatan, khususnya dalam konteks sosial dan agama. pernikahan dipandang sebagai usaha untuk membentuk keluarga yang harmonis, dan penuh kasih sayang. Diharapkan hubungan ini dapat memberikan ketenangan batin, cinta, serta menciptakan sebuah keluarga yang rukun dan abadi. Dalam Al-Qur'an, terdapat larangan terhadap pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, terutama dengan kaum musyrik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis tafsiri, yang berfokus pada interpretasi teks Al-Qur'an dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Data utama yang digunakan adalah tafsir Buya Hamka mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan beda agama, terutama yang terdapat dalam (Surat Al-Baqarah ayat 221), yang dinilai dapat mengganggu keharmonisan dan keimanan dalam rumah tangga. Namun, pernikahan dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan, seperti yang tercantum dalam Surat Al-Maidah ayat 5. Beberapa ulama seperti Rasyid Ridha, M. Quraish Shihab, dan Buya Hamka menafsirkan bahwa meskipun pernikahan ini diperbolehkan, tetap perlu diperhatikan adanya tantangan dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, terutama terkait pendidikan anak dan perbedaan keyakinan. Dengan kata lain, meskipun ada ruang untuk menikahi ahli kitab, umat Islam dianjurkan untuk memilih pasangan yang memiliki kesesuaian dalam keyakinan, demi menjaga kesatuan iman dalam keluarga. Di Indonesia, pernikahan beda agama juga menghadapi tantangan hukum dan sosial, dengan regulasi yang mengharuskan pasangan menikah dalam agama yang sama. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan berhati-hati dalam memilih pasangan hidup untuk menjaga keutuhan iman dan keharmonisan keluarga.