Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Alokasi Khusus Pendidikan (Studi Putusan Pn Palembang Nomor 01/Pid.Sus-Tpk/2016/Pn.Plg) Yogi Prasetyo; Nashriana
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 2 No. 2 (2019): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v2i2.532

Abstract

Tindak pidana korupsi yang terjadi yang mengakibatkan kerugian bagi negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yangmana dalam hal ini terjadi tindak pidana korupsi pada Dana Alokasi Khusus Pendidikan. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apa yang menjadi pertimbangan hakim terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi Dana Alokasi Khusus Pendidikan dalam Putusan PN Palembang No. 01/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Plg dan bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Alokasi Khusus Pendidikan Bila Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan. Metode Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan putusan tersebut, hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan baik secara aspek yuridis maupun aspek non yuridis yang memvonis dengan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 kemudian terdakwa dalam putusan tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana sehingga terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam penjatuhan vonis, hakim memperhatikan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara agar putusan tersebut sesuai dengan teori-teori penjatuhan sanksi. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana alokasi khusus pendidikan bila ditinjau dari tujuan pemidanaan didasarkan pada teori relative/teori tujuan yang berorientasi pada prevensi khusus agar si terpidana tidak melakukan kembali tindak pidana
PENERAPAN ASAS PIDANA ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAKAN MALADMINISTRASI YANG MENIMBULKAN KERUGIAN NEGARA DITINJA DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Erry Fajri; Nashriana; Iza Rumesten
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 1 No. 2 (2018): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v6i2.e12

Abstract

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan pasca adanya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan kekeliruan dalam penerapan tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, di satu sisi menganggap bahwa hukum administrasilah yang tepat digunakan karena merupakan suatu perbuatan administrasi, di sisi yang lain menganggap bahwa hukum pidanalah yang tepat digunakan karena perbuatan maladministrasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara, sehingga sanksi pidana adalah sarana yang tepat diberikan. Sehingga penulis merumuskan masalah sebagai berikut: apa batasan-batasan dari tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara, dan apakah penerapan Asas pidana Ultimum Remedium terhadap tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yuridis empiris. Batasan-batasan dari tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara adalah sifat perbuatan hukum maladministrasi tersebut, antara perbuatan maladministrasi yang disengaja atau tidak disengaja, penerapan asas pidana Ultimum Remedium dalam hal kaitannya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipandang adanya keharmonisan dan tidak bertentangan antara norma hukum satu dengan norma hukum lainnya secara horizontal.
PERAN LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KLAS I PALEMBANG DALAM PEMBINAAN PIDANA NAROKTIKA ANAK Ramadhania, Miranda; Nashriana; Ruben Achmad
Lex LATA Vol. 7 No. 1 (2025): MARET 2025
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v7i1.3666

Abstract

Kajian ini berfokus pada banyaknya kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak yang tidak mendapat bimbingan hukum secara maksimal. Penelitian yang dilakuakn akan membahas program men-toring yangberjalan, faktor- faktor apa yang merupakan penghambat program mentoring, serta bagaimana setting ideal yang dapat membuat program mentoring berjalan maksimal. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa program pembinaan peserta didik pemasyarakatan tindak pidana narkoba di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Tingkat 1 Kota Palembang tidak berbeda dengan tindak pidana lainnya. Kem-dudian, didapatkan juga didalam hasil penelitian bahwa terdapat empat faktor yang menjadi penghambat program pembinaan peserta didik pemasyarakatan, yaitu faktor peraturan (hukum), faktor sarana dan prasarana, faktor perlengkapan peserta didik pemasyarakatan, dan faktor pribadi. Dalam rangka me-maksimalkan rencana pembinaan peserta didik pemasyarakatan, terdapat beberapa poin pengaturan yang ideal yaitu membedakan tindak pidana sesuai dengan golongannya, program yang didasarkan atas kepent-ingan yang dimiliki anak, keberadaan tenaga kesehatan jiwa dan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022.
Reconstruction of Coercive Measures in the Indonesian Corruption Criminal Justice System Asnawi; Febrian; Nashriana; Nelson, Febby Mutiara
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 24 No. 1 (2025): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v24i2.6701

Abstract

This study examines the reconstruction of coercive measures within Indonesia’s criminal justice system for corruption cases, with a focus on procedural disparities among law enforcement agencies and the urgency for reform in criminal procedural law. The legal issues addressed include the disharmony in implementing coercive actions—such as arrest, detention, search, and seizure—among institutions like the Police, the Prosecutor's Office, and the Corruption Eradication Commission (KPK). The aim of this research is to formulate a direction for reconstructing a more integrated and just system of coercive measures in handling corruption cases. The study adopts a normative juridical method, utilizing statutory and conceptual approaches, and is analyzed qualitatively. The novelty of this research lies in its proposed design of a coercive measures system based on institutional integration and the principle of due process of law, which has not yet been explicitly regulated in Indonesia's current legal framework. The findings reveal overlapping authorities and procedural inconsistencies that hinder the effectiveness of law enforcement. The main recommendation is to revise the Indonesian Code of Criminal Procedure (KUHAP) by incorporating coordinating norms among institutions and standardized procedures for coercive measures in corruption cases, in order to ensure accountability and the protection of suspects' fundamental rights.
HARMONISASI FRASA RINGANNYA PERBUATAN DENGAN ASAS LEGALITAS TERKAIT IMPLEMENTASI RECHTERLIJK PARDON DI INDONESIA Gandi, Fahrulian; Nashriana; Albariansyah, Hamonangan
Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum Vol 34 No 2 (2025)
Publisher : UNIB Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/jsh.34.2.109-122

Abstract

The phrase “minor nature of the act” in the concept of rechterlijk pardon as regulated in Law No. 1 of 2023 has not yet been accompanied by interpretative guidelines. This situation may result in biased interpretations, leading to legal uncertainty and inconsistency in future law enforcement. This study examines the ideal regulation of the phrase “minor nature of the act” in rechterlijk pardon to ensure harmony with the principle of legality. The research employs normative legal methods, utilizing statutory, conceptual, case, and comparative approaches. The findings indicate that the phrase “minor nature of the act” should be limited to specific criminal offenses eligible for pardon, as exemplified in Portugal, in order to prevent multiple interpretations that could result in discrimination in law enforcement.