Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL Triastuti Andayani; Ruben Achmad; Suci Flambonita
Lex LATA Volume 3 Nomor 1, Maret 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v3i1.868

Abstract

Eksploitasi seksual terhadap anak dapat mempengaruhi psikologi anak, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang  dan berpartisipasi secaea optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun anak yang menjadi korban eksploitasi seksual diatur dalam undang-undang perlindungan anak No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang Pelindungan hukum terhadap anak korban eksploitasi seksual berdasarkan undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, selain itu juga faktor-faktor penghambat penegakan hukum anak korban eksploitasi seksual. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan Pustaka terkait permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Analitis yang digunakan berupa analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam undang-undang perlindungan anak dengan cara memberikan hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan hukum yaitu memberikan bantuan hukum, rehabilitasi dan pencegahan. Adapun faktor penghambat penegakan hukum anak korban eksploitasi yaitu subtansi hukum, struktur hukum, budaya hukum, sarana dan prasarana.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Anak Korban, Eksploitasi
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik hari suharto; Saut Parulian; Ruben Achmad
Lex LATA Volume 2 Nomor 2, Juli 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v2i2.831

Abstract

Penelitian  ini dilatar belakangi Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan Pasal yang mengatur tentang melanggar kesusilaan, yang dianggap sebagai Pasal yang multitafsir Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa melatar belakangi pembentuk undang-undang merumuskan kebijakan hukum pidana Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku saat ini di Indonesia, Bagaimana perumusan kebijakan formulasi hukum pidana dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pembaharuan hukum pidana di masa yang akan datang Metodei yangi digunakani dalam ipenelitiani ini adalahi penelitiani hukum inormatif Dari hasil penelitian yang dilakukan penyebarluasan pornografi sebagai salah satu jenis kejahatan cybercrime di internet yang luar biasa banyak dan bermacam-macam jenis yang sangat sulit diatasi maka dibentuklah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 ayat (1), Perumusan Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Pasal 27 ayat (1) pada saat yang akan datang yaitu berdasarkan unsur objeknya , subyek hukumnya,dan berdasarkan perbuatan hukum.
KAJIAN YURIDIS TENTANG PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN BEGAL MOTOR MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA Subhan Subhan; Ruben Achmad; Amir Syarifuddin
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 6, No 2 (2014): Desember
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.875 KB) | DOI: 10.33087/legalitas.v6i2.119

Abstract

Pengaturan mengenai perbuatan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan begal motor diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat pada Pasal 170 dan 351. Keberadaan pasal-pasal tersebut, idealnya dapat menjadi dasar perlu adanya proses pemeriksaan masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri oleh pihak berwajib.  Upaya pencegahan dan penanggulangan tindakan main hakim sendiri dapat dilakukan dengan 2 langkah antara lain: a) Preventif, yaitu Membangun kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat; Dengan himbauan dan penyuluhan hukum; dan Melaksanakan patroli rutin, Dan b) Represif, yaitu memperoses pelaku main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana. Namun dalam hal ini polisi belum optimal, dikarenakan banyaknya kendala yang dihadapi kepolisian.Kata Kunci: Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
EKSISTENSI HUKUMAN MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INDONESIA Syamsi Ubay; Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 1, No 1 (2009): Desember
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.707 KB) | DOI: 10.33087/legalitas.v1i1.51

Abstract

Kriteria penjatuhan pidana mati, ketentuan pidana dalam KUHP dan Undang-undang pidana di luar KUHP, telah memuat ketentuan yang cukup jelas tentang kriteria tentang penjatuhan pidana mati, namun ketentuan pidana tersebut belum secara tegas atau secara eksplisit menjelaskan tentang panduan atau kriteria kapan perbuatan seorang terdakwa harus dijatuhi dengan pidana mati. Dalam hal upaya hukum perubahan putusan pidana mati, KUHAP dan Undang-undang Grasi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai  Kapan batas waktu paling lambat untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi; Berapa kali permohonan PK dan Grasi dapat diajukan. Dalam hal upaya  hukum berupa permohonan PK dan Grasi dari seorang terpidana mati ditolak, KUHAP dan Undang-undang Grasi tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai kapan batas waktu (paling cepat dan paling lambat) seorang terpidana mati harus dieksekusi. Ketentuan mengenai pidana mati dalam perundang-undangan pidana Indonesia belum sesuai dan atau belum dapat mencapai hakekat atau tujuan mendasar dari penjatuhan pidana.Kata Kunci: Eksistensi Hukuman Mati, Hukum Pidana 
Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Narkotika Di Kota Palembang Ruben Achmad; Neisa Angrum Adisti
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 12, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/legalitas.v12i1.193

Abstract

Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penindakan  kejahatan narkotika di Indonesia dan kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penindakan kejahatan narkotika khususnya di Kota Palembang. Kebijakan kiminal pencegahan dan penanggulangan narkotika di Indonesia dilakukan dengan 2 (dua ) cara yaitu kebijakan Penal dan Non penal. Temuan dari analisis hasil penelitian aspek penal terhadap narkotika dan psikotropika, merupakan bahan masukan untuk melakukan perbaikan dalam perencanaan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dikemudian hari.mSelain dengan peraturan perundang-undangan upaya penanggulangan dan pecegahan  Narkotika dilakukan secara sinergi beberapa lembaga yang terkait satu sama lain ,P4GN adalah Pemberantasan Peredaran Gelap  Narkoba dan Perkusor yang merupakan  suatu program penanggulangan pencegahan narkotika. Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) adalah upaya sistematis berdasarkan data penyalahgunaan narkoba yang tepat dan akurat, perencanaan yang efektif dan efisien dalam rangka mencegah, melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba untuk itu diperlukan kepedulian dari seluruh instansi pemerintah dalam upaya tersebut dengan mendorong satgas di instansi pemerintah menjadi pelaku P4GN secara mandiri. Upaya yang paling tepat dalam pencegahan dan penyalahgunaan narkotika adalah upaya demand yang menitik beratkan pada perbaikan pelaku yaitu penyuluhan dan juga rehabilitasi. Dibandingkan penjara , rehabilitasi lebih tepat dilaksanakan bagi pengguna narkotika. Dikarenakan efek negatif penjara yang belum tentu memperbaiki keadaan pelaku . Namun pada kenyataannya , hakim sangat jarang memutus dengan putusan rehabilitasi
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Erni Erni; Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 9, No 1 (2017): Juni
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.369 KB) | DOI: 10.33087/legalitas.v9i1.143

Abstract

Ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, pada pokoknya membatasi dan atau mengawasi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, sedemikian sehingga hanya pelaku korupsi yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) atau pemberi informasi atau peniup terompet (whistle blower) saja, yang akan diberikan remisi. Sementara pelaku korupsi lainnya, tidak diberikan remisi, karena pemberian fasilitas remisi tersebut, dianggap telah melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan Kebijakan tersebut, diharapkan akan timbul efek penjeraan bagi para pelaku korupsi, sehingga baik langsung atau secara tidak langsung, akan menekan angka tindak pidana korupsi yang saat ini sudah semakin merajalela, dengan dampak  yang sangat mengkuatirkan. Ketentuan yang memperlakukan sama semua narapidana dalam pemberian pengurangan masa pidana di dalam peraturan perundang-undangan di atas, bertolak belakang dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang membedakan  pemberian remisi kepada narapidana, berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya. Sehingga tujuan penulisan makalah ini bertujuan kebijakan hukum pidana tentang remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan penerapan kebijakan hukum pidana tentang remisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
KEPASTIAN HUKUM BAGI TERSANGKA ATAU TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIb Kuala Tungkal) Robi Harianto S; Mustafa Abdullah; Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 1, No 4 (2011): Juni
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.059 KB) | DOI: 10.33087/legalitas.v1i4.73

Abstract

Pengaturan tentang penahanan yang diatur oleh KUHAP lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia jika dibandingkan HIR dengan memuat ketentuan tentang batas waktu penahanan. Dalam pasal 24 sampai 28 KUHAP ditentukan bahwa tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan demi hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan jika batas waktu penahanan telah habis. Sepanjang tahun 2009 sampai 2011 Lembaga Pemasyarakatan atau RUTAN Klas IIB Kuala Tungkal  telah mengeluarkan tahanan demi hukum tanpa syarat sesuai dengan KUHAP sebanyak 4 (empat) orang dan sebanyak 5 (lima) orang tidak dikeluarkan demi hukum walaupun masa penahanannya telah habis. Hal tersebut dilakukan karena kelapa Lembaga Pemsayarakatan atau Kepala Rumah Tahanan Negara sebelum mengeluarkan tahanan yang habis masa penahanannya harus terlebih dahulu koordinasi dengan pejabat yang menahan. Koordinasi tersebut dilakukan berdasarkan surat edaran bersama Ketua Mahkamah AGung RI dengan Direktorat Jendral Pemasyarakatan tanggal 19 Nopember 1983 No. MA.PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang membenarkan tindakkan tidak mengeluarkan tahananan atau dengan kata lain walaupun seseorang telah habis masa waktu penahanan dan tidak dikeluarkan namun tindakkan tersebut dibenarkan dengan jalan koordinasi. Tidak adanya pengaturan mengenai batas waktu pemeriksaan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam rangkaian proses pemeriksaan dalam perkara pidana sehingga tersangka atau terdakwa yang masa penahanannya telah habis dan dikeluarkan demi hukum masih berstatus sebagai tersangka atau terdakwa selama berathun-tahun karena pemeriksaannya belum selesai. Kata Kunci: Kepastian Hukum, Tersangka/Terdakwa, Yang Dikeluarkan Demi Hukum
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Tinjauan Analisis Terhadap Pembalikan Beban Pembuktian Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001) Khaidir Khaidir; Mustafa Abdullah; Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 1, No 5 (2011): Desember
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.664 KB) | DOI: 10.33087/legalitas.v1i5.78

Abstract

Negara dalam mengemban amanat Konstitusi untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melakukan usaha nyata sebagai penyeelenggara negara, salah satu upaya adalah dengan merumuskan Undang Undang. Praktek yang memanfaatkan kewenangan dan tidak berpihak kepada rakyat adalah salahsatuya korupsi. Undang undang yang memberantas tindak pidana korupsi adalah Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya menganut sistem pembalikan beban pembuktian. Sistem pembalikan beban pembuktian adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 dan Pasal 38, yaitu merupakan sistem yang meletakan beban pembuktian pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan yaitu dimungkikannya melakukan pemeriksaan tambahan (khusus) jika dalam pemeriksaan di persidangan diketemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, namun hal tersebut belum didakwakan.Kata Kunci: Korupsi, Pembalikan Beban Pembuktian
HAKEKAT KEBERADAAN SANKSI PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM SISTEM HUKUM PIDANA Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 5, No 2 (2013): Desember
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/legalitas.v5i2.98

Abstract

Hakekat pidana dan pemidanaan dalam sistem hukum pidana, ditelusuri melalui aliran klasik, aliran modern, dan aliran teori integratif serta dapat pula ditelusuri melalui teori tujuan pemidanaan. Aliran klasik hakekat pidana dan pemidanaan untuk memberikan penderitaan dan pembalasan sebagai tujuan pemidanaan, aliran modern pidana bukan untuk membalas tetapi untuk memperbaiki terpidana untuk dapat dikembalikan pada masyarakat dengan tujuan untuk pencegahan, teori integratif, hakekat pidana dan pemidanaan selain untuk melakukan pencegaahan sekaligus juga untuk rehabilitasi terpidana. Dalam perspektif Pancasila, pidana dan pemidanaan memperhatikan keseimbangan / harmonisasi kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.Kata Kunci:     Pidana Dan Pemidanaan, Sistem Hukum Pidana, Aliran Hukum Pidana, Tujuan Pemidanaan
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEDOFILIA Walayuliansari Walayuliansari; Ruben Achmad
Legalitas: Jurnal Hukum Vol 1, No 2 (2010): Juni
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/legalitas.v1i2.65

Abstract

Kasus tindak pidana phedofilia merupakan kasus yang cukup marak terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media massa. Namun demikian kasus tersebut hanya sebagian yang dapat terungkap dan diselesaikan melalui pengadilan. Sedikitnya kasus tindak pidana pedofilia ini terungkap, disebabkan oleh beberapa faktor baik dari sisi pelaku maupun dari sisi korban. Dari sisi pelaku, tindak pidana pedofilia tersebut terorganisir dalam suatu sindikat yang sangat rapi. Dari sisi korban disebabkan karena, halnya sebagian kecil korban yang mau melaporkan kejadian yang menimpa dirinya. Dimana korban merasa malu dan takut aib yang menimpa dirinya tersebut diketahui oleh khalayak ramai. Kebijakan tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana pedofilia pada dasarnya telah diatur oleh Negara dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun didalam  perlindungan hukum terhadap tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana pedofilia pada khususnya masih kurang mendapat perhatian masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum Kata Kunci: Penegakan Hukum, Anak, Tindak Pidana Phedofilia