Iza Rumesten
Unknown Affiliation

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

IMPLIKASI HUKUM PERUBAHAN KEWENANGAN URUSAN PEMERINTAHAN TERHADAP KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DISEKTOR PERTAMBANGAN Tabrani Diansyah; Mada Apriandi Zuhir; Iza Rumesten
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Volume 8 Nomor 1 Mei 2019
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v8i1.309

Abstract

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara golongan batuan di Kabupaten Lahat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik". Selain itu dinyatakan pula bahwa “pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya” sebagaimana dicantumkan pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Perubahan. Rumusan masalah yang diangkat adalah:  bagaimana implikasi hukum dan kendala yang muncul atas berlakunya Undang-Undang tersebut, serta bagaimana konsep pengaturan hukum dimasa yang akan datang terkait dengan pengelolaan pertambangan tersebut di Kabupaten Lahat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan sejarah, melalui analisis terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diolah dengan mengidentifikasi, membandingkan, dan menghubungkan kemudian dianalisi secara kualitatif serta ditarik kesimpulan dengan penalaran deduktif. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 berimplikasi kepada kekosongan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara golongan batuan di Kabupaten Lahat yang memunculkan kendala dengan tidak adanya dasar kewenangan pengelolaan pertambangan tersebut. Konsep pengaturan hukum dimasa yang akan datang terkait dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara golongan batuan di Kabupaten Lahat ialah seharusnya kewenangan pengelolaannya berada pada Pemrintah Daerah Kabupaten Lahat yang disusun dan dijalankan atas dasar otonomi seluas-luasnya serta keragaman daerah
DUALISME KEWENANGAN DALAM EKSEKUSI DENDA BUKTI PELANGGARAN (TILANG) SEBAGAI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) Nina Alfiana; Nashriana Nashriana; Iza Rumesten
Lex LATA Volume 1 Nomor 1, Maret 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v1i1.260

Abstract

Kedudukan Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan disidang pengadilan sampai putusan pengadilan tersebut dilaksanakan, kewenangan Kejaksaan sendiri diatur dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Mencermati isi pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 ini,Jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu, i. Sebagai Penuntut Umum, ii. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (kewenangan eksekusi), serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut didalam Pasal 30 Undang-undang tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kewenangan eksekusi merupakan salah satu bentuk kebijakan negara yang diamanatkan kepada kejaksaan sebagai eksekutor mengenai hal tersebut. Pelaksanaan eksekusi denda uang tilang dan biaya perkara telah diatur didalam ketentuan mengenai kewenangan hal tersebut, walaupun didalam pelaksanaan dilapangan ternyata terdapat dualisme kewenangan dalam eksekusi denda tilang yaitu antara kewenangan kejaksaan dan kewenangan kepolisian. Berdasarkan uraian di atas, maka isu hukum yang akan dibahas dalam tesis ini sebagai berikut : 1) Apakah kepolisian berwenang dalam melakukan eksekusi uang denda tilang sebagai PNBP ?, 2)Apa yang menjadi kendala dalam melakukan eksekusi uang denda tilang perkara tindak pidana pelanggaran lalu lintas sebagai PNBP ?.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian empiris yang bertujuan untuk melihat hukum secara nyata dan bagaimana hukum bekerja dimasyarakat, dengan menggunakan logika berpikir deduktif. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1) Kejaksaan mempunyai wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (fungsi eksekutorial). Termasuk di dalamnya kewenangan eksekusi denda tilang sebagai salah satu penerimaan negara yang di golongkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), 2) Kendala internal yang dihadapi dalam eksekusi denda tilang adalah mengenai identitas yang tidak lengkap dalam catatan bukti pelanggaran lalu-lintas, sehingga menyulitkan pihak Kejaksaan apabila terdakwa tidak hadir di dalam persidangan, sedangkan kendala eksternal berupa PP No. 50 Tahun 2010 tentang PNBP Kepolisian yang telah melampaui ketentuan yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP dan lampiran ke-2 PP No. 22 Tahun 1997 tentang PNBP Kejaksaan
LIMITASI HAK KREDITOR SEPARATIS ATAS PELUNASAN PIUTANG SETELAH LAMPAU WAKTU PENJUALAN JAMINAN KEBENDAAN DALAM PROSES PENYELESAIAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA Judistira Yusticia; Iza Rumesten
Lex LATA Volume 2 Nomor 1, Maret 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v2i1.554

Abstract

Abstrak : Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran utang membagi 3 jenis penggolongan kreditor yaitu kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis, Ketentuan Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan hak eksekusi kreditor separatis dianggap sebagai ketentuan yang tidak sejalan serta inkonsisten terhadap ketentuan yang telah diatur didalam Pasal 55 Ayat 1 dan merupakan limitasi terhadap hak-hak kreditor separatis yang berdampak pada pemberian batas waktu penjualan benda yang dijadikan jaminan oleh debitor kepada kreditor separatis, Dengan demikian hak Kreditor separatis sebagaimana Kreditor yang dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil penjualan dari utang harta debitor pailit dan memiliki Hak yang terpisahkan dari harta pailit umumnya sebagaimana yang diatur didalam Pasal 55 ayat 1 menimbulkan pertentangan dengan Pasal 56 dan Pasal 59 terkait dengan limitasi hak kreditor separatis atas pelunasan piutang setelah lampau waktu penjualan jaminan kebendaan dan perlindungan hak-hak kreditor separatis serta terjadi ketidakserasian dengan prinsip hukum jaminan kebendaan. Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana kedudukan hak kreditor separatis setelah lampau waktu penjualan jaminan kebendaan, Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu Penelitian yang menggunakan bahan-bahan hukum dari penelitian kepustakaan yang dikumpulkan dari bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya ketentuan Pasal 56 ayat 1 dan Pasal 59 ayat 1 mengakibatkan kreditor separatis kehilangan kedudukan dan haknya sebagai kreditor separatis yang mengakibatkan berubah kedudukannya sebagai kreditor konkuren yang tidak mempunyai hak preferen dan hak eksekusi atas hak jaminan kebendaannya.Kata Kunci : Kepailitan, Jaminan, Kreditor Separatis.
Penerapan Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia Rustini Rustini; Iza Rumesten
Lex LATA Volume 2 Nomor 3, November 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v2i3.1013

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crimes, maka perlunya pengaturan dan penerapan perangkat-perangkat hukum yang memadai (proporsional) dan bersifat luar biasa (comprehensive extraordinary measure). Langkah yang tegas dan sanksi yang berat sangat diperlukan untuk memberikan efek jera. Selain mengatur pidana pokok Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga mengatur dengan tegas sanksi pidana tambahan yang dikenakan terhadap pelaku korupsi salah satunya adalah Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu dalam hal ini hak politik memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Akan tetapi mencabutan hak tertentu dalam konteks Hak Politik terpidana kasus korupsi bertentangan dengan aturan di dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang menyatakan beberapa hak yang tidak dapat dikurangi dalam diri manusia salah satunya adalah Hak Memilih dan dipilih pada pemilihan umum.Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi dalam prespektif Hak Asasi Manusia, Bagaimana penerapan penjatuhan sanksi pidana tambahan pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan Bagaimana pengaturan mengenai pencabutan hak politik terpidana kasus korupsi pada masa yang akan datang, Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu Penelitian yang menggunakan bahan-bahan hukum dari penelitian kepustakaan yang dikumpulkan dari bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Pencabutan Hak untuk memilih dan dipilih bagi koruptor tidak melanggar hak asasi manusia karena termasuk dalam kategori derogable rights atau hak yang bisa dilanggar penegak hukum, dalam hal ini hakim yang memutuskan, dalam rangka penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat hal ini sejalan aturan didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Penjatuhan Pidana Tambahan Pencabutan hak memilih dan dipilih tanpa adanya jangka waktu berlakunya vonis pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1 KUHP yang menyatakan mencabut hak tersebut secara utuh, yang seharusnya hanya dibatasi dalam jangka waktu tertentu dan Konsep ideal kedepan ialah perlu adanya pengaturan mengenai pencabutan hak politik terpidana kasus korupsi dengan diberikan  jangka waktu batasan pencabutan hak politiknya menjadi 10 tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya.
TANGGUNG JAWAB HUKUM PEDAGANG BESAR FARMASI TERHADAP DISTRIBUSI OBAT GENERIK KEPADA APOTEK Deddy Deddy; Annalisa Yahanan; Iza Rumesten
Lex LATA Volume 3 Nomor 3, November 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v3i3.1292

Abstract

Peranan Pedagang Besar Farmasi dalam proses distribusi obat ke Apotek sangat dibutuhkan. Supaya kualitas mutu obat tetap terjaga secara baik maka Pemerintah membuat suatu aturan Cara Distribusi Obat Yang Baik. Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis bentuk pengawasan Pedagang Besar Farmasi terhadap distribusi obat generik ke apotek dan menganalisis tanggung jawab Pedagang Besar Farmasi terhadap distribusi obat generik ke apotek yang tidak memenuhi ketentuan petujuk pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan hukum normatif empiris. Proses pelaksanan aturan Cara Distribusi Obat Yang Baik masih ditemukan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sehingga dapat mengakibatkan kerusakan dan menurunnya kualitas mutu obat. Oleh karena itu perlunya pengawasan rutin oleh Pedagang Besar Farmasi secara administrasi agar supaya kegiatan kelembagaan dapat berjalan sesuai harapan. Tanggung jawab Pedagang Besar Farmasi terhadap distribusi obat generik ke Apotek cenderung menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak.
STUDI KOMPARASI TUGAS DAN WEWENANG NOTARIS DI INDONESIA DAN MALAYSIA Rizka Nurliyantika; Ros Amira bt Mohd Ruslan; Iza Rumesten; Muhammad Syahri Ramadhan; Neisa Angrum Adisti
Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Vol 11, No 2 (2022): November 2022
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/rpt.v11i2.2471

Abstract

Kenotariatan mengenal dua stelsel hukum yakni Kontinental dengan sistem Civil Law dan Anglo-Saxon dengan sistem Common Law. Praktik notaris telah berkembang sesuai dengan waktu, tempat serta politik hukum dan kesadaran hukum di negara masing-masing. Indonesia dengan sistem hukum Civil Law, mengatur tugas dan wewenang notaris sesuai Undang-Undang Nomor  2  Tahun  2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Hal ini akan dikomparasikan dengan peraturan terkait Notary Public di Malaysia dalam hal tugas dan wewenang. Malaysia sebagai negara dengan system hukum Common Law memiliki perbedaan dalam mengatur tugas dan kewenangan Notary Public dan hal ini tertuang dalam Notaries Public Act 1959 (Revised 1973). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana pengaturan jabatan notaris di Indonesia dan Malaysia serta bagaimana perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini merupakan penelitian normative yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penelitian hukum normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa perbedaan tugas dan wewenang notaris di Indonesia dan Malaysia berkaitan dengan sistem hukum yg ditetapkan di dalam konstitusi dan disesuikan dengan kondisi masing-masing negara yang salah satunya adalah faktor kolonialisasi. 
PELANGGARAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS TANAH YANG MASIH DALAM PROSES PERSIDANGAN PERKARA PERDATA Machdum Satria; Firman Muntaqo; Iza Rumesten
Lex LATA Volume 4 Nomor 1, Maret 2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v4i1.1299

Abstract

Abstrak:  Tanah merupakan suatu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, dengan adanya kebutuhan tanah yang semakin meningkat serta jumlah manusia yang terus meningkat tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah yang terbatas hal tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan peningkatan terjadinya pelanggaran asas-asas hukum, contohnya seperti yang terjadi di desa Manggul Kabupaten Lahat dimana salah satu pihak pada saat proses persidangan mengalihkan objek sengketa kepada orang lain yang melanggar asas itikad baik. Dalam Permen agraria No. 13 Tahun 2017 terdapat larangan untuk mengalihkan hak atas tanah yang berada dalam status quo/ blokir yaitu pasal 1 Ayat 1. Namun Peraturan Menteri agraria ini hanya mengatur objek hak atas tanah, sedangkan para pihak hanya memiliki bukti kepemilikan berupa SPH. Sehingga timbul sengketa mengenai akibat perbuatan hukum tersebut. permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana pengaturan hak atas tanah yang masih dalam proses persidangan perkara perdata dimasa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif serta teknik penarikan kesimpulan yang digunakan menggunakan metode deduktif, berdasarkan hasil dari penelitian, harus adanya penambahan ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara perdata yang memuat secara tegas adanya larangan peralihan hak atas tanah yang masih dalam sengketa perkara perdata, kemudian karena bukti dari masing-masing pihak berupa SPH maka majelis hakim yang mengadili perkara tersebut memerintahkan para pihak untuk membuat perjanjian antar pihak untuk tidak mengalihkan objek yang sedang dalam proses sengketa.
PENERAPAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM PADA PROSES PENYIDIKAN Annisa Famela; Iza Rumesten
Lex LATA Vol 6, No 2 (2024): JULI 2024
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28946/lexl.v6i2.3116

Abstract

In examining a child in conflict with the law aged under 12 years does not determine the status of a suspect and at the end of this process the judge only gives a determination not a decision so that it raises doubts in the application of the presumption of innocence to the handling of children in conflict with the law who are not yet 12 years old. The problem of this research is how to apply the principle of the presumption of innocence to children who are in conflict with the law aged under 12 years and how the legal protection for children who are in conflict with the law aged under 12 years in the future. This study uses normative legal research. The results of the study show that the application of the principle of the presumption of innocence to children in conflict with the law aged under 12 years can be seen from the fulfillment of children's rights in undergoing the criminal justice process. The judge's determination needs to add consideration to community research reports, professional social worker research reports, as well as evidence to create protection, justice and legal certainty for the parties.
PENERAPAN ASAS PIDANA ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAKAN MALADMINISTRASI YANG MENIMBULKAN KERUGIAN NEGARA DITINJA DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Erry Fajri; Nashriana; Iza Rumesten
JURNAL YURIDIS UNAJA Vol. 1 No. 2 (2018): JURNAL YURIDIS UNAJA
Publisher : Universitas Adiwangsa Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35141/jyu.v6i2.e12

Abstract

Lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan pasca adanya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan kekeliruan dalam penerapan tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, di satu sisi menganggap bahwa hukum administrasilah yang tepat digunakan karena merupakan suatu perbuatan administrasi, di sisi yang lain menganggap bahwa hukum pidanalah yang tepat digunakan karena perbuatan maladministrasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara, sehingga sanksi pidana adalah sarana yang tepat diberikan. Sehingga penulis merumuskan masalah sebagai berikut: apa batasan-batasan dari tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara, dan apakah penerapan Asas pidana Ultimum Remedium terhadap tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yuridis empiris. Batasan-batasan dari tindakan maladministrasi yang menimbulkan kerugian negara adalah sifat perbuatan hukum maladministrasi tersebut, antara perbuatan maladministrasi yang disengaja atau tidak disengaja, penerapan asas pidana Ultimum Remedium dalam hal kaitannya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dipandang adanya keharmonisan dan tidak bertentangan antara norma hukum satu dengan norma hukum lainnya secara horizontal.