Muhammad Ajiseftian Suryatama
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pembaharuan Hukum Keluarga di Iran Muhammad Ajiseftian Suryatama; Syarifuddin; Ali Murtadho
AT-TAKLIM: Jurnal Pendidikan Multidisiplin Vol. 2 No. 4 (2025): At-Taklim: Jurnal Pendidikan Multidisiplin (Edisi April)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/at-taklim.v2i4.225

Abstract

This study aims to describe the renewal of Islamic law in Iran. This study is a normative study with a literature study. The results of the discussion explain that: Family law reform in Iran has undergone significant developments, especially after the 1979 Islamic revolution which made Islamic law the main source of law, replacing previous civil and criminal laws. Family law is regulated in The Civil Code of The Islamic Republic of Iran in 2000, with an emphasis on Shia law. The family protection law enacted in 1967 includes provisions regarding marriage registration, where every marriage must be registered, as well as a minimum age limit for marriage, which is 18 years for men and 15 years for women. Polygamy is strictly regulated, requiring permission from the wife and the court. Although influenced by the Western legal system, Iran still maintains a strong Islamic nuance in law enforcement. The model for establishing family law has gone through a long process, starting from the influence of the Sunni school of thought, the integration of French regulations, to returning to the classical Shia Ja'fariyah fiqh. Increasing recognition of women's rights and dignity, including changes in inheritance laws that provide equal rights for widows and widowers, reflects progress towards gender equality.
Relasi Manusia Dan Hukum Lingkungan Human Relations And Environmental Law Muhammad Ajiseftian Suryatama; Mustar; Surya Sukti
Jurnal Riset Multidisiplin Edukasi Vol. 2 No. 4 (2025): Jurnal Resit Multidisiplin Edukasi (Edisi April 2025)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/jurmie.v2i4.226

Abstract

Law and humans have a close relationship in creating a social order. As God's created beings, man is made up of a body and a spirit, where the spirit plays a role in shaping moral consciousness as well as legal behavior. In its development, law serves not only as a rule that governs human life, but also as a reflection of social and cultural values. The results of the discussion explained: 1) Human beings consist of bodies and spirits, with spirit as a vital element that forms personality and morality. In philosophy, man has the freedom to develop, but still depends on God. The search for spiritual satisfaction is the main goal of finding the meaning of life. 2) Law has two main forms: descriptive (natural phenomena) and prescriptive (regulating human behavior). The philosophy of law examines the basic nature of law, relates to culture and social values, and has various sources, such as God, reason, and legal consciousness. 3) Philosophy in human relations and environmental law seeks to create a sustainable balance between human needs and the preservation of nature, with the aim of achieving human welfare that does not damage the welfare of other living beings and future generations.
KAIDAH-KAIDAH FIKIH DALAM IBADAH: FONDASI KETAATAN YANG SYARIATISTIK Muhammad Ajiseftian Suryatama; Abdul Helim; Syaikhu
AT-TAKLIM: Jurnal Pendidikan Multidisiplin Vol. 2 No. 6 (2025): At-Taklim: Jurnal Pendidikan Multidisiplin (Edisi Juni)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/at-taklim.v2i6.461

Abstract

Ibadah merupakan inti dari kehidupan spiritual dalam Islam yang mencerminkan ketaatan total seorang hamba kepada Allah SWT. Dalam pelaksanaannya, ibadah—terutama yang termasuk kategori ibadah mahdah—harus dilakukan sesuai tuntunan syariat dan tidak boleh direka-reka berdasarkan logika atau kebiasaan belaka. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap kaidah-kaidah fikih yang mengatur bentuk dan batasan ibadah agar tetap sah dan diterima. Artikel ini membahas tiga kaidah utama dalam fikih ibadah mahdah, yaitu: (1) hukum asal ibadah adalah mengikuti tuntunan (al-ashlu fi al-‘ibadat at-tauqif), (2) ibadah tidak sah kecuali ada dalil yang memerintahkannya (al-ashlu fi al-‘ibadat al-butlan hatta yaquma dalil), dan (3) tidak boleh melakukan ibadah sebelum ada dalil (al-ashlu fi al-‘ibadat at-tawaqquf). Ketiga kaidah ini menjadi dasar penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dari praktik bid’ah dan inovasi yang tidak berdasar. Artikel ini juga menyoroti bagaimana kaidah fikih memberikan kemudahan melalui prinsip rukhsah dan darurat dalam situasi tertentu, dengan tetap menjunjung tinggi maqashid syariah. Dilengkapi dengan kutipan ayat Al-Qur’an dan hadis shahih, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam memahami bagaimana Islam 
PEMENUHAN HAK PSIKOLOGIS ANAK YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA PALANGKA RAYA PERSPEKTIF MAQASHID SYARIAH Muhammad Ajiseftian Suryatama; Ibnu Elmi AS Pelu; Abdul Helim
AT-TAKLIM: Jurnal Pendidikan Multidisiplin Vol. 2 No. 6 (2025): At-Taklim: Jurnal Pendidikan Multidisiplin (Edisi Juni)
Publisher : PT. Hasba Edukasi Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.71282/at-taklim.v2i6.503

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran pemerintah dalam memberikan perlindungan psikologis kepada anak korban perdagangan di Kota Palangka Raya. Menggunakan pendekatan empiris, penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen. Hasil penelitian memaparkan: Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan psikologis kepada anak korban perdagangan di Kota Palangka Raya sangat krusial dan melibatkan berbagai aspek, termasuk pengembangan kebijakan komprehensif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, sesuai dengan hak asasi manusia yang melekat pada anak-anak di bawah 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penyediaan layanan rehabilitasi psikologis yang mencakup konseling dan terapi harus diutamakan dengan akses yang mudah dan gratis, sementara peningkatan kesadaran masyarakat melalui kampanye edukasi dan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat penting untuk memperkuat dukungan bagi anak-anak korban. Selain itu, pelatihan bagi tenaga profesional seperti pendidik dan petugas sosial diperlukan untuk mengenali dan menangani trauma yang dialami anak-anak. Dalam konteks maqashid syariah, perlindungan terhadap lima aspek utama agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta harus diterapkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, membantu anak-anak pulih dari trauma dan membangun masa depan yang lebih baik.
Analisis Pemikiran Childfree Dalam Perspektif Qiyas: Studi Kritis Terhadap Keputusan Tidak Memiliki Anak Muhammad Ajiseftian Suryatama; Syarifuddin
Kartika: Jurnal Studi Keislaman Vol. 5 No. 2 (2025): Kartika: Jurnal Studi Keislaman (Agustus)
Publisher : Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPT NU) PCNU Kabupaten Nganjuk

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59240/kjsk.v5i2.211

Abstract

This study critically examines the contemporary phenomenon of childfree through the perspective of Islamic legal reasoning, particularly the method of qiyas (analogical deduction). In modern discourse, the decision to remain childfree is often regarded as an individual right and a matter of personal autonomy. However, within the framework of Islamic law, marriage is not solely a personal contract but also a social and religious institution that upholds the objectives of the maqashid shari’ah, one of which is the preservation of lineage (hifzh al-nasl). This research draws an analogy between the childfree lifestyle and classical Islamic practices such as ‘azl (coitus interruptus) and contraception, while analyzing their similarities and differences. Using a normative qualitative approach, the study evaluates the implications of childfree on the fulfillment of spousal rights and the realization of the essential purposes of marriage. The findings indicate that a permanent choice to remain childfree, if made unilaterally and without mutual consent, risks neglecting core marital objectives and disrupting the balance of rights and obligations between spouses. Therefore, adopting a childfree lifestyle within an Islamic framework requires mutual agreement, comprehensive understanding, and careful consideration of its legal, ethical, and social consequences.