Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISIS PENANGANAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BABY LOBSTER DI KPPBC TMP JUANDA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 760/PID.B/2023/PN SDA) Suantono; M. Syahrul Borman; Dudik Djaja Sidharta; Irawan Soerodjo
Semarang Law Review (SLR) Vol. 6 No. 1 (2025): April
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/slr.v6i1.11660

Abstract

This research aims to analyze the handling of baby lobster smuggling crimes that occur in the KPPBC TMP Juanda working area, with a focus on the case study of Decision Number 760/Pid.B/2023/PN Sda. Misuse of fisheries resources, such as baby lobster smuggling, has significantly impacted the marine ecosystem and the national economy, especially for fishermen. This study evaluates the implementation of the law applied, the obstacles faced by law enforcement officers, as well as the effectiveness of law enforcement in this case. The results showed that the defendant, Andy Dewi Hardianto, was proven to have violated Article 102A letter a of the Customs Law and Article 55 paragraph (1) to 1 of the Criminal Code for smuggling more than 50,000 lobster seeds without valid customs documents. The Panel of Judges imposed a sentence of two years imprisonment and a fine of Rp500,000,000, with a provision for two months' imprisonment. The main obstacles in handling this case include weak supervision, limited apparatus resources, and the complexity of the international smuggling network.   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penanganan tindak pidana penyelundupan baby lobster yang terjadi di wilayah kerja KPPBC TMP Juanda, dengan fokus pada studi kasus Putusan Nomor 760/Pid.B/2023/PN Sda. Penyalahgunaan sumber daya perikanan, seperti penyelundupan baby lobster, telah memberikan dampak negatif signifikan terhadap ekosistem laut dan perekonomian nasional, khususnya bagi para nelayan. Studi ini mengevaluasi implementasi hukum yang diterapkan, hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum, serta efektivitas penegakan hukum dalam kasus ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdakwa, Andy Dwi Hardianto, terbukti melanggar Pasal 102A huruf a Undang-Undang Kepabeanan dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atas penyelundupan lebih dari 50.000 benih lobster tanpa dokumen pabean yang sah. Majelis Hakim menjatuhkan pidana dua tahun penjara dan denda Rp500.000.000, dengan ketentuan pengganti kurungan dua bulan. Kendala utama dalam penanganan kasus ini meliputi lemahnya pengawasan, keterbatasan sumber daya aparat, dan kompleksitas jaringan penyelundupan yang bersifat internasional.
LEGAL STANDING PERLINDUNGAN SAKSI DIKAITKAN DENGAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA KASUS (RICARD ELIEZER) Muhammad Alif Akbari; Irawan Soerodjo; Syahrul Borman; Dudik Djaja
JURNAL MULTIDISIPLIN ILMU AKADEMIK Vol. 2 No. 5 (2025): Oktober
Publisher : CV. KAMPUS AKADEMIK PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61722/jmia.v2i5.6168

Abstract

Abstrak. Crown witnesses are allowed because they aim to achieve public justice, but some argue that the use of crown witnesses is not allowed because it is contrary to the defendant's human rights and sense of justice. Crown witnesses are different from Justice Collaborators. The Head of the Witness and Victim Protection Agency (LPSK), Abdul Haris Semendawai, said that unlike Crown Witnesses whose implementation is considered to violate human rights, Justice Collaborators are actually given in order to uphold human rights in the criminal justice process as recommended in a number of international conventions. The objectives of this study are: To analyze and explain the Legal Standing of Witness Protection in relation to Legislation in the Case (Ricard Eliezer). To analyze and explain the Form of Legal Protection for Witnesses according to Law Number 31 of 2014 concerning Protection of Witnesses and Victims.Conclusion That the criteria for someone to meet the qualifications as a Justice Collaborator in a premeditated murder case (Richard Eliezer's case study) is first the defendant is one of the perpetrators of a particular crime, second he is not the main perpetrator in the crime. Third Richard Eliezer During the trial, the judge considered that Richard Eliezer was always cooperative and admitted the actions he had committed that he was the perpetrator of the Premeditated Murder. Fourth, providing assistance to law enforcement officers, the information and evidence provided by the Justice Collaborator must be significant and help uncover the crime. Fifth, the Public Prosecutor in his charges stated that the person concerned had provided significant information and evidence so that investigators and/or public prosecutors could uncover the crime in question effectively. that in Law Number 31 of 2014 concerning the protection of witnesses and victims provides protection and assistance to witnesses and victims. The protection in question is a form of action that provides shelter and protection for someone in need where he feels safe from the threats around him. Legal protection for Witnesses Who Cooperate (Justice Collaborators) as regulated in the Law on Protection of Witnesses and Victims, namely: Physical and psychological protection, Legal protection, special handling and finally receiving awards, has been implemented by the Witness Victim Protection Agency (LPSK) in accordance with applicable provisions. Keywords: Legal Standing, Witness Protection Abstrak. Saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya keadilan publik, namun sebagian berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Saksi mahkota berbeda dengan Justice Collaborator. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menyebutkan, berbeda dengan Saksi Mahkota yang penerapannya dinilai melanggar hak asasi manusia, Justice Collaborator justru diberikan dalam rangka menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana sebagaimana dianjurkan dalam sejumlah konvensi internasional. Tujuan penelitian ini adalah : Untuk menganalisis dan menjelaskan Legal standing Perlindungan Saksi dikaitkan Dengan Perundang-Undangan Pada Kasus (Ricard Eliezer). Untuk menganalisis dan menjelaskan Bentuk Perlindungan hukum saksi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kesimpulan Bahwa Kriteria seseorang dapat memenuhi Kualifikasi sebagai Justice Collaborator dalam kasus tindak pidana pembunuhan berencana (studi kasus Richard Eliezer) adalah pertama terdakwa adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang kedua ia bukanlah pelaku utama dalam tindak pidana tersebut. Ketiga Richard Eliezer Pada saat persidangan berlangsung hakim menganggap bahwa Richard Eliezer selalu bersikap kooperatif dan mengakui perbuatan yang telah dilakukannya bahwa dirinya merupakan Pelaku dari Tindak Pidana Pembunuhan Berencana. Keempat, memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum, Keterangan dan bukti yang diberikan oleh Justice Collaborator haruslah bersifat signifikan dan membantu mengungkap tindak pidana tersebut. Kelima, Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif. bahwa Pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban. Perlindungan yang dimaksud merupakan bentuk perbuatan yang memberikan tempat berlindung dan perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan dimana ia merasa aman terhadap ancaman disekitarnya. Perlindungan hukum terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator ) seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan korban yaitu seperti: Perlindungan fisik dan psikis, Perlindungan hukum, penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan, telah dilaksanakan lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kata Kunci: Legala Standing, Perlindungan Saksi
KEKUATAN HUKUM HASIL AUTOPSI SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM DELIK PEMBUNUHAN M. Alvan Nur Rosyid; M. Syahrul Borman; Irawan Soerodjo; Sri Astutik
Journal of Innovation Research and Knowledge Vol. 5 No. 4: September 2025
Publisher : Bajang Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

: Autopsi merupakan salah satu alat bukti yang memiliki kekuatan hukum yang signifikan dalam proses pembuktian dalam perkara delik pembunuhan. Hasil autopsi memberikan analisis ilmiah tentang jenis luka, sebab kematian, dan hubungan sebab-akibat dengan tindakan tersangka. Meskipun memiliki peran yang vital, hasil autopsi juga memiliki keterbatasan, seperti potensi kesalahan dalam pelaksanaannya atau interpretasi yang berbeda dari ahli. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kekuatan hukum hasil autopsi dalam mendukung proses pembuktian dalam delik pembunuhan dan untuk menilai bagaimana hasil tersebut dapat mempengaruhi proses peradilan. Hasil otopsi memiliki kekuatan hukum yang signifikan sebagai alat bukti sah dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam kasus pembunuhan. Sebagai keterangan ahli, hasil otopsi dapat menjadi bukti yang memperkuat atau membantah penyebab kematian korban. Otopsi harus dilakukan oleh ahli yang kompeten, dan prosedurnya harus sesuai dengan ketentuan hukum untuk dianggap sah dan memiliki nilai pembuktian yang kuat. Otopsi berperan penting dalam menentukan penyebab kematian korban dalam kasus pembunuhan. Melalui pemeriksaan medis yang menyeluruh, otopsi dapat mengungkap jenis kekerasan yang dialami korban, serta memberikan petunjuk tentang apakah kematian tersebut disebabkan oleh tindak kekerasan yang disengaja atau tidak. Hasil otopsi menjadi bukti yang sangat berharga dalam pembuktian delik pembunuhan, cara pembunuhan, dan apakah ada perencanaan di balik tindakan tersebut.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN HUKUM UPAH MINIMUM DI INDONESIA Mohammad Setyo Puji Raharjo; Syahrul Borman; Dudik Djaja Sidarta; Irawan Soerodjo
Media Bina Ilmiah Vol. 19 No. 11: Juni 2025
Publisher : LPSDI Bina Patria

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Persoalan terkait upah cukup sering menjadi salah satu pemicu putusnya hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja/buruh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) perfebruari 2024 terdapat 47,13% buruh atau karyawan atau pegawai memperoleh upah bulanan dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Kebijakan Penetapan UMK merupakan salah satu upaya perlindungan hukum bagi warga negaranya khususnya dalam hal ini pekerja/buruh terkait adanya kemungkinan terjadi kesenjangan penerapan UMK. Kesenjangan antara das sollen (keharusan) dan das sain (kenyataan) dalam implementasi pembayaran upah pekerja/buruh dapat merugikan pekerja/buruh juga berpengaruh pada produktivitas kerja mereka. Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah sebagai upaya dalam memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya khususnya dalam hal ini pekerja/buruh. Dalam pelaksanaan perlindungan hukum atas upah, dilakukan melalui Upaya litigasi dan non litigasi. Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 memberbolehkan pengusaha membayar dibawah Upah Minimum yang menyebabkan teori kepastian hukum dan teori keadilan tidak terpenuhi. Regulasi yang membolehkan upah lebih rendah berpotensi menimbulkan kesenjangan kesejahteraan pekerja di sektor berbeda, mengurangi perlindungan hukum bagi buruh UMK, serta membuka peluang eksploitasi tenaga kerja, yang bertentangan dengan prinsip dasar hukum ketenagakerjaan yang seharusnya menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja.