Ibadah keluarga merupakan elemen penting dalam pembentukan spiritual warga jemaat GKI, khususnya dalam lingkup komunitas kecil. Di Rayon 6 GKI Rut Lidia, tradisi ini dijaga dengan baik melalui pertemuan rutin mingguan. Namun, praktik pengedaran sejumlah kantong persembahan selama ibadah—meliputi persembahan umum, diakonia, pembangunan, dan "Aksi Seribu" menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap kekhusyukan ibadah dan kenyamanan jemaat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah jumlah kantong persembahan memengaruhi kekhusyukan ibadah serta apakah praktik tersebut masih relevan dalam konteks liturgi dan spiritualitas masa kini. Dengan menggunakan desain survei kuantitatif korelasional, data dikumpulkan dari 72 responden melalui kuesioner skala Likert. Uji-t dua sampel independen dilakukan untuk melihat perbedaan tingkat kekhusyukan ibadah antara dua kelompok: mereka yang hanya hadir tiga kali dalam enam bulan terakhir (rata-rata = 3,2) dan mereka yang hadir lebih dari enam kali (rata-rata = 4,2). Hasil uji menunjukkan nilai t sebesar ±4,53 dan nilai p < 0,001, menandakan perbedaan yang signifikan dalam persepsi kekhusyukan. Temuan menunjukkan bahwa jemaat yang hadir secara rutin tetap mampu menjaga kekhusyukan ibadah meskipun terdapat rutinitas administratif berupa pengedaran beberapa kantong persembahan. Secara teologis, persembahan dipandang sebagai tindakan penyembahan yang dilakukan dengan sukacita, bukan sebagai kewajiban yang membebani (2 Korintus 9:7). Studi ini menyimpulkan bahwa jumlah kantong persembahan tidak secara signifikan mengganggu kekhusyukan ibadah apabila didukung oleh pemahaman spiritual yang kuat dan transparansi dalam praktik keuangan gereja. Hasil ini mendorong gereja untuk mengevaluasi tata cara ibadah secara kontekstual tanpa mengorbankan kedalaman spiritual.