Transformasi ruang publik di kawasan wisata heritage kerap menekankan estetika dan ekonomi, namun seringkali mengabaikan makna sosial ruang bagi masyarakat lokal. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai bagaimana ruang yang dulunya bersifat inklusif dan komunal kini berubah menjadi ruang konsumsi yang terkontrol. Di Kota Lama Surabaya, proses revitalisasi menunjukkan gejala eksklusi simbolik dan fisik terhadap warga lokal, namun kajian terkait pengalaman dan makna ruang dari sudut pandang masyarakat masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana masyarakat lokal memaknai perubahan ruang publik pasca-revitalisasi, serta bagaimana mereka menegosiasikan ruang dengan narasi dominan pariwisata. Permasalahan utama yang diangkat adalah pergeseranmakna ruang dari fungsi sosial menjadi simbol representatif wisata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena memungkinkan eksplorasi mendalam atas pengalaman subjektif warga, praktik sosial, dan relasi kuasa yang membentuk ruang. Landasan teori yang digunakan adalah teori produksi sosial ruang dari Henri Lefebvre, yang memandang ruang sebagai produk dari interaksi sosial dan kekuasaan. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis wacana kritis. Hasil menunjukkan bahwa revitalisasi menghasilkan keterasingan warga dari ruang yang dulunya milik bersama, meskipun ada bentuk resistensi dan adaptasi komunitas. Penelitian ini terbatas pada lokasi dan aktor tertentu, sehingga studi selanjutnya disarankan memperluas konteks geografis dan mengkaji pengalaman kelompok rentan. Rekomendasi penelitian menekankan pentingnya partisipasi warga dalam perencanaan ruang publik agar revitalisasi tidak menimbulkan eksklusi, melainkan memperkuat makna kolektif dan keberlanjutan sosial.