Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan kepastian hukum dalam perdagangan internasional, di mana arbitrase menjadi mekanisme utama penyelesaian sengketa karena menawarkan kecepatan, kerahasiaan, dan finalitas putusan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 dan mengatur arbitrase melalui UU No. 30 Tahun 1999, praktik di lapangan menunjukkan disharmoni antara hukum nasional dan standar internasional, terutama terkait pengakuan serta pembatalan putusan arbitrase asing. Melalui pendekatan penelitian hukum normatif dengan metode statute approach dan comparative approach, penelitian ini mengkaji Putusan Mahkamah Agung No. 169 K/Pdt.Sus-Arbt/2017 serta membandingkan kerangka arbitrase Indonesia dengan English Arbitration Act 1996 dan Konvensi New York 1958. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MA menegaskan prinsip finality, seat of arbitration, dan limited judicial intervention dengan menyatakan bahwa pengadilan Indonesia tidak berwenang membatalkan putusan arbitrase asing. Putusan tersebut sejalan dengan hukum arbitrase internasional dan memperkuat kepastian hukum bagi pelaku usaha lintas negara. Namun, penelitian juga menemukan kelemahan regulatif dan implementatif, seperti mekanisme exequatur yang berbelit, penafsiran public policy yang terlalu luas, dan inkonsistensi pemahaman yudisial. Kesimpulan penelitian menegaskan bahwa Indonesia perlu menyelaraskan hukum arbitrase nasional dengan standar internasional melalui reformasi regulasi, penguatan kapasitas hakim, dan harmonisasi interpretasi hukum demi menciptakan sistem arbitrase yang efisien, modern, dan kompetitif secara global