Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

EKSISTENSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA Suasono, Edy
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 9, No 2 (2025): VOLUME 9 NUMBER 2, JULY 2025
Publisher : Faculty of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v9i2.93179

Abstract

Abstract The Constitutional Court Decision Number 90/PUU-XXI/2023 has sparked controversy by allowing vice-presidential candidates under 40 to contest in the 2024 Presidential Election. The Court granted the judicial review of Article 169 letter q of Law Number 7 of 2017 by adding a clause that broadens the interpretation of the age requirement. This study employs a normative legal method with statutory, conceptual, and comparative approaches to analyze the legal standing of the petitioner, the independence of constitutional judges, and the consistency of the Court's decision-making. The findings indicate that the petitioner lacked sufficient legal standing, the decision-making process was politically motivated, and the Constitutional Court was inconsistent with its prior rulings. Therefore, the decision can be legally flawed from a constitutional law perspective. Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 menuai kontroversi karena membuka ruang bagi calon wakil presiden yang belum berusia 40 tahun untuk maju dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024. Permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 dikabulkan MK dengan penambahan frasa yang memperluas tafsir batas usia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara kritis melalui perspektif hukum tata Negara. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif untuk menganalisis aspek legal standing pemohon, independensi, dan konsistensi hakim MK dalam pengambilan putusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemohon tidak memiliki legal standing yang kuat, proses pengambilan putusan sarat kepentingan politik, dan MK inkonsisten terhadap putusan sebelumnya. Oleh karena itu, secara teori hukum tata negara, putusan ini dapat dinilai cacat secara hukum.
PERAN KEPOLISIAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN (STUDI DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK KEPOLISIAN RESOR KOTA PONTIANAK Haryono, Agus; Ismawati, Sri; Suasono, Edy
Nestor : Tanjungpura Journal of Law Vol 1, No 2 (2023)
Publisher : Faculty Of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/nestor.v1i2.71512

Abstract

Abstrak Penelitian ini membahas peran Polresta Pontianak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan beserta hambatan yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh Polresta Pontianak agar dapat secara maksimal memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan.Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif.Dari hasil penelitian didapatkan temuan bahwa peran Polresta Pontianak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan terutama dilakukan melalui Unit PPA dengan menempatkan polisi wanita sebagai "ujung tombak" untuk menanganinya sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2007. Kurangnya jumlah personil di Unit PPA, tidak adanya psikolog khusus serta ruang khusus dan rumah aman, kurangnya alat bukti pada kasus pencabulan anak, adanya korban yang mencabut laporan serta pemberian bantuan hukum yang tidak efektif merupakan hambatan-hambatan yang dihadapi Polresta Pontianak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan. Upaya preventif dengan sosialsisasi dan koordinasi dengan berbagai pihak serta upaya represif adalah bentuk upaya Polresta Pontianak memaksimalkan upaya
Politik Hukum Terhadap Masyarakat Dilarang Memberi Uang Kepada Pengemis (Studi Kasus : Kota Pontianak, Kalimantan Barat) Aprilsesa, Tri Dian; Suasono, Edy; Aminah, Siti; Abunawas, Abunawas
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 5 (2023): Innovative: Journal of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada dasarnya pemerintah Kota Pontianak sudah berupaya untuk melakukan sosialisasi penertiban umum terhadap masyarakat untuk tidak memberi uang pada pengemis dan pengamen di beberapa titik di Kota Pontianak. Tetapi masih banyak masyarakat memberi uang ke pengemis dan gelandangan tidak dikenakan sanksi denda atau administrasi. Penelitian ini bersifat deskriptif. Sumber datanya menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh melalui proses wawancara dan dokumentasi. Pelaksanaan Pasal 42 Huruf e Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum Dan Perlindungan Masyarakat masih belum terlaksana sepenuhnya. Jika masyarakat masih memberi uang kepada pengemis dan pengamen maka semakin banyak pula pengamen dan pengemis di tempat-tempat umum di Kota Pontianak karena mereka merasa sebagai pengemis dan pengamen sebuah pekerjaan yang mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Diharamkan bagi mengeksploitasi orang untuk meminta-minta ataupun mengamen. Dan bagi pemberi, haram memberi kepada peminta-minta di jalanan dan ruang publik karena itu mendukung pihak yang mengeksploitasi pengemis serta tidak mendidik karakter yang baik untuk warga negara. Upaya yang diharapkan pemerintah lebih bijak lagi untuk menegakkan aturan yang ada kepada masyarakat yang memberi uang pada pengemis dan pengamen agar fenomena sosial ataupun masalah sosial berupa pengamen dan pengemis tidak semakin berkembang.
KAJIAN TEORITIS TERHADAP DISKRESI DALAM UU NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN. Suasono, Edy; Saptomo, Priyo; Annisa, Dwi
Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran Vol. 7 No. 2 (2024): Volume 7 No. 2 Tahun 2024
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jrpp.v7i2.28339

Abstract

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No 30 Th 2014) pasal 25 ayat (1) daikatakan bahwa Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kemudian dalam ayat (3) nya ditegaskan dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahanwajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menimbulkan permasalahan “Apakah pengaturan Diskresi dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 sudah mencerminkan maksud dan tujuannya”. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual. Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 dalam pasal 22 (1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang dan dalam ayat (2) di tegaskan bahwa setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dari bunyi ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa dengan adanya kewajiban mengajukan permohonan terlebih dahulu bagi pajabat Pemerintah yang berwenang untuk mengeluarkan diskresi ini menunjukkan bahwa kewenangan diskresi yang ada pada badan atau pejabat Pemerintah tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan diskresi.
MEKANISME PENJATUHAN SANKSI PEMBERHENTIAN NOTARIS DENGAN TIDAK HORMAT Anugerah, Fahmi Mahdi; Azizurrahman, Syarif Hasyim; Suasono, Edy
Tanjungpura Acta Borneo Jurnal Vol 2, No 1 (2023): Volume 2, Issue 1, October 2023
Publisher : Faculty Of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tabj.v2i1.66703

Abstract

AbstractThe purpose of this research is to explain the mechanism for imposing sanctions for dishonorable discharge and to analyze the considerations of the Notary Supervisory Board in imposing sanctions for Disrespectful Dismissal. The research method used is an empirical juridical research method. The data collection technique used in this research is secondary data. The results of the research are that the mechanism for imposing sanctions for dishonorable dismissal starts from an examination carried out by the Regional Examining Council, the results will be submitted to the Regional Supervisory Council and will be re-examined by the Regional Examining Council, and the Regional Supervisory Council proposes sanctions for Disrespectful Dismissal to the Central Supervisory Council, then it will The proposal for dismissal is re-examined by the Central Auditing Council, and after that the Central Supervisory Council submits a proposal for the sanction of Disrespectful Dismissal to the Minister of Law and Human Rights for decision. Things that are taken into consideration by the Notary Supervisory Board in imposing sanctions for Disrespectful Dismissal are violations of the notary's obligations and prohibitions as well as the presence of criminal elements in the violations committed by the notary.  Abstrak  Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana mekanisme penjatuhan sanksi pemberhentian tidak hormat dan menganalisis pertimbangan Majelis Pengawas Notaris dalam menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Hormat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Hasil penelitian adalah mekanisme penjatuhan sanksi pemberhentian tidak hormat dimulai dari pemeriksaan yang dilakukan Majelis Pemeriksa Daerah, hasilnya akan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan akan diperiksa kembali oleh Majelis Pemeriksa Wilayah, dan Majelis Pengawas Wilayah mengusulkan sanksi Pemberhentian Tidak Hormat kepada Majelis Pengawas Pusat, selanjutnya akan diperiksa kembali usulan pemberhentian tersebut oleh Majelis Pemeriksa Pusat, dan setelah itu barulah Majelis Pengawas Pusat memberikan usulan sanksi Pemberhentian Tidak Hormat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diputuskan. Hal yang menjadi pertimbangan Majelis Pengawas Notaris dalam penjatuhan sanksi Pemberhentian Tidak Hormat adalah adanya pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan notaris serta adanya unsur pidana dalam pelanggaran yang dilakukan notaris.
URGENSI PENGUATAN PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN HAKIM DI INDONESIA Jasmi, Muhammad; Suasono, Edy
Tanjungpura Legal Review Vol 2, No 1 (2023): Tanjungpura Legal Review
Publisher : Faculty of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlr.v2i1.73071

Abstract

AbstractThe Judicial Commission was born in the reform era when the third amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in 2001 coincided with the Regional Representative Council and the Constitutional Court, although the Judicial Commission is a new institution, its existence has very strong legal justification because it is strictly regulated in the Law. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and its authority are granted by the constitution, so that it has a very strong position. However, the authority of the Judicial Commission tends to be incomplete because it still requires further action from other institutions. For example, in the selection of candidates for Supreme Court justices, the Judicial Commission has the duty and authority to propose candidates for Supreme Court justices. However, in the end the Judicial Commission's proposal was still rejected by the People's Representative Council (DPR). In practice, the House of Representatives (DPR) once disapproved of names proposed from the selection results of the Judicial Commission, even though a number of prominent community figures were involved in the selection process.Based on the above, the research method in this study is normative legal research. Normative legal research is legal research conducted by examining literature or secondary data. In addition to using library materials, this research also uses a statutory approach. The statutory approach (statute approach) is usually used to examine statutory regulations which in their norms still lack or even foster deviant practices both at the technical level and in practice in the field.The conclusion obtained in this study is that the Judicial Commission is a state institution mandated by the 1945 Constitution which has the authority to maintain and uphold the dignity, honor, nobility and also the behavior of judges. The Judicial Commission as a State institution whose duties are related to judicial power which is "Authorized to propose the appointment of Supreme Court Justices and other authorities in the context of protecting and upholding the honor, dignity and behavior of judges". The Judicial Commission in Indonesian constitutional law needs to be strengthened immediately. This is because the existence of the Judicial Commission has a strong position as a judge supervisory institution. Therefore, strengthening the authority of the Judicial Commission must be stated in the 5th amendment to the 1945 Constitution.    Abstrak  Komisi Yudisial lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 bersamaan dengan Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi, walaupun Komsi Yudisisal adalah lembaga baru, namun keberadaannya mempunyai justifikasi hukum yang sangat kuat karena diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan kewenanganya diberikan oleh konstitusi, sehingga mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Namun kewenangan Komisi Yudisial cenderung tidak sekali selesai karena masih membutuhkan tindakan lanjutan dari lembaga lain. Misalnya, dalam seleksi calon hakim agung, Komisi Yudisial bertugas dan berwenang mengusulkan calon hakim agung. Namun pada akhirnya usulan Komisi Yudisial masih dapat ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Prakteknya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah tidak menyetujui nama-nama yang diusulkan dari hasil seleksi Komisi Yudisial meskipun dalam proses seleksi itu telah diikutsertakan sejumlah tokoh masyarakat terkemuka.  Berdasarkan hal diatas, metode penelitian pada penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Selain menggunakan bahan-bahan kepustakaan, penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan. Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini ialah Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki wewenang dalam menjaga dan menegakan suatu martabat, kehormatan, keluhuran dan juga perilaku hakim. Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara yang tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang "Berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, martabat serta perilaku hakim". Komisi Yudisial dalam hukum ketatanegaraan Indonesia perlu diperkuat dengan segera. Hal ini dikarenakan keberadaan Komisi Yudisial memiliki kedudukan yang kuat sebagai lembaga pengawas hakim. Maka dari itu penguatan kewenangan Komisi Yudisial harus tercantum dalam amandemen ke-5 UUD Tahun 1945.
EFISIENSI PENGAWASAN INTERNAL TERHADAP MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI Rizal, Ahmad; Patra, Rommy; Suasono, Edy
Tanjungpura Legal Review Vol 2, No 2 (2024): Tanjungpura Legal Review
Publisher : Faculty of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlr.v2i2.77756

Abstract

AbstractBased on Law Number 7 of 2020 concerning the Third Amendment to Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, the Constitutional Court is obliged to establish a supervisory institution, namely the Constitutional Court Honorary Council (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/MKMK). This paper aims to analyze the efficiency of the MKMK as an internal supervisory institution for the Constitutional Court. The method used is a normative legal research method with descriptive analytical-case study research characteristics. The results of the analysis showed that MKMK was inefficient. There are two things that cause the MKMK to be inefficient, which are the spirit of defending fellow corps (espritde corps) which results in the passing of the law being disproportionate to the deeds and the MKMK as a supervisory institution in fact does not have effectiveness is due to its ad hoc nature. MKMK as a supervisory institution for constitutional judges would be better off being an independent institution so that it is free from the influence of the Constitutional Court itself. The MKMK working mechanism is still tied to the Constitutional Court, such as the formation of the MKMK, the element of Constitutional Court judges in the MKMK also causes the MKMK to appear to be taking a long time in carrying out its duties as a supervisory institution.  AbstrakBerdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk membentuk lembaga pengawas yaitu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi MKMK sebagai lembaga pengawas internal Mahkamah Konstitusi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normative dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Hasil analisis didapatkan bahwa MKMK tidak efisien. Terdapat dua hal yang menyebabkan MKMK tidak efisien, yaitu adalah semangat membela sesama korps (espritde corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukum tidak seimbang dengan perbuatan dan MKMK sebagai lembaga pengawas nyatanya tidak memiliki kefektivitasan disebabkan sifatnya selama ini ad hoc. MKMK sebagai lembaga  pengawas hakim konstitusi ada baiknya menjadi lembaga yang independen sehingga bebas dari pengaruh MK itu sendiri. Mekanisme kerja MKMK yang masih terikat pada MK seperti pembentukan MKMK, unsur hakim MK dalam MKMK juga menyebabkan MKMK terkesan lama dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas.