Pasca orde baru pada tahun 1998 berlakunya otonomi daerah, mengharuskan tiap-tiap daerah untuk melakukan pemberdayaan. Dimensi itu menjadi celah dalam demokratisasi lokal untuk melakukan dominasi kekuasaan politik lokal, yang pada tujuan utamanya adalah melakukan upaya yang mempusatkan pada kekuatan simbolis sebagai upaya dalam penguatan harmonisasi antar etnis bukan sebaliknya melakukan dominasi kekuasaan untuk etnis tertentu saja bahkan menguasai sumber daya ekonomi di daerah tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif. Studi literatur digunakan terutama untuk menelusuri perkembangan politisasi identitas dalam politik pemilu dengan harmonisasi antar etnis.Kenyataan di lapangan hasil demokratisasi politik lokal menggambarkan para aktor (kelompok) etnis tertentu sebagai penguasa yang memiliki wewenang dalam pengelolaan baik kepentingan maupun kebijakan daerah masih  jauh apa yang diharapkan dalam pengelolaan harmonisasi antar etnis cenderung mengesampingkan istilah etnis pendatang, inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik baik konflik kepentingan maupun konflik antar etnis akibat kesenjangan itu. Maka dari itu, peran kelompok etnik tertentu yang memenangi konstestasi politik local memiliki kesadaran dalam membangun harmonisasi antar etnis.Pada dasarnya etnisitas aktor yang dominan akan menunjukan respeknya dan terbangunnya relasi antar aktor etnis untuk membangun kebersamaan, apabila actor merasa memiliki kuasa atas praktek yang dilakukan sehingga diperlukan membangun komunikasi bersama dan menjalin strategi bersama membangun daerah dalam mewujudkan politik local yang dinamis dan mencerminkan multikulturalisme.