LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
1,647 Documents
EKSISTENSI AZAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN FIDUSIA
Christian, I Dewa Made Alfredo
LEX CRIMEN Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana azas itikad baik dalam perjanjian fudisia dan bagaimana perlindungan hukum pada perjanjian dengan jaminan fidusia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Asas itikad baik menjadi salah satu instrument hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Persoalan itkad baik dalam perjanjian kontrak fidusia dapat dilihat dengan proses pengikatan kredit kendaraan bermotor. 2. Dalam perjanjian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikkannya diahlikan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Kata kunci: Asas itikad baik, perjanjian, fidusia
TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA PASAL 156a
Wungkana, Leonard Reynold
LEX CRIMEN Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perumusan ketentuan delik penodaan terhadap agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan bagaimana penerapan delik penodaan terhadap agama dalam praktek peradilan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perumusan ketentuan delik penodaan terhadap agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimasukkan dalam kelompok kejahatan penghinaan, karena penodaan disini mengandung sifat penghinaan, melecehkan, meremehkan dari suatu agama. Karena itu menyakitkan perasaan bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan, sehingga unsur hal ini memenuhi unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 156a KUHPidana yang terdiri dari: (1) Melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan, dan (2) di muka umum. 2. Dalam praktek peradilan terkait dengan delik penodaan terhadap agama yang sering menjadi kesulitan adalah istilah penodaan terhadap agama sesungguhnya sangat abstrak sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mainstream yang menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik agamanya. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang bisa dipahami secara sepihak. Hal ini juga harus diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan mana yang termasuk delik penodaan terhadap agama dan sebaliknya. Kata kunci: Tindak Pidana, Penodaan Agama.
PERAN JAKSA TERHADAP ASSET RECOVERY DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Imbar, Magie Regina
LEX CRIMEN Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana upayaasset recovery di Indonesia dan bagaimana penanganan serta peran jaksa terhadap asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat disimpulkan: 1. Perkembangan upaya asset recovery di Indonesia dimulai dengan adanya Peraturan Penguasa Perang Pusat No.PRT/PEPERPU/013/1958 dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, selain itu juga termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 beserta perubahannya, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Selain peraturan perundang-undangan upaya asset recovery juga dilakukan dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan StARInitiatives. Upaya penting lainnya yaitu dengan Mutual Legal Assitance untuk membantu asset recovery yang ada di luar negeri. Adapun langkah progresif yang diambil pemerintah Indonesia saat ini terkait dengan asset recovery yaitu adanya RUU Perampasan Aset. 2. Penanganan asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang terbagi dalam lima tahapan penting. Asset recovery dalam tindak pidana pencucian uang juga diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2013. Jaksa memiliki kewenangan dalam setiap tahapan asset recovery. Dalam KUHAP juga disebutkan tugas jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Pada perkembangannya kejaksaan membentuk Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk membantu penanganan asset recovery baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kata kunci: Jaksa, asset recovery, pencucian uang.
PERAN APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA
Lantapon, Garry T.
LEX CRIMEN Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tindakan aparatur sipil Negara terhadap tindak pidana korupsi menurut undang-undang no. 5 tahun 2014 dan bagaimana peran aparatur sipil negara (ASN) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Dengan adanya Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dapat dilihat tentang sikap dan tindakan aparatur sipil Negara terhadap tindak pidana korupsi. kepegawaian negara yang disebut dengan istilah “aparatur sipil Negara†(selanjutnya ASN),mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawaipemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pembahasan tentangASN merupakan bagian dari manajemen kepegawaian negara di bawah kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI1945). ASN adalah penyelenggara negarayang terdapat dalam semua lini pemerintahan. Pelaksana kegiatan administrasi negaradilaksanakan oleh ASN sebagai sumber daya manusia penggerak birokrasi pemerintah. 2. Dalam mewujudkan sebuah strategi pemberantasan tindak pidana anti korupsi yang efektif dan terstruktur oleh aparatur sipil negara dibutuhkan pemenuhan “peran†serta prasyarat sebagai berikut : Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yang kuat dan muncul dari kesadaran sendiri, Menyeluruh dan seimbang. Transparan dan bebas dari konflik kepentingan. Menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS. Mengsosialisasikan dampak dari perilaku tindak pidana korupsi, dan Serta mempunyai niat, semangat dan komitmen melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Selain dari pada itu, aparatur sipil Negara tentunya mempunyai peranan penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena (ASN) yang memegang kekuasaan dan kewenangan atas keuangan. maka perlu menegaskan kembali diantaranya melalui : Penyempurnaan undang-undang Anti Korupsi yang lebih komprehensif, mencakup kolaborasi kelembagaan yang harmonis dalam mengatasi masalah korupsi. Kontrak politik yang dibuat pejabat public, Pembuatan aturan dan kode etik khusnya bagi PNS, dan Penyederhanaan birokrasi (baik struktur maupun jumlah pegawai).Kata kunci: Peran aparatur sipil negara, pemberantasan tindak pidana korupsi
KAJIAN YURIDIS TENTANG PIDANA PENJARA DI INDONESIA
Kamagi, Tommy christian
LEX CRIMEN Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana dasar pembenaran eksistensi pidana penjara dilihat dari sudut efektivitas sanksi dan bagaimana kebijakan legislatif dalam rangka mengefektifkan pidana penjara. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Eksistensi pidana penjara dilihat dari sudut efektifitas sanksi harus/dapat dilihat dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan yakni aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Dari aspek perlindungan masyarakat maka tujuannya adalah untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana, dan memulihkan kesimbangan masyarakat antara lain; menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, dan memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sedankan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. 2. Mengefektifkan pidana penjara maka dalam kebijakan legislatif itu haruslah diperhatikan: penetapan pidana penjara yang selektif dan limitatif, perumusan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan baik yang bersifat umum maupun khusus, menghidari perumusan ancaman pidana yang bersifat imperatif yaitu sistem perumusan tunggal dan perumusan kumulatif, harus ada pedoman bagi hakim apabila perlu menggunakan sistem perumusan yang tunggal, harus melakukan reorientasi dan evaluasi terhadap keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada, dan untuk hukuman seumur hidup hendaknya dilihat dari konsep pemasyarakatan karena pidana seumur hidup hanya dijatuhkan untuk melindungi masyarakat.Kata kunci: Kajian Yuridis, Pidana Penjara.
PENERAPAN SANKSI TERHADAP IBU SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK
Bowonsili, Nindy N.
LEX CRIMEN Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah perumusan tindak pidana pembunuhan anak menurut Pasal 341 KUHP dan bagaimanakah penerapan sanksi hukum terhadap ibu sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan anak menurut Pasal 341 KUHP. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan: 1. Rumusan Pasal 341 KUHP ini mengangkat  tentang tindak pidana pembunuhan dilakukan oleh ibu terhadap nyawa bayinya yang dilakukan pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan. Dari unsur- unsur ini dapat dilihat bahwa sesungguhnya pembunuhan bayi ini nyata-nyata harus dilakukan oleh ibu dan bukan orang lain begitu juga korbannya harus seorang bayi dari ibu sebagai pelaku pembunuhan. 2. Tindak pidana pembunuhan bayi ini dilakukan pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama setelah bayi dilahirkan, karena jika pembunuhan bayi ini dilakukan sebelum dilahirkan maka hal ini menjadikategori pengguguran kandungan Pasal 346.Sedangkan jika dilakukan pada saat bayi telah lama dilahirkan maka hal ini masuk dalam kategori pembunuhan biasa Pasal338. Pembunuhan ini dilakukan oleh ibu dengan pertimbangan bahwa ia takut ketahuan orang bahwa ia telah melahirkan anak. Bahkan perbuatan ini pun mengandung unsur kesengajaan. Ibu sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan bayi ini dikenakan sanksi paling lama tujuh tahun penjara dengan pertimbangan bahwa ringannya sanksi hukum karena ibu ini berada dibawah tekanan. Kata kunci: Ibu, pelaku, pembunuhan anak.
KESAKSIAN ANAK PADA PENGADILAN DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Moningka, Vallerie
LEX CRIMEN Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiamana pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi anak dalam perkara pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi anak di bawah Umur. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Perlindungan hukum terhadap saksi anak tindak pidana menurut sistem peradilan pidana menegaskan anak berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun social dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Hak Saksi Anak akan diatur dengan Peraturan Presiden dan berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk Anak Saksi ke instansi atau lembaga yang menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan social anak. Saksi anak tindak pidana yang memerlukan dapat memperoleh pelindungan dari lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.Keterangan kekuatan pembuktian saksi anak di bawah umur tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti, oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian akan tetapi dapat dipakai sebagai petunjuk atau tambahan alat bukti yang sah lainnya ataupun menambah keyakinan hakim.Kata kunci: Kesaksian Anak, Pengadilan, Pembuktian, Perkara Pidana
TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN ANAK AKIBAT KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH GURU TERHADAP SISWA DI SEKOLAH
Pondaag, Gratia Andria Sirvi
LEX CRIMEN Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindakan kekerasan oleh guru terhadap siswa dan bagaimanakah pengaturan perlindungan anak akibat kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan oleh guru terhadap siswa dirangkum dalam 4 aspek, yaitu: a. Dalam diri murid yang dilihat dari aspek psikologis terdapat perbedaan karakter yang memberikan tantangan serta dapat menguji kesabaran guru; b. Dari dalam diri guru yang dilihat dari aspek psikologis memiliki kepribadian yang berbeda-beda serta kemampuan mengontrol emosi yang berbeda-beda; c. Dari sistem pendidikan yang menganut ideologi dan kultur hierarkis; d. Dari kultur masyarakat yang menganggap kekerasan adalah bagian dalam proses mendidik anak. 2. Pengaturan perlindungan anak akibat kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah terdapat dalam pasal 9 ayat (1a) dan pasal 54 ayat (1). Dalam pasal 9 ayat (1a) dan pasal 54 ayat (1) sangat tegas melarang dilakukannya tindakan kekerasan terhadap anak di lingkungan satuan pendidikan, tetapi terdapat juga pasal yang melarang kekerasan terhadap anak yang lingkupannya lebih luas dengan melarang setiap orang bukan hanya pihak-pihak di lingkungan pendidikan saja yaitu terdapat pada pasal 76C dan apabila melanggar terdapat ketentuan sanksi dalam pasal 80. Undang-undang perlindungan anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak agar terhindar dari tindakan kekerasan di sekolah, tetapi terkadang undang-undang ini dijadikan sebagai imunitas bagi siswa dalam membenarkan tindakan mereka yang sebenarnya salah dan mengakibatkan guru semakin bertindak pasif dalam mendisiplinkan siswa karena merasa takut terkena jeratan hukum.Kata kunci: anak; kekerasan yang dilakukan guru;
PERTANGGUNGAN JAWAB PIDANA ANAK DALAM PERKARA KECELAKAAN LALU LINTAS
Mogi, Anggela N.
LEX CRIMEN Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab pidana pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas  dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Denagn menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat disimpulkan : 1. Tanggung jawab pidana pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas dalam Pasal 359 KUHPidana adalah pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun, namun secara khusus dapat juga diberikan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. 2. Ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) jo Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dengan demikian, anak yang mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya hingga mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara setengah dari ancaman pidana bagi orang dewasa (enam tahun), yakni paling lama tiga tahun penjara dan atau denda sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah). Kata kunci: Pidana anak, kecelakaan lalulintas
PEMBUKAAN RAHASIA BANK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Tulenan, Vikky O.
LEX CRIMEN Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana syarat pembukaan rahasia bank dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana implikasi/akibat pembukaan rahasia bank. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Pembukaan rahasia perbankan di dalam kepentingan peradilan dalam perkara pidana, maka pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin tertulis kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank, setelah ada permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, hal mana ketentuan tersebut juga berlaku di dalam perkara pidana yang diproses di luar peradilan umum di mana permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan: Nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim; Nama tersangka atau terdakwa; Nama kantor bank tempat tersangka atau terdakwa mempunyai simpanan; Keterangan yang diminta; Alasan diperlukannya keterangan; dan Hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. 2. Implikasi/akibat Pembukaan Rahasia Bank terutama hubungannya antara nasabah dengan bank merupakan bagian dari rahasia bank dan itu adalah salah satu bagian yang dilindungi hukum kerahasiaan. Dengan demikian bila terjadi pembocoran atau pembukaan informasi serta melawan hukum atau menyalahgunakan informasi tersebut maka ketentuan hukum dapat dikenakan kepada si pelaku pembocoran atau penyalahgunaan informasi tersebut. Kata kunci: Pembukaan rahasia bank, tindak pidana, korupsi.