LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
1,647 Documents
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIELE WEDERRECHTELIJK) DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Korompis, Juan Belva Caesar Abram
LEX CRIMEN Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) dalam hukum pidana di Indonesia dan bagaimana penerapan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) dalam tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika untuk mencapai tujuan hukum, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) tidak diatur secara tegas baik dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta peraturan perundang-undangan lainnya di luar KUHP sebagai hukum positif di Indonsia, namun perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) yang berfungsi sebagai alasan penghapus pidana keberadaannya dalam hukum pidana di Indonesia diakui dan dianut. 2. Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengenai perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk) yang didasarkan pada perasaan hukum masyarakat serta berfungsi sebagai alasan pembenar dalam kenyataannya tidak dilaksanakan secara konsekuen sehingga keadilan sebagai tujuan hukum yang paling mendasar tidak tercapai – Kepala Putusan Pengadilan: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAâ€.Kata kunci: melawan hukum materiil; narkotika;
SISTEM PEMBUKTIAN DAN PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
Koroba, Maikel
LEX CRIMEN Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pembuktian tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan bagaimana sistem pemidanaan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih maju karena tidak hanya terfokus pada Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa tetapi menganut sistem pembuktian terbalik di mana terdakwa berhak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut akan dipergunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya, maka itu dapat digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 2. Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi ada penyimpangan dari tindak pidana umum yakni jenis-jenis pidana pokok dapat dijatuhkan secara kumulatif seperti pidana penjara dan pidana denda dan mengenal pidana tambahan jenis baru yakni pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.Kata kunci: Sistem Pembuktian, Pemidanaan, Tindak Pidana, Korupsi
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN AKIBAT PENGAKUAN PAKSA OLEH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA
Rompas, Johan
LEX CRIMEN Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan korban kekerasan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan bagaimana tindakan-tindakan penyidik yang menyangkut upaya paksa. Dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Hukum pidana walaupun memberi perhatian kepada korban secara langsung dengan pemberian ganti rugi inipun masih bersifat sangat terbatas dan limitatif, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat dalam Pasal 14c KUHP hakim dapat menerapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian baik semua maupun sebagian yang ditimbulkan dari tindak pidana. 2. Dalam keadaan yang memaksa yakni apabila kepentingan masyarakat terganggu, berdasarkan kewenangannya yang berwajib dapat melakukan upaya paksa yang sesunggunya mengurangi hak asasi seseorang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 7 undang-undang ini menyebutkan tidak seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Kata kunci: pengakuan paksa, penyidik
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN YANG DIRENCANAKAN TERLEBIH DAHULU SEBAGAI UNSUR DELIK YANG MEMBERATKAN
Daleda, Frezcilia Dewi
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi alasan pemberatan hukuman yang diatur dalam Hukum Pidana dan apa yang mendasari unsur direncanakan menjadi alasan pemberatan hukuman. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Alasan yang menambah beratnya hukuman (strafverhogingsgronden) dalam KUHPidana adalah sebagaimana diatur dalam pasal 52 yakni seorang yang melakukan perbuatan pidana dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, tentang pengulangan (recidive) baik recidive umum yang diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHPidana maupun recidive khusus pasal 489 (2), 492 (2), 495 (2), 501 (2) dan 516 (2) KUHPidana serta gabungan perbuatan yang dapat dihukum (somenloop ) titel VI Buku I KUHPidana pasal 63, 64, 65 & 66 KUHPidana. 2. Unsur direncanakan terlebih dahulu didalam perumusan delik merupakan unsur yang memberatkan ancaman hukuman. Unsur ini bukanlah unsur yang menentukan ada tidaknya perbuatan pidana tetapi hanya merupakan suatu unsur tambahan dalam arti tidak terbuktinya unsur tersebut tidaklah berarti perbuatan pidana itu tidak pernah dilakukan. Unsur direncanakan terlebih dahulu dalam KUHPidana diatur dalam pasal 353, 355 tentang penganiayaan biasa berencana dan penganiayaan berat berencana serta pasal 340 tentang pembunuhan berencana dan pasal 342 tentang pembunuhan tidak berencana.Kata kunci: Perbuatan yang direncanakan, unsur delik, memberatkan.
ALAT BUKTI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI DI PENGADILAN
Sambur, Melisa C. M.
LEX CRIMEN Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana teknologi informasi  dan bagaimana pembuktian perkara tindak pidana teknologi informasi di pengadilan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat diambil kesimpulan, bahwa: 1. Alat bukti yang sah dalam pemeriksaan perkara tindak pidana teknologi informasi dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, termasuk Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik atau hasil cetaknya yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  2.         Pembuktian perkara tindak pidana teknologi informasi di pengadilan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tidak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya didasarkan minimal dua alat bukti sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, yaitu: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan dan termasuk pula alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Artinya apabila hanya ada satu alat bukti saja tidaklah dapat dipakai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sehingga harus ditambah alat bukti lain. Kata kunci: Alat bukti, Tehnologi Informasi, Pengadilan.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEKERJA PERSEROAN TERBATAS YANG MELAKUKAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009
Sihotang, Peter Salem
LEX CRIMEN Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Perseroan Terbatas yang melakukan Pencemarandi bidang lingkungan hidup menurut UU. No. 32 Tahun 2009 dan Praktek Pertanggungjawaban pidana Pekereja Prseroan Terbatas yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup menurut UU. No. 32 Tahun 2009. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Pengaturan pertanggungjawaban pidana perseroan terbatas yang melakukan di bidang lingkungan hidup bahwa pengaturan ini sudah cukup tepat dilakukan bahwa undang-undang ini telah secara tegas mengatur korporasi sebagai subjek menggunakan tindak pidana dengan menyebutkan sebagai badan hukum. Dalam teori pertanngungjawaban pidana yanag digunakan saat ini yaitu dengan menggunakan teori identifikasi, teori pertanggungjawaban pidana pengganti, dan teori pertanggungjawaban ketat menurut undang-undang yang memperkuat peraturan peraturan perundang-undangan korporasi yang berlaku saat ini. 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pekerja yang melekukan tindak pidana lingkungan hidup secara bersama-sama dalam Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 459/Pid.B/2008/PN.Bks Jo. Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 158/Pid/2008/PT.Bdg jo. Ptutusan Mahkamah Agung Nomor 163k/ Pid. Sus/ 2010 adalah Pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun dengan dendaRp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah) sudah tepat. Akan tetapi jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 116 UUPPLH bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh dan untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada Badan Usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Maka dapat disimpulkan tidak hanya pekerja yang dapat dihukum melainkan maka pengurus maupun badan usaha juga harus menerima hukuman.Kata kunci: Pertanggungjawaban, Pidana, Pekerja, Perseruan Terbatas, Pencemaran Lingkungan Hidup.
DELIK PENCEMARAN DAN PENCEMARAN TERTULIS TERHADAP ORANG YANG SUDAH MATI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Pangemanan, Dinas A.
LEX CRIMEN Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana pencemaran dan pencemaran tertulis terhadap orang sudah mati dalam Pasal 320 ayat (1) KUHP dan bagaimana persyaratan untuk penuntutan terhadap tindak pidana dalam Pasal 320 ayat (1) KUHP, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normartif disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan tindak pidana pencemaran dan pencemaran tertulis terhadap orang sudah mati dalam Pasal 320 ayat (1) KUHP, yaitu Pasal 320 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan khusus terhadap Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang merupakan ketentuan umum, yaitu Pasal 320 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan khusus yang memiliki semua unsur tindak pidana Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) ditambah suatu unsur yang lain, yaitu unsur “terhadap seseorang yang sudah matiâ€. Unsur “terhadap seseorang yang sudah mati†menyebabkan Pasal 320 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan khusus terhaap ketentuan umum dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, di mana unsur ini menjadi alasan peringan pidana, yaitu jika ancaman pidana maksimum Pasal 310 ayat (1) penjara 9 bulan atau denda Rp4.500,- dan Pasal 310 ayat (2) penjara 1 tahun 4 bulan atau denda Rp4.500,-, maka pidana maksimum Pasal 320 ayat (1) yaitu penjara 4 bulan 2 minggu atau denda Rp4.500,-. 2. Persyaratan untuk penuntutan terhadap tindak pidana dalam Pasal 320 ayat (1) KUHP, yaitu menurut Pasal 320 ayat (2) KUHP penuntutan hanya dapat dilakukan kalau ada pengaduan dari salah seorang: a. orang tua (garis lurus ke atas derajat kesatu) dan kakek nenek (garis lurus ke atas derajat kedua) dari yang mati; b. anak (garis lurus ke bawah derajat kesatu) dan cucu (garis lurus ke bawah derajat kedua) dari yang mati; c. kakak atau adik (keluarga sedarah dalam garis menyimpang derajat kedua) dari yang mati; d. mertua (keluarga semenda garis lurus derajat kesatu) dan orang tua dari mertua (keluarga semenda garis lurus derajat kedua) dari yang mati; e. kakak dan adik dari suami/isteri (keluarga semenda dalam garis menyimpang derajat kedua) dari yang mati; g. suami/isteri dari yang mati.Kata kunci: pencemaran; orang yang sudah mati;
UPAYA DIVERSI BAGI ANAK DALAM PROSES PERADILAN
Tarigan, Fetri A. R.
LEX CRIMEN Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses upaya diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan bagaimana idealnya perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Proses upaya diversi sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 7 UU SPPA wajib diupayakan dari mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/ walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. 2. Mengenai bentuk ideal perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan, sebagaimana yang telah diatur dalam UU SPPA mengenai diversi dengan pendekatan keadilan restoratif merupakan bentuk ideal didalam melindungi dan menghormati hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum dengan tetap memperhatikan kepentingan korban tanpa harus melalui proses peradilan formal. Keadilan restoratif setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Kata kunci:Â Diversi, anak, peradilan
IMPLEMENTASI SEMA NOMOR 2 TAHUN 2014 TERHADAP PROSES PERCEPATAN PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI TAHUNA
Hutajulu, Partogi H. M.
LEX CRIMEN Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri dan bagaimana penerapan SEMA No 2 Tahun 2014 dalam percepatan penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Tahuna. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan negeri seperti dari awal pendaftaran sampai pada putusan hakim merupakan alternatif yang paling efektif disaat ini. Karena dapat dilihat dari jalannya penyelesaian suatu perkara/sengekta di pengadilan yang sudah tersistematis sehingga para pihak yang berperkara akan langsung mendapatkan keadilan. 2. Pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2014 sangat bermanfaat dan memberikan panduan bagi peradilan di Indonesia yang terlebih khusus di Pengadilan Negeri Tahuna dalam hal peradilan yang sederhana, cepat dan biaya yang ringan. Tetapi pada praktik yang dilakukan oleh di Pengadilan Negeri Tahuna dalam hal Implementasi SEMA No. 2 Tahun 2014 di lingkungan pengadilan tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan pembentukan aturan tersebut. Terdapat beberapa sengketa yang sudah melebihi dari waktu yang ditentukan, walaupun pada dasarnya untuk menyelesaikan perkara perdata dengan tata caranya tidak akan melebihi waktu yang lama. Hal yang membuat tidak terlaksananya dengan baik penerapan SEMA No. 2 Tahun 2014 di Pengadilan Negeri Tahuna. Kata kunci: Implementasi, Sema No. 2 Tahun 2014, perkara perdata
IMPLEMENTASI HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENGATURAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
Bawole, Herlyanty Yuliana Anggreny
LEX CRIMEN Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Upaya pencegahan dan penanggulangan hukum terhadap kejahatan yang banyak terjadi harus dilakukan secara terpadu antar institusi yang berhubungan dengan penegakan hukum yaitu: adanya aparatur yang tertata dengan baik, professional di bidangnya (SDM) serta sarana dan prasarana yang up to date, hukum dalam perwujudan sebagai undang-undang dalam proses penegakan hukum (sistem peradilan pidana/ criminal justice system), yang semakin bermutu dan berorientasi pada kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, koordinasi serasi antarfungsionaris hukum dan aparatur pemerintah terkait, Partisipasi masyarakat yang harus dimotifikasi, agar kondisi potensial dapat terangkat menjadi kekuatan nyata warga masyarakat yang peduli terhadap kejahatan dan aktif ambil bagian dalam penanggulangan, dan melakukan sikap antisipatif terhadap kejahatan.