cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Bina Mulia Hukum
ISSN : 25287273     EISSN : 25409034     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Mulia Hukum (JBMH) adalah jurnal ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Artikel yang dimuat pada Jurnal Bina Mulia Hukum adalah artikel Ilmiah yang berisi tulisan dari hasil penelitian dan kajian analitis kritis di bidang hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 253 Documents
SELUK-BELUK PEER TO PEER LENDING SEBAGAI WUJUD BARU KEUANGAN DI INDONESIA Heryucha Romanna Tampubolon
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPerkembangan teknologi informasi telah membuat inovasi keuangan berbasis teknologi (financial technology). Dengan berkembangnya inovasi ini, kini hadir sebuah sistem pinjam-meminjam uang yang diwadahi oleh sebuah platform dari perusahaan penyedia layanan yang disebut peer to peer lending (“P2P Lending”). Ini adalah terobosan dari inklusi keuangan dalam mengatasi sistem permodalan yang belum dapat terjangkau oleh lembaga keuangan resmi seperti perbankan. Untuk itulah, Jurnal ini dibuat untuk menganalisis mekanisme usaha dan kelebihan serta kekurangan, mitigasi risiko, serta perlindungan bagi Peminjam dan Pemberi Pinjaman di industri P2P Lending. Secara singkat, mekanisme dari P2P Lending ini ialah Pemberi Pinjaman memberikan pinjaman kepada Peminjam yang telah disaring oleh platform. Melalui P2P Lending, Pemberi Pinjaman memperoleh keuntungan dari bunga atas pinjaman yang diberikan sekaligus kerugian yang mungkin akan dialami seperti risiko gagal bayar. Peminjam memperoleh keuntungan dengan perolehan pinjaman sekaligus kerugian karena harus membayar bunga yang sedikit lebih tinggi. Hingga kini, P2P Lending masih belum memiliki regulasi yang mumpuni namun seiring dengan perkembangan yang semakin pesat, beberapa platform telah menyiasati kekosongan hukum yang ada dengan mengaturnya secara tersendiri dalam SOP perusahaan. Melihat hal ini, Regulator diharap mampu untuk segera membuat peraturan yang dapat menjamin terciptanya kepastian hukum dalam industri P2P Lending.Kata kunci: keuangan; layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi; pembiayaan; pinjaman; teknologi finansial. ABSTRACTThe development of information technology has made technology-based financial innovation. With the development of this innovation, there is a system of lending and borrowing money that is accommodated by a platform from a service provider company called peer to peer lending (“P2P Lending”). This system is a breakthrough from financial inclusion in overcoming capital systems that cannot yet be reached by official financial institutions such as banking. This journal will analyze the business mechanism and its advantages and disadvantages, risk mitigation, and protection for Borrowers and Lenders in the P2P Lending industry. In short, the mechanism of P2P Lending is that the Lender provides loans to Borrowers that have been filtered by the platform. Through P2P Lending, the Lender gains interest from loans given as well as losses that might be experienced such as the risk of default. Borrowers benefit from the acquisition of loans as well as losses because they have to pay slightly higher interest rates. Until now, P2P Lending still does not have a qualified regulation but along with the increasingly rapid development, several platforms have dealt with the existing legal vacuum by regulating it separately in the company’s SOP. Seeing this, the Regulator is expected to be able to immediately make regulations that can guarantee the creation of legal certainty in the P2P Lending industry.Keywords: finance; financing; financial technology; lending; peer to peer lending. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.15
PENGELOLAAN PIUTANG PASIEN DI RUMAH SAKIT SWASTA: SUATU TINJAUAN HUKUM Praisila Glory Florencia Jonathan; Efa Laela Fakhriah; Kartikasari Kartikasari
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKRumah Sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang diharapkan mampu mendukung upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Dewasa ini kepemilikan Rumah Sakit didominasi oleh swasta yang berorientasi mencari keuntungan, namun demikian setiap Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan harus tetap mengutamakan kepentingan publik dan menjalankan fungsi sosialnya. Fungsi sosial Rumah Sakit ini kenyataannya dapat menimbulkan persepsi bahwa pasien berhak menuntut pelayanan kesehatan tanpa mempertimbangkan kemampuan finansialnya, dan berujung pada diterbitkannya piutang pasien. Piutang pasien terjadi karena pada saat pasien keluar Rumah Sakit tidak memiliki cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit. Pelaksanaan prestasi berupa pembayaran imbalan jasa medis perlu ditagihkan kepada pasien dalam bentuk tertulis, dan diberikan waktu yang pantas apabila pembayaran seketika tidak dapat dilakukan. Mengingat bahwa imbalan jasa dokter sifatnya tidak mutlak dan tidak dapat diseragamkan, Rumah Sakit dapat melepaskan hak untuk menagih piutangnya kepada pasien, baik seluruhnya maupun sebagian, apabila hal tersebut sesuai dengan keputusan manajemen Rumah Sakit. Bagi pasien miskin atau tidak mampu, pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu peraturan internal Rumah Sakit mengenai pengelolaan piutang pasien dan kerjasama Rumah Sakit swasta dengan dinas kesehatan dan jaminan sosial kesehatan sangat diperlukan.Kata kunci: hukum piutang; pengelolaan piutang; piutang pasien. ABSTRACTHospital is one of the health care facilities that are expected to be able to support efforts to improve public health. Nowadays, Hospital ownership is dominated by profit-oriented private sector, however every hospital in providing health services must prioritize the public interest and carry out its social functions. The social function of the hospital can in fact lead to the perception that patients have the right to demand health services without considering their financial capabilities, and lead to the issuance of patient receivables. Patient’s receivables occur because when the patient leaves the hospital does not have enough money to pay for hospital fees. Payment of medical services needs to be billed to patients in written form, and given appropriate time if immediate payments cannot be made. Given that the physician services fee are not absolute and cannot be uniformed, the Hospital can give up the right to collect the receivables from the patient, either in whole or in part, if this is in accordance with the management’s decision. For patients who are poor or incapable, the financing of health services at the Hospital is borne by the government and local government in accordance with the applicable legislation. Therefore the internal regulations of the Hospital regarding the management of patient receivables and the collaboration of private hospitals with health services and health social security are very necessary.Keywords: law of receivables; management of receivable; patient receivables. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.16
TINJAUAN NORMATIF PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIS LENGKAP DIKAITKAN PEMBENTUKAN ATURAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Prama Widianugraha
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKDemi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia saat ini dalam mengatur kepemilikan tanah dan memimpin penggunaannya telah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pendaftaran tanah ini merupakan kewajiban pemerintah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan, salah satunya adalah perbedaan pengaturan jangka waktu pengumuman pembuktian pemilikan tanah, data yuridis dan data fisik bidang tanah serta peta bidang-bidang tanah diumumkan antara Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hal yang menimbulkan persoalan terkait Asas Publisitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif yang berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan deskriptif kualitatif dengan alur berpikir deduktif, yaitu mulai dari peraturan hukumnya dan untuk menjawab permasalahan yang terjadi untuk mendukung penulisan ini. Dari hasil penelitian ini pelaksanaan pendaftaran tanah sistematis lengkap secara yuridis normatif sah dan dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan kaidah aturan perundang-undangan dalam aturan sistem hukum positif di Indonesia.Kata kunci: pendaftaran tanah sistematis lengkap (ptsl); pengumuman data fisik dan data yuridis; sertifikat hak atas tanah. ABSTRACTIn order to realize the welfare of society, the Indonesian government is currently in regulating land ownership and leading its use to have registered land in the entire territory of the Republic of Indonesia. This land registration is a government obligation that aims to guarantee legal certainty. However, in the implementation there were several obstacles, one of which was the difference in the time period for announcements of land ownership verification, juridical data and land physical data and a map of land parcels announced between Minister of Agrarian and Spatial Planning/National Land Agency Regulation 6 of 2018 concerning Complete Systematic Land Registration (PTSL) with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration which raises issues related to the Publicity Principle. This study uses a normative legal approach that focuses on positive legal norms in the form of qualitative descriptive legislation with deductive thinking flow, namely starting from the legal regulations and brought to the problems that occur to support this writing. From the results of this study the implementation of a complete systematic land registration in a normative juridical manner is valid and accountable and does not conflict with the rules of law in the rules of the positive legal system in Indonesia.Keywords: complete systematic land registration (ptsl)l; announcement of physical data and juridical data; land rights certificate. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.17
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG (STUDI PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN AFRIKA SELATAN) Siti Hidayati
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPembentukan peraturan perundang-undangan merupakan proses pembentukan produk hukum dan produk politik dengan tujuan untuk mengatur aktivitas manusia demi terselenggaranya ketertiban masyarakat. Maka dari itu diperlukan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang dapat diterima dan diimplementasikan oleh berbagai lapisan masyarakat. Sampai saat ini, belum terdapat pedoman dalam implementasi partisipasi masyarakat dalam penyusunan undang-undang di Indonesia, sehingga dapat dikatakan implementasinya di belum berjalan secara maksimal. Metode yang dipergunakan yaitu penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dari bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan perbandingan dilakukan untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesia dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, partisipasi masyarakat merupakan salah satu ketentuan dalam pembentukan undang-undang. Dari berbagai bentuk partisipasi yang dilakukan di Afrikas Selatan, terdapat beberapa bentuk yang dapat menjadi masukan bagi konsep partisipasi masyarakat di Indonesia. Demi terwujudnya demokrasi, partisipasi masyarakat sebaiknya menjadi syarat dalam pembentukan undang-undang dengan adanya mekanisme lebih lanjut sebagai pedoman pelaksanaan.Kata kunci: Afrika Selatan; partisipasi masyarakat; pembentukan undang-undang; perbandingan. ABSTRACTLawmaking process is the process of forming legal product and political products with the aim to regulate human activities for the implementation of public order. Therefore public participation important to create the law which can be accepted and implemented by differ society. Untill now, there are no guidelines in the implementation of public participation in legislative process in Indonesia, so that the implementation has not been running optimally. The research method used in this study is normative juridicial research, using secondary data in the form of primary law materials and secondary law materials. A comparative approach is carried out to see how public participation in legislative process in Indonesia and South Africa. In South Africa, public participation become one of provision in legislation process. From various forms in public participation di South Afria, there are several forms which can become input for the concept of public participation in Indonesia. For the sake of democracy, public participation should become term in legislation process with further mechanism for guidelines.Keyword: comparative; legislative process; public participation; South Africa. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.18
PENYELESAIAN KREDIT MACET PERSEROAN MELALUI EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS NAMA PRIBADI Ragga Bimantara
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKKeberadaan Undang-undang Hak Tanggungan bagi sistem hukum perdata khususnya hukum jaminan bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak guna mewujudkan kepastian hukum yang seimbang dalam bidang pengikatan jaminan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah beserta dengan bangunannya sebagai agunan kredit kepada kreditur, sebagaimana agunan tersebut merupakan salah satu syarat dari Perbankan dalam memberikan fasilitas kredit. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian perbankan terhadap kredit macet perseroan yang jaminan dari perjanjian kredit tersebut dipastikan tidak dapat menutupi seluruh hutang Debitur kepada Kreditur dan bagaimanakah penyelesaian kredit macet melalui eksekusi jaminan hak tanggungan pada lembaga perbankan. Berdasarkan spesifikasi penelitian deskriptif analisis dengan metode yuridis normatif disimpulkan bahwa apabila eksekusi jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh bank atas hutang debitur perseroan dengan jaminannya nama pribadi maka bank dapat menerapkan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dengan penyelesaian kredit macet melalui eksekusi jaminan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.Kata kunci: hak tanggungan; jaminan; perseoran. ABSTRACTThe existence of UUHT for the civil law system, in particular for the guarantee law, is to protect the interests of the parties in order to actualize the balanced of legal certainty in the field of binding guarantees for the objects related to the land and buildings as credit collateral to creditors, because collateral is one of the requirements of banks to provide credit facilities. This article aims to find out how the banking solution to the company’s non performing loan which the credit agreement collateral cannot cover the whole creditors’ debts. With descriptive analysis and normative juridical method, .the results show that if the execution of collateral for mortgage rights carried out by banks for the company’s debtor debts that uses a personal name as collateral, the banks can apply Article 1131 and KUHPerdata 1132 with the settlement of non performing loan through the execution of collateral refers to Law No. 4 of 1996 on encumbrance right over land and land-related objectsKeywords: company; guarantee; security rights. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.19
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP DISKRIMINASI KESEMPATAN MENDAPATKAN UPAH BAGI TENAGA KERJA PEREMPUAN DI INDONESIA DITINJAU DARI CEDAW TAHUN 1979, KONVENSI ILO NOMOR 100 TAHUN 1951, DAN KONVENSI ILO NOMOR 111 TAHUN 1958 Ratih Ananda Putri; Idris Idris; Agus Pratiwi
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKMeratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi ILO No. 100, Konvensi ILO No. 111, dan CEDAW dikatakan sebagai salah satu upaya penting untuk mengatasi diskriminasi upah bagi tenaga kerja perempuan. Untuk itu, perlu diketahui implementasi ratifikasi konvensi-konvensi tersebut dalam hukum nasional terkait diskriminasi kesempatan untuk mendapatkan upah terhadap buruh perempuan di Indonesia dan upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat implementasi konvensi-konvensi tersebut. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif yang menitikberatkan pada literatur dan peraturan. Kesimpulan meskipun telah terdapat pengaturan mengenai anti diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja dari mulai UUD sampai dengan Undang-Undang, namun implementasinya, peraturan-peraturan tersebut belum dilaksanakan dengan benar dikarenakan undang-undang ratifikasi yang ada hanya melakukan pengulangan terhadap norma yang diatur dalam konvensi. Lebih lanjut, terdapat peraturan gubernur yang diskriminatif yang berakibat, masih terdapatnya diskriminasi kesempatan terhadap perempuan di tempat kerja. Disaran agar pemerintah mengimplementasi Konvensi ILO No. 100, Konvensi ILO No. 111, serta CEDAW dengan merevisi peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Undang-Undang Ketenagakerjaan atau dengan membuat peraturan baru agar sanksi dan prosedur terhadap pelanggaran lebih efektif dan tidak merugikan para pekerja perempuan di masa depan. Pemerintah sudah seharusnya mengikuti rekomendasi-rekomendasi Komite CEDAW dan ILO seperti melakukan kerjasama dengan mitra sosial agar Indonesia dapat melakukan kewajiban internasional akibat meratifikasi konvensi tersebut.Kata kunci: diskriminasi; hak asasi; ratifikasi, tenaga kerja perempuan. ABSTRACTRatifying and implementing ILO Convention No. 100, ILO Conventions no. 111, and CEDAW can be regarded as one of the important efforts to overcome wage discrimination for female workers. Therefore, need to know the implementation of ratification of CEDAW, ILO Convention No. 100 and 111 into national law on discrimination of opportunity to earn wages for female workers in Indonesia and how efforts can be made to strengthen the implementation of CEDAW, ILO Convention No. 100 and 111 in Indonesia. The author uses normative juridical research approach focuses to literature and regulation data. Although there have been regulations on anti-discrimination against women in the workplace from the constitution to several acts, however the regulations have not been implemented properly since the existing ratification law only performs repetition of the norms set out in the convention. In addition, in 2017, there is also a discriminatory governor rule. Therefore, discrimination against women in the work place occur. Advises the government to improve the implementation of ILO Convention No. 100, ILO Convention No. 111 and CEDAW by revising the existing laws and regulations of the Employment Act or by issuing new regulations, therefore will be effective sanctions and procedures that would do no harm to the future of women workers. Governments should also follow the recommendations of the CEDAW and ILO Committees such as cooperating with social partners. Thus, Indonesia can perform its international obligations as a result of ratifying the convention.Keywords: discrimination; human rights, ratification, women worker. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.20
PENINGKATAN PROFESIONALISME PENYIDIK DAN ANTISIPASI DALAM MENGHADAPI PRAPERADILAN Yudi Krismen
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPraperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dengan melihat fenomena hukum sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang di atas maka Penulis tertarik untuk menjadikan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah. Apa Saja Yang Harus Diperhatikan Dalam Melakukan Praperadilan. Pertama, Antisipasi Praperadilan dapat dilakukan mulai dari Proses Penyidikan yang dilakukan oleh Polisi sebagai Penyidik. Kedua, Hal Yang Perlu Diperhatikan Penyidik Sebagai Antisipasi Praperadilan Adalah mengenai Etika Penyidikan. Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum yang harus dipatuhi, dan diatur secara formal apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas dalam penyidikan. Artinya para penyidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. Dalam pelaksanaan proses penyidikan, peluang-peluang untuk melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat dimungkinkan terjadi, karena itulah semua ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik.Kata kunci: antisipasi; mekanisme; pidana; praperadilan; sistem peradilan. ABSTRACTPretrial is the authority of the District Court to examine and decide on whether or not an arrest and/ or detention is valid is the request of a suspect or his family or other party or the power of a suspect; whether valid or not the termination of the investigation or termination of prosecution at the request of law and justice; and requests for compensation or rehabilitation by the suspect or his family or other parties or their proxies whose cases are not brought to trial. By looking at legal phenomena as described in the background above, the authors are interested in making the subject matter in this research. What should be take into account in conducting pretrial. First, anticipation of pretrial can be carried out starting from the investigation process carried out by the police as investigators. Investigation aims to find and collect evidence to make a crime clear, investigators are authorized to carry out seizures.. Secondly, the Things to Look Out for Investigators as Anticipating Pretrial is concerning the Ethics of Investigation. An investigator in carrying out his duties has a legal corridor that must be obeyed and formally regulated and how the procedures for carrying out the tasks in the investigation. This means that investigators are bound to the regulations, legislation, and provisions that apply in carrying out their duties. In carrying out the investigation process, opportunities for deviating or misusing authority for a particular purpose are not impossible to occur, which is why all criminalist experts place the ethics of investigation as part of the professionalism that must be possessed by an investigator.Keywords: anticipation; mechanism; pretrial; system tort; trial. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.21
RESENSI BUKU: KONSTITUSIONALISME AGRARIA Yusuf Saepul Zamil
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Buku konstitusionalisme agraria yang ditulis oleh Yance Arizona merupakan buku yang sangat komprehensif, aktual membahas mengenai konstitusionalisme agraria. Buku ini memberikan pemikiran-pemikiran baru terkait dengan konstitusionalisme agraria dan didukung oleh analisis secara mendalam mengenai putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Buku ini terdiri dari dari 10 bab. Bab 1 konstitusi agraria: tujuan konseptual. Bab 2 perkembangan konstitusi agraria indonesia. Bab 3 konstitusi agraria dalam rezim nasionalis. Bab 4 konstitusi agraria dalam rezim pembangunan. Bab 5 konstitusi agraria dalam rezim neoliberal. Bab 6 Mahkamah Konstitusi anak kandung reformasi. Bab 7 putusan-putusan Mahkamah Konstitusi memberikan makna baru mengenai konstitusionalisme agraria. Bab 8 konsepsi konstitusional penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Bab 9 tiga konsepsi penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Bab 10 dari konstitusi agraria ke konstitusionalisme reforma agraria. Bab 1 Konstitusi Agraria membahas mengenai persoalan agraria di dalam konstitusi, perkembangannya dan pelaksanaannya dalam kebijakan pemerintah serta penafsiranpenafsiran terhadapnya dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Konstitusi agraria berada pada dua perkembangan kajian hukum, yaitu kajian hukum konstitusi dan hukum agraria. Selama ini kajian hukum konstitusi (constitutional law) yang di Indonesia lebih dikenal dengan kajian ‘hukum tata negara’ umumnya mengkaji dimensi kelembagaan negara, peraturan perundang-undangan atau mengkaji hak-hak asasi manusia dan warga negara di dalam konstitusi, terutama berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, misalkan kebebasan berserikat, partai politik, pemilihan umum dan sekalian aspek yang berkaitan dengan hal tersebut. Dalam Bab ini dibahas mengenai perbandingan kontitusi agraria di berbagai negara. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n2.22
PERLINDUNGAN KONSUMEN UNTUK MEMPEROLEH HAK LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA DAN EROPA Raden Ajeng Astari Sekarwati; Susilowati Suparto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.152

Abstract

ABSTRAK Tingginya permintaan pasar atas kendaraan bermotor, membuat para dealer dan pemilik showroom kendaraan bermotor berlomba-lomba memperbaiki dan terus meningkatkan layanan-layanan yang ada agar konsumen tertarik untuk membeli produk mereka. Salah satu langkah yang dilakukan para dealer dan pemilik showroom kendaraan bermotor dalam bidang pemasaran adalah layanan purna jual atau after sales service. Namun pada kenyataannya walaupun layanan purna jual merupakan hak yang wajib diberikan oleh setiap produsen kepada konsumen, hak tersebut tidak selalu terlaksana dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian dengan menggambarkan secara sistematis, akurat, aktual, dan menyeluruh mengenai pengaturan, implementasi, dan perlindungan konsumen mengenai layanan purna jual. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukum yang merupakan patokan untuk bertingkah laku. Hasil penelitian ini menyatakan Layanan purna jual dilaksanakan dengan memberikan garansi kepada konsumen atas suatu barang yang telah dibeli. Dalam pelaksanaan layanan purna jual di Indonesia, jangka waktu yang diberikan selama satu tahun, sedangkan di negara eropa jangka waktu yang diberikan adalah dua tahun dengan memperhatikan beberapa syarat perlindungan konsumen dan consumer right tools negara eropa yang menyatakan bahwa konsumen dapat meminta klaim kepada produsen apabila produk tersebut tiba-tiba berhenti berfungsi dalam kurun waktu enam bulan pertama dihitung semenjak waktu barang diterima oleh konsumer dan produk tersebut tiba-tiba berhenti berfungsi setelah kurun waktu enam bulan berlalu selama masih dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Kata kunci: garansi; layanan purna jual; perlindungan konsumen. ABSTRACT Market demand for cars and motorcycles is peaking in Indonesia so that saling competition is also quite tight. Dealers and showrooms owners are competing to improve their services to attract more buyers and costomers. One of the many steps taken by those dealer and showroom owners lies on the after-sales service. However, even in such a tight competitive environment, after-sales service as a right that must be given by every producer or business actor to consumers, is not always be implemented properly. This research uses descriptive analytical research method, by describing systematically, accurately, actual, and thoroughly the regulation and implementation of after-sales service and consumer protection. The legal issues in this article are addressed by juridical-normative approach which invokes legal principles and legal norms in addressing factual condition. This article shows that dealer and showroom owner implement after-sales service by providing a guarantee to consumers of an item that has been purchased, for oneyear duration. This is different with most of European countries, which grant 2 years after-sales service, taking into account several conditions, such as Consumer Protection and European Consumer Right Tools which states that consumers may claim damage from the manufaturers if the product suddenly stop functioning within the first six months since receiving date; or if the product suddenly stops functioning after the six-months period has passed, as long as it is still within a predetermined period of time. Keywords: after sales service; consumer protection; guarantee.
PENGATURAN PENGELOLAAN DANA WAKAF SEBAGAI MODAL UNTUK KEGIATAN BISNIS OLEH YAYASAN Aam Suryamah; Helza Nova Lita
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.269

Abstract

ABSTRAK Yayasan merupakan badan hukum bersifat sosial dapat berperan sebagai nazhir dalam pengelolaan benda wakaf. Yayasan dapat mengelola aset wakaf secara produktif namun peruntukannya tetap ditujukan untuk kepentingan penerima wakaf sesuai akta ikrar wakaf. Menarik untuk dikaji sejauhmana yayasan dalam melakukan pengelolaan wakaf secara produktif dikaitkan dengan UU Yayasan dan UU Wakaf. Artikel ini menelaah hal tersebut menggunakan metode yuridis normatif. Yayasan diberi amanah mengelola harta wakaf, berdasarkan Pasal 26 Ayat (3) UU Yayasan, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. Yayasan dapat berperan sebagai nazhir sesuai UU Wakaf. Yayasan yang mengelola wakaf dengan melakukan kegiatan bisnis yang produktif wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai peruntukannya dan mengupayakan benda wakaf sebagai modal bisnis tersebut terjaga utuh, namun produktif dan berkembang. Pengelolaan aset wakaf harus sesuai prinsip ekonomi syariah yang diatur Pasal 43 UU Wakaf. Meskipun harta benda wakaf menurut Pasal 3 PP Wakaf didaftarkan atas nama Nazhir (Yayasan) tidak berarti Yayasan sebagai Nazhir adalah pemilik atas harta benda wakaf. Hal ini hanya terkait perannya untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan aset wakaf. Keuntungan pengelolaan aset wakaf yang menjadi milik Yayasan sebagai nazhir sesuai dengan UU Wakaf, sebesar 10 % dari hasil keuntungan bersih pengelolaan aset wakaf yang menjadi modal bisnis. Yayasan sebagai Nazhir wakaf memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mengawasi, dan mendistribusikan hasil pengelolaan wakaf. Jika nazhir lalai atau menyalahgunakan tanggung jawabnya tersebut maka dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan UU Wakaf. Kata kunci: nazhir; produktif; wakaf; yayasan. ABSTRACT A foundation is a legal entity that is social in nature, non-profit organization and can play role as Nazhir in managing waqf objects. This article discusses to what extent foundations in managing waqf productively are linked to the Foundation Law and the Waqf Law using the normative juridical method. With regard to productive waqf, foundations can manage the waqf assets productively but the allocation is still intended for the benefit of the waqf recipient in accordance with the provisions in the waqf pledge deed. Related to the mandate to manage waqf assets, based on Article 26 Paragraph (3) of the Foundation Law, Waqf Law shall apply. Foundations are required to manage and develop waqf assets according to their allotment and keep the waqf objects intact as business capital. The management of waqf assets must be in accordance with the principles of sharia economics as stated in Article 43 of the Waqf Law. Although the property of waqf according to Article 3 PP Waqf is registered under Nazhir’s name, it is only related to its role in managing and supervising waqf assets not as the owner of the property, and the benefit is only 10% of the net profit. Foundations as waqf nazhir have the responsibility to maintain, supervise and distribute the results of waqf management. Under the Waqf Law, Nazhir can be subject to sanctions if he is negligent or abuses their responsibilities. Keywords: foundation; nazhir; productive; waqf.

Filter by Year

2016 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 9 No. 1 (2024): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 9 Nomor 1 September 2024 Vol. 8 No. 2 (2024): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Number 2 March 2024 Vol. 8 No. 1 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Nomor 1 September 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 March 2023 Vol. 7 No. 1 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Nomor 1 September 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 2 Maret 2022 Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021 Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020 Vol 4, No 2 (2020): VOL 4, NO 2 (2020): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol. 4 No. 2 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 2 Maret 2020 Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 1 September 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019 Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 2 Maret 2018 Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 2 Maret 2017 Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016 Vol 1, No 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum More Issue