cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Majalah Farmaseutik
ISSN : 1410590x     EISSN : 26140063     DOI : -
Core Subject : Health,
Majalah Farmaseutic accepts submission concerning in particular fields such as pharmaceutics, pharmaceutical biology, pharmaceutical chemistry, pharmacology, and social pharmacy.
Arjuna Subject : -
Articles 20 Documents
Search results for , issue "Vol 17, No 2 (2021)" : 20 Documents clear
Studi Docking Molekuler Senyawa Dalam Minyak Atsiri Pala (Myristica fragrans H.) Dan Senyawa Turunan Miristisin Terhadap Target Terapi Kanker Kulit Alfian Bagas Pratama; Rina Herowati; Hery Muhamad Ansory
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.59297

Abstract

Kanker kulit adalah penyakit di mana kulit kehilangan kemampuannya untuk regenerasi dan tumbuh secara normal. Penyebab umum terjadinya kanker kulit adalah intesitas paparan sinar UVB. Penelitian terdahulu telah membuktikan kandungan senyawa di dalam minyak atsiri pala (Myristica fragrans H.) khususnya miri stsin memiliki khasiat sebagai antioksidan dan efek cytotoxic. Telah dilakukan skrining target molekuler dari kandungan kimia minyak atsiri pala beserta turunan miristisin-nya terhadap target molekuler antikanker kulit antara lain Heat Shock Protein 90 (HSP90A), Prostaglandin Synthase 2 (PTGS2) dan Dihydroorotate Dehidrogenase (DHODH), dan memprediksi interaksi senyawa dari ke 61 ligan uji dengan target molekuler tersebut, kemudian dilakukan docking molekuler menggunakan perangkat lunak PyRx 0.8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa dalam minyak atsiri pala yaitu Guanicin memiliki nilai ΔGbind yang baik pada  HSP90A dengan nilai -8,2 kkal/mol. Hasil docking antara protein PTGS2 dan DHODH dengan ligan baik dari senyawa dalam minyak atsiri pala maupun senyawa turunan miristisin menunjukkan bahwa hampir semua ligan dapat berinteraksi dengan kedua target dengan ligan yang nilai ΔGbind paling kecil dan memiliki model interaksi terbaik dari senyawa minyak atisi pala adalah asam dihidroguaiaretik, dengan nilai ΔGbind secara berurut-urut sebesar  -8,1 kkal/mol dan -9,3 kkal/mol.
Comparison Review of Two Regulatory Agencies Regulation: Therapeutic Goods Administration (TGA) and the European Medicine Agency (EMA) in Relation to Good Manufacturing Practice (GMP) Guideline Farida Aziza
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.60237

Abstract

There are some regulatory bodies in the world that impacting the pharmaceutical industry to operate and perform Good Manufacturing Practice (GMP) principles. These regulatory bodies exist to ensure that the pharmaceutical product and other human supporting products have a high standard of quality, safety, and efficacy from product registration to product distribution to the patient. This article reviews some aspects which is regulated by two of regulatory entities including Therapeutic Goods Administration (TGA) and European Medicines Agency (EMA) in relation with Good Manufacturing Practice (GMP) principles. The GMP principles which is structured by these regulatory agencies may be originally created by the agencies or influenced by other regulatory body concepts. The guidance can be a primary source or second reference for the pharmaceutical industry in impacting countries depending on the guideline’s legal status. It is noticeable that both regulatory bodies have some similar concepts to support GMP implementation and some differentt practices which may be considered by the pharmaceutical industry when it is aimed to market their product in the regulated countries. 
Tingkat Pengetahuan Petugas Pengelola Vaksin dan Evaluasi Pengelolaan Vaksin di Puskesmas Kabupaten Sleman Septimawanto Dwi Prasetyo; Bunga Carina Vidia Ningrum; Elizabeth Henny Irianingrum; Farras Talitha Oktarini; Ismah Nizza
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.60435

Abstract

Vaksin merupakan produk biologis yang sangat rentan sehingga diperlukan pengelolaan vaksin yang tepat untuk menjaga kualitas vaksin. Kualitas vaksin perlu dipertahankan sejak vaksin diproduksi sampai sebelum diberikan kepada pasien. Pengelolaan vaksin yang tepat juga perlu didukung oleh petugas yang terlatih dan bertanggung jawab. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengelolaan vaksin dan tingkat pengetahuan pengelola vaskin di Puskesmas Kabupaten Sleman. Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari enam puskesmas di Kabupaten Sleman. Pengumpulan data diperoleh dari observasi langsung, wawancara, dan pengisian kuesioner. Data kemudian dianalisis secara statistik berupa persentase. Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi yang menggambarkan pengelolaan vaksin dan tingkat pengetahuan pengelola vaksin. Pada penelitian ini diketahui bahwa tingkat pengetahuan petugas pengelola vaksin tergolong baik. Aspek tingkat pengetahuan yang tergolong baik adalah aspek penyimpanan, pelayanan, pencatatan dan pelaporan vaksin, sedangkan aspek perencanaan, pengendalian dan distribusi vaksin tergolong kurang baik. Pada penelitian ditemukan bahwa semua aspek pengelolaan vaksin sudah tergolong baik, namun masih ditemukan beberapa hal yang kurang baik. Sebanyak 28% puskesmas mengalami over stock  vaksin dan 40% puskesmas belum menyimpan vaksin dengan memberi jarak antar kotaknya. Masih terdapat 72% puskesmas memiliki vaksin yang kedaluwarsa dan 36% belum mencatat suhu vaksin pada saat libur.
Hubungan Karakteristik, Kepatuhan, dan Outcome Klinis Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Kabupaten Bantul Muh Irham Bakhtiar; Chairun Wiedyaningsih; Nananng Munif Yasin; Susi Ari Kristina
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.60681

Abstract

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan Hasil Profil Kesehatan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2017, keberhasilan terapi tuberkulosis sebesar 65% dalam hal ini berada dalam posisi terendah dan dibawah target minimal 85% (secara nasional). Angka keberhasilan pengobatan penyakit TB erat kaitannya dengan kepatuhan pengobatan. Berdasarkan laporan WHO 2019 Angka putus berobat pada pasien TB dindonesia 26%. Angka putus berobat ini sangat berbahaya karena jika pengobatan tidak dilakukan secara teratur akan memberikan outcome klinis yang buruk bahkan target nasional adalah tidak boleh melebih >10 %. Tujuan penelitian ini yaitu melihat gambaran pengetahuan pasien TB  Paru, mengetahui gambaran kepatuhan pengobatan dan melihat hubungan antara kepatuhan pengobatan terhadap outcome klinis. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan studi cross sectional yang dilakukan di wilayah Kabupaten Bantul tersebar di 15 Puskesmas pada periode Maret-Juni 2020. Alat ukur kepatuhan pengobatan menggunakan kuesioner Morisky Green Levine Test (MGLT). Total subyek dalam penelitian ini adalah 57 responden dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi penelitian. Semua responden mimiliki pengetahuan yang tinggi (>5) baik pada pasien patuh maupun tidak patuh. Gambaran kepatuhan pengobatan TB paru bahwa terdapat 51 (89,5%) responden patuh dalam pengobatan dengan menjawab “ Tidak” pada 4 pertanyaan dalam Kuesioner MGLT dan terdapat 6 (10,5%) responden yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru dengan jawaban yang beragam mulai dari bahwa responden merasa tidak membaik sebanyak 60%, beralasan lupa sebanyak 33%, karena lalai dalam pengobatan 16% responden dan karena merasa dirinya membaik 16%. Hubungan antara kepatuhan pengobatan dengan outcome klinis pasien tuberkulosis paru tidak ada perbedaan signifikan secara statistik dikarenakan outcome klinis membaik pada kelompok patuh maupun tidak patuh.Kata Kunci : Kepatuhan Pengobatan, Outcome Klinis, TB-Paru, MGLT
Luaran Klinis dan Analisis Biaya Konversi dari Antibiotik Intravena Ke Oral pada Pasien Community Acquired Pneumonia di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada Altaufik Ngani; Titik Nuryastuti; Tri Murti Andayani
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.60694

Abstract

Beberapa studi mengusulkan konversi terapi antibiotik intravena ke oral untuk menurunkan lama rawat inap dan biaya dalam pengobatan Community Acquired Pneumonia (CAP) yang masih menjadi masalah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang praktik konversi antibiotik intravena ke oral pada pasien CAP serta menganalisis biaya dari terapi tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross sectional terhadap pasien CAP di RSA UGM. Data yang diambil berupa rekam medik pasien rawat inap periode Januari 2017-Desember 2019 yang selanjutnya dibagi ke dalam dua kelompok yakni kelompok konversi ≤ hari ke-3 dan kelompok konversi > hari ke-3. Hasil penelitian menunjukan bahwa switch therapy merupakan jenis konversi paling banyak digunakan (60,6%). Merujuk pada luaran klinis, terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kelompok antibiotik intravena konversi ≤ hari ke-3 dan kelompok antibiotik antibiotik intravena konversi >hari ke 3 terhadap LOS (4,21±0,99 vs 5,65±1,40). Hal yang sama terjadi pada analisis biaya, yang juga menunjukan perbedaan siginifikan (p<0,05) antara kelompok antibiotik intravena konversi ≤ hari ke-3 dan kelompok antibiotik intravena konversi >hari ke-3 terhadap biaya antibiotik dengan biaya total masing-masing Rp.126.022,33 vs Rp.274.283,82 dan Rp.2.610.283,66 vs Rp.3.696.681,06. Konversi antibiotik intravena ke oral ≤ hari ke-3 menghasilkan lama rawat inap yang lebih rendah dan penghematan biaya pengobatan.
Kualitas Hidup Pasien Kanker Rawat Jalan yang Menjalani Kemoterapi di RSUD Kota Yogyakarta Ratna R.; Woro Supadmi; Endang Yuniarti
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.62832

Abstract

Kualitas hidup merupakan kondisi dimana pasien memiliki kesejahteraan secara fisik, psikologis dan sosial serta mampu mengoptimalkan potensinya dalam kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari. Jenis kanker dan kemoterapi yang diberikan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien kanker dengan menggunakan kuesioner EORTC QLQ-C30 dan menganalisis hubungan karakteristik demografi pasien, jenis kanker dan stadium kanker serta regimen kemoterapi dengan kualitas hidup pasien kanker. Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan desain cross sectional dengan subyek semua pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi di RSUD Kota Yogyakarta dan memenuhi kriteria inklusi selama bulan September-Oktober 2020. Data yang diperoleh dianalisis secara univariat menggunakan distribusi frekuensi dan dianalisis statistik dengan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata kualitas hidup pada skala status kesehatan global adalah 61,03±14,07. Domain tertinggi pada skala fungsional adalah fungsi sosial dengan skor rata-rata 92,40±17,14 dan kehilangan nafsu makan merupakan domain tertinggi pada skala gejala dengan skor rata-rata 52,94±28,93. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik demografi pasien kanker (usia dan jenis kelamin) dengan kualitas hidup pada skala status kesehatan global (p < 0,05), sedangkan untuk jenis kanker, stadium, regimen dan siklus kemoterapi tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup pada status kesehatan global (p > 0,05). 
Analisis Cost Consequences Obat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RS Pemerintah Kota Yogtakarta Hesty Riza Oktastika; Woro Supadmi; Endang Yuniarti
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.63175

Abstract

Kanker merupakan penyebab utama kematian didunia. Di Indonesia kanker payudara berada di urutan kedua. Prevalensi tertinggi kanker payudara di Indonesia tahun 2013 pada provinsi D.I. Yogyakarta yaitu sebesar 2,4%. Pemberian kemoterapi menimbulkan efek samping berupa hiponatremi (20,2%), neutropenia (11,4%), leukopenia (9,6%). Penatalaksanaan efek samping tersebut mempengaruhi biaya perawatan khususnya biaya medik. Penelitian ini menggunakan desain observasional. Pengambilan data secara retrospektif yaitu Januari 2018 - Desember 2019. Pemilihan subyek penelitian semua populasi pasien kanker payudara yang sesuai dengan kriteria inklusi. Perspekstif biaya berdasarkan perspektif provider meliputi biaya selama menjalani kemoterapi sampai selesai. Data yang diambil adalah kondisi pasien, keluhan dan penggunaan kemoterapi dan biaya dari bagian keuangan RS. Hasil penelitian menunjukkan regimen kemoterapi di RS Pemerintah Kota Yogyakarta pada periode 2018 – 2019 terdapat 6 variasi yang paling banyak digunakan adalah regimen TEC 41 pasien (54%). Efek samping yang paling umum terjadi antara lain mual (89,3%), muntah (88%), neutropenia (60%), leukopenia (54%) dan anemia (46,7%). Obat kemoterapi paling tinggi regimen BEC (Rp. 19.707,273) dan terendah TAC (Rp. 9.320,663). Biaya medik obat non kemoterapi tertinggi regimen BEC (Rp. 924,836) dan terendah regimen TE (Rp. 650,000). Biaya medik lain paling tinggi pada regimen BEC (Rp. 7.435,6943) dan paling rendah pada regimen TE (Rp. 6.752,639).
Rasionalitas Pendosisan Ketorolak pada Pasien Geriatri Dengan Penurunan Fungsi Ginjal Rawat Inap di RSUD Benyamin Guluh Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara Syaifullah Saputro; Djoko Wahyono; Nanang Munif Yasin
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.63612

Abstract

Ketorolak merupakan NSAID yang utamanya dieliminasi melalui ginjal yang membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien  geriatri dengan penurunan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil rasionalitas pendosisan ketorolak, menganalisis hubungan antara rasionalitas pendosisan dengan efektivitas terapi serta kejadian efek samping pada pasien geriatri rawat inap dengan penurunan fungsi ginjal. Penelitian dilakukan dengan rancangan cross-sectional. Pengambilan data secara retrospektif  melalui penelusuran rekam medis pasien geriatri rawat inap RSUD Benyamin Guluh periode 2015-2020. Data yang diamati berupa regimen pengobatan, serum kreatinin, efektivitas terapi dan efek samping. Rasionalitas pendosisan dinilai berdasarkan kesesuaian dosis dengan referensi/formula Guisti Hayton. Efektivitas terapi tercapai jika penurunan VAS <50% dan kejadian efek samping dapat diamati pada catatan perkembangan pasien pada rekam medis. Uji statistik Chi Square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara rasionalitas pendosisan dengan efektivitas terapi dan efek samping.  Dari 100 kasus sebanyak 35 kasus mendapatkan pendosisan yang rasional dan 65 kasus pengobatan yang tidak rasional. Pendosisan rasional dengan efektivitas tercapai sebesar 85.7%  dan tidak tercapai 14.3%, pendosisan tidak rasional dengan efektivitas tercapai sebesar 83.1% dan tidak tercapai sebesar 16.9%.  Sedangkan efek samping tidak ditemukan pada kelompok rasional ataupun tidak rasional. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara rasionalitas dosis dengan efektivitas (p>0,05) maupun kejadian efek samping.
The Effect of Carrageenan Concentration on the Physical and Chemical Properties of Gummy Turmeric Acid Jamu Nurul Rochmawati; Dian Eka Ermawati
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.63615

Abstract

Turmric acid Jamu is an Indonesian herbal drink that made from turmeric and tamarind. The herbal medicine industry in Sleman Yogyakarta produces Turmric acid Jamu, but the concentration of curcuminoid has not been determined. Consumers of Turmric acid Jamu are limited to women and adults. Children rarely want to consume jamu, even though the curcuminoid in turmeric can increase appetite, especially for todler. Innovation is needed to process Turmric acid Jamu into products that more desirable and efficacious. Gummy is made with the addition of a gelling agent so that the texture is chewy. Carrageenan is a gelling agent made from seaweed and is safe for food products. The purpose of this study was to determine the effect of variations in carrageenan concentrations on physical and chemical properties, also to determine the optimum concentration of carrageenan in gummy Turmric acid Jamu according to the Indonesian National Standard on soft candy. This research is an experimental laboratory with variations in the concentration of carrageenan (7.5%; 8.0%; 8.5%) and Turmric acid Jamu as the main ingredient. The test include organoleptic, pH, weight uniformity, water content, disintegration time and the respondent acceptance test. The concentration of curcuminoid using spectrophotometry UV-VIS method and statistical analysis. The results showed that carrageenan concentration affected organoleptic, weight uniformity, moisture content, and disintegration time, but did not affect pH. The curcuminoid concentration of Turmric acid Jamu was 1.47% and the gummy was 0.03% (w/w). The carrageenan concentration of 8.0% is the optimum formula because it meets the quality requirements of the gummy and is the most preferred by the respondents.
Pengelolaan Obat yang Tidak Terpakai Dalam Skala Rumah Tangga di Kota Bandung Anis Puji Rahayu; Asti Yunia Rindarwati
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i2.64389

Abstract

Obat merupakan komoditas yang memiliki banyak manfaat, namun juga dapat memberikan dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu dampak negatifnya adalah obat sisa yang sudah tidak digunakan oleh masyarakat akan menjadi sampah B3 rumah tangga yang membahayakan lingkungan hidup. Mengingat dampak kesehatan dan lingkungan yang cukup besar terkait obat sisa, peneliti melakukan penelitian terkait pengelolaan obat yang tidak terpakai dalam skala rumah tangga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian analisis kuantitatif. Data diperoleh melalui teknik wawancara menggunakan instrumen berupa kuesioner kepada responden sebanyak 100 (seratus) rumah tangga di Kota Bandung yang dipilih melalui cluster random sampling. Hasil penelitian menunjukkan 86,0% rumah tangga memiliki obat di rumah yang diperoleh dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, dan puskesmas) (39%) dan apotek (38%). Sebanyak 25,53% dari obat yang dimiliki tidak lagi digunakan dan didominasi oleh golongan analgesik-antipiretik (6,28%) dan obat batuk dan flu (6,69%). Hampir seluruh responden di Kota Bandung (93%) membuang obat yang tidak lagi digunakan ke tempat sampah tanpa prosedur yang tepat dan sisanya membuang ke saluran air, dikubur, atau dibakar. Hal ini menunjukkan potensi resiko pencemaran lingkungan yang tinggi dan timbulnya dampak negatif lain dari segi sosial, ekonomi, dan kesehatan.

Page 2 of 2 | Total Record : 20