cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
TANJUNGPURA LAW JOURNAL
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 105 Documents
EFEKTIVITAS KEPOLISIAN SEBAGAI LEMBAGA RULE OF LAW DALAM MENGEMBAN NILAI-NILAI DEMOKRASI Christmas, Sandy Kurnia; Angelina, Piramitha
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 6, No 1 (2022): VOLUME 6 NUMBER 1, JANUARY 2022
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v6i1.46572

Abstract

AbstractAs a law enforcement agency, the police have duties and responsibilities in realizing the democratic values of the community. One form of democracy that is often done by the community is demonstration. However, democracy is often interpreted as unlimited freedom, even though the freedom of association and assembly, expressing thoughts verbally and in writing which are our human rights as humans are indeed guaranteed and protected by law, even as stated in Article 28 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and specifically regulated in the Law Number 9 of 1998 concerning Freedom to Express Opinions in Public, so that basically, demonstrations are legally permitted, but must be carried out in a civilized manner and not by violating the law. Related to this, how the effectiveness of the role of the police as a rule of law institution which is a means of social control in carrying out democratic values will be studied in this study, with the aim of analyzing it. The research method used is the juridical-normative method, with the assessment using a conceptual and case approach. The results of this study explain that the role of the police is still not effective, especially as a means of social control. In this case, preventive measures to prevent demonstrations that lead to anarchy, such as holding educational activities and legal socialization, have so far been lacking, both in intensity and creativity. AbstrakSebagai lembaga penegak hukum, kepolisian memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan dihidupinya nilai-nilai demokrasi oleh masyarakat. Salah satu bentuk cara berdemokrasi yang sering dilakukan oleh masyarakat adalah demonstrasi. Namun, demokrasi seringkali dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas, padahal kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang merupakan hak asasi kita sebagai manusia memang dijamin dan dilindungi oleh hukum, bahkan tercantum pada Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 dan secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, sehingga pada dasarnya, demontrasi diizinkan secara hukum, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang beradab dan tidak dengan melanggar hukum. Terkait hal tersebut, bagaimana efektivitas peran kepolisian sebagai lembaga rule of law yang merupakan sarana kontrol sosial dalam mengemban nilai-nilai demokrasi akan dikaji dalam penelitian ini, dengan tujuan menganalisis hal tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis-normatif, dengan pengkajian menggunakan pendekatan konseptual dan kasus. Adapun hasil penelitian ini menjelaskan bahwa peran kepolisian masih belum efektif, khususnya sebagai sarana kontrol sosial. Dalam hal ini, tindakan-tindakan preventif untuk mencegah agar tidak ada lagi demonstrasi yang berujung anarkis, seperti dengan mengadakan kegiatan pendidikan dan sosialisasi hukum, selama ini masih kurang, baik secara intensitas maupun kreativitas.
AKIBAT HUKUM PELIMPAHAN WEWENANG PENGELOLAAN KEBIJAKAN IMPOR GARAM DARI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PADA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN Ubaidillah, Guruh Septiaji; Wirawan, Tjuk; Zainuri, Zainuri
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 6, No 1 (2022): VOLUME 6 NUMBER 1, JANUARY 2022
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v6i1.47632

Abstract

AbstractThe Ministry of Maritime Affairs and Fisheries has the task of carrying out government affairs in the marine and fisheries sector to assist the President in administering state government based on Article 2 of Presidential Regulation Number 63 of 2015 concerning the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries. Meanwhile, the Ministry of Industry has the task of carrying out government affairs in the industrial sector to assist the President in administering state government as stated in Article 4 of Presidential Regulation Number 107 of 2020 concerning the Ministry of Industry. The legal consequences of the separation of authorities of the two ministries in terms of making salt import policies for the needs and fulfillment of industrial salt as after the ratification of Government Regulation No. 9 of 2018 concerning Procedures for Controlling Imports of Fishery Commodities and Salt Commodities as Raw Materials and Industrial Auxiliary Materials related to the separation of authority between the Ministry of Industry and the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, which affects the Ministry of Industry itself. According to the theory, the authority should be separated in the law before being separated directly in a government regulation. Because this separation of authority is related to power, the two Ministries have the same position in the act and the difference is their duties and functions. However, these two Ministries have a relationship in terms of the import of fishery commodities and salt commodities used as raw materials and industrial auxiliary materials. AbstrakKementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan Dan Perikanan. Sedangkan Kementerian Perindustrian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara yang terdapat dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2020 tentang Kementerian Perindustrian.Terjadi pertentangan kewenangan atau hak  terkait wewenang Impor garam, ketidak sinkronan peraturan perundang-undangan tersebut terdapat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016. Aturan ini menempatkan KKP sebagai kementrian teknis berwenang memberikan rekomendasi impor garam sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, disebutkan “dalam hal Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman digunakan sebagai Bahan Baku dan bahan penolong Industri, penetapan Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diserahkan pelaksanaannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian”. Akibat hukum dari pemisahan kewenangan dua kementerian dalam hal pengambilan kebijakan impor garam untuk kebutuhan dan pemenuhan garam industri sebagaimana setelah disahkannya PP No. 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pegaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri terkait pemisahan kewenangan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yakni berakibat kepada Kementerian Perindustrian itu sendiri. Seharusnya menurut teori kewenangan dipisahkan terlebih dahulu di dalam undang-Undang sebelum langsung dipisah dalam Peraturan Pemerintah. Karena pemisahan kewenangan ini berkaitan dengan kekuasaan, antara kedua kementerian ini memiliki kedudukan yang sama dalam undang-undang dan yang membedakan adalah tugas dan fungsinya. Namun kedua kementerian ini memiliki keterkaitan dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong Industri.
PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP PENGELOLAAN SUMBER PENDAPATAN DESA Nugroho, Wedianto Adi; Warka, Made; Zeinudin, Moh.
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 6, No 1 (2022): VOLUME 6 NUMBER 1, JANUARY 2022
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v6i1.47297

Abstract

AbstractThe center of local political power which is grounded with the issuance of Law Number 6 of 2014 concerning Villages which is personified through the Village Head and his apparatus is said to be the Village Government. Through the application of the good governance pattern for the government system, it is very necessary to use the principle of transparency and or the principle of openness as mandated by Article 26 paragraph 4 letter (f) of Law Number 6 of 2014 concerning Villages with Article 24 of Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, these two articles are in conflict The potential for misappropriation of these funds will be more open, namely in the case of corruption so that there is a need for control through the pattern of good governance. The purpose of this paper is to analyze and examine the normative problem of conflicting norms on the principle of transparency and the principle of openness in the pattern of good governance based on e-government which affects the management of village income sources. The research method used is normative research. Then use statute approach and the conceptual approach. The principle of good governance can be used as an embodiment of the concept of transparency and openness which tends to have conflicting norms. This includes the use and obligation in every government system even at the village level to use the e-government pattern in achieving good governance. The management of village income sources carried out by applying the principles of good governance is very relevant to the era of bureaucratic reform which is currently being programmed by the government because it is considered to have many benefits because it is in accordance with e-government policies in the Indonesian government system. AbstrakSentra kekuasaan politik lokal yang dibumikan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dipersonifikasi melalui Kepala Desa dan perangkatnya dikatakan sebagai Pemerintahan Desa. Melalui penerapan pola good governance bagi sistem pemerintahan maka sangat perlu menggunakan prinsip transparansi dan atau prinsip keterbukaan sebagaimana amanat Pasal 26 ayat 4 huruf (f) Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Namun kedua pasal ini mengalami pertentangan. Kekhawatiran ini muncul ketika Kepala Desa dengan segenap kewenangannya dimana salah satunya adalah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber keuangan desa untuk mengembangkan sumber pendapatan desa sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 ayat (1) Undang–Undang  Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Potensi untuk melakukan penyelewengan terhadap dana tersebut akan semakin terbuka yakni dalam kasus korupsi sehingga perlu adanya kontrol melalui pola good governance. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji permasalahan normatif adanya pertentangan norma pada asas transparansi dan asas keterbukaan pada pola pemerintahan yang baik yang berbasis ­e-government yang mempengaruhi terhadap pengelolaan sumber pendapatan desa. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian berjenis normatif. Kemudian menggunakan pendekatan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach). Prinsip good governance dapat dijadikan sebagai perwujudan terhadap konsep transparansi dan keterbukaan yang cenderung memiliki pertentangan norma. Melalui prinsip good governance ini, sistem politik dan suasana politik sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum. Termasuk didalamnya yakni penggunaan serta kewajiban dalam setiap sistem pemerintahan bahkan di tingkat desa untuk menggunakan pola e-government dalam mencapai good governance. Pengelolaan sumber pendapatan desa yang dilakukan dengan menerapkan prinsip good governance sangat relevan dengan era reformasi birokrasi yang saat ini sedang diprogramkan oleh pemerintah karena dipandang memiliki banyak manfaat karena sesuai dengan kebijakan e-government dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pertanggungjawaban Pihak Ketiga Jasa Pengolah Limbah B3 dalam Mengelola Limbah B3 Pavitasari, Kirana Kaulika; Najicha, Fatma Ulfatun
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 6, No 1 (2022): VOLUME 6 NUMBER 1, JANUARY 2022
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v6i1.47471

Abstract

AbstractThe Environmental Protection and Management Law (UUPPLH)  has endeavored to protect and preserve the environment from all pollution including B3 waste. B3 waste is the result of industrial residues or human activities which are very dangerous and toxic.Though its hazardous nature, it must be processed so it doesn’t contaminate the environment and threaten the sustainability of life. Concerning the processing of B3 waste, business activities or communities that can’t do the processing may ask third parties to process the waste which are produced. The purpose of this study is to determine the urgency of B3 waste management and the responsibility of third parties providers of B3 waste treatment services. This study uses a normative juridical method with a statutory, conceptual approach and literature review. The material used in this method is secondary dat material sourced from the legislation on B3 waste and library materials. The results showed that B3 waste had a negative impact on humans, animals, and other living things. Humans can be endangered directly or indirectly and the food chain can become toxic and endanger other animals. Therefore, B3 waste treatment is a must so as not to harm the environment and living things. B3 waste treatment services is tasked with managing waste based on an agreement with businessman or the community. If in its duties the B3 waste processing company causes B3 waste pollution, it must be responsible civilly with the principle strict liability through the provision of compensation or criminally with imprisonment as stipulated in UUPPLH AbstrakUndang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah berupaya untuk melindungi dan memelihara lingkungan dari segala pencemaran termasuk limbah B3. Limbah B3 merupakan hasil sisa industri atau kegiatan manusia yang sangat berbahaya dan beracun. Oleh karena sifatnya yang berbahaya maka harus dilakukan pengolahan agar tidak mencemari lingkungan dan mengancam keberlansungan makhluk hidup. Tentang pengolahan limbah B3, pelaku usaha atau masyarakat yang tidak dapat melakukan pengolahan dapat meminta pihak ketiga untuk mengolah limbah yang dihasilkannya tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui urgensi dari pengelolaan limbah B3 dan pertanggungjawaban pihak ketiga penyedia jasa pengolah limbah B3. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual serta penelaahan kepustakaan. Bahan yang digunakan dalam metode ini adalah bahan data sekunder yang bersumner dari peraturan perundang-undangan tentang limbah B3 serta bahan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah B3 telah berdampak negatif bagi manusia, hewan, dan makhluk hidup lainnya. Manusia dapat terancam keselamatannya secara langsung maupun tidak serta rantai makanan dapat menjadi beracun dan membahayakan hewan lainnya. Oleh karenanya pengolahan limbah B3 menjadi suatu keharusan agar tidak membahayakan lingkungan dan makhluk hidup. Pihak ketiga jasa pengolah limbah B3 bertugas untuk melakukan pengolahan limbah berdarkan kesepakatan dengan pelaku usaha atau masyarakat.  Apabila dalam tugasnya perusahaan pengolah limbah B3 menyebabkan pencemaran limbah B3 maka harus bertanggung jawab secara perdata dengan prinsip tanggung jawab multak melalui pemberian ganti rugi atau secara pidana dengan pidana penjara yang telah ditentukan dalam UUPPLH.
MENAKAR EFEKTIVITAS PENDEKATAN PENAATAN (COMPLIANCE APPROACH) DAN PENDEKATAN PENJERAAN (DETERRENCE APPROACH) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN Prastiti, Hilda Swandani
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 6, No 1 (2022): VOLUME 6 NUMBER 1, JANUARY 2022
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v6i1.45403

Abstract

AbstractIn an effort to regulate environmental law, it is known that there is a Command and Control instrument which is also known as a regulatory chain because the process starts from planning, drafting regulations, issuing permits, monitoring to the imposition of sanctions. In its implementation, it is known that there is a compliance approach and a deterrence approach. The compliance approach is identical to preventive legal remedies, while the deterrence approach is identical to repressive law enforcement. This paper analyzes the effectiveness of both through various sources and references. The results of the study show that although both approaches have advantages and disadvantages, in the context of structuring environmental law in Indonesia, their existence is still needed to be the next law enforcement effort when law enforcement that was carried out earlier did not go well. The key to effectiveness is in addition to being in compliance, the element of firmness and consistency of law enforcement and administrative officials also has a major role in efforts to realize environmental management in order to encourage improvements in environmental management in Indonesia.AbstrakDalam upaya penataan hukum lingkungan dikenal adanya instrumen Command and Control yang disebut juga rantai regulasi karena prosesnya dari perencanaan, penyusunan regulasi, penerbitan izin, pengawasan hingga ke pengenaan sanksi. Dalam pelaksanaannya dikenal adanya pendekatan penaatan atau compliance approach dan pendekatan penjeraan atau deterrence approach. Pendekatan penaatan indentik dengan upaya hukum preventif, sementara pendekatan penjeraan identik dengan penegakan hukum represif.  Tulisan ini menganalisa efektifitas keduanya melalui berbagai sumber dan referensi. Hasil studi menunjukkan bahwa kedua pendekaan tersebut meskipun memiliki kelebihan dan kekurangan, namun dalam konteks penataan hukum lingkungan di Indonesia keberadaan keduanya masih diperlukan untuk menjadi upaya penegakan hukum berikutnya manakala penegakan hukum yang dilakukan lebih dulu tidak berjalan dengan baik. Kunci efektifitas selain berada pada kepatuhan, unsure  ketegasan dan konsistensi para penegak hukum dan pejabat administratif juga memiliki  peran yang besar dalam upaya mewujudkan penataan lingkungan hidup guna mendorong perbaikan pengelolan lingkungan hidup di Indonesia.
DEMOKRASI EKONOMI PADA KEBIJAKAN HAK KONSESI PELABUHAN DI INDONESIA DAMPAK DEMONOPOLISASI PT.PELINDO (PERSERO) Putu Samawati Saleh; Wahyu Ernaningsih; Suci Falmbonita
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.51756

Abstract

AbstractThe demonopolization policy towards PT.Pelindo (Persero) through Law No.17 Year 2008 concerning Shipping, is carried out by the government based on the demands of globalization in order to create perfect competitive market conditions, efficiency and effectiveness in corporate management. Demonopolization has an impact on the change in the status of PT. Pelindo (Persero), which was previously a regulator and operator by monopolizing port business activities, and become a port operator in the format of a Port Business Enterprise (PBE). As PBE PT.Pelindo (Persero) has the same status as a Private PBE, where the exploitation of ports is done through concession rights granted by the Port Authority (PA). The fundamental issue is to examine whether the concession rights which are the impact of demonopolization are in line with the concept of economic democracy based on the Indonesian constitution. The study was conducted using a normative juridical research method and a legislative approach. The results of the study are anticipatory strategies that can be considered by the government in determining policies that prioritize the principles of democracy economy in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia. Determination of the choice to determine the granting of the port concession rights to the private sector must be able to be decided on carefully consideration. The most important thing is to ensure that the economic democratic system must be able to be implemented in the performance of ports even though managed by the private sector, not to override the protection function of the lives of many people in order to achieve the demands of the maximum profit of the company.AbstrakKebijakan demonopolisasi terhadap PT.Pelindo (Persero) melalui Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dilakukan oleh pemerintah atas dasar tuntutan globalisasi demi menciptakan kondisi pasar persaingan sempurna, efisiensi serta efektifitas dalam pengelolaan korporasi. Demonopolisasi berdampak pada perubahan status PT.Pelindo (Persero) yang semula berkedudukan sebagai regolator dan operator dengan memonopoli kegiatan usaha kepelabuhanan, berubah hanya menjadi operator pelabuhan dalam format Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Sebagai BUP PT.Pelindo (Persero) memiliki status yang sama dengan BUP Swasta, dimana pengusahaan atas pelabuhan dilakukan melalui hak konsesi yang diberikan oleh Otoritas Pelabuhan. Persoalan mendasar yang menjadi bahasan dalam artikel ini adalah untuk menguji apakah hak konsesi yang merupakan dampak dari demonopolisasi sejalan dengan konsep demokrasi ekonomi berdasarkan konstitusi Indonesia. Kajian dilakukanlah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian berupa strategi antisipasi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan yang mengutamakaprinsip-prinsip perekonomian kerakyatan sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia. Penentuan pilihan untuk menetapkan pemberian hak konsesi pelabuhan kepada swasta harus mampu diputuskan dengan dasar pertimbangan yang kuat. Hal terpenting adalah memastikan bahwa sistem demokrasi ekonomi harus mampu diterapkan dalam pelaksanaan kinerja pelabuhan meskipun dikelola oleh swasta, jangan sampai mengenyampingkan fungsi perlindungan akan hajat hidup orang banyak demi mencapai tuntutan keuntungan maksimal perusahaan.
RELEVANSI PEMBACAAN DAN PENANDATANGANAN AKTA DI HADAPAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIL ERA DIGITAL Endah Kusumaningrum
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.61794

Abstract

AbstractIn making a notary deed, the reading and signing of the deed is carried out in the physical presence of the appearers before the notary. Such provisions do not accommodate the demands of an all-digital era, while the authentic nature of the deed still needs to be maintained because it contains the hopes of the appearers for guaranteed certainty and legal protection of the rights of the appearers. This study aims to examine the relevance of applying the provisions of the physical presence of appearances before a Notary in reading and signing of deeds in making Notary deeds in the digital era and to examine the weaknesses of applying the reading and signing of deeds in making digital-based Notary deeds. The author uses normative legal research methods. The results show that the physical presence of appearers before a Notary at reading the deed in making a Notary deed is not fully relevant to be applied in the digital era because it does not accommodate the demands of the times that require practicality, but on the other hand the conventional way of signing the deed remains relevant to be implemented because it protects the authentic values ofthe Notary's deed. The weakness of digitizing the reading of the deed is that it allows a lack of correct understanding by the appearers of the contents of the deed so that it has the potential for conflict. Meanwhile, the digitization of the signing of the deed causes loss of jurisdiction, unfair competition among notaries, the uncertainty of the date of making the deed and the potential for cybercrime to occur.AbstrakDalam pembuatan akta Notaris, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan dengan kehadiran fisik para penghadap di hadapan Notaris. Ketentuan demikian tidak mengakomodir tuntutan zaman yang serba digital, sementara itu sifat otentik akta tetap perlu dijaga karena di dalamnya terdapat harapan parapenghadap akan jaminan kepastian dan perlindungan hukum atas hak para penghadap. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji relevansi penerapan ketentuan kehadiran fisik para penghadap di hadapan Notaris pada pembacaan dan penandatanganan akta dalam pembuatan akta Notaris di era digital danmengkaji kelemahan penerapan pembacaan dan penandatanganan akta pada pembuatan akta Notaris berbasis digital. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran fisik para penghadap di hadapan Notaris pada pembacaan akta dalam pembuatan akta Notariil tidak sepenuhnya relevan untuk diterapkan di era digital karena tidak mengakomodir tuntutan zaman yang menghendaki kepraktisan, namun di sisi lain cara konvensional penandatanganan akta tetap relevan untuk diterapkan karena melindungi nilai-nilai otentik akta Notaris. Kelemahan digitalisasi pembacaan akta yaitu memungkinkan minimnya pemahaman yang benar oleh para penghadap terhadap isi akta sehingga berpotensi konflik. Sedangkan digitalisasi penandatangan akta menyebabkan hilangnya yurisdiksi kewenangan, persaingan tidak sehat diantara Notaris, tidak terjaminnya kepastian tanggalpembuatan akta serta berpotensi terjadi kejahatan siber.
TENTARA BAYARAN DALAM KAITAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERAPUHAN PERDAMAIAN INTERNASIONAL Erwin Erwin; Herlina Herlina
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.61448

Abstract

AbstractArmed conflict always occurs in human life, at any time and at any time. To achieve the objectives in an armed conflict, all efforts and means will be used by the parties. One of them is in terms of personnel the presence of mercenaries (mercenaries). The presence of mercenaries is generally due to armed conflicts,especially in third world countries which are usually always related to political issues. This paper is to find out the implications of the existence of mercenaries on the fragility of international peace-building. The distribution of mercenaries in various armed conflicts can have implications that the existence of mercenaries can threaten world peace. AbstrakKonflik bersenjata selalu terjadi dalam kehidupan manusia, di saat manapun dan kapanpun. Untuk mencapai tujuan dalam konflik bersenjata, maka segala daya upaya dan cara akan dipergunakan oleh para pihak. Salah satunya dalam hal personel hadirnya tentara bayaran (mercenary). Hadirnya tentara bayaran(mercenary) umumnya karena adanya konflik-konflik bersenjata terutama di negara dunia ketiga yang biasanya selalu berkaitan dalam masalah politik. Tulisan ini untuk mengetahui implikasi keberadaan tentara bayaran (mercenary) terhadap kerapuhan bangunan perdamaian (peace-building) internasional. Sebaran tentara bayaran (mercenary) pada berbagai konflik bersenjata maka dapat berimplikasi bahwa keberadaan tentara bayaran (mercenary) dapat mengancam perdamaian dunia.
TUNTUTAN GANTI RUGI PADA PERLUASAN KEWENANGAN PTUN (STUDI KASUS BANJIR JAKARTA DAN PALEMBANG) Erna Ratnaningsih
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.61840

Abstract

AbstractOne of the characteristics of a rule of law state is the existence of a State Administrative Court (PTUN) which guarantees that the government does not act arbitrarily against their people. The decision-making organs of the state sometimes do not pay much attention to the general principles of good governance and the applicable laws which result in losses for the community. To guarantee the rights of citizens, there is an extension of PTUN's authority. The type of research used is normative juridical research. The formulation of the problem in this paper is the extension of the authority of the Administrative Court and its implication to the community rights. It also creates obstacles to get justice because there is no clear mechanism in implementing the demands compensation for tort (PMH) by Government. Therefore, people can only sue but do not get actual compensation. The findings in this study regarding the decisions of flood cases in Jakarta and Banjarmasin are that there are injustice in demanding compensation. To ensure legal certainty and protection of the community, the extension of PTUN's authority must stipulate complete provision regarding the tort compensation mechanism, compensating for factual losses experienced by the community by the House of Representative in the amendment to Law Number 5 of 1986 concerning PTUN.AbstrakSalah satu ciri dari negara hukum adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menjamin agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sering kali pengambilan keputusan organ negara tidak memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Untuk menjamin hak-hak warga negara maka terdapat perluasan kewenangan PTUN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Rumusan masalah dalam makalah ini adalah perluasan kewenangan PTUN dan implikasinya terhadap hak-hak warga negara. Perubahan ini berdampak pada adanya hambatan dalam mendapatkan keadilan karena belum adanya mekanisme yang jelas dalam pelaksanaan atas tuntutan ganti kerugian. Sehingga masyarakat hanya dapat menuntut namun tidak mendapatkan ganti kerugian aktual yang dideritanya. Adapun temuan dalam penelitian ini terhadap putusan kasus banjir di Jakarta dan Banjarmasin adalah adanya ketidakadilan dalam menuntut ganti kerugian pada perluasan kewenangan PTUN. Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan masyarakat maka perluasan kewenangan PTUN harus mengatur ketentuan lengkap tentang mekanisme ganti kerugian PMH, mengganti kerugian faktual yang dialami oleh masyarakat oleh Pemerintah dalam perubahan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
SETTLEMENT OF DEFAMATION CRIMINAL CASES THROUGH SOCIAL MEDIA WITH A RESTORATIVE JUSTICE APPROACH Indah Satria; I Gede Agung
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.61344

Abstract

AbstractLiterally, Restorative Justice is the restoration of justice, but more clearly Restorative Justice is an approach that focuses on conditions for the creation of justice and balance for the perpetrators and the victims themselves. Meanwhile, defamation is an act of attacking someone's honor or good name by accusingsomething that is clearly meant so that it is publicly known. This study aims to find out what Restorative Justice is, how cases of defamation are resolved with this approach, and what are the factors the perpetrators commit criminal acts of defamation in the study of decisions examined. The factors causing the occurrence of defamation crimes through social media in the city of Bandar Lampung are heartache factors due to events experienced by perpetrators of defamation through social media, there are also political factors, as well as factors of lack of legal awareness by perpetrators of defamation crimes through social media. AbstrakSecara harfiah Keadilan Restoraif adalah pemulihan keadilan, tetapi secara lebih jelas Keadilan Restoratif adalah suatu pendekatan yang menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku serta korbannya sendiri. Sedangkan pencemaran nama baik adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa itu Keadilan Restoratif atau Restorative Justice, bagaimana penyelesian perkara pencemaran nama baik dengan pendekatan tersebut, dan apa faktor-faktor pelaku melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dalam studi putusan yang di teliti. Adapun faktor penyebab terjadinya kejahatan pencemaran nama baik melalui media sosial di kota Bandar Lampung adalah faktor sakit hati akibat adanya peristiwa yang dialami pelaku kejatahan pencemaran nama baik melalui media sosial, juga ada pula faktor politik, serta faktor kurangnya kesadaran hukum oleh pelaku kejahatan pencemaran nama baik melalui media sosial.

Page 7 of 11 | Total Record : 105