cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
TANJUNGPURA LAW JOURNAL
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 105 Documents
DIPLOMATIC‌ ‌IMMUNITIES‌ ‌FROM‌ ‌THE‌ ‌PERSPECTIVE‌ ‌OF‌ ‌ CRIMINAL,‌ ‌CIVIL,‌ ‌AND‌ ‌ADMINISTRATIVE‌ ‌JURISDICTIONS‌ ‌ OF‌ ‌THE‌ ‌RECEIVING‌ ‌STATE‌ Nurhartanto, Gregorius Sri
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 5, No 1 (2021): VOLUME 5 ISSUE 1, JANUARY 2021
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v5i1.46220

Abstract

AbstractA diplomatic mission is the representative of the sending state in the receiving state to carry out a sacred mission. For supporting the functions, diplomatic missions and diplomatic agents are given privileges and immunities rights. The privileges and immunities rights are not for individual diplomatic agents, but more importantly for the benefit of the mission as a whole. The consequence of having the privileges and immunities rights is the diplomatic missions and diplomatic agents are excluded from the local jurisdiction of the receiving state in the areas of criminal, civil and administrative law. This consequence creates complexity for the receiving country to follow up on diplomatic officials and their families if there is a violation or abuse of diplomatic immunity and privileges. There are some exceptions in world history where diplomatic officials can be followed up by recipient countries which can set a precedent for diplomatic immunity and privileges.AbstrakMisi diplomatik adalah misi resmi negara pengirim di negara penerima yang mengemban misi suci. Guna menunjang kelancaran tugas misi diplomatik maka misi diplomatik dan pejabat diplomatik diberikan hak-hak kekebalan dan keistimewaan. Hak-hak kekebalan dan keistimewaan itu bukan semata-mata untuk diri pejabat diplomatik maupun anggota keluarganya, tetapi yang lebih penting adalah untuk kepentingan misi secara keseluruhan. Konsekuensi dari dimilikinya hak-hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah misi diplomatik dan pejabat diplomatik beserta anggota keluarganya dikecualikan dari yurisdiksi lokal negara penerima baik di area hukum pidana, perdata maupun acara. Konsekuensi ini mengakibatkan kompleksitas bagi negara penerima untuk menindak lanjuti pejabat diplomatik beserta keluarganya bila terjadi suatu pelanggaran maupun penyalahgunaan kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut. Terdapat beberapa pengecualian terjadi di dalam sejarah dunia dimana pejabat diplomatik dapat ditindak lanjuti oleh negara penerima yang dapat menjadi preseden terkait kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL Mangku, Dewa Gede Sudika
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 2 (2020): VOLUME 4 ISSUE 2, JULY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i2.41910

Abstract

Issues relating to the protection of the marine environtment are of concern, including by international law. This research discusses the prtection and preservation of the marine environment according to international law. This research is a normative legal research. The approach used is the statutory approach. The research results show that the protection and preservation of the marine environment receives serious attention by international law, especially through regulation through the 1982 Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) which fully regulates the protection and preservation of the marine environment in a Chapter, namely Chapter XII which consists of 45 articles (192-237). In this Chapter there are several important aspects relating to the protection and preservation of the marine environment, namely the existence of general obligations of countries in terms of protecting the marine environment (Articles 192-160), obligations of the state in terms of pollution (Articles 194-196), global cooperation and in the framework of protecting the marine environment (Articles 197-201), technical assistance (Articles 202-203), environmental monitoring and analysis (Articles 204-206), making laws and regulations and accompanying law enforcement (Articles 207-234), responsibilities and compensation obligations (Article 235), immunity rights (Article 236), obligations under other conventions concerning the protection of the marine environment (Article 237). Persoalan berkaitan perlindungan lingkungan laut menjadi perhatian, termasuk oleh hukum internasional. Penelitian ini membahas perlindungan dan pelestarian lingkungan laut menurut hukum internasional. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangan-undangan. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan laut mendapatkan perhatian serius oleh hukum internasional, terutama melalui pengaturan melalui Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang secara lengkap mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam suatu Bab, yaitu Bab XII yang terdiri atas 45 pasal (192- 237). Dalam Bab tersebut terdapat beberapa aspek penting yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu adanya kewajiban umum negara-negara dalam hal perlindungan lingkungan laut (Pasal 192- 193), kewajiban negara dalam hal pencemaran (Pasal 194-196), kerjasama global dan regional dalam rangka perlindungan lingkungan laut (Pasal 197- 201), bantuan teknik (Pasal 202-203), monitoring dan analisa lingkungan (Pasal 204-206), pembuatan peraturan perundang-undang disertai penegakan hukumnya (Pasal 207-234), tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi (Pasal 235), hak kekebalan (Pasal 236), kewajiban-kewajiban berdasarkan konvensi lain mengenai perlindungan lingkungan laut (Pasal 237).
REGULATORY IMPACT ASSESTMENT TERHADAP PENGATURAN PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE PADA JASA KEUANGAN PERBANKAN Dewantara, Reka
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 1 (2020): VOLUME 4 ISSUE 1, JANUARY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i1.41788

Abstract

The use of technology in bank services including the use of artificial intelligence makes bank services promise fast and efficient processes. Included in the funding products by banks are competitive by prioritizing digitalization and inclusiveness, but the development of regulations by the banking authorities has not facilitated the development of IT. This article aims to conduct regulatory impact assetsment on regulations related to the use of artificial intelligence in bank services in Indonesia through market conduct. The research in this article uses the type of normative legal research that is legal research conducted by examining library materials or also called library research. The results of the study show that in addition to the regulations of the FSA there are contract laws that provide the basis for banks to use artificial intelligence in their service services as a basis for conducting services operationally, the use of artificial intelligence in bank services must continue to pay attention to the principles of prudence and protection for consumers including in terms of their funds and personal data, prevention of money laundering and financial terrorism, and financial system stability through market conduct.Penggunaan teknologi pada jasa layanan bank termasuk penggunaan artificial intelligence membuat layanan bank menjanjikan proses cepat dan efisien. Termasuk pada produk-produk pendanaan oleh bank bersifat kompetitif dengan mengedepankan digitalisasi dan inklusif, namun perkembangan pengaturan oleh otoritas perbankan belum mewadahi perkembangan IT tersebut. Artikel ini bertujuan melakukan regulatory impact assetsment terhadap pengaturan terkait penggunaan artificial intelligence pada jasa layanan bank di Indonesia melalui market conduct. Penelitian dalam artikel ini menggunakan Jenis Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau disebut juga library research.Hasil peneltian menunjukkan bahwa di samping regulasi dari OJK terdapat hukum kontrak yang memberikan landasan untuk perbankan menggunakan artificial intelligence pada jasa layananya sebagai dasar melakukan operasionalnya, Penggunaan artificial intelligence pada jasa layanan bank harus tetap mmperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan bagi konsumen termasuk dalam hal dana dan data pribadi mereka, pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme, dan stabilitas sistem keuangan melalui market conduct.
STUDI ATAS PASAL 63 UNDANG-UNDANG NO 18 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PPMI) Wulandari, Ria
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 3, No 2 (2019): VOLUME 3 ISSUE 2, JULY 2019
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v3i2.37513

Abstract

Law Number 18 Year 2017 on Indonesia Migrant Worker Protection has been ratified replace Law number 39 Year 2004 on Indonesian Labor Placement and protection because it is considered inappropriate with the development of needs Indonesia Migrant Worker Protection. Increasing practice of migrant worker especially internal sector migrant worker who often experience forced labor, victims of violence, arbitrariness, slavery even human trafficking and other treatment that violence human right mostly due to role service enterprise Indonesian labor role (PJTKI/PPMI) who commited many violations that causes Indonesian labor become a victim of a crime and inhuman treatment. Service enterprise role recognized in law number 39 of 2004. Law Number 18 Year 2017 as replace Law Number 39 Year 2004 expected to give more protection to Indonesian Migrant Worker although there has been a lot of progress in human right substansial one of which is recognition to informal sector migrant worker as a formal worker. However they are still required use service enterprice Indonesian Migrant Worker (article 63.1). This is contradictory with some articles in Law Number 18 Year 2017 and rises criminal act of trafficking in person.Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) di luar negeri karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan perlindungan pekerja migran Indonesia. Meningkatnya praktik pekerja migrant khususnya pekerja migran sektor informal yang sering mengalami kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, perbudakan bahkan perdagangan orang serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia sebagian besar dikarenakan peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTKI) atau Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang banyak melakukan pelanggaran yang menyebabkan pekerja migran menjadi korban tindak pidana dan perlakuan tidak manusiawi. Peran PJTKI ini diakui dalam UU Nomor 39 Tahun 2004. UU Nomor 18 Tahun 2017sebagai pengganti UU Nomor 39 Tahun 2004 diharapkan dapat lebih memberi perlindungan terhadap pekerja migran. Meski telah banyak kemajuan secara substansi pada pemenuhan hak asasi manusia salah satunya adalah pengakuan terhadap buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga sebagai pekerja formal, namun pekerja rumah tangga tetap diwajibkan menggunakan jasa Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI) (pasal 63 ayat (1)). Hal ini bertentangan dengan beberapa pasal didalam tubuh UU Nomor 18 Tahun 2017 itu sendiri dan dengan aturan-aturan lain diluar UU tersebut. Selain itu ketentuan mengenai kewajiban menggunakan PPPMI bagi pekerja rumah tangga dinilai berpotensi menimbulkan tindak pidana perdagangan orang.
KEAMANAN INTERNASIONAL KOLEKTIF DAN PERAN ORGANISASI REGIONAL Riyanto, Sigit
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 5, No 1 (2021): VOLUME 5 ISSUE 1, JANUARY 2021
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v5i1.46225

Abstract

Abstract Following the end of the Second World War, international community adopted International Collective Security system and institutionalized in the United Nations Charter.  This system considered as the new international security architecture in which the United Nations Security Council has the responsibility to design and implement accordingly in the framework of preserving international peace and security in line with the purposes and principles of the United Nations. Interestingly Chapter VIII of the United Nations Charter also provides constitutional basis for the involvement of regional organizations in the maintenance of international peace and security. As regional organizations are very diverse and not all of them are having the same posture, structure, resources and capability in the context of dealing with the challenges related to international peace and security, this article aimed at analysed the role and position of the regional organization in supporting the implementation of International Collective Security system. The first part traces the concept of International Collective Security embodied in the UN charter. The second part assesses the current engagement and role of regional organization in Europe, with special attention directed to The North Atlantic Treaty Organization (NATO). The third part critically examines the current legal arrangement in Asia with particular attention given to the Association of South-East Asian Nations (ASEAN). In conclusion the capability of NATO in supporting the implementation of the International Collective Security system upon the authorization of the UN Security Council is widely recognized by the international community. However, the overstepping of the mandate may have a negative effect in the future, particularly on the credibility of the responsibility to protect in the context of gross human rights violations. In such a context, to became a more effective player in the future, ASEAN needs to make further adjustment.Abstrak Salah satu penanda penting pembentukan organisasi internasional PBB adalah diterima dan dilembagakannya sistem Keamanan Internasional Kolektif dalam Piagam PBB. Sistem Keamanan Internasional Kolektif merupakan arsitektur keamanan internasional yang baru yang diterima masyarakat internasional paska Perang Dunia Kedua. Dalam sistem ini Dewan Keamanan PBB memiliki tanggungjawab utama untuk merancang dan mengimplementasikan sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan PBB. Faktanya, Piagam PBB Bab VIII juga memberikan landasan konstitusional bagi kerangka Kerjasama regional dalam rangka melaksanakan upaya-upaya perdamaian dan keamanan internasional. Mengingat kini terdapat berbagai organisasi internasional dengan beragam struktur, kapasitas, dan kapabilitas dalam upaya menangani masalah-masalah perdamaian dan keamanan internasional; tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji posisi dan peran organisasi regional dalam mendukung implementasi sistem keamanan internasional kolektif. Bagian pertama mengkaji institusionalisasi Keamanan Internasional Kolektif dalam Piagam PBB. Bagian kedua mengkaji keterlibatan organisasi regional di Eropa, dengan perhatian utama terhadap NATO. Bagian ketiga mengkaji secara kritis kerangka kerjasama regional di Asia, dengan perhatian utama kepada ASEAN. Faktanya kapasitas NATO dalam mendukung implementasi sistem keamanan internasional kolektif telah diakui dan mendapat apresiasi masyarakat internasional. Namun demikian, kegiatan yang melampaui mandat yang diberikan kepadanya telah menimbulkan kekhawatiran tentang akuntabilitas dan kredibilitasnya untuk memberikan perlindungan mana kala terjadi pelanggaran HAM di masa depan. Dalam konteks yang sama ASEAN perlu melakukan transformasi signifikan untuk dapat berperan lebih efektif dalam tatakelola internasional di masa depan. 
PELAKSANAAN KEWAJIBAN NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DASAR BERDASARKAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (STUDI DI KOTA SINGKAWANG) Itasari, Endah Rantau
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 2 (2020): VOLUME 4 ISSUE 2, JULY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i2.41914

Abstract

Indonesia as a party to the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) is bound to implement these provisions based on the international obligations contained therein, including concerning the fulfillment of the right to basic education. This paper is the result of research on how the implementation of the obligation to fulfill the right to basic education, especially in Singkawang City, is based on the ICESC. This research is empirical normative legal research using primary data and secondary data. The data obtained through interviews and library research were then analyzed qualitatively. From the research results, it was found that the implementation of the fulfillment of the right to basic education based on the ICESCR in Singkawang City has been gradually fulfilled. Technical factors, geographical factors, and factors implementing the provisions of laws and regulations that are not yet synchronized and complete are the determining factors for the fulfillment of basic education rights in Singkawang City.Indonesia sebagai pihak pada International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kewajiban-kewajiban internasional yang terkandung di dalamnya, termasuk dalam kaitannya dengan pemenuhan hak atas pendidikan dasar. Tulisan ini merupakan hasil penelitian terhadap bagaimana pelaksanaan kewajiban pemenuhan hak atas pendidikan dasar, khususnya di Kota Singkawang berdasarkan ICESC. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh melalui wawancara dan melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pelaksanaan pemenuhan hak atas pendidikan dasar berdasarkan ICESCR di Kota Singkawang telah secara bertahap dipenuhi. Faktor teknis, faktor geografis dan faktor implementasi ketentuan peraturan perundangan-undangan yang belum sinkron dan komplit menjadi faktor-faktor penentu pemenuhan hak pendidikan dasar di Kota Singkawang.
PENGARUH YURISPRUDENSI TERHADAP PRINSIP KEMERDEKAAN HAKIM Sianipar, Favian Partogi Alexander
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 1 (2020): VOLUME 4 ISSUE 1, JANUARY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i1.41789

Abstract

In the legal system in Indonesia, a jurisprudence is often used in the context of legal discovery. Although theoretically, the Judge is not bound by Jurisprudence, on the other hand, it creates a firm intention for Judges to follow higher court decisions. This raises a contradiction regarding the position of Jurisprudence in the legal system adopted in Indonesia. The contradiction came from legal scholars in particular Judges who did not approve of the use of Jurisprudence in their decisions because it violated the independence of Judges who had been regulated in Article 24 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and guidelines for the enforcement of a code of ethics and a code of conduct for judges. Based on the discussion above, in this article, the writer is interested in exploring whether the application of jurisprudence can affect the independence of judges. This article concludes that when the Supreme Court judges a court decision with a permanent legal force as a jurisprudence, it is changed into positive law. Then other judges can use jurisprudence as a basis for consideration in their decisions. This certainly does not damage the independence of the Judges listed in the code of ethics in deciding a case.Dalam sistem Hukum di Indonesia masih sering digunakan suatu Yurisprudensi dalam rangka penemuan hukum. Sekalipun secara teoritis memang Hakim tidak terikat dengan Yurisprudensi namun disisi lain menciptakan intensi yang kuat bagi para Hakim untuk mengikuti putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan suatu pertentangan mengenai kedudukanYurisprudensi dalam sistem hukum yang dianut di Indonesia. Pertentangan tersebut berasal dari sarjana hukum pada khususnya Hakim yang tidak menyetujui digunakan Yurisprudensi dalam putusannya karena melanggar suatu kemandirian Hakim yang telah diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku Hakim. Bertitik tolak dari pembahasan tersebut di atas, dalam artikel ini penulis tertarik untuk menggali apakah berlakunya yurisprudensi dapat mempengaruhi kemerdekaan hakim. Artikel ini menyimpulkan bahwa Ketika Suatu putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut di nilai oleh Mahkamah Agung sebagai sebuah Yurisprudensi, maka sifatnya berubah menjadi hukum positif. Maka Hakim lain dapat mempergunakan yurisprudensi tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam putusannya. Hal tersebut tentu tidak menciderai kemandirian Hakim yang tercantum dalam kode etik dalam memutuskan suatu perkara.
LARANGAN TINDAKAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Sirait, Resmaya Agnesia Mutiara
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 4, No 2 (2020): VOLUME 4 ISSUE 2, JULY 2020
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v4i2.33980

Abstract

One of the substance of Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition is the provision that regulates collusion in tenders. The provision is regulated in Article 22 which is a special provision with the aim of creating a conducive business climate to support and develop activities for the provision of quality goods and services and at competitive prices. Considering that the impact of the conspiracy in tenders is very significant for national economic development and a healthy competitive climate, the regulation regarding the prohibition of tender conspiracy can be applied both with a rule of reason approach and with a per se illegal approach, so that administrative sanctions and criminal sanctions as well as additional criminal sanctions that will be imposed on business actors can run as desired by Law Number 5 Year 1999. The impact of collusion actions in tenders is not just economic development National and unfair competition climate, but other impacts can be felt by consumers as tender givers who can experience material and immaterial losses. Consumer protection is needed as an effort made to safeguard consumer rights and develop behavior attitudes of responsible business actors.Salah satu substansi Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah ketentuan yang mengatur persekongkolan dalam tender. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 yang merupakan ketentuan khusus dengan tujuannya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendukung dan menumbuh kembangkan kegiatan penyediaan barang dan jasa yang berkualitas dan dengan harga yang bersaing. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan dalam tender sangat signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional dan iklim persaingan yang sehat, maka pengaturan mengenai larangan persekongkolan tender dapat diterapkan baik dengan pendekatan secara rule of reason maupun dengan pendekatan secara per se illegal, sehingga sanksi administratif dan sanksi pidana serta pidana tambahan yang akan dijatuhkan pada pelaku usaha dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dampak yang ditimbulkan dari tindakan persekongkolan dalam tender bukan hanya kepada pembangunan ekonomi nasonal dan iklim persaingan tidak sehat, akan tetapi dampak lain dapat dirasakan oleh konsumen selaku pemberi tender yang dapat mengalami kerugian materiil maupun immaterial. Perlindungan konsumen diperlukan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk menjaga hak-hak konsumen dan menumbuh kembangkan sikap perilaku pelaku usaha yang bertanggung jawab.
ANALISIS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM SMART CONTRACT E-COMMERCE Hazilina, Hazilina; Soedagoeng, Gembongseto Hendro
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 5, No 1 (2021): VOLUME 5 ISSUE 1, JANUARY 2021
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v5i1.46223

Abstract

Abstract This article aims to analyze how the implementation of the principle of freedom of contract in smart contract e-commerce. Using the normative juridical method, this article concludes that the standard e-commerce agreement has not fulfilled the principle of freedom of contract and has not reflected the values of justice, balance, and proportionality. The contents of the agreement have been made unilaterally. Therefore, further studies are needed to provide space for the parties to negotiate the e-commerce sale and purchase agreement.Abstrak Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku smart contract e-commerce. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, maka kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa perjanjian baku smart cotract e-commerce tersebut belum memenuhi asas kebebasan berkontrak  dan  belum mencerminkan nilai keadilan, keseimbangan dan proporsionalitas karena  isi perjanjian telah dibuat secara sepihak. Oleh karena itu diperlukan kajian lebih lanjut untuk memberikan ruang agar para pihak dapat bernegosiasi dalam perjanjian jual beli e-commerce.
BISNIS DAN HAK ASASI MANUSIA: APA YANG DILAKUKAN ASEAN? Tarigan, Muhammad Insan
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 3, No 2 (2019): VOLUME 3 ISSUE 2, JULY 2019
Publisher : Faculty of Law, Tanjungpura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v3i2.25708

Abstract

Multinational corporations (MNCs) are business actors who have activities beyond a country's boundaries. This MNCs activities cannot be denied to have an influence on human social life, one of them is human rights. With those regards, regulations at international level have difficulties, because MNCs have not been recognized as the subject of international law. Furthermore, in the context of human rights, MNCs cannot be held accountable, because in this case only the country as the duty bearer of human rights. These conditions make no rules that can bind MNCs behavior to human rights. This article will focus on discussing how the international community takes action on business and human rights issues and the measures that ASEAN can take to engage in business and human rights issues in Southeast Asia. Although, there are some international rules that are born from various international cooperation, but the nature of the rule is the majority of soft law. These business and human rights issues became the international community's attention for a long time until finally the United Nations (UN) Representative made UN Guiding Principles, which also known as Ruggie's Principles. Southeast Asia through AICHR can take several actions to advance the protection of human rights related to business activities as contained in UNGPs and Ruggie's principles, such as AICHR can undertake study literature, encourage Member States to take effective action, engage in dialogue and consultation with organs of ASEAN, community organizations, and other stakeholders, and create a binding legal instrument concerning business and human rights.Multinational corporations (MNCs) merupakan pelaku bisnis yang memiliki aktivitas melewati batas suatu negara. Kegiatan MNCs ini tidak bisa dipungkiri memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial manusia, salah satunya hak asasi manusia (HAM). Pengaturan di tingkat internasional mengalami kesulitan, karena MNCs belum diakui sebagai subjek hukum internasional. Kemudian dalam konteks HAM, MNCs tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena dalam hal ini hanya negaralah sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) HAM. Kondisi tersebut membuat tidak ada aturan yang mengikat perilaku MNc terhadap HAM. Artikel ini akan fokus mendiskusikan bagaimana masyarakat internasional mengambil tindakan terhadap permasalahan bisnis dan HAM serta langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh ASEAN untuk ikut membicarakan bisnis dan HAM di Asia Tenggara. Meskipun, ada beberapa aturan internasional yang lahir dari berbagai kerjasama internasional, tetapi sifat dari aturan tersebut mayoritas soft law. Persoalan bisnis dan HAM ini menjadi perhatian masyarakat internasional dalam jangka waktu yang lama hingga pada akhirnya Perwakilan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat UN Guiding Principles yang juga dikenal sebagai Ruggies Principles. Asia Tenggara melalui AICHR dapat melakukan beberapa langkah untuk memajukan perlindungan HAM yang berkaitan dengan aktivitas bisnis seperti yang tertuang di dalam UNGPs dan Ruggies principles, seperti AICHR dapat melakukan study literature, mendorong negara-negara anggota untuk mengambil tindakan yang efektif, melaksanakan dialog dan konsultasi dengan organ-organ ASEAN, organisasi kemasyarakatan, dan stakeholder yang lain, serta membuat instrument hukum yang mengikat tentang bisnis dan HAM.

Page 5 of 11 | Total Record : 105