cover
Contact Name
Surya Farid Sathotho
Contact Email
suryafarid@isi.ac.id
Phone
+6282228334645
Journal Mail Official
dtreview@isi.ac.id
Editorial Address
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Dance and Theatre Review: Jurnal Tari, Teater, dan Wayang
ISSN : 25025880     EISSN : 26866027     DOI : https://doi.org/10.24821/dtr.v4i2
Core Subject : Humanities, Art,
Dance & Theater Review (DTR) is a journal published in May and November, hosted by the Faculty of Performing Arts of Institut Seni Indonesia Yogyakarta. It is firstly published in May 2018. Journal of DTR contains any results of research and creation of dance, theatre, and wayang as well as performing arts education.
Articles 71 Documents
Hasil Interpretasi Problematika Kesetaraan Gender dalam Proses Kreatif PenciptaanTari Yussi Ambar Sari
Dance and Theatre Review Vol 6, No 2: November 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v6i2.11185

Abstract

Jenis kelamin secara biologis merupakan kodrat Tuhan, sedangkan gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, bukan berdasarkan kodrat dari Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Keluarga memiliki berbagai macam aturan, mulai dari cara belajar, pergaulan, norma, tanggung jawab, ibadah, dan tata krama (sopan santun atau etika). Ketika perempuan mulai menyadari bahwa mereka memiliki permasalahan dan pengalaman yang sama, mereka menggunakan pemahaman untuk menentang cara memahami dunia yang sudah lama ada tetapi tidak sesuai dengan pengalaman yang mereka alami dalam memahami dunia. Berdasarkan pengalaman empiris koreografer tanggapan tersebut membuatnya berontak pada beberapa aturan keluarga, khususnya aturan yang dibuat oleh seorang ayah yang lebih protektif terhadap putrinya. Para feminis memandang bahwa keluarga adalah sumber kunci penindasan yang mereka alami Jika semua hal diatur seperti robot, kurang fleksibel terhadap perubahan hidup, sangat memungkinkan adanya pemberontakan terhadap aturan yang mengekangnya. Kata Kunci: Gender, Pengalaman Empiris, dan Feminis.
Konstruksi Gorga Si Mataniari pada Pertunjukan Masyarakat Batak Toba di Desa Meat, Sumatera Utara Elianasari, Suci Indri
Dance and Theatre Review Vol 7, No 1: May 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i1.13473

Abstract

Penelitian ini berfokus pada konstruksi gorga si mataniari pada pertunjukan masyarakat Batak Toba di Desa Meat, Sumatera Utara. Gorga si mataniari adalah ukiran yang mengambil bentuk matahari yang diwujudkan secara geometris pada dinding luar rumah adat Batak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk gorga si mataniari dalam sistem sosial masyarakat Batak Toba di Desa Meat, menganalisis peran Rumah Karya Indonesia (RKI) dalam mengkonstruksi nilai gorga si mataniari, dan mengidentifikasi pertunjukan yang mencerminkan konstruksi sosial ornamen tersebut. Dengan menggunakan metode kualitatif berupa observasi partisipatoris, wawancara dan dokumentasi, hasil penelitian menunjukkan bahwa gorga si mataniari tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga sebagai simbol harapan, perlindungan dan identitas yang berdampak pada kehidupan sosial dan seni pertunjukan. Peran RKI sangat signifikan dalam mempertahankan dan mengimplementasikan nilai gorga si mataniari melalui berbagai kegiatan seni dan budaya, sehingga gorga si mataniari merekonstruksi sistem sosial masyarakat Desa Meat dalam lingkup seni pertunjukan melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Kata kunci: konstruksi sosial, ornamen, gorga, pertunjukan 
Passompe: Kreativitas Rekacipta Tari Inspirasi Nilai Pappaseng Tellu Cappa Budaya Masyarakat Bugis Haruna, Ilham
Dance and Theatre Review Vol 7, No 1: May 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i1.12314

Abstract

ABSTRAKPerekaciptaan tari yang bersumber dari nilai-nilai kultural pangadereng yang termanifestasi dalam pappaseng tellu cappa dapat menjadi temuan (problem solver) yang bersifat integratif. Interpretasi bahasa nonverbal yang bersifat simbolik, menjadi kohesi koreografer sehingga menghasilkan ekranisasi terhadap gagasan visual dalam entitas karya tari ‘Passompe’. Rekacipta tari ini menggunakan metode kulitatif dan mengelaborasi pendekatan kreativitas yang ditasbihkan oleh Zeng dalam General model of the creative process yang terdiri empat fase analysis, ideation, evaluation, dan implementation. Arketipe dalam rekacipta tari juga menggunkan pendekatan eksplorasi, improvisasi dan komposisi. Repertoar tari yang memanifestasikan pappaseng tellu cappa menjadi bentuk pembacaan pesan-pesan leluhur melalui entitas bahasa nonverbal. Konstruksi substansial dalam nilai-nilai tellu cappa tersebut dapat menjadi medium pembelajaran secara universal sebagai parameter keberhasilan dalam kehidupan sosial.Kata Kunci: kreativitas, Tari, Passompe, Pappaseng, Tellu cappa, Bugis ABSTRACPassompe: The Creativity of Dance Creation Inspired by the Value of Pappaseng Tellu Cappa in Bugis Culture. The creation of dance from the cultural values of pangadereng manifested in pappaseng tellu cappa can be an integrative problem solver. The interpretation of symbolic nonverbal language becomes the cohesion of the choreographer to produce an ecranization of visual ideas in the entity of the dance 'Passompe'. This dance creation uses qualitative method and elaborating with creativity approach proposed by Zeng in the General model of the creative process which consists of four phases of analysis, ideation, evaluation, and implementation. The archetype in the dance creation also uses the approach of exploration, improvisation, and composition. The dance repertoire that manifests pappaseng tellu cappa is a form of reading ancestral messages through nonverbal language entities. The substantial construction in the tellu cappa values can be a universal learning medium as a parameter for success in social life.Keywords: Creativity, Dance, Passompe, Pappaseng, Tellu cappa, Bugis
Kesenian Rampak Buto Sebagai Sumber Penciptaan Tari Gedroex Wanodya Oleh Krincing Manis Dance Studio, Sleman, Yogyakarta Sari, Luvita Pradana Puspita; Rokhani, Umilia
Dance and Theatre Review Vol 7, No 2: November 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i2.14085

Abstract

Traditional folk art is a traditional art that lives and develops in communities outside the Yogyakarta’s Palace. The form of development presented creates creativity from the supporting community, one of them is the Rampak Buto Art, which is one of the creativity in the Jatilan performing arts. Rampak Buto Art exists as a creativity in the local community which is dominated by men, seen from the performances and the various clothing attributes they use.One of creativity in the Rampak Buto performance is the creation of the Gedroex Wanodya dance. This dance was created by the Krincing Manis Dance Group, this group is existence as the only one Rampak Buto group dominated by female dancers in Yogyakarta. The Gedroex Wanodya’s dance was created by contemporary choreography so that it becomes a new form of Rampak Buto Art.This research using qualitative methods and an approach using Choreographic Analysis. In the choreography’s process, the researcher acted as a participant observer, that she went directly to the research object by acting as director of the Gedroex Wanodya’s dance work.
Estetika Panggung Postmodern Teater Visual Robert Wilson dengan Pendekatan Kritik Seni Sulistiyo, Farik Eko
Dance and Theatre Review Vol 7, No 1: May 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i1.12603

Abstract

The uniqueness of Wilson's visual theatre greatly influenced the artistic world of the stage. Where architectural elements are not only a place setting but perceive the form of space and time so that the audience feels spoiled. The method used is the art criticism approach, art criticism is not only about judging, but how we must know and describe the artist's life and environment, what factors and elements shape techniques and styles so that they can influence his work. By describing, analyzing, and assessing the artist's work, then the next stage is to judge and evaluate. The purpose of this article is to record art history so that visuals are not just a stage phenomenon, but a science. The lack of articles about Wilson's theatre has led to further research and discussion from other perspectives. Especially visual theatre articles in Indonesia. It is hoped that this article will be a trigger for theatre researchers in Indonesia to reveal how to criticize art properly and correctly and that Indonesian theatre researchers can rediscover the true nature of Wilson's visual theatre.Keywords: stage aesthetics, postmodern, visual theatre, robert wilson, art criticism
Pagelaran Wayang Kulit Sebagai Sarana Aktualisasi Pendidikan Nilai Kearifan Lokal Dalam Tradisi Rasulan Di Karanganyar Warsono, Warsono
Dance and Theatre Review Vol 7, No 2: November 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i2.14145

Abstract

Wayang kulit is one of Indonesia's cultural heritages that is becoming increasingly unfamiliar to many of today’s younger generation. The emergence of new entertainment forms via various social media platforms has made wayang seem distant and less accessible to the public. The influence of modern globalization, coupled with the sophistication of internet features, provides people with a variety of entertainment options, further distancing traditional arts like wayang kulit. Nevertheless, some communities continue to strive to preserve this cultural art form to ensure its survival. One example of such local wisdom is the annual tradition of Rosulan (village cleansing), which includes wayang kulit performances held in Dusun Sukosari, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar.             This study uses a qualitative descriptive method with a phenomenological approach. Data were collected through intensive interviews with key informants, including residents of Dusun Sukosari, community leaders, and religious figures. Observations were conducted by examining the environment where the wayang performances were held. Documents such as committee arrangements and reports were also utilized, along with photographs of the wayang kulit performances for visual support. Informants were selected using purposive sampling techniques. Data analysis employed an interactive model consisting of data reduction, data presentation, and conclusion drawing or validation.This research aims to identify the factors influencing the continuity of the Rosulan tradition with its wayang kulit performances in Dusun Sukosari, explore the values of local wisdom embedded in this tradition that allow it to endure across generations, and discover strategies for preserving wayang kulit among younger generations. The study was conducted in Dusun Sukosari, Desa Sukosari, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, with the research subjects being local residents and the audience of wayang kulit performances during Rosulan.
Relasi Pertunjukan Tradisi Barong (Bali) dan Estetika Teater Kekejaman (Antonin Artaud) Lephen, Purwanto
Dance and Theatre Review Vol 7, No 1: May 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i1.12420

Abstract

Reassessment of research results related to Barong performances as a tourist attraction from Bali as a form of differentiation from the sacred Calonarang theater related to Artaud's theater theory. Barong's presentation at the Paris International Colonial Exposition (1931) was appreciated and inspired the renewal of theater aesthetics from conventional (psychological and dramatic logic) to non-conventional (nonverbal and symbolic) theater. Criticism of Artaud's opinion regarding theater (for tourist attractions) Barong Ubud Bali is considered inappropriate and has not understood the art and culture of Balinese tradition. This research was conducted by reviewing the Barong performance form with the aesthetic theory of cruelty theater (Artaud). Qualitative research method by describing the Barong performance and complemented by literature review. The results showed that Artaud's theory of theater aesthetics is different and cannot be applied to study the aesthetics of Barong traditional theater which analyzes theatrical elements, scenes, actor expressions, music, gestures, clothing, masks, and properties with metaphysical concepts, natural chaos, or terror theater. So Artaud's theater of terror updates the form of modern (French) theater, not the result of reformulation and conception of Barong theater performances. 
Srikandi Sebagai Inspirasi Dalam Penggarapan karya Hrusangkali Kandi oleh Pragina Gong Manganti, Galih Suci
Dance and Theatre Review Vol 7, No 2: November 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i2.14206

Abstract

Hrusangkali Kandi adalah karya tari kreasi yang diciptakan oleh Pragina Gong, sebuah komunitas tari di Yogyakarta yang telah lama berkreasi dan aktif dalam seni pertunjukan di Yogyakarta. Tarian ini mengangkat tentang Srikandi sebagai konsep penggarapannya. Karakter dari sosok Srikandi yang gagah berani dan berwibawa sebagai salah satu sosok prajurit wanita digarap sebagai ide inspirasi dalam penciptaan karyanya. Tarian ini merupakan tarian kelompok, dan .Srikandi dalam tarian ini digambarkan sebagai sosok yang tangguh dan ahli memanah. Alur yang disampaikan lebih menekankan pada karakter ksatria dari sosok Srikandi itu sendiri.Kata kunci: Srikandi , Inspirasi, koreografi, ksatria.
KONSEP TRI ANGGA SEBAGAI METODE DALAM PENCIPTAAN KARYA TARI Astini, Ni Kadek Rai Dewi
Dance and Theatre Review Vol 7, No 2: November 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i2.13626

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan metode penciptaan karya tari yang bersumber dari konsep Tri Angga, dan juga bertujuan untuk menambah pengkayaan bahan ajar dalam kelas penciptaan karya tari dengan memamfaatkan konsep kearifan lokal. Pemamfaatan konsep Tri Angga sebagai metode dalam penciptaan karya tari, memberikan dimensi yang lebih dalam dan kompleks pada karya tari, dan menciptakan pengalaman yang lebih mendalam bagi seorang koreografer. Tri Angga merujuk pada konsep arsitektur tradisional Bali yang sering digunakan sebagai struktur pembagian Loka ‘tempat bangunan’ dalam harmonisasi dengan alam makrokosmos. Konsep Tri Angga juga merupakan tiga konsep pembagian tubuh manusia yang saling terhubung. Spesifikasi konsep Tri Angga sangat terkait dengan pembagian wilayah tubuh manusia yang terdiri dari bagian atas atau kepala (Utamaning Angga), bagian tengah yaitu badan dan tangan (Madya Angga), dan bagian akhir atau bagian pinggul dan kaki (Nista Angga).Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan estetika. Data dikumpulkan dan dianalisis untuk mengidentifikasi mengapa konsep Tri Angga digunakan sebagai metode dalam penciptaan karya tari? dan bagaimana konsep Tri Angga dapat diadaptasi dan diterapkan dalam menciptakan karya tari? Dalam memamfaatkan konsep Tri Angga sebagai sumber dalam penciptaan tari, penelitian ini menggunakan teori proporsi atau keselarasan dalam pendekatan estetika. Berangkat dari konsep kearifan lokal, penelitian ini sangat relevan dilakukan untuk menghasilkan penelitian yang menunjukan bahwa penerapan konsep Tri Angga digunakan sebagai sebuah penguatan dalam penciptaan karya tari dan dapat menghasilkan cara penciptaan tari dalam pembentukan stuktur tari, penggabungan variasi gerak, dan pemahaman diri. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah memberikan panduan bagi koreografer dalam mengembangkan kreativitas mereka melalui penerapan konsep Tri Angga sebagai metode penciptaan karya tari yang kaya akan makna dan nilai-nilai budaya lokal.
Proses Penciptaan Tari Sesaji di Sanggar Paringga Jati Raras Kabupaten Pati Octaningtias, Devita
Dance and Theatre Review Vol 7, No 1: May 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v7i1.13604

Abstract

Tari Sesaji merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh Bapak Budiono. Terinspirasi dari serangkaian tradisi sedekah bumi di Kabupaten Pati. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menguraikan proses penciptaan Tari sesaji yang ada di Sanggar Seni Paringga Jati Raras Kabupaten Pati. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan koreologi, untuk menguraikan serta menjelaskan tentang proses penciptaan Tari Sesaji. Teknik pengumpulan data meliputi tahap observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber, sedangkan teknik analisis data terdiri dari teknik reduksi, penyajian data, dan verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tari sesaji merupakan tari kreasi baru yang ditarikan secara berpasangan oleh putri-putri. Proses penciptaan tari yang dilakukan oleh Bapak Budiono melalui tiga tahapan yaitu tahap eksplorasi, merupakan penjajakan gerak meliputi eksplorasi ide yang berasal dari tradisi sedekah bumi. Eksplorasi gerak fokus pada penggunaan properti kain, bokor, padi, kemudian eksplorasi isi yang menggambarkan rasa syukur atas hasil panen masyarakat. Tahap improvisasi yaitu dapat dilihat dari penggunaan properti kain yang dibentangkan, dililitkan, digulung, dan ditarik. Tahap komposisi yaitu tahap penyempurnaan atau evaluasi dari proses eksplorasi dan improvisasi Tari Sesaji.