cover
Contact Name
Syofyan Hadi
Contact Email
syofyan@untag-sby.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnalhls@untag-sby.ac.id
Editorial Address
Jalan Semolowaru Nomor 45 Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Hukum Magnum Opus
ISSN : 26231603     EISSN : 2623274X     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 129 Documents
HARMONISASI HUKUM PENGATURAN SISTEM GRATIFIKASI PADA UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BERDASARKAN KAIDAH OMNIBUS LAW Wicaksono, Fadhly
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4675

Abstract

AbstractGratification is synonymous with corruption. This is stated in the Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 concerning Corruption Crime and Law of the Republic of Indonesia Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission. Many officials have been caught, because they have been proven to have accepted gratuities. Nevertheless, the interpretation of gratification must have clear truth and the content (substantially) must be able to explain legal events and legal issues regarding the interpretation of gratification. If you look at the Corruption Crime Law, it can be said that the interpretation of gratification is appropriate to provide certainty about the nature of knowledge about the broad interpretation of gratification such as Article 12 B, namely that gratification is used for one type of corruption, but if it is used in the Job Creation Law, Currently, the interpretation of gratification has become a legal debate in educating and providing legal knowledge related to the interpretation of gratification. For this reason, it was appointed as research in order to provide legal certainty and legal harmonization in an arrangement for the formation of legislation regarding a gratification system based on the principles in the discussion of the Omnibus Law. This type of research used in this research is normative legal research. By using primary and secondary legal materials, along with tertiary legal materials as supporting materials. Based on the results of this study, it is said that there are several interpretations of gratification that provide an inaccurate meaning because of the contextual and legal events, such as gratification used in the taxation aspect and examples can be given that perpetrators are corrupt, illegal logging perpetrators, illegal fishing actors, illegal mining actors , and traffickers are free without being taxed. When talking about a person or perpetrator in a criminal act, it must fulfill the elements in a criminal act such as intention, activity (legal life) in committing a crime and the fulfillment of a form of error or act against the law in a criminal act. When the proceeds of crime are in the form of objects of a criminal act to enrich oneself and one's own interests because they have committed acts of corruption, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, and trafficking, it will become a different interpretation when it has permanent legal force, so it is necessary there is a proof and it is administrative in nature. Therefore there is a need for legal harmonization in providing an accurate interpretation of the gratuity system regulation in the Corruption Crime Act and the Job Creation Act in terms of the formation rules of legislation and the rules of the Omnibus Law.Keywords: gratification system; law harmonization; omnibus lawAbstrakGratifikasi identik dengan korupsi. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah banyak pejabat terjerat, karena terbukti menerima gratifikasi. Meskipun demikian, penafsiran gratifikasi harus mempunyai kebenaran yang jelas dan konten (secara subtansial) harus dapat menjelaskan persitiwa hukum maupun isu hukum tentang penafsiran gratifikasi. Apabila melihat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bisa dikatakan penafsiran gratifikasi itu tepat dipergunakan memberikan kepastian tentang hakikat ilmu pengetahuan tentang penafsiran gratifikasi secara luas seperti Pasal 12 B yakni gratifikasi dipergunakan untuk salah satu jenis korupsi, namun apabila dipergunakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, maka penafsiran gratifikasi saat ini menjadi perdebatan hukum dalam mengedukasi dan memberi ilmu pengetahuan hukum berkaitan dengan penafsiran gratifikasi. Untuk itulah diangkat sebagai penelitian dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan harmonisasi hukum dalam suatu pengaturan pembentukan perundang-undangan tentang suatu sistem gratifikasi berdasarkan kaida-kaidah dalam pembahasan omnibus law. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif. Dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, beserta bahan hukum tersier sebagai bahan pendukung. Berdasarkan hasil penelitian ini, dikatakan bahwa ada beberapa penafsiran tentang gratifikasi memberikan pengertian yang tidak tepat karena melihat kontekstualnya maupun peristiwa hukumnya, seperti gratifikasi yang dipergunakan pada aspek perpajakan dan bisa diberikan contoh bahwa pelaku koruptor, pelaku pembalakan liar, pelaku illegal fishing, pelaku illegal mining, dan pelaku trafficking bebas tanpa dikenakan pajak. Apabila berbicara mengenai oknum atau pelaku dalam suatu tindak pidana, maka harus memenuhi unsur-unsur dalam suatu tindak pidana seperti niat, kegiatan (perstiwa hukum) dalam melakukan kejahatan dan terpenuhinya suatu bentuk kesalahan maupun perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana. Ketika terhadap hasil tindak pidana dalam bentuk objek suatu tindak pidana untuk memperkaya diri maupun kepentingan diri sendiri karena telah melakukan perbuatan korupsi, pembalakan liar, illegal fishing, illegal mining, dan trafficking akan menjadi suatu pnafsiran yang berbeda ketika sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga perlu adanya suatu pembuktian dan sifatnya administratif. Oleh karena itu perlunya harmonisasi hukum dalam memberikan penafsiran yang tepat tentang pengaturan sistem gratifikasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Cipta Kerja dalam kaidah-kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan maupun kaidah-kaidah Omnibus Law.
TINJAUAN HUKUM OBAT TRADISIONAL BERBAHAN KIMIA OBAT Putri, Ruri Eka; Zamroni, Mohammad; Huda, Mokhamad Khoirul
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4064

Abstract

AbstractThis study aims to determine the rights and obligations of makers and distributors of traditional medicines and analyze the legal responsibilities of makers and distributors of traditional medicines that contain chemical drugs. The research method in this paper is normative or doctrinal research using a law approach, conceptual approach, and case approach. The research materials combined any legal material such as primary, secondary, and tertiary. The technique of processing legal materials is to inventory, identify, classify and systematize according to the hierarchy of the legislative order, and analyzed. The nature of this research is analytical descriptive. The results show that the rights and obligations as well as the forms of legal responsibility for the makers and distributors of traditional medicines, which are regulated in various laws that are still general in nature. The threat of sanctions for violations of traditional medicines containing medicinal chemicals can be criminal, civil, and administrative. It is hoped that there will be separate or special rules and laws governing the rights, obligations, and responsibilities for the makers and distributors of traditional medicines that contain chemical drugs.Keywords: chemical drugs; legal liability; traditional medicineAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis hak dan kewajiban pembuat maupun pengedar obat tradisional serta tanggung jawab hukum pembuat dan pengedar obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif atau doktrinal menggunakan pendekatan hukum, pendekatan konseptual, serta pendekatan kasus. Bahan penelitian meliputi bahan hukum mulai dari primer, sekunder dan hingga tersier yang diolah menggunakan teknik pengolahan melalui inventarisasi, identifikasi, klasifikasi, kemudian disistemisasi sesuai urutan perundang-undangan melalui deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak dan kewajiban serta bentuk tanggung jawab hukum untuk pembuat dan pengedar obat-obatan tradisional diatur dalam berbagai peraturan dan undang-undang yang masih bersifat umum. Ancaman sanksi bagi pelanggaran obat-obatan tradisional yang mengandung bahan kimia obat-obatan dapat berupa pidana, perdata, hingga administratif sebagaimana yang tertuang dalam berbagai sumber hukum yang telah dianalisis. Diharapkan perlu adanya aturan dan undang-undang tersendiri yang mengatur hak, kewajiban serta pertanggungjawaban pembuat dan pengedar obat tradisional berbahan kimia obat.
AKIBAT HUKUM AKTA NOTARIS YANG DIBUAT BERDASARKAN SURAT ATAU DOKUMEN DARI PARA PIHAK YANG DIKETAHUI PALSU SETELAH AKTA DIBUAT Kangagung, Edrick
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4453

Abstract

AbstractNotaries are authorized to make authentic deeds which are made according to the forms and procedures stipulated by Law Number 2 of 2014 concerning the Position of Notary Public. Notary in making a deed based on the information conveyed by the parties then poured into the deed according to the form stipulated by law. Basically, the notary is not obliged to investigate materially from the information submitted by the parties. In this study, there are two issues to be discussed, namely the authority of the notary as a public official in making authentic deeds and what are the legal consequences of a notary deed based on letters or documents from parties that are known to be fake after the deed is made. The research method used is juridical normative, which is legal research conducted by researching library materials or secondary data and analyzed using qualitative descriptive techniques. Notary as the official has the authority to make an authentic deed. The notary's negligence in drawing up the deed which resulted in the failure to fulfill the formal requirements caused the power of proof to become the deed under hand. If the parties experience a loss due to negligence committed by a notary public, then the injured party can demand fees, compensation and interest from the notary public.Keywords: legal consequences; letters or documents; notary deedsAbstrakTujuan penelitian ini untuk mengetahui kewenangan notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik dan bagaimana akibat hukum akta notaris yang dibuat berdasarkan surat atau dokumen dari para pihak yang diketahui palsu.Notaris berwenang dalam membuat akta otentik yang dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Notaris dalam membuat akta berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh para pihak kemudian dituangkan ke dalam akta sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Notaris pada dasarnya tidak berkewajiban untuk menyelidiki secara materiil dari keterangan yang disampaikan oleh para pihak. Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas yakni kewenangan notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik dan apa akibat hukum akta notaris yang dibuat berdasarkan surat atau dokumen dari para pihak yang diketahui palsu setelah akta dibuat. Metode penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneiliti bahan pustaka atau data sekunder dan dianalisis menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Notaris sebagai pejabat berwenang untuk membuat akta otentik. Kelalaian notaris dalam pembuatan akta yang mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat formal menyebabkan kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan. Apabila para pihak mengalami kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh notaris, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
PERLINDUNGAN HUKUM PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA DAN PEKERJA LOKAL DALAM WAKTU TERTENTU TERHADAP PERJANJIAN KERJA PADA PROYEK LNG TANGGUH DI ERA PANDEMI COVID-19 Rahanra, Marthen
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4690

Abstract

AbstractThe existence of pandemics that hit various countries including Indonesia has affected the economy, trade, industry and employment. As a result of Covid-19, companies throughout Indonesia were affected, this included a change in the workforce system, so that many company employees were sent home even to termination of employment (termination of employment). The Covid-19 pandemic has caused changes to the work system in every company in the West Papua Region. This happens to companies that provide labor and contractor services, such as CSTC (PT. Cyoda, PT. Saipem, PT. Tripatra and PT. Sulu). Changes in the work system occur when the implementation of work at the Tangguh LNG work site in the Bintuni - Babo area, among others: (1) the application of employee working hours in a day is calculated as 10 hours, but in terms of wages, employees only count 7 hours of work, (2) underwent an off period of 14 days and a quarantine period (14 days, then the company does not provide wages and especially for the company that provides work (job provider services); (3) when the company has experienced an off period of 14 days and has been sent home for more than 1 (one ) months to wait to return to work and are not given wages by the employing company.Thus, there must be legal protection for workers in the form of a work agreement for a certain time or an agreement for an indefinite period of time. This type of research used in this research is normative legal research. The findings that can be obtained in this study include: First, the Manpower Law is the basis for determining wages for workers who carry out a Fixed-Time Work Agreement and an Indefinite Time Work Agreement, so that at the practical level there must be harmonization of regulations and fairness for workers. both as an employer and as a recipient of work as in the case of CSTC (PT. Cyoda, PT. Saipem, PT. Tripatra and PT. Sulu) regarding the implementation of the work system in the company. Even so, employers and employers must be held accountable for a company performance system in a state of force majure or error. Second, there is a conflict of legal norms in the formation of laws and regulations governing wages of labor, as well as guarantees of protection for workers as in the Manpower Act, the Job Creation Law, and the Regulation of the Minister of Manpower and Transmigration, as well as regulations beneath it.Keywords: company; legal protection; laborAbstrakAdanya pendemi yang melanda diberbagai negara termasuk di Indonesia telah mempengaruhi perekonomian, perdagangan, perindustrian dan ketenagakerjaan. Akibat Covid-19, perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia terkena dampaknya, hal ini termasuk perubahan sistem tenaga kerja, sehingga banyak karyawan perusahaan dirumahkan bahkan sampai kepada pemutusan hubungan kerja (pemberhentian kerja). Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan sistem kerja di setiap perusahaan pada Kawasan Papua Barat. Hal ini terjadi pada perusahaan penyedia tenaga kerja dan jasa kontraktor, seperti CSTC (PT. Cyoda, PT. Saipem, PT. Tripatra dan PT. Sulu). Perubahan sistem kerja terjadi ketika pelaksanaan pekerjaan di lokasi kerja LNG Tangguh wilayah Bintuni – Babo, antara lain: (1) penerapan jam kerja karyawan dalam sehari dihitung 10 jam, namun dalam pengupahan kerja karyawan hanya dihitung 7 jam kerja, (2) selama karyawan telah mejalani masa off selama 14 hari dan masa karantina (14 hari, maka perusahaan tidak memberikan upah dan khususnya bagi perusahaan penyedia kerja (jasa penyedia kerja); (3) ketika perusahaan telah mengalami masa off selama 14 hari dan dirumahkankan selama lebih dari 1 (satu) bulan untuk menunggu kembali bekerja serta tidak diberikan upah oleh perusahaan pemberi kerja. Dengan demikian, harus ada perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dalam suatu bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif. Hasil temuan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, antara lain: Pertama, Undang-Undang Ketenagakerjaan menjadi dasar penentuan pengupahan bagi tenaga kerja yang melakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sehingga pada tataran praktik harus ada harmonisasi peraturan dan keadilan bagi pekerja baik sebagai pemberi kerja maupun penerima kerja seperti dalam kasus CSTC (PT. Cyoda, PT. Saipem, PT. Tripatra dan PT. Sulu) terhadap pelaksanaan sistem kerja pada perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan pemberi kerja maupun penerima kerja harus dapat mempertanggungjawabkan atas suatu sistem kinerja perusahaan baik dalam keadaan force majure maupun kesalahan. Kedua, adanya konflik norma hukum pada suatu pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengupahan tenaga kerja, maupun jaminan perlindungan bagi tenaga kerja sebagaimana dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja, maupun Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta peraturan di bawahnya.
INSTITUTIONALIZING THE CONSTITUTIONAL QUESTION AUTHORITY IN THE CONSTITUTIONAL COURT AND POSSIBILITY INSTITUTIONALIZING IN SUPREME COURT Manurung, Saut Parulian; Suhartono, Slamet; Nasution, Krisnadi
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4318

Abstract

AbstractThis article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional question at the Constitutional Court, and the possibility of its institutionalization at the Supreme Court. The method used is a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. This article takes the position of "agreeing" if the idea becomes the authority of the Constitutional Court. However, from a different perspective, this article also discusses the possibility of its institutionalization through the Supreme Court. Institutionalization of the constitutional question at the Constitutional Court can at least be carried out in three ways, namely, by amending the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, revising the Law on the Constitutional Court, and through Jurisprudence. On the other side, as a role model for practice and the regulation of a constitutional question mechanism, the Austrian and German states were taken as an example. While institutionalizing the idea at the Supreme Court, theoretically, this is very prospective when referring to comparative studies with the United States, because the US Supreme Court currently has the authority to examine the constitutionality of laws. The goal, if institutionalized in the Supreme Court, is for the Supreme Court to take part in realizing law and constitutional enforcement.Keyword: Constitutional Court; constitutional question; Supreme CourtAbstrakArtikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membahas pelembagaan gagasan persoalan konstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan kemungkinan pelembagaannya di Mahkamah Agung. Metode yang digunakan adalah pendekatan statutori, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Pasal ini mengambil posisi “menyetujui” jika gagasan tersebut menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sudut pandang yang berbeda, artikel ini juga membahas kemungkinan pelembagaannya melalui Mahkamah Agung. Pelembagaan soal konstitusional di Mahkamah Konstitusi setidaknya dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan amandemen UUD 1945, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan melalui yurisprudensi. Di sisi lain, sebagai panutan bagi praktik dan regulasi mekanisme persoalan konstitusional, negara Austria dan Jerman dijadikan contoh. Sementara melembagakan gagasan di MA, secara teoritis hal ini sangat prospektif jika mengacu pada studi banding dengan Amerika Serikat, karena MA saat ini memiliki kewenangan untuk memeriksa konstitusionalitas undang-undang. Tujuannya, jika dilembagakan di Mahkamah Agung, agar Mahkamah Agung turut serta mewujudkan penegakan hukum dan konstitusi.Kata Kunci: Mahkamah Agung; Mahkamah Konstitusi; pertanyaan konstitusi
KEWAJIBAN ORANG TUA MELAPORKAN ANAKNYA SEBAGAI PECANDU NARKOTIKA Nurhanifah, Salma Nisrina
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4523

Abstract

AbstractThe crime of narcotics trafficking, which is increasingly occurring day after day, doesn’t only reach adults but also children. Children are often targeted by irresponsible individuals to commit acts that violate or violate existing rules and norms, including in narcotics abuse. The development of narcotics is so fast and dangerous that many children who are not old enough are dragged into narcotics abuse until they finally become narcotics addicts. The Narcotics regulates that parents who have children as narcotics addicts are obliged to report to agencies that have been provided by the government but in the Child Protection Act parents also have the obligation to provide protection to children for the child's future because children are the generation thei successor thei idealsi of thei nationi so that the existence of children must receive protection from both parents, the environment and the state. Using normative research, statutory approach methods and concepts that are supported by prescriptive techniques. Thei obligation ofi parentsitoireport their children asi drugi addictsi clearly contradicts the obligationsi of parentsi to protect their children. Parents who have the initiative for personal rehabilitation because they protect their children should not be convicted due to the reason for the abolition of the crime which is called an emergency (noodtoestand), namely a clash between these two legal obligations when examined fromi the pointi of  viewi of   childiwelfare and child iprotection.Keywords: children; drug addicts; parents responsibilityAbstrakKasus peredaran narkotika yang kian hari kian marak terjadi demikian juga menjangkau pada lingkungan kalangan cukup umur saja tetapi sudah menjangkau pada lingkungan anak-anak. Anak-anak kerap kali menjadi sasaran para orang yang tidak bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan yang melanggar atau berseberangan dengan peraturan dan norma-norma yang ada, termasuk dalam penyalahgunaan narkotika. Perkembangan narkotika yang begitu pesat dan berbahaya membuat banyak anak-anak yang belum cukup umur terseret dalam penyalahgunaan narkotika hingga akhirnya mereka menjadi pecandu narkotika. Dalam Undang-Undang Narkotika mengatur orangtua yang mempunyai anak pecandu narkotika wajib melaporkan kepada instansi yang telah disediakan oleh pemerintah tetapi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini serta merupakan keharusan untuk memberikan perlindungan bagi cita-cita yang akan datang untuk anak, karena anak adalah cita-cita keturunan penyambung negara sehingga keberadaan anak seharusnya mendapatkan perlindungan dari orangtua, lingkungan maupun negara. Menggunakani penelitiani normatifi metodei pendekatani perundang-undangan dan konsep yang didukung teknikipreskriptif. Kewajiban orangtua untuk melaporkan anaknya yang kecanduan narkotika sudah pasti bertentangan dengan kewajiban orangtua untuk memberikan perlindungan pada anak. Orangtua yang memiliki ide untuk memulihkan anak dari kecanduan secara pribadi karena melindungi anak seharusnya tiidak bisa dikenakan sanksi pidana disebabkan oleh alasan penghapus pidana yang disebut dengan keadaan darurat yaitu dua kewajiban diatur dalam hukum yang berbenturan ini bila dipandang dari sisi perlindungan anak maupun kesejahteraan anak.
KESALAHAN KONSEP ANTARA KEBEBASAN BERAGAMA DAN PENISTAAN AGAMA DALAM RUANG PUBLIK INDONESIA Sumaryanto, Thomas Onggo
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4403

Abstract

AbstractThis study analyzes the concept of religious freedom in Indonesia's public sphere. The problem that is answered is how is the concept of religious freedom applied in the Indonesian public sphere? The right to freedom of religion has 2 dimensions, namely forum internum and forum externum. The internum forum cannot be intervened by the state but the external forum can be limited by reason of protecting the rights of freedom itself. However, what happens is that these two dimensions are confused, resulting in discriminatory actions. One example is Law no. 1 Presidential Decree in 1965 concerning the Prevention of Abuse or Defamation of Religion A Judicial Review of this law was carried out in 2009 but there was no further action, either to abolish or revise it. In the public sphere, all citizens must live side by side without any discrimination. This research uses qualitative methods with a critical analysis approach. The critical analysis uses the thoughts of John Rawls about justice and Jürgen Habermas about the public sphere. The results show that the application of religious freedom must have clear boundaries between the informal public space and the formal public space.Keywords: blasphemy; law; religious freedomAbstrakPenelitian ini menganalisis konsep kebebasan beragama dalam ruang publik Indonesia. Permasalahan yang dijawab adalah bagaimana konsep kebebasan beragama diterapkan dalam ruang publik Indonesia? Hak kebebasan beragama memiliki 2 dimensi yaitu forum internum dan forum eksternum. Forum internum tidak dapat diintervensi oleh negara tetapi forum eksternum dapat dibatasi dengan alasan untuk menjaga hak kebebasan itu sendiri. Namun yang terjadi kedua dimensi ini dicampuradukkan sehingga muncul tindakan diskriminatif. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang no. 1 Penetapan Presiden tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama Judical Review terhadap UU ini telah dilakukan pada tahun 2009 tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut, entah meniadakan atau merevisinya. Di dalam ruang publik, semua warga harus hidup berdampingan tanpa adanya diskriminasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis kritis. Analisis kritis menggunakan pemikiran John Rawls tentang keadilan dan Jürgen Habermas tentang ruang publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebebasan agama harus memiliki batasan yang jelas antara ruang publik informal dan ruang publik formal. Negara harus bersifat netral dalam pembuatan pembatasan.
PUTUSAN ULTRA PETITUM PARTIUM PERKARA PERDATA DITINJAU DARI PASAL 178 AYAT (3) HIR (Studi Kasus Putusan Nomor 445/Pdt.G/2018/PA. Kab. Mn) Fadhli, Risma Safitri
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4521

Abstract

AbstractCivil procedural law recognizes the principle of Ultra petitum partium as referred to in article 178 paragraph (3) of the HIR which states that "a judge is not allowed to make a decision on a case that is not being charged, or to give more than what is required". In fact what happened at the Madiun Regency Religious Court with Decision No. 4.45/Pdt.G/2018/PA.Kab.Mn, the panel of judges gave more than what was requested by the plaintiff of the reconciliation where the plaintiff only asked for a child's support of Rp. 1,500,000 each month until the two children were adults, but the judge granted the child's support of Rp. 1,500,000 plus 10% per year. This is supported by the Supreme Court Decision Number 556 K / Sip 1971 where the decidendi ratio of the judges in the Supreme Court Decision said that "to grant more than the accused is permitted, as long as this is still in accordance with the material incident". So that in this study a problem formula can be drawn: 1) Is the judge in deciding civil case No. 4.45/Pdt. G/2018/PA.Kab. Mn that exceeds petitum (ultra petitum partium) has violated Article 178 Paragraph (3) of the HIR? 2) What is the decidendi ratio of the civil case decision No. 4.45/Pdt. G/2018/PA.Kab.Mn that exceeds petitum (ultra petitum partium)? Then the method used in this research is document or literature study research aimed at or carried out only on legal materials in the form of written regulations or other legal materials.Keywords: judge's decision; ratio decidend; ultra petitum partiumn AbstrakHukum acara perdata mengenal asas Ultra petitum partium sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 ayat (3) HIR yang menyatakan bahwa “seorang hakim tidak diizinkan untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut”. Pada Kenyataannya telah terjadi di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dengan Putusan No 4.45/Pdt.G/2018/PA.Kab.Mn majelis hakim menjatuhkan melebihi dari apa yang diminta oleh penggugat rekonvensi dimana penggugat hanya menginginkan nafkah anak sebesar Rp 1.500.000 setiap bulanya hingga kedua anaknya dewasa, namun hakim mengabulkan nafkah anak sebesar Rp 1.500.000 ditambah 10% pertahunnya. Hal tersebut didukung oleh Putusan MA Nomor 556 K/Sip 1971 dimana ratio decidendi dari hakim pada Putusan MA tersebut mengatakan bahwa “mengabulkan lebih dari yang digugat adalah diizinkan, selama hal ini masih sesuai dengan kejadian materiil”. sehingga dalam penelitian ini dapat ditarik suatu rumusan masalah 1) Apakah hakim dalam menjatuhkan putusan perkara perdata No. 4.45/Pdt. G/2018/PA.Kab. Mn yang melebihi petitum (ultra petitum partium) telah melanggar Pasal 178 Ayat (3) HIR? 2) Apa ratio decidendi dari putusan perkara perdata No. 4.45/Pdt. G/2018/PA.Kab.Mn  yang melebihi petitum (ultra petitum partium)? Kemudian metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi dokumen atau kepustakaan yang ditujukan atau dilakukan hanya pada bahan hukum berupa peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.
ARGUMENTASI HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENILAI BUKTI HUKUM YANG DIAJUKAN PENGGUGAT Pratama, Aldita Putra Bayu; Suseno, Irit; Prasetyawati, Endang
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4476

Abstract

AbstractThis scientific work aims to find out how the legal arguments for the judge's decision in the legal evidence submitted by the plaintiff during the evidentiary process at trial. And to find out the implementation process, this work uses a normative method, namely researching and analyzing legal materials in the form of secondary legal materials by understanding a law as a positive rule or norm in a statutory system that regulates human daily life in behavior. Sources of legal materials are obtained from literature, laws and regulations as well as opinions from legal experts. The analysis used goes through several stages, legal materials related to the formulation of the problem being discussed, then analyzed by steps, legal interpretation, systematization, evaluation, and legal argumentation. Article 5 paragraph (1) of the Law on Judicial Power explains: judges need to be obliged to examine, understand, follow the values of law and the sense of justice that exists in society. For this reason, in the process of evidence in court, the judge must really assess the evidence presented by the plaintiff and consider it in the verdict. In the research results, it was concluded that in the process of legal argumentation by judges, it must be carried out fairly and fairly and not biased so as not to harm either party between the plaintiffs or the defendants. Because after all the decisions issued by judges are also one of the sources of law in civil procedural law. With judges looking at Article 5 atat 1 of the Law on Judicial Power to assess legal evidence in court, it is hoped that it can improve the performance of judges in upholding the law in Indonesia.Keywords: evidence; judge's considerationAbstrakKarya ilmiah ini memiliki tujuan untuk mencari tahu gimana argumentasi hukum putusan hakim dalam bukti hukum yang diajukan penggugat pada saat proses pembuktian di persidangan. Dan untuk mengetahui proses pelaksanaannya, dalam karya ini menggunakan methode normatip yaitu meneliti serta menganalisis bahan hukum yang berupa beberapa bahan hukum sekunder dengan cara memahami suatu hukum sebagai peraturan atau norma positip dalam sistim perundang-undangan yang mengatur tentang kehidupan sehari-hari manusia dalam berperilaku. Sumber bahan hukum diperoleh dari literatur, peraturan perundangan dan juga pendapat dari para pakar dibidang hukum. Analisis yang dipakai menggunakan melalui beberapa tahapan, bahan-bahan hukum terkait  rumusan masalah yang sedang dibahas, selanjutnya dianalisis dengan langkah, interpretasi hukum, sistematisasi, evaluasi, serta argumentasi hukum. Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan  hakim perlu wajib menelaah, memahami, mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup/ada pada masyarakat. Untuk itu dalam proses pembuktian di persidangan hakim harus benar-benar menilai bukti yang diajukan penggugat serta mempertimbangkan dalam amar putusannya. Dalam hasil penelitian disimpulkan bahwa dalam proses argumentasi hukum oleh hakim haruslah dilakukan secara seadil-adilnya dan tidak berat sebelah agar tidak merugikan salah satu pihak antar penggugat maupun terggugat. Karena bagaimanapun juga putusan yang dikeluarkan hakim juga merupakan salah satu sumber hukum dari hukum acara perdata. Dengan hakim melihat pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman untuk menilai bukti hukum di persidangan diharapkan dapat memperbaiki kinerja hakim dalam menegakan hukum di Indonesia.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ALIH FUNGSI PERIZINAN DALAM TATA KELOLA PEMBANGUNAN LINGKUNGAN LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN PEMUKIMAN DI KABUPATEN SIDOARJO Erdianto, Tarkit
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4674

Abstract

AbstractLand availability is an important factor to ensure the availability of food and a place to carry out other economic activities outside of agriculture. The occurrence of population growth and the development of economic activity affects the demand side for land, whose area is fixed. The problem of changing the function of agricultural land to non-agricultural is currently increasing. There is an increasing need for land for development, while the relative availability of land has led to competition in land use. Sidoarjo Regency has also changed the function of agricultural land, especially rice fields. From 2009 to 2018, the rice field area has decreased by 5,750 hectares. Sidoarjo Regency is one of the areas that experienced the highest shrinkage in East Java Province. This is the focus of serious attention for the Sidorajo Regency government to ensure the availability of agricultural land by protecting the environment and environmental development governance which has changed the paradigm of agricultural land into residential land. In the end, between the environment and the settlement, there must be a natural balance in maintaining a sustainable environment and based on the principle of an environment of sustainable development. This type of research used in this research is normative legal research. By using primary and secondary legal materials, along with tertiary legal materials as supporting materials. Based on research results and findings, agricultural land in Sidoarjo Regency is getting narrower and more rigid. This is because there is a form of development for settlements by changing the function of agricultural land and buying and selling agricultural land for housing and housing investment. Approximately 52,000 ha of chopped agricultural land were converted into housing and housing investment. At the level of environmental development on agricultural land in Sidoarjo district, it can be said that it violates the management of the agricultural environment, where it should be for water absorption and agricultural land ecosystems, then misused into residential and housing land for investment and housing. In the end, there must be legal protection for the environment of agricultural land for the people of Sidoarjo and the application of administrative sanctions, as well as criminal sanctions if some investors or developers, as in the Regional Regulation (Perda) Number 6 of 2009 concerning the Regional Spatial Plan (RTRW) of Sidoarjo Regency.Keywords: development governance licensing function transfer; legal protectionAbstrakKetersediaan tanah merupakan faktor penting untuk menjamin tersedianya pangan dan tempat untuk melangsungkan kegiatan ekonomi lain di luar pertanian. Terjadinya pertambahan penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi mempengaruhi sisi permintaan tanah yang luasnya bersifat tetap. Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian saat ini terus mengalami peningkatan. Adanya peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan, sementara ketersediaan lahan relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Kabupaten Sidoarjo juga mengalami alih fungsi lahan pertanian terutama sawah. Dari tahun 2009- 2018 luas lahan sawah mengalami penyususutan sebesar 5.750 hektar. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu daerah yang mengalami penyusutan tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Hal inilah menjadi fokus perhatian yang serius bagi pemerintah Kabupaten Sidorajo untuk menjamin ketersedian lahan pertanian dengan cara menjaga lingkungan hidup dan tata kelola pembangunan lingkungan yang mengalami perubahan paradigma lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Pada akhirnya antara lingkungan hidup dan pemukiman itu harus ada keseimbangan alam dalam menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berprinsip pada environment of sustainable development. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif. Dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, beserta bahan hukum tersier sebagai bahan pendukung. Berdasarkan hasil penelitian dan temuan bahwa lahan pertanian di Kabupaten Sidoarjo sudah semakin sempit dan rigid. Hal ini dikarenakan ada suatu bentuk pembangunan untuk pemukiman dengan cara alih fungsi lahan pertanian serta jual beli lahan pertanian untuk perumahan dan investasi perumahan. Kurang lebih 52.000 ha lahan pertanian yang terpangkas berubah alih fungsi menjadi pemukiman dan investasi perumahan. Pada tataran pembangunan lingkungan hidup terhadap lahan pertanian di kabupaten Sidoarjo sudah dapat dikatakan menyalahi tata kelola lingkungan pertanian, di mana seharusnya untuk resapan air dan ekosistem lahan pertanian, kemudian disalahgunakan menjadi lahan pemukiman dan perumahan untuk investasi maupun tempat tinggal. Pada akhirnya, harus ada perlindungan hukum lingkungan lahan pertanian untuk masyarakat Sidoarjo dan penerapan sanksi administrasi, serta sanksi pidana apabila beberapa investor maupun pengembang, sebagaimana dalam aturan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo.

Page 6 of 13 | Total Record : 129