Claim Missing Document
Check
Articles

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG BUS UMUM Nasution, Krisnadi
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 16 (2012)
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v8i16.271

Abstract

-
EKSISTENSI ASAS KESEIMBANGAN PADA KONTRAK KONSUMEN DI INDONESIA Bukit, Jonneri; Warka, Made; Nasution, Krisnadi
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v0i0.1788

Abstract

Principle of imbalance is very necessary in bisnis contract. But not so in the consumer contract, the existence of the principle of balance is often ignored.It is caused by several factors including the position the unbalanced parties, the rapid development of the business world, unfair business competition, monopolistic practices, as well as the regulatory civil law (aanvulenrechts), so it is easy to be disregarded by the parties including the consumers. In fact, it is not uncommon to ignore this principle of equality caused by the wishes of the parties sendiri.Untuk it required government intervention as a regulatorfor imposing the use of the principle of balance in the consumer contract.Keywords: consumer contract, balance principle, waiver, debitor protection
PENGGUNAAN KETERANGAN PERUSAHAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Nasution, Krisnadi
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 15 Nomor 2 Agustus 2019
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v15i2.2407

Abstract

Korupsi merupakan salah satu permasalahan di Indonesia yang menjadi perhatian serius oleh pemerintah, dalam perkembangannya korupsi tidak hanya melibatkan subyek orang perseorangan namun juga melibatkan korporasi. Perkembangan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tidak diikuti dengan perkembangan aturan hukum yang mengatur tentang hukum formil dan materiilnya. Hal tersebut membuat Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata cara penanganan tindak pidana oleh Korporasi guna mengisi kekosongan hukum dalam bidang hukum acara tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang mana dalam salah satu pasalnya memuat keterangan korporasi sebagai alat bukti yang sah, pengakuan keterangan korporasi sebagai alat bukti yang sah menimbulkan permasalahan mengenai kedudukan dan keabsahan alat bukti tersebut, apakah keterangan korporasi tersebut merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, dan sejauhmanakah kekuatan pembuktiannya dalam proses pembuktian di persidangan. Penulisan jurnal ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan keterangan korporasi sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, dan kedua menganalisis keabsahan keterangan korporasi dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.
PENDAFTARAN COMMANDITAIRE VENNOTSCHAP (CV) SETELAH TERBITNYA PERMENKUMHAM NO 17 TAHUN 2018 Nasution, Krisnadi; Kurniawan, Alvin
JHP17 (Jurnal Hasil Penelitian) Vol 4 No 01 (2019)
Publisher : Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui proses pendaftaran CV di Indonesia; danMengetahui keberadaan Permenkumham Nomor 17 Tahun 2018  tentang PendaftaranPersekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata sebagai dasar hukumpendaftaran CV. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan pendekatanperundang-undangan (statute approach). Teknik analisis datanya menggunakan teknikmenggunakan logika deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan hukum tentangCV diatur secara tegas pada Pasal 19 sampai dengan Pasal  35  KUHD. Prosedur pendirian CVtertuang pada  Pasal  16-35  KUHD. Sebagai tindak lanjut diterbitkannya PP No.24 Tahun 2018tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau dikenal juga dengannama Online Single Submission (OSS), pemerintah menetapkan Permenkumham No. 17 Tahun2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan PersekutuanPerdata. Secara hierarki peraturan  perundang-undangan, kedudukan  KUHD  berada  di  atasPermenkumham No.17 Tahun 2018. Konsekuensi hukum lebih lanjutnya adalahPermenkumham No.17 Tahun 2018 tidak dapat mengesampingkan KUHD, dengan kata lainsemua kewajiban/pengaturan yang ada di dalam KUHD demi hukum harus dianggap tetapberlaku. Apabila terjadi pertentangan antara aturan yang ada di dalam KUHD denganPermenkumham No.17 Tahun 2018, maka aturan yang  digunakan adalah aturan di dalamKUHD karena secara hirarki peraturan perundang-perundangan posisi KUHD lebih tinggi.Keberadaan aturan yang tidak harmonis antara KUHD dengan Permenkumham No.17 Tahun2018 juga tidak memenuhi salah satu tujuan hukum, yaitu kepastian hukum.Kata Kunci : Pendaftaran, CV, KUHD, Permenkumham
KEKUATAN HUKUM LoU SEBAGAI JAMINAN DALAM KREDIT SINDIKASI BANK Angraeni, Kartika Dyah; Nasution, Krisnadi
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 2, Nomor 2 Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.73 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v2i2.2521

Abstract

Proyek strategis nasional berupa jalan tol yang digagas Presiden Jokowi melalui penerbitan berbagai peraturan presiden memberikan kesempatan bagi perbankan nasional untuk berperan aktif terutama mendukung aspek pembiayaan proyek jalan tol itu sendiri. Kebutuhan akan pemenuhan modal kerja yang besar dan dalam waktu cepat, bagi perbankan dengan limitasi kewenangan pembiayaan disikapi dengan terbentuknya sindikasi atau konsorsium antara beberapa bank, serta penerapan kebijakan khusus tentang jaminan pembiayaan yang wajib disediakan oleh debitur, hal ini karena debitur merupakan perusahaan Negara di lingkungan kementerian BUMN, namun demikian prosesnya harus tetap memegang prinsip kehati-hatian untuk memitigasi risiko di kemudian hari. Salah satu alternatif jaminan yang paling banyak digunakan pihak perbankan dalam sindikasi pembiyaan jalan tol adalah Letter of Undertaking (LoU) yaitu bentuk pernyataan tentang kesanggupan pihak ketiga untuk mengambil alih tanggung jawab dari seluruh kewajiban serta segala risiko yang mungkin timbul akibat tindakan debitur. LoU berbeda dengan perjanjian penanggungan dan belum ada aturan khusus mengenai pernyataan kesanggupan tersebut, namun demikian penggunaannya di perbankan untuk menjamin pembiayaan sindikasi sudah menjadi kelaziman. Bagaimana kekuatan hukum LoU bagi debitur untuk mengikatkan diri pada pemenuhan kewajiban sesuai aturan bank, serta bagi bank selaku kreditur untuk mendapatkan kembali hak-haknya dari debitur. Hal inilah yang menjadi perhatian penulis dan perlu adanya solusi dalam rangka memitigasi risiko gagal bayar atau wanprestasi oleh debitur atau terjadinya kredit macet pada bank selaku kreditur. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan konseptual yang tidak berasal dari aturan yang ada mengingat ketiadaan aturan mengenai LoU tersebut. Dengan demikian penulisan ini bertujuan memberikan saran masukan bagi para pengguna LoU untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak, serta kepada pihak regulator untuk segera membuat aturan tegas yang mengatur LoU agar risiko termitigasi.
PRINSIP MENGENAL NASABAH PADA BANK UMUM DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Novitiyaningsih, Leny Eka; Nasution, Krisnadi
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 2, Nomor 1 Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.203 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v2i1.2313

Abstract

Judul Jurnal ini, “Prinsip Mengenal Nasabah Pada Bank Umum Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang” masalah yang dikaji adalah mengenai bagaimana menganalisis dan menjelaskan tentang apa itu Prinsip Mengenal Nasabah pada bank umum dan  apakah prinsip mengenal nasabah pada bank umum dapat mencegah tindak pidana pencucian uang. Salah satu kewajiban yang wajib dipenuhi oleh bank adalah melakukan Prosedur Prinsip Mengenal nasabah sebagai bentuk dari prinsip kehati-hatian bank. Prinsip Mengenal Nasabah sebagai salah satu upaya untuk mencegah agar sistem perbankan tidak digunakan sebagai sarana kejahatan pencucian uang. Penerapan Prosedur tersebut bertujuan agar bank dapat mengenali profil nasabah maupun karakteristik setiap transaksi nasabah. Apabila ada transaksi keuangan yang mencurigakan maka bank dapat melaporkannya kepada pihak yang berwenang yaitu PPATK. Dengan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berarti bank juga dapat meminimalkan kemungkinan risiko yang mungkin timbul yaitu operasional risk, legal risk, concentration risk dan reputation risk. Agar tercapainya tujuan hukum serta kepastian hukum ini maka diharapkan pemerintah memberikan sosialisasi secara intensif  dan berkesinambungan bukan hanya pada perbankan tetapi juga pada masyarakat luas. 
INDONESIAN JUDICIAL POWER POST AMENDMENT Nasution, Krisnadi
Mimbar Keadilan Vol 13 No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/mk.v13i1.2997

Abstract

Post the amendment of the Republic of Indonesia constitution, judicial authority in Indonesia underwent a fundamental change. The amendment was made based on the mandate contained in the 1945 Constitution post the amendment. Through normative juridical studies, an analysis of these changes will be carried out. The method of approach is based on statutory regulations and conceptually, as well as comprehensive. Post the amendment of the Republic of  Indonesia Constitution, in the beginning, only the Supreme Court had power in the field of justice. Then developed with the formation of new institutions in the field of justice namely: the Constitutional Court and the Judicial Commission. Through these additions, it is expected that checks and balances will occur in the formation of laws and regulations and the implementation of judicial power.
EKSEKUSI JAMINAN KREDIT BERUPA KIOS PASAR OLEH BANK Hardianto, Tri; Nasution, Krisnadi; Setiadji, Sri
Jurnal Akrab Juara Vol 4 No 5 (2019)
Publisher : Yayasan Akrab Pekanbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The bank is an intermediary institution, meaning that its main activities are raising funds and channeling funds to the public. The funds withdrawn from the community are then channeled back to the community in the form of credit. Lending is generally done by entering into an agreement. "The agreement consists of a principal agreement, namely a debt and credit agreement and is followed by an additional agreement in the form of a guarantee agreement by the debtor. One object commonly used as collateral in a credit agreement is a market stall. The problem in this research is how the legal status of market kiosk ownership is used as a credit guarantee by the bank and how the bank's position in executing the credit guarantee is in the form of a market kiosk if the debtor defaults. In terms of the market stall material law cannot be categorized as an object because the market stall is only a permit to use the building, it cannot give birth to material relations even though the debtor has a permit in the form of a certificate of use of the right to sell in the form of KBP, SPTU, BPTU or type of permit to use the market stall others from the local government. Traders only have the right to lease or the right to use the market stall they occupy, the trader is not the owner. Until now because there are no regulations governing the mechanism of execution of credit guarantees in the form of market kiosks, execution of credit guarantees by binding under the form of market kiosks is carried out by asking the assistance of the market head or the market manager authorized to carry out the takeover of these market kiosks. transferred (leased) to other parties who intend to rent the kiosk.
SUI GENERIS DALAM PENGGUNAAN GEO STATIONARY ORBIT BERDASARKAN PRINSIP DAN HUKUM RUANG ANGKASA Sartika Alamsyah, Dwi Putri; Suhartono, Slamet; Nasution, Krisnadi
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 3, Nomor 2 Agustus 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhbbc.v3i2.3643

Abstract

AbstractThe purpose of this research is to produce a review related to the exertion of Sui generis Regime in the utilization of Geo Stationary Orbit based on the principles of space law which are examined by comparison of laws and needs between developed and developing countries. This provision was made to provide legal substance related to technical matters and exertion related to the exploration of existing territories in space encompassing the Geo Stationary Orbit slot, and spacecraft  skimming. Developing countries strive to be determined "distinctive legal regime" (Sui Generis Regime) against the Geo Stationary Orbit (GSO) which is a specialty or specificity of existing international legal regimes or has previously been regulated in order not to become a stand-alone law. Research used a normative research using Normative Juridical methods namely by conducting an assessment related to legal aspects or the existence of regulations regarding space surrounding the responsibility of the problem. This is done to obtain data and to be able to analyze the sui generis regime on the exertion of geostationary orbits by Indonesia. The research is more concern related reviews special legal regime on the use of orbital slots which will experience challenges both in juridical and non-juridical terms, with the relationship between international law, this happened because there was no principium load, canon rule, and technical mechanism towards the 1967 space rules amendment. The uncertainty of these rules, especially in the utilization of Geo Stationary Orbit is used as a guideline for the need for the Sui Generis Regime as a regulation for the utilization of GSO which is inseparable from the principiums of space law. This is strengthened to provide benefits in terms of juridical and non-juridical aspects in the use of Geo Stationary Orbit. And aims to use space fairly and toward the interest of every humanity now or future.Keyword: geo stationary orbit; sui generis regime; the principle of spaceAbstrakTujuan [enelitian yaitu untuk menghasilkan ulasan terkait penggunaan Sui generis Regime dalam penggunaan Geo Stationary Orbit berdasarkan prinsip-prinsip hukum ruang angkasa yang dikaji dengan perbandingan hukum dan kebutuhan antara negara maju dengan negara berkembang. Ketentuan ini dibuat untuk memberikan subtansi hukum terkait hal-hal teknis dan penggunaan terkait ekplorasi wilayah yang ada di antariksa melingkupi slot Geo Stationary Orbit, serta peluncuran wahana antariksa. Negara-negara berkembang lebih mengupayakan agar dapat ditetapkannya “suatu rezim hukum khusus” (Sui Generis Regime) terhadap Geo Stationary Orbit (GSO) yang merupakan spesialisasi atau kekhususan dari rezim hukum internasional yang telah ada atau telah mengatur sebelumnya agar tidak menjadi hukum yang berdiri sendiri. Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu dengan melakukan pengkajian terkait aspek hukum atau adanya regulasi tentang ruang angkasa melingkupi tanggung jawab permasalahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data dan agar dapat melakukan analisa sui generis regime terhadap pemanfaatan orbit geostationer oleh Indonesia. Penelitian lebih membahas ulasan terkait rezim hukum khusus berkaitan pemanfaatan  pada slot orbit akan mengalami tantangan baik dalam segi yuridis maupun non yuridis, dengan keterkaitan antara hukum internasional, hal ini terjadi karena tidak adanya muatan prinsip, aturan norma dan mekanisme teknis pada amandemen aturan luar angkasa 1967. Tidak tegasnya aturan tersebut terutama dalam penggunaan Geo Stationary Orbit dijadikan sebagai pedoman untuk perlunya Sui Generis Regime sebagai aturan penggunaan GSO yang tidak lepas dari prinsip-prinsip hukum ruang angkasa. Hal ini dikuatkan untuk memberikan keuntungan dari segi yuridis dan dari segi non yuridis dalam penggunaan Geo Stationary Orbit. Serta bertujuan untuk pemanfaatan ruang angkasa yang adil dan untuk kepentingan seluruh umat manusia sekarang ataupun masa yang akan datang.Kata kunci: geo stationary orbit; prinsip ruang angkasa; sui generis regime
INSTITUTIONALIZING THE CONSTITUTIONAL QUESTION AUTHORITY IN THE CONSTITUTIONAL COURT AND POSSIBILITY INSTITUTIONALIZING IN SUPREME COURT Manurung, Saut Parulian; Suhartono, Slamet; Nasution, Krisnadi
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 4 No 1 (2021): Februari 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhmo.v4i1.4318

Abstract

AbstractThis article aims to analyze and discuss the institutionalization of the idea of a constitutional question at the Constitutional Court, and the possibility of its institutionalization at the Supreme Court. The method used is a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. This article takes the position of "agreeing" if the idea becomes the authority of the Constitutional Court. However, from a different perspective, this article also discusses the possibility of its institutionalization through the Supreme Court. Institutionalization of the constitutional question at the Constitutional Court can at least be carried out in three ways, namely, by amending the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, revising the Law on the Constitutional Court, and through Jurisprudence. On the other side, as a role model for practice and the regulation of a constitutional question mechanism, the Austrian and German states were taken as an example. While institutionalizing the idea at the Supreme Court, theoretically, this is very prospective when referring to comparative studies with the United States, because the US Supreme Court currently has the authority to examine the constitutionality of laws. The goal, if institutionalized in the Supreme Court, is for the Supreme Court to take part in realizing law and constitutional enforcement.Keyword: Constitutional Court; constitutional question; Supreme CourtAbstrakArtikel ini bertujuan untuk menganalisis dan membahas pelembagaan gagasan persoalan konstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan kemungkinan pelembagaannya di Mahkamah Agung. Metode yang digunakan adalah pendekatan statutori, pendekatan konseptual, dan pendekatan komparatif. Pasal ini mengambil posisi “menyetujui” jika gagasan tersebut menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sudut pandang yang berbeda, artikel ini juga membahas kemungkinan pelembagaannya melalui Mahkamah Agung. Pelembagaan soal konstitusional di Mahkamah Konstitusi setidaknya dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan amandemen UUD 1945, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan melalui yurisprudensi. Di sisi lain, sebagai panutan bagi praktik dan regulasi mekanisme persoalan konstitusional, negara Austria dan Jerman dijadikan contoh. Sementara melembagakan gagasan di MA, secara teoritis hal ini sangat prospektif jika mengacu pada studi banding dengan Amerika Serikat, karena MA saat ini memiliki kewenangan untuk memeriksa konstitusionalitas undang-undang. Tujuannya, jika dilembagakan di Mahkamah Agung, agar Mahkamah Agung turut serta mewujudkan penegakan hukum dan konstitusi.Kata Kunci: Mahkamah Agung; Mahkamah Konstitusi; pertanyaan konstitusi