cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
KALPATARU
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Arjuna Subject : -
Articles 278 Documents
Ragam Hias pada Makam di Komplek Mesjid Makam Turikale di Maros Sulawesi Selatan. Mulyadi, Yadi; Nur, Muhammad
KALPATARU Vol 26, No 1 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3026.587 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v26i1.222

Abstract

Ragam hias merupakan salah satu atribut pada makam Islam yang memiliki makna budaya dan menjadi objek kajian arkeologi Islam. Keberadaan ragam hias ditemukan juga pada makam di Komplek Mesjid Makam Turikale di Maros. Mesjid Turikale ini merupakan mesjid kuno dengan tipe mesjid makam, dimana arsitektur mesjid dengan arsitektur makam merupakan satu rangkaian bangunan secara utuh. Semua artefak kaligrafi pada makam di Komplek Mesjid Makam Turikale dapat digolongkan ke dalam aliran Tsulus atau Khat Tsulus. Tidak ada kaligrafi di komplek makam ini yang meniru atau memanipulasi bentuk makhluk hidup apalagi anthropomorphic. Gejala ini berbeda dengan beberapa komplek makam di Sulawesi Selatan. Adapun ragam hias pada bangunan makam, menganut paham representative art dan menghindari aktivitas pengkultusan pada sosok selain Allah. Sulur-suluran dan bunga ditampakkan sangat vulgar dengan kelopak bunga yang menengadah, yang dalam falsafah Bugis-Makassar, menyimbolkan pandangan hidup yang terbuka dan progressif. Abstract. Ornament is one of the attributes in the Islamic cemetery that has cultural significance and become the object of Islamic archaeological study. The existence of ornament were also found in the tomb at the Tomb Mosque Complex in Turikale in Maros. Mosque of Turikale is an ancient mosque by mosque-type tombs, where the architecture of the mosque with the tomb architecture is a series of buildings in their entirety. All artifacts calligraphy on a tomb in the Tomb Mosque Complex in Turikale can be classified into Khat Tsulus. No calligraphy in this tomb complex that mimics or manipulate living things especially anthropomorphic form. These symptoms differ with some graveyard in South Sulawesi. The ornaments on the tomb building, adopts representative art and avoid the cult activity on the figure besides Allah. Tendrils and flowers revealed a very vulgar with upturned petals, which in philosophy Bugis-Makassar, symbolizes a view of life that is open and progressive.
Perkembangan Budaya Akhir Pleistosen-Awal Holosen Di Nusantara. Prasetyo, Bagyo
KALPATARU Vol 23, No 1 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1467.274 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v23i1.47

Abstract

Sejak dasawarsa terakhir ini eksplorasi untuk mengetahui jejak-jejak manusia dan budaya akhir Pleistosen-awal Holosen makin meluas. Wilayah pengamatan telah menjangkau Aceh, Pulau Nias, pedalaman Sumatera Selatan, pesisir Pantai Barat Kalimantan Barat dan Barito Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, Halmahera, Ponorogo dan Pacitan (Jawa Timur), Wonosari  (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, dan Kupang. Makalah   ini merupakan kompilasi data dari sejumlah hasil penelitian yang menyangkut budaya akhir Pleistosen-awal Holosen, dalam upaya mencari informasi baru jejak-jejak perkembangan munculnya manusia sapiens yang menyangkut distribusi situs dan kronologinya. Melalui tulisan ini diperoleh sumbangan data berupa tambahan jumlah hasil pertanggalan dan persebaran situs- situs serta teknologi budaya manusia sapiens pada akhir Pleistosen-awal Holosen di Indonesia. Abstract. The Cultural Development during Late Pleistocene-Early Holocene in the Indonesian Archipelago. Since the last decade, explorations to unveil traces of culture of Late Pleistocene- Early Holocene have become more extensive. The observation areas have covered Aceh, Nias Island, the interior of South Sumatra, the west coast of West Kalimantan and North Barito,  South Sulawesi, Central Moluccas, Halmahera, Ponorogo and Pacitan in East Java, Wonosari (Yogyakarta), Klungkung (Bali), Rotendao, Flores, and Kupang. This article is a compilation of data from a number of research results pertaining to Late-Pleistocene-Early Holocene culture, in search of new data about traces of emergence of development of Homo sapiens in terms of site distribution and chronology. The results of this paper will provide new data in forms of more dating results as well as wider site distribution and cultural technology of Homo sapiens from Late Pleistocene-Eary Holocend in Indonesia.
Interaksi Regional dan Cikal Bakal Perdagangan Internasional di Maluku Tanudirjo, Daud Aris
KALPATARU Vol 22, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.729 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v22i1.99

Abstract

Abstrak. Sejarah telah mencatat peran penting Kepulauan Maluku dalam jejaring perdagangan internasional setidaknya sejak awal abad Masehi. Beberapa sumber sejarah kuno memberikan kesaksian keberadaan cengkeh di tempat-tempat yang jauh dari sumber tanaman endemik Maluku ini. Naturalis Romawi, sejarah Dinasti Han (abad 2 SM – 2 M), menuliskan tentang adanya rempah-rempah (cengkeh, chi-shé, ting-hsiang) yang didatangkan dari Mo-wu atau Maluku (Wolters, 1967). Jejaring perdagangan yang melibatkan Maluku memuncak sekitar abad ke-16 tidak lama setelah orang-orang Eropa mulai menjelajahi lautan untuk mencari “emas hijau” ini di tempat asalnya. Peran penting Maluku dalam jejaring perdagangan dunia adalah salah satu puncak proses evolusi budaya yang berakar dari interaksi regional yang telah terjadi sejak ribuan tahun sebelumnya. Makalah ini mencoba menelusuri kembali cikal bakal dan perjalanan panjang sejarah terbentuknya jejaring perdagangan internasional di kawasan Maluku ini. Abstract. Regional Interaction and the Dawn of International Trade in Moluccas. History has recorded the important role of Moluccas Islands in international trade network at least since early century CE. A number of old historical sources reveal the existence of cloves at places far from the sources of these endemic plants of the Moluccas. Roman naturalist, the history of the Han Dynasty (2nd century BCE – 2nd century CE), wrote about spices (cloves, chi-shé, tinghsiang) sent from Mo-wuor Moluccas (Wolters, 1967). The trade network that involved Moluccas reached its peak around 16th century CE, not long after the Europeans began to roam across the oceans in search of this “green gold” in its places of origin. The important role of the Moluccas in the global trade network is one of the pinnacles of cultural evolution process, which was rooted in regional interactions that happened since thousands of years previously. This paper attempts to retrace the embryo and long journey of the establishment of international trade network in the Moluccas region.
Preface Kalpataru Volume 20, nomor 1, tahun 2011 Arkeologi, Kalpataru Majalah
KALPATARU Vol 20, No 1 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1202.551 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v20i1.151

Abstract

Pusaka Budaya Kawasan Pesisir: Tinjauan Arkeologis Atas Potensi Di Kepulauan Maluku. Ririmasse, Marlon
KALPATARU Vol 24, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3783.316 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v24i2.36

Abstract

Kawasan pesisir sejak lama telah menjadi salah satu tema utama dalam tinjauan sejarah budaya dunia. Karakter geografisnya yang khas, membuat wilayah ini menjadi titik mula bagi proses kontak dan interaksi antar budaya. Hadir sebagai kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menjadi salah satu negara dengan garis pantai terpanjang. Suatu keadaan yang mencerminkan potensi kolosal kawasan pesisir di negeri ini. Termasuk potensi secara kultural. Sebagai salah satu kepulauan terluas di Indonesia, Maluku juga kaya dengan pusaka budaya kawasan pesisir. Makalah ini merupakan langkah awal untuk menemukan dan mengenali potensi pusaka budaya kawasan pesisir yang ada di Kepulauan Maluku dari sudut pandang studi arkeologi serta membuka ruang diskusi bagi arah pengelolaannya. Survei penjajakan dan studi pustaka dipilih sebagai pendekatan dalam kajian. Hasil penelitian menemukan bahwa wilayah Maluku memiliki potensi besar pusaka budaya kawasan pesisir yang perlu dikelola dengan pendekatan pengembangan berkelanjutan. Abstract. The coastal area has long been the major domain in the review of the world cultural history. The distinctive geographical character has made this region a starting point for the process of contact and interaction between cultures. As the world’s largest archipelago, Indonesia is one of the countries with the longest coast lines; a situation that reflects the colossal potential of the coastal region, not only politically and economically, but culturally as well. As one of the largest archipelagoes in Indonesia, the Moluccas also has the same potency. This paper tries to identify potential cultural heritage of coastal areas in the Maluku Archipelago from the archeological perspective and creates the discussion sphere to develop the management approach. Reconnaissance survey and literature study have been chosen as the approach in this research. This study found that the Maluku region has a great potency of cultural heritage of coastal areas that need to be managed with a sustainable development approach.
In-situ Preservation Sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia Mochtar, Agni Sesaria
KALPATARU Vol 25, No 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1783.57 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v25i1.83

Abstract

Abstract. Indonesia is a renowned country of its richness of underwater archaeological heritage. Abundant maritime cultural activities had provided data to reconstruct the ancient maritime glory. In the matter of fact, the efforts to reconstruct the history are still facing many challenges especially in the lack of main point of view in managing the heritage. Considering that the Indonesian underwater archaeological heritage is of international significance, this paper discusses the opportunity to implement in-situ preservation in managing underwater archaeological heritage in Indonesia, as it is recommended by the 2001 UNESCO Convention. Some issues in the management of underwater cultural heritage, including activities undertaken and related regulation, were discussed through a descriptive approach. This paper then shows that although Indonesia might not ratify the 2001 UNESCO Convention in the near future, in-situ preservation is an ideal strategy to manage the underwater cultural heritage and is applicable in Indonesia, subject to some adjustment of current regulations. Abstrak. Indonesia sangat kaya dengan peninggalan arkeologi bawah air. Berbagai aktivitas budaya maritim telah meninggalkan data yang melimpah untuk merekonstruksi sejarah bangsa ini. Pada kenyataannya, upaya rekonstruksi tersebut masih menghadapi banyak tantangan terutama dalam hal perbedaan sudut pandang pengelolaan tinggalan-tinggalan tersebut oleh para pihak pengelola. Mengingat bahwa peninggalan arkeologi bawah air di Indonesia tidak hanya memiliki signifikansi nasional, tapi juga regional bahkan internasional, kajian ini mengurai kemungkinan penerapan in-situ preservation, sebagaimana tercantum dalam Konvensi UNESCO tahun 2001, sebagai strategi pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air Indonesia. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan permasalahan yang ada dan menunjukkan bahwa meskipun Indonesia belum dapat meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 dalam waktu dekat, in-situ preservation merupakan strategi ideal pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang dapat diterapkan di Indonesia dengan melakukan penyesuaian regulasi yang berlaku.
Preface Kalpataru Volume 22, nomor 2, tahun 2013 Arkeologi, KALPATARU Majalah
KALPATARU Vol 22, No 2 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.766 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v22i2.122

Abstract

Preface Kalpataru Volume 27, nomor 2, tahun 2018 Puslit Arkenas, Puslit Arkenas
KALPATARU Vol 27, No 2 (2018)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.581 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v27i2.504

Abstract

Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan. Wibisono, Sonny C.
KALPATARU Vol 23, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (890.228 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.61

Abstract

Salah satu episode sejarah yang menarik untuk dicermati selama masa pertumbuhan dan perkembangan Śrīwijaya adalah berlangsungnya kegiatan niaga jarak jauh. Dalam kronik Cina cukup jelas dicatat, kerajaan yang pusatnya di Sumatera ini, telah mengirimkan lebih dari dua puluh misi perniagaan ke Cina antara abad ke-10-13 M., demikian pula sebaliknya. Kawasan perairan Laut Cina Selatan, merupakan jalur yang semakin intensif dilalui pada masa itu. Permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini tentang studi arkeologi di wilayah kepulauan khususnya di Laut Cina Selatan yang dipandang patut diteliti untuk menelusur jejak jalur perniagaan jarak jauh antara Cina dan Nusantara, terutama hubungannya dengan masa Śrīwijaya. Di samping penelitian terhadap bandar-bandar di sepanjang pantai Benua Asia Tenggara Daratan, pada kenyataan banyak kepulauan kecil yang sangat mungkin menjadi “batu loncatan” dalam perjalanan niaga yang selama ini luput dari perhatian seperti Kepuluan Paracel, Spratley, Anambas, dan Natuna. Pulau ini merupakan salah satu gugusan pulau-pulau kecil yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan, menempati posisi persilangan jalur untuk memasuki perairan Malaka, Sumatera, dan Kalimantan. Dalam tulisan ini akan disajikan bukti-bukti arkeologis, dari hasil survei dan ekskavasi Natuna tahun 2012-2014, termasuk data situs dan artefaktual. Keramik sebagai indikator perniagaan dianalisis khusus (kualitatif dan kuantitatif) untuk perbandingan Abstract. The Archaeology of Natuna: A Maritime Corridor in the waters of the South China Sea. One of the interesting historical episodes to be observed during the period of growth and development of Śrīvijaya is the long distance commercial activity. Chinese chronicles quite clearly note that the kingdom’s headquarters in Sumatera has sent more than twenty commercial missions to China between 10th–13th Century, and vice versa. The waters of the South China Sea region were more and more intensively sailed at that time. The focus of attention in this paper is the study of archeology in the archipelago, especially in the South China Sea, which is worth to be studied in search of the path of long-distance commerce between China and the archipelago, especially in relationto the Śrīvijaya period. In addition to the ports along the coast of Mainland Southeast Asian continent, in fact there are many small islands that were likely to be a “stepping stone” in the course of trade which have escaped the attention, such as Paracel Islands, Spratley, Anambas, and Natuna. Natuna Islands is one of a cluster of small islands facing the South China Sea, occupying a crossing place into the waters of Malacca, Sumatera, and Borneo. In this paper will be presented archaeological evidence, the results of the survey and excavation in Natuna during 2012-2014, including data on the site and artifacts. Ceramics as an indicator of commerce is specially analyzed (both qualitatively and quantitatively) for comparison.
Lukisan Dinding Gua Prasejarah di Perbatasan Indonesia –Papua Nugini Fairyo, Klementin
KALPATARU Vol 25, No 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2166.503 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v25i2.113

Abstract

Abstract. The existence of rock art in Keerom area is very interesting to study because located in the border area between Indonesia and Papua New Guinea. The Purpose of this Papua is to determine the different forms of rock art in Keerom area regarding to the function and its meaning in the past and also in order to build. An understanding of the culture in the border region. The method used in this study consist of literature studies field observations and interview and use morphological and piktoral in the analysis processed. The result showed about the form of figurative and non figurative painting on cave walls, especially in the Web and Kibay sites. The meaning of the rock art associated with a symbol of religy and as a symbol of social comunications. The role of the rock arts shows about identify and also has and important meaning in an attempt to preserve the indigenous territories.Abstrak. Penelitian  tentang lukisan dinding gua di Keerom yang berbatasan dengan Papua Niugini menarik untuk dikaji. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa di wilayah perbatasan banyak lukisan dinding gua yang belum diteliti secara mendalam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui ragam bentuk lukisan dinding gua di Keerom, fungsi dan makna lukisan dining gua tersebut bagi masyarakat pendukungnya serta peran lukisan dinding gua dalam mempertahankan wilayah perbatasan Indonesia. Metode penelitian yag digunakan yaitu pengumpulan data berupa studi kepustakaan, observasi lapangan dan wawancara. Pengolahan data meliputi analisis morfologi, analisis teknologi dan cara perekaman piktorial. Hasil penelitian menunjukkan bentuk lukisan dinding gua di Web dan Kibay yaitu lukisan figuratif dan non figuratif. Hasil karya seni tersebut merupakan himpunan simbol-simbol atau lambang-lambang yang mengandung nilai kehidupan. Makna lukisan adalah makna religi, komunikasi dan sosial. Peran lukisan dinding gua adalah sebagai tradisi berlanjut, jati diri dan mempertahankan wilayah adat. 

Page 6 of 28 | Total Record : 278