cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
KALPATARU
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Arjuna Subject : -
Articles 278 Documents
Balung Buto dalam Persepsi Masyarakat Sangiran: Antara Mitos dan Fakta Handini, Retno
KALPATARU Vol 24, No 1 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1881.475 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v24i1.63

Abstract

Abstrak. Tulisan ini merupakan kajian tentang “balung buto”, sebuah mitos atau kepercayaan masyarakat yang menghuni wilayah penemuan fosil-fosil purba di Jawa. Penelitian ini difokuskan di Situs Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia untuk memahami pola pikir dan persepsi masyarakat penghuni situs dalam memandang keberadaan fosil yang banyak ditemukan di sekitar lahan tegalan atau pekarangan mereka. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam pada masyarakat yang  tinggal di Sangiran. Hasil penelitian menunjukkan walaupun saat ini sudah semakin ditinggalkan dan tidak lagi diturunkan pada generasi muda, namun mitos “balung buto” masih mempengaruhi pola pikir dan perilaku kalangan tertentu yang mempercayainya. Hal tersebut secara langsung ataupun tidak berdampak pada pencarian fosil dan pelestarian situs.Abstract. This article is a study on ‘balung buto’ (which means giant’s bone), a myth or belief shared by the communities that live in areas where prehistoric fossils are found in Java. The study is focused at the World Heritage Site of Sangiran to understand the way of thinking and perception of the inhabitants around the site in viewing the existence of fossils, which are found in abundance on their agricultural fields or house yards. The method used here is insightful interview with the people who live at Sangiran. The study reveals that although believed by less and less people and no longer inherited to the young generation, there are some people who still believe the myth. To them the myth of ‘balung buto’ still influences their pattern of thoughts and behaviour so that directly or indirectly it has impacts on fossil-collecting behaviour and site preservation. 
Pengembangan Kawasan dan Kepariwisataan Situs Kompleks Percandian Bumiayu. Utomo, Bambang Budi
KALPATARU Vol 21, No 2 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1332.232 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v21i2.115

Abstract

Situs Kompleks Percandian Bumiayu yang terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Kompleks Percandian bercirikan agama Hindu ini yang sangat luas tidak mungkin diteliti tanpa perencanaan penelitian yang matang. Selain itu Pemanfaatan Situs Bumiayu untuk kepentingan agama, sosial, parawisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan harus mengikuti kaidah-kaidah dan rambu-rambu yang berlaku. Abstract. Bumiayu Temple Complex Site is located at Bumiayu Village, Tanah Abang District, Muara Enim Regency, South Sumatra. The very vast temple complex with Hindu characteristics is impossible to be investigated without careful research plan. Furthermore, utilization of Bumiayu site for religious, social, tourism, education, science, technology, and cultural purposes must comply with proper rules and guidelines.
Petrographic analysis on prehistoric-protohistoric pottery of Northern coastal sites of central java: “early studies of environmental archaeology”. Kasnowihardjo, Gunadi
KALPATARU Vol 26, No 2 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1931.495 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v26i2.312

Abstract

AbstractPottery or often called gerabah is one of the results of technology that developed in the neolithic period, until now some people in Central Java in general and in the northern coast of Rembang regency in particular still found pottery craftsmen, one of them is in Balong Mulyo Village, Kragan District, Regency of Rembang. To get raw materials such as clay and sand, Balong Mulyo pottery craftsmen apparently make use of natural resources in their environment. As one artifact made from clay and sand materials, petrographically pottery can be analyzed type content and mineral percentage. The results of an analysis of petrographic samples of pottery fragments from prehistoric-protohistoric sites in the northern coast of Central Java such as Binangun, Leran, Plawangan and Tanjungan sites, have in common with the pottery samples from Balong Mulyo. This is one of the benefits of applying petrographic studies in archaeological research. In addition, the results of this petrographic study can provide an explanation that prehistoric-protohistoric humans in the northern coastal area of Central Java to meet their daily needs have utilized the natural resources of their environment, one of which is in pottery technology.Keywords: Pottery, Neolithic, Petrographic analysis, Raw material, Environment. Abstrak            Tembikar atau sering disebut gerabah adalah salah satu hasil teknologi yang berkembang pada masa neolitik, hingga sekarang sebagian masyarakat di Jawa Tengah umumnya dan di daerah pantai utara Kabupaten Rembang khususnya masih ditemukan pengrajin tembikar, salah satu di antaranya adalah di Desa Balong Mulyo, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Untuk mendapatkan bahan baku seperti tanah liat dan pasir, para pengrajin tembikar Balong Mulyo rupa-rupanya memanfaatkan sumberdaya alam di lingkungan mereka. Sebagai salah satu artefak yang dibuat dari bahan baku tanah liat dan pasir, secara petrografis tembikar dapat dianalisis kandungan jenis dan prosentasi mineralnya. Hasil analisis petrografi sampel fragmen tembikar dari situs-situs prasejarah-protosejarah di kawasan pantai utara Jawa Tengah seperti Situs Binangun, Leran, Plawangan, dan Tanjungan, secara garis besar memiliki kesamaan dengan sampel tembikar dari Balong Mulyo. Inilah salah satu manfaat penerapan kajian petrografi dalam penelitian arkeologi. Selain itu, hasil kajian petrografi ini dapat memberikan penjelasan bahwa manusia prasejarah-protosejarah di kawasan pantai utara Jawa Tengah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka telah memanfaatkan sumberdaya alam lingkungannya, salah satu di antaranya adalah dalam teknologi pembuatan tembikar.Kata Kunci:  Tembikar, Neolitik, Analisis petrografi, Bahan baku, Lingkungan
Preface Kalpataru Volume 23, nomor 2, tahun 2014 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Redaksi
KALPATARU Vol 23, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.902 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v23i2.54

Abstract

Wilayah Maluku Dalam Konteks Perdagangan Internasional Lapian, Adrian B.
KALPATARU Vol 22, No 1 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (533.353 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v22i1.106

Abstract

Abstrak. Kepulauan Maluku senantiasa melekat dengan peran sebagai kawasan sumber komoditi eksotik seperti cengkeh dan pala. Nilai tinggi rempah sebagai komoditi telah mendorong Maluku ke dalam kontak dan interaksi dengan dunia luar semenjak berabad silam dan membentuk suatu kawasan niaga yang dinamis pada masa itu. Kondisi ini mencapai puncaknya menyusul kedatangan orang-orang Eropa yang kemudian menetapkan hegemoni mereka atas aktivitas perdagangan rempah di wilayah ini sebagaimana tergambar dalam dominasi Belanda secara historis. Laut Banda dan Laut Arafura menjadi dua kawasan sentral dalam aktivitas niaga masa lalu di Kepulauan Maluku. Peran yang sama masih ditemukan hingga saat ini. Makalah ini mencoba meninjau peran wilayah Maluku dalam konteks perdagangan internasional di masa lalu dengan berpijak pada sumber-sumber historis yang menjelaskan tentang peran dua kawasan sentral Laut Banda dan Laut Arafura. Refleksi atas kondisi terkini dua wilayah niaga penting di Maluku ini, menunjukan peran Laut Banda dan Laut Arafura sebagai kawasan sumber, masih lestari hingga saat ini. Abstract. The Mollucas in Terms of International Commerce. The role as the regional source area for the exotic commodities such us nutmeg and clove has always been attached to the Moluccas Archipelago. The high values of spices as commodities have pushed Moluccas into the contact and interaction with the outside world since centuries ago. At the same time it has formed Moluccas as a vibrant commercial area. This condition reached its peak following the arrival of the Europeans who during the later period has established their hegemony over the spice trade activity in the region. The domination of the Netherlands for centuries in the spice trade has been historically known. The Banda and the Arufura Sea are the two central region in the commercial activity during the past. The same role is still found today. This paper tries to review the role of the Moluccas in the context of international trade during the past based on the historical sources that describe the role of the two central region: The Banda and Arafura Sea. Reflection on the current condition in these two main commercial region in the Moluccas has shown that the role of as the source area of the important commodities is still preserved to this day.
Signifikansi tembikar tera-tali dari situs Ceruk Landai (Merangin, Jambi) dalam rekonstruksi ekspansi neolitik di bagian barat Indonesia Fauzi, Mohammad Ruly
KALPATARU Vol 26, No 1 (2017)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3650.785 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v26i1.229

Abstract

AbstrakEkskavasi situs Ceruk Landai (Kabupaten Merangin, Jambi) berhasil mengungkap adanya dua fase hunian neolitik yang berbeda melalui kajian artefaktual dan kontekstual pada temuan-temuannya. Data menarik diperoleh dari analisis ragam hias tera-tali atau cord-marked, jala, dan belah ketupat yang dihasilkan oleh alat tatap (paddle) yang digunakan (i.e. teknik paddle impressed). Tembikar bermotif hias cord-marked pada lapisan US c di Ceruk Landai membuktikan adanya hubungan antara masyarakat neolitik di Sumatra dengan kompleks tembikar Bau-Malay di Asia Tenggara Daratan. Hal tersebut menjadi bukti adanya kemungkinan ekspansi budaya neolitik dari arah barat melalui Semenanjung Malaya yang kemudian masuk ke Sumatra setidaknya sejak 3000 tahun yang lalu.Kata kunci: tera-tali, tembikar, ragam-hias, neolitikAbstractArchaeological excavation at Landai Rockshelter (Merangin District, Jambi) successfully unearthed two different phases of neolithic habitation through artifactual and contextual analysis on its remains. Interesting result came from the analysis on cord-marked, nets, and rhombus motif appeared on pottery fragments which are made by paddle-impressed technique. Cord-marked pottery from US c layer in Landai Rockshelter established a possible link between neolithic pottery traditions in Sumatra with the Bau-Malay pottery complex in the mainland of Southeast Asia. It became the evidence of a possible expansion of neolithic culture from the west through the Malay Peninsula then move southward into Sumatra at least 3000 years ago.Keywords: cord-marked, pottery, decoration, neolithic
Preface Kalpataru Volume 24, nomor 2, tahun 2015 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Redaksi
KALPATARU Vol 24, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (484.109 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v24i2.45

Abstract

Appendix Kalpataru Volume 24, nomor 2, tahun 2015 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Redaksi
KALPATARU Vol 24, No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1457.529 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v24i2.97

Abstract

Kajian Artistik Lidah Api Kemerdekaan di Tugu Nasional atau Monumen Nasional. Ardhiati, Yuke
KALPATARU Vol 21, No 2 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1472.848 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v21i2.140

Abstract

Lidah Api Kemerdekaan sebagai simbol dinamis ’api’ adalah ekspresi Kebesaran Bangsa Indonesia gagasan Presiden Soekarno menjadi mahkota Tugu Nasional atau Monumen Nasional. Kehadirannya bukan saja sebagai simbol estetis semata, agar tampak indah dari semua sudut pandang, tetapi juga berperan sebagai pelindung ruang lift di Puncak Tugu. Kedudukannya di atas ketinggian 115 m dari permukaan tanah menyebabkan kesulitan dalam cara penggambaran serta pemugaran. Berdasar penelitian, diketahui kondisi Api Kemerdekaan yang telah mengalami degradasi/kerusakan pada lapisan goldleaf di permukaan dasar Lidah Api. Dengan demikian diperlukan pemikiran-pemikiran ke depan untuk menemukan strategi konservasi bagi kelestarian Lidah Api Kemerdekaan tersebut. Selain itu ditemukan kesulitan cara pendokumentasian artefak karena lokasi tapak berdirinya Lidah Api tidak memungkinkan Lidah Api disaksikan secara frontal. Di dalam dokumen pribadi Arsitek Soedarsono (alm.) ditemukan sejumlah gambar arsitektur LidahApi Kemerdekaan sebagai pemandu penggambaran ulang Lidah Api Kemerdekaan untuk menjadi basis konservasi lanjut. Abstract. Lidah Api Kemerdekaan (The Flame of Independence) as a dynamic symbol of ‘fire’ is the expression of the Greatness of Indonesian Nation, and was the idea of President Soekarno, who wanted it to be the ‘crown’ of Tugu Nasional/Monumen Nasional (National Monument) or Monas. It is not solely meant as an aesthetical symbol to make the monument attractive from every view, but also functions as the cover of the lift room on top of the monument. Its position, which is 115 above the ground, has caused some difficulties in the drawings and restoration efforts. Grounded Theory research through the point of view of Phenomenology on top of the National Monument has revealed degradation/damage on the gold-leaf layer on the surface of the Flame of Independence. Hence thoughts/discussions to find conservation strategies in the future are essentially needed for the preservation of the Flame of Independence. There is also difficulty to document the artifact because the location of the flame makes it impossible to be viewed frontally. Fortunately among the personal documents of the late architect, Soedarsono, we found a number of architectural drawings of the Flame of Independence that can be used as our guidance to redraw the Flame of Independence as the basis of further conservation.
MOTIF HIAS PADA ARSITEKTUR BANGUNAN PENINGGALAN ZENDING DI PULAU ROON DAN WASIOR, KABUPATEN TELUK WONDAMA, PROVINSI PAPUA BARAT Tolla, Marlin
KALPATARU Vol 27, No 2 (2018)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1707.429 KB) | DOI: 10.24832/kpt.v27i2.456

Abstract

Abstrak. Misionaris yang bergabung dalam perkumpulan Zending Ultrecht untuk Misi Kristen Protestan (UZV) melakukan pengenalan agama Kristen Protestan di daerah Mansinam dan daerah sekitar unik yang diaplikasikan pada bagian tertentu pada bangunan yang ada. Tulisan ini bertujuan mengekplorasi  dan mengetahui makna dari arsitektur bangunan, dalam hal ini motif hias yang diterapkan pada bangunan yang didirikan oleh zending dalam misi kristiani yang dilakukan di daerah Roon dan Wasior. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif  dengan menggunakan data etnografi yang diperoleh melalui studi pustaka. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan peninggalan yang ada di kedua daerah ini menggunakan bahan yang sesuai dengan iklim setempat, sedangkan motif yang diterapkan sangat kuat dipengaruhi oleh budaya adat Saireri. Adopsi budaya lokal pada motif bangunan dimotivasi oleh nilai luhur yang terkandung dalam motif tersebut yang selanjutnya diaplikasikan pada bangunan sebagai pengingat untuk tetap dipedomani oleh masyarakat pada masa lalu.Kata Kunci: Zending, Motif hias, Pekabaran Injil, Roon dan Wasior  Abstract. Ultrecht Protestant Mission Union (UZV), also known as Zending Ultrecht, is group of missionaries of Dutch government who did evangelism in Mansinam and its surrounding areas in Cenderawasih Bay. Architectures built for the mission can be found in this area, including in Roon and Wasior. This paper aims to explore the history of Christianity in Roon and Wasior areas reflected in materials used for the construction as well as the architecture ornaments. The descriptive method and literature-based ethnography study were applied in this study to explain the meaning of the ornaments and the influence of local cultures to the colonial legacy. The results shows that the local culture, Saireri, strongly influenced the variety of ornaments used in the architectures. Another factor is adaptation with local climate that can be seen from its building materials. The use of local culture was to serve as life guidance by the community.Keywords: Zending, decorative ornaments, Christianity, Roon and Wasior

Page 1 of 28 | Total Record : 278