cover
Contact Name
David Alinurdin
Contact Email
veritas@seabs.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
veritas@seabs.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan
ISSN : 14117649     EISSN : 26849194     DOI : -
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan is a peer-reviewed and open-access journal published semiannually (June and December) by Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Southeast Asia Bible Seminary), Malang City, East Java, Indonesia. The journal specializes in evangelical theology that focuses on the novelty in biblical studies, systematic theology, and practical theology, contributing to theological studies and ecclesial ministry. Manuscripts submitted for publication in this journal include quantitative or qualitative field research findings, conceptual and critical studies, exegesis or exposition material, case studies, and other forms of original thought in the broad scope of theological research, supported with academic references that are adequate, robust, and accurate.
Articles 413 Documents
Pandangan Kalvin Tentang Hari Sabat Djung, Philip K. H.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 13 No 2 (2012)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.423 KB)

Abstract

Sabat telah menjadi topik debat yang hangat sejak zaman Reformasi. Pandangan Reformator John Calvin pun sering dikutip baik oleh mereka yang setuju maupun yang tidak setuju dengan pandanganya. Hal ini lebih disebabkan oleh kompleksitas pandangannya dan juga luasnya cakupan penulisan Calvin tentang topik ini. Selain itu, sikapnya dalam menjaga hari Sabat juga turut dipertanyakan. … Dalam tulisan ini saya akan menunjukkan bahwa bagi Calvin, sejauh itu menyangkut “istirahat rohani,” ibadah komunal, dan perbuatan baik, maka hukum ke-4 masih berlaku bagi orang Kristen hari ini dan seharusnya dijalankan dengan penuh ketekunan, namun bukan legalistik ataupun takhayul. Artikel ini akan membahas pengertian Calvin tentang tujuan perintah ke-4, diikuti dengan tiga fungsi hukum tersebut beserta penerapannya. Kemudian, saya akan menarik kesimpulan dari keseluruhan pembahasan.
Tinjauan teologi Reformed Terhadap Kebudayaan yang Dibangun dan Dipopulerkan Oleh Televisi Dalam Fungsinya Sebagai Media Massa Soegianto, Hari
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 13 No 2 (2012)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.716 KB)

Abstract

Tiga istilah penting dalam judul di atas adalah “teologi Reformed,” “kebudayaan,” dan “televisi.” Jika ketiga istilah ini disejajarkan, tentu menimbulkan pertanyaan yang mendasar yaitu, apakah hubungan di antara ketiganya? Apakah satu dengan yang lain saling mempengaruhi, ataukah berdiri sendiri-sendiri? Jika memiliki relasi, relasi apakah yang terjadi di antara ketiganya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam makalah ini. Tulisan ini akan menunjukkan pengaruh televisi sebagai media massa dalam membangun dan mempopulerkan pola pikir, gaya hidup dan nilai-nilai pada zaman ini. Penulis akan memaparkan serangkaian penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan dan dipublikasikan di media, lalu memberikan tanggapan berdasarkan pemahaman teologi Reformed.
Kenali Diri, Kenali Musuh, Gunakan Strategiyang Tepat : Pengajaran Tentang Peperangan Rohani Menurut Surat Efesus Lo, Timotius
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 13 No 2 (2012)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16.97 KB)

Abstract

“Apakah Iblis dan kuasa kegelapan lainnya sudah dikalahkan?” Jawabannya adalah, “Ya” dan “Tidak.” Jawaban “Ya” karena di kayu salib Yesus Kristus sudah melucuti segala pemerintah dan penguasa kegelapan serta menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka (Kol. 2:14-15; Ibr. 2:14). Sedangkan jawaban “Tidak” karena Iblis dan para pengikutnya masih memiliki sisa-sisa kuasa untuk memberontak kepada Allah. Natur pemberontakan Iblis kepada Allah adalah sebuah usaha untuk menggagalkan pemerintahan Allah atas dunia ini dengan cara menyerang, menciderai, menipu, bahkan menguasai umat manusia (Yoh. 8:44; 1Ptr. 5:8; Luk. 22:31; 1Kor. 12:7-8; Mat. 17:14-18), sebelum akhirnya ketika masanya genap Iblis dan semua pengikutnya akan selama-lamanya dibuang ke dalam api neraka (Why. 20:1-7). Salah satu karya Iblis pada masa kini adalah menciptakan chaos yang dilakukan atas umat manusia lewat menggelapkan atau membutakan pikiran dan mata hati umat manusia (2Kor. 4:4). Pikiran manusia yang gelap dan mata hati yang buta menghasilkan pandangan dunia yang salah dan tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab, yang pada gilirannya akan menghasilkan pengajaran dan praksis yang salah. Sebagai orang Kristen, kita harus hidup waspada dan memiliki strategi yang tepat dalam menghadapi serangan Iblis dan para pengikutnya dalam kehidupan kita pada masa kini. Untuk itu, makalah ini secara khusus menampilkan pengajaran rasul Paulus dalam surat Efesus yang menyajikan sebuah strategi khusus dalam memenangkan peperangan rohani ini.
Menjawab Persoalan Teologis Tentang Konsep dan Praktik Kesembuhan Ilahi Mamahit, Ferry Yefta
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 13 No 2 (2012)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.217 KB)

Abstract

Kesembuhan ilahi adalah salah satu dari sekian banyak isu dalam kekristenan yang tetap hangat untuk dibicarakan. Isu ini masih tetap relevan, populer dan “tidak ada matinya.” Dalam menanggapinya, orang-orang Kristen telah terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang bersikap acuh tak acuh terhadap praktik kesembuhan ilahi, mungkin karena ketidaktahuan tentang konsep dan praktik terhadap hal tersebut atau memang tidak mau terlibat di dalam polemik yang berkepanjangan. Ada sebagian yang pro terhadap praktik ini dan begitu bersemangat menerima dan mempromosikannya. Mereka percaya bahwa praktik ini masih berlangsung dan harus terjadi sampai saat ini. Di pihak lain, ada juga sebagian yang bersikap kontra. Mereka menolak bahkan melarang praktik tersebut dilakukan di dalam lingkup jemaat dengan alasan “karunia” untuk menyembuhkan dan fenomena penyembuhan ilahi sudah berhenti sejak zaman para rasul. Yang menarik, berbagai gereja dalam lingkungan injili pun telah terbagi-bagi dalam ketiga posisi di atas Realita yang demikian telah menimbulkan persoalan teologis di dalam kekristenan, dengan pertanyaan utama, manakah posisi yang paling benar? Tulisan ini tidak sedang menempatkan diri dalam salah satu posisi di atas, tetapi mencoba menjawab persoalan tersebut dengan berefleksi secara lebih kritis terhadap berbagai posisi tersebut. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan di atas dengan cara menguji setiap pandangan dalam dua aspek utama: prasuposisi di balik konsep dan praktik kesembuhan ilahi serta metode penafsiran (prinsip-prinsip pemahaman Alkitab) terhadap teks-teks kesembuhan.
Eksklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme, dan Dialog Antar Agama Lukito, Daniel Lucas
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 13 No 2 (2012)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19.786 KB)

Abstract

Cukup banyak gereja atau sinode di zaman pascamodern ini yang mengutamakan pentingnya relasi antar-agama atau antar-iman. Mereka agaknya tidak mementingkan apa ajaran yang dipegang seseorang, sebuah lembaga, atau sebuah aliran. Memang, mau tidak mau pada masa kini kita hidup di dalam dunia yang secara religius bersifat plural atau majemuk, dan kebanyakan orang akan setuju bila dikatakan bahwa kekristenan pun, siap atau tidak, dipandang hanyalah sebagai salah satu agama dunia di antara agama-agama lainnya. Teolog modern atau pascamodern pada umumnya memilih posisi “aman” dan dapat diterima semua pihak, yaitu bahwa setiap agama memiliki warisan historis dan jalan keselamatannya sendiri-sendiri.3 Secara khusus, di Indonesia, kita hidup di tengah beragamnya suku, ras, tradisi, latar belakang sosial dan agama. Bagi kekristenan, pluralitas budaya dan agama ini dapat memperlihatkan aspek-aspek positif maupun negatif. Dari perspektif positif, kita harus mengakui bahwa pluralitas kepercayaan dapat memperkaya dan sekaligus menantang pemahaman Kristen secara lebih perseptif dan realistis tentang keberagaman ini; hasilnya, pelayanan Kristen akan jadi lebih relevan dan kontekstual bagi kebutuhan manusia. Dari perspektif negatif, kita juga harus mengakui bahwa pluralitas kepercayaan ini dalam keadaan-keadaan tertentu telah menjadi penyebab timbulnya ketegangan dan konflik-konflik di antara keyakinan-keyakinan tersebut. Lalu, bagaimana seharusnya orang Kristen mendekati topik pluralisme? Melalui artikel ini saya pertama-tama akan menguji fakta pluralisme dalam dunia kita saat ini. Kita akan mengamati pluralisme sosiokultural modern dan dampaknya terhadap teologi Kristen. Kemudian kita akan menyelidiki bagaimana pluralisme telah dimanfaatkan untuk membenarkan agenda teologis belakangan ini yang dikenal sebagai “teologi agama-agama dunia” atau “teologi pluralistik.” Di sini tampaknya, oleh mereka, iman Kristen harus diletakkan sebagai dikotomi atau alternatif antara partikularisme dan inklusivisme. Yang pertama berarti orang Kristen sebaiknya tidak menyajikan iman mereka dengan cara sedemikian rupa seakan-akan mereka adalah “mayoritas,” “pemimpin,” “anak tunggal yang terkasih” di antara agama-agama lainnya. Yang belakangan berarti orang Kristen seharusnya mengadakan atau ikut serta dalam dialog dengan anggota iman atau agama lain sehingga kekristenan itu sendiri dapat diperkaya, atau bahkan diubahkan melalui interaksi serta menyerap kebenarankebenaran yang terdapat dalam tradisi lain. Itu sebabnya sebelum kita tiba pada implikasi di bagian akhir, saya akan mengajukan sebuah kerangka alternatif sebagai suatu usaha untuk melangkah melampaui kontroversi, yakni mengajukan sebuah kerangka yang bisa dikerjakan di mana perbedaanperbedaan pemikiran adalah sah dan tidak direlatifkan atau diabsolutkan.
Sebuah Kritik terhadap Pandangan James D. G. Dunn tentang "Melakukan Hukum Taurat" dalam Galatia 2:16  Yahya, Pancha W.
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (20.413 KB)

Abstract

Frasa “melakukan hukum Taurat” (harfiah: “pekerjaan-pekerjaan hukum,” digunakan delapan kali dalam surat-surat Paulus (Rm. 3:20, 28; Gal. 2:16 [tiga kali]; 3:2, 5, 10). Interpretasi yang tepat terhadap frasa ini sangat penting untuk memahami Paulus dan pemikirannya. Kendati demikian, tidak ada kesepakatan di antara para sarjana Perjanjian Baru mengenai makna dari istilah tersebut. Secara tradisional, para sarjana memahami frasa tersebut sebagai “sebuah kewajiban untuk mematuhi semua tuntutan Hukum Musa guna memperoleh keselamatan.” Bagi para sarjana tersebut, Paulus menggunakan “melakukan hukum Taurat” untuk menyerang orang-orang Yahudi yang menggalakkan pendekatan legalistik pada keselamatan. Menurut pandangan tradisional ini, dengan menggunakan frasa ini Paulus mengajar para pembacanya di Roma dan Galatia bahwa melakukan hukum Taurat tidak akan membenarkan mereka seperti halnya beriman kepada Yesus Kristus. Di sisi lain, Perspektif Baru tentang Paulus (The New Perspective on Paul—selanjutnya disingkat NPP) berpendapat bahwa Yudaisme abad pertama bukanlah agama yang bersifat legalistik. Selanjutnya, para pendukung NPP berpendapat bahwa doktrin pembenaran oleh iman tidak ada hubungannya dengan keselamatan secara individual, tetapi lebih sebagai argumentasi Paulus terhadap orang-orang Kristen Yahudi yang sangat percaya bahwa orang percaya dari bangsa non-Yahudi harus di-Yudais-kan demi menjadi bagian dari umat Allah. Sebagai tambahan, para pengikut NPP tidak setuju bahwa “melakukan hukum Taurat” mengacu pada ketaatan pada hukum sebagai upaya demi memperoleh keselamatan. Sebaliknya, mereka percaya bahwa menurut Paulus, frasa itu merujuk pada pelaksanaan tuntutan-tuntutan hukum guna memelihara keanggotaan orang Yahudi dalam ikatan perjanjian dengan Allah. Dalam Roma dan Galatia, “melakukan hukum Taurat” secara khusus mengacu pada beberapa tuntutan yang berfungsi sebagai tanda-tanda yang membedakan orang Yahudi dan non-Yahudi, yaitu: sunat, Sabat dan hukum-hukum yang berhubungan dengan makanan. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengevaluasi pandangan NPP tentang “melakukan hukum Taurat.” Namun, karena keterbatasan ruang, agaknya tidak mungkin untuk membahas semua isu dan kajian pustaka yang berkaitan dengan pandangan NPP terhadap frasa ini. Karena itu, saya akan memfokuskannya hanya pada pandangan Dunn tentang “melakukan hukum Taurat,” khususnya di Galatia 2:16. Alasan saya memilih Dunn adalah karena ia bukan saja seorang sarjana NPP yang terkemuka, tetapi ia juga adalah sarjana yang diasosiasikan dengan frasa “New Perspective on Paul.” Selain itu, saya akan berkonsentrasi pada Galatia 2:16 karena Dunn sendiri menekankan bahwa Galatia 2:16, yang di dalamnya terdapat tiga kali frasa “melakukan hukum Taurat” adalah “the most obvious place to start any attempt to take a fresh look at Paul from our new perspective.” Di dalam artikel ini saya akan membuktikan bahwa pemahaman Dunn tentang “melakukan hukum Taurat” tidaklah meyakinkan, karena studi yang cermat terhadap konteks langsung, gaya sastra, dan latar belakang historis dari frasa tersebut dalam Galatia 2:16, menunjukkan bahwa frasa tersebut mengacu pada ketaatan terhadap semua tuntutan hukum guna memperoleh keselamatan.  
Etika Paulus tentang Perceraian: Studi I Korintus 7:10-16 Gunawan, Chandra
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.037 KB)

Abstract

Tema mengenai perceraian selalu menjadi tema yang cukup menarik untuk didiskusikan dan penting untuk dibahas. Penulis pernah menyampaikan sebuah khotbah mengenai perceraian dan setelah kebaktian selesai ada beberapa jemaat langsung bertanya mengenai bagaimana mereka harus menilai kasus-kasus perceraian yang mereka lihat baik dalam keluarga dekat mereka ataupun teman atau kerabat mereka. Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya bertambah tidak kurang dari 10%; pada tahun 2009 terjadi 216.286 kasus perceraian, dan di tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi 285.184 perkara. Meningkatnya angka perceraian memperlihatkan bahwa kondisi keluarga-keluarga dari masyarakat Indonesia semakin mengalami penurunan dalam hal kualitas sehingga berdampak pada rentannya usia pernikahan keluarga dari masyarakat kita. Di negara-negara Barat pun kondisi yang sama terjadi, jumlah perceraian sangatlah tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Gordon J. Wenham bahwa separuh dari pernikahan diakhiri dengan kasus perceraianan …. 1 Korintus 7 adalah teks Alkitab yang penting dalam membahas isu perceraian dan pernikahan kembali. Teks ini telah mempengaruhi penafsiran dan kebijakan dari berbagai denominasi gereja, contohnya Roma Katolik dan The Church of England.12 Meskipun 1 Korintus 7 memang berbicara mengenai isu perceraian dan pernikahan kembali, namun bagian ini bersifat “occasional,” artinya nasihat yang diberikan Paulus terkait dengan situasi dan kondisi tertentu yang terjadi dalam jemaat.13 Perkataan Paulus dalam 1 Korintus 7:1 dan 1 Korintus 7:25 jelas mengindikasikan adanya pertanyaan tertentu yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus.
Tinjauan Teologis terhadap Konsep Aksesibilisme Monergistik Terrance L. Tiessen Tan, Kian Guan
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19.269 KB)

Abstract

Bagaimana keselamatan orang-orang yang belum pernah berkesempatan mendengar injil (the unevangelized)? Pertanyaan ini menjadi populer di halaman depan beberapa buku teologi setidaknya pada dua puluh tahun terakhir ini. Secara umum, ada empat kalangan yang disinggung lewat buku-buku ini. Pertama, kalangan agnostik yang cenderung memilih aman dan berkata bahwa Alkitab tidak berbicara jelas (silent) mengenai “nasib” orang yang belum pernah mendengar Injil. Kedua, kalangan eksklusivis atau partikularisme yang lebih tegas dan berani mengatakan bahwa mereka yang tidak pernah mendengar berita Injil dan beriman kepada nama Yesus Kristus tidak akan memperoleh keselamatan. Ketiga, bertolak belakang dengan eksklusivisme, kalangan pluralisme mengatakan bahwa orang yang belum pernah mendengar Injil sangat bisa selamat melalui agama dan kepercayaan mereka masing-masing, karena ada The Real yang sama. Keempat, masih ada satu kalangan lagi yang mencoba menjawab pergumulan teologis ini, khususnya dengan menjembatani perbedaan di antara pihak eksklusivis dan pluralis, yaitu inklusivisme. Kalangan ini setuju kepada pihak pluralis yang tidak membatasi keselamatan Allah hanya kepada orang-orang yang mendengarkan berita Injil dan percaya di dalam Yesus Kristus. Di sisi lain, kalangan ini juga setuju dengan para eksklusivis yang mendasari keselamatan Allah di dalam Pribadi Yesus Kristus dan berita Injil. Sebagai seorang eksklusivis, penulis tertarik untuk mengkritisi pandangan inklusivisme ini dibandingkan dengan pandangan yang lain. Alasannya adalah: pertama, pandangan ini berusaha menjembatani perbedaan di antara eksklusivisme dan pluralisme. Karena itu, mungkin saja ada pemikiran-pemikiran menarik yang perlu diperhitungkan; kedua, pandangan ini memiliki titik berangkat yang sama dengan eksklusivisme, yaitu firman Tuhan. Pandangan ini juga sepakat bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juru Selamat manusia; tidak ada manusia yang bisa membebaskan dirinya sendiri dari dosa tanpa Yesus Kristus. Masalahnya adalah, dengan maksud mengakomodasi kedua belah pihak, tentu saja kita perlu bertanya, seberapa besar kesetiaan mereka memegang inti iman kekristenan ini?; terakhir, pandangan ini bersifat aktif dalam berargumentasi. Karena itu, dialog dapat lebih mudah dilakukan, baik kepada kalangan eksklusivis maupun pluralis. Penulis akan berkonsentrasi mengkritisi salah satu tokoh inklusivis yaitu Terrance L. Tiessen. Ketertarikan penulis kepada Tiessen adalah karena ia mengembangkan konsep inklusivisme yang agak berbeda dengan yang lainnya. Ia mencoba mengaitkan teologi Calvin dengan inklusivisme, sehingga lahirlah aksesibilisme monergistik.
Strategi Pelayanan Pastoral Kedukaan yang Holistik Runenda, Paulus Chendi
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.261 KB)

Abstract

Kematian adalah realitas kehidupan yang tidak mungkin dihindari. Bagi kebanyakan orang, mendengar kata “kematian” saja sudah memunculkan kengerian karena sering kali kehadirannya sangat di luar dugaan, mendadak, tidak memberikan tanda-tanda maupun kesempatan untuk mempersiapkan diri, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi orang-orang yang mengasihinya. Kematian menyebabkan seseorang mengalami penderitaan fisik dan derita emosional yang menusuk sekalipun kadarnya bisa berbeda pada masing-masing orang. Kematian membawa disintegrasi kehidupan, menyebabkan terputusnya relasi-relasi, baik pribadi, keluarga maupun sosial. Bisa dibayangkan bahwa penderitaan orang yang ditinggalkan sungguh tidak mudah untuk ditanggung. Bahkan, jika pengalaman-pengalaman ini dibiarkan dapat berdampak buruk terhadap kondisi jasmani, mental, rohani maupun social orang tersebut. Bagi mereka yang mengalami peristiwa kematian seorang anggota keluarga, dukacita yang dirasakan tidak serta-merta hilang begitu saja setelah proses pemakaman selesai. Pada umumnya justru setelah seluruh proses pemakaman selesai rasa keterhilangan itu baru sangat terasa. Karena dampak kedukaan itu sangat kompleks maka pelayanan kepada orang berduka juga perlu komprehensif. Sayangnya, fenomena yang justru sering kali terlihat adalah gereja melayani orang yang kedukaan secara parsial. Gereja cenderung lebih berfokus pada pelayanan kepada mereka di rumah duka karena inilah yang terjadi di sini dan sekarang (here and now). Padahal seseorang atau anggota keluarga yang ditinggal justru menghadapi masalah-masalah yang lebih kompleks setelah pemakaman selesai. Namun sayangnya, pelayanan kepada mereka malahan terabaikan oleh gereja.
Keselamatan dari Orang Kristen yang Bunuh Diri Donna, Sylva
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.4 KB)

Abstract

Bunuh diri bukanlah fenomena baru dan merupakan fenomena yang tidak kunjung padam. Kejadian tersebut tidak hanya menimpa negara-negara bagian dunia seperti Australia, Belgia, Denmark, Belanda, Afrika Selatan, dan masih banyak lagi, namun juga terjadi di Indonesia. Walaupun angka kematian yang diakibatkan karena tindakan bunuh diri belum diketahui datanya secara pasti dan akurat, namun angka kematian di Indonesia dengan cara bunuh diri menunjukkan angka yang cukup signifikan. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa setiap tahun ada sekitar satu juta orang di dunia yang tewas akibat bunuh diri. Kasus-kasus bunuh diri tersebut dapat terjadi pada orang dari segala usia. Selain itu, hal tersebut tidak terbatas pada etnis tertentu ataupun golongan agama tertentu. Menyikapi fenomena tersebut kekristenan pun tidak tinggal diam. Perdebatan di kalangan umat Kristen berkisar tentang keselamatan orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sebagian orang mengatakan bahwa orang yang bunuh diri tidak diselamatkan dan tidak akan masuk surga karena orang tersebut belum sempat minta ampun kepada Tuhan. Sebagian orang berpandangan bahwa orang yang bunuh diri tetap masuk surga karena sudah dibenarkan oleh Tuhan lewat penebusan di kayu salib sekali untuk selamanya. Banyaknya perdebatan yang terjadi di kalangan Kristen membuat banyak orang Kristen menjadi bingung mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin menelaah lebih lanjut masalah keselamatan dari orang Kristen yang bunuh diri. Artikel ini akan memaparkan mengenai pengertian bunuh diri, penyebab bunuh diri, bunuh diri dalam Alkitab, dan bagaimana keselamatan orang Kristen yang bunuh diri. Terakhir, penulis akan memberikan kesimpulan akhir untuk menentukan posisi di antara perdebatan-perdebatan yang ada dan implikasinya dalam kehidupan orang Kristen.