cover
Contact Name
Alice Whita Savira
Contact Email
alicewhitasavira@usd.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
suksma@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55581
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma
ISSN : 14129426     EISSN : 27454185     DOI : doi.org/10.24071/suksma
Core Subject : Humanities,
Jurnal Suksma adalah jurnal open access yang bertujuan untuk mendiseminasikan penelitian di bidang ilmu psikologi. Jurnal suksma menerima naskah dalam area Psikologi Sosial, Psikologi Industri Organisasi, Psikologi Klinis, Psikologi Pendidikan, Psikologi Perkembangan, Psikologi Kognitif, dan Psikometri dengan berbagai metodologi riset yang sesuai dengan standar publikasi jurnal. Target pembaca jurnal ini adalah akademisi, mahasiswa, praktisi, dan profesional lain yang tertarik dengan bidang ilmu psikologi.
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 1 (2025)" : 8 Documents clear
Penentuan Besarnya Sampel Uji Coba berdasarkan Presisi Estimasi Alpha Cronbach Santoso, Agung; Savira, Alice Whita; Prihatmoko, Robertus Landung
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.12340

Abstract

The current article shows the importance of involving an adequate size of try-out samples based on two considerations: the power of the analysis and the accuracy of parameter estimates. Two simulation studies were conducted to achieve two purposes. The first was to show the disadvantages of calculating reliability estimates with inadequate sample sizes due to lower power or high inaccuracy. The second objective was to show the performance of two formulas for calculating the required sample size: Feldt and Bonett. Based on their performance, the recommendation on which formula should be used was made. The results of the first simulation show that inadequate sample size resulted in lower power to test estimated reliability from the data and large fluctuation of reliability estimates across samples. Such large fluctuations made higher possibility of having sample values of reliability estimates far from the population value. The second simulation results in better estimation of sample size required to have large power and accuracy using Bonett’s formula.
Dari Individu ke Sistem: Peran Psikologi Kritis dalam Memahami dan Mengatasi Krisis Lingkungan Sari, Raden Rara Maria Anita Dewi
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.10824

Abstract

The current environmental crisis demands fundamental changes in our ways of thinking and behavior. Critical psychology offers a unique lens for understanding how social, cultural, and economic systems shape environmentally damaging behavior. By uncovering the structural roots of the problem, such as social constructions of nature and unequal power relations, critical psychology promotes transformation towards a more sustainable society. This research highlights the importance of integrating local wisdom in efforts to address the environmental crisis, while critically analyzing the threats faced by traditional practices. In doing so, critical psychology paves the way for collaboration between scientific and local knowledge to create more inclusive and effective solutions.   
“Memproduksi” Manusia lewat Psikologi Harimurti, Albertus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.12479

Abstract

Saat membicarakan mengenai tegangan politik antara Red Shirts dengan Yellow Shirts di Thailand, Benedict Anderson (2016) – seorang ahli Kajian Asia Tenggara – menuliskan bahwa seorang cendekiawan dalam kerja akademis hendaknya, “Look at what’s in front of you, but think about what is missing” (Anderson, 2016, hlm. 7). Dalam perselisihan politik di Thailand, meskipun seolah-olah hal tersebut adalah konflik antara dua kubu, Anderson berargumen lebih jauh bahwa secara laten terdapat tegangan etnis di dalamnya, yakni terhadap orang Tionghoa-Thai. Secara geografis, Anderson menunjukkan bahwa pembagian dukungan politik erat kaitannya dengan etnisitas. Hal tersebut diperkuat dengan temuan Anderson bahwa istilah “lukchin” (anak Tionghoa) juga mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Apa yang diperlukan dalam kerja-kerja akademik adalah mencermati suatu fakta, untuk kemudian melihat apa yang berada di baliknya.Anderson melihat tidak hanya apa yang tampak, ia berupaya melihat apa yang tidak tampak. Cara-cara kerja demikianlah yang kemudian dipraktikkan oleh seorang analis dan peneliti – juga detektif. Ada sebuah bagian penting – dan terus diingat – oleh para pembaca cerita detektif Arthur Conan Doyle dalam cerita pendeknya yang berjudul Silver Blaze (1892). Bagian tersebut mengisahkan Sherlock Holmes yang tengah berbicara dengan Watson saat menyelidiki suatu kasus pembunuhan. Demikian tulisnya: “Adakah hal aneh yang barangkali menarik perhatian saya?”“Pada suatu insiden mencurigakan yang melibatkan seekor anjing.”“Si anjing tidak menggonggong pada malam itu.”“Nah, itu perkara yang sungguh aneh.”, ujar Sherlock Holmes. (Doyle, 1892/1956, hlm. 347) Dalam kutipan di atas, ditunjukkan bahwa perilaku anjing yang tidak menggonggong merupakan suatu hal yang mencurigakan. Kita bisa menganalisisnya demikian: Sebagai suatu cerita, hal tersebut tampaknya hanya sekadar narasi yang diceritakan secara kronologis. Namun, sebagai sebuah peristiwa, hal tersebut sangat aneh. Keanehan terletak pada kemungkinan seekor anjing tidak menggonggong saat melihat seorang yang mencurigakan memasuki area rumah sang tuan. Atau jangan-jangan ada kemungkinan lain bahwa orang yang memasuki rumah dan menjadi tokoh jahat dalam kisah tersebut adalah orang yang sama sekali tidak asing? Cara kerja demikianlah yang dilakukan, baik oleh para detektif maupun peneliti, untuk memahami suatu perkara. Hal tersebut kemudian dielaborasi oleh Slavoj Žižek (1991), seorang psikoanalisis Lacanian, yang menunjukkan bahwa kemunculan psikoanalisis dan cerita detektif pada periode yang beririsan, yakni akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kedua subjek, yakni psikoanalis dan detektif, berfokus pada suatu prosedur formal. Seorang detektif akan mencari dan menemukan kebenaran faktual dari suatu adegan kejahatan. Sementara itu, seorang psikoanalis menemukan makna lewat analisis mimpi, salah ucap, dan asosiasi bebas. Pada akhirnya, keduanya dianggap sebagai subjek-yang-diandaikan-tahu (subject-supposed-to-know; omniscience) mengenai peristiwa tertentu. Kemudian, yang paling penting adalah kemampuan keduanya untuk menemukan makna/tatanan dalam suatu ketidakteraturan. Persis, penemuan makna (atau pola) dalam ketidakteraturan inilah yang menjadi kerja-kerja penelitian.Para penulis dalam Suksma edisi ini juga melakukan kerja-kerja detektif/analis/peneliti serupa. Tentu saja, mereka berupaya melihat suatu fakta untuk mengidentifikasi fenomena psikologi yang mendasarinya. Dalam artikel pertama yang berjudul “Peran Kontrol Diri dan Keterhubungan dengan Sekolah terhadap Masalah Emosi dan Perilaku Remaja Usia SMP”, Anisa Sajidah dan Edilburga Wulan Saptandari menguji peran kontrol diri dan keterhubungan dengan sekolah terhadap masalah emosi dan perilaku remaja SMP (12-14 tahun). Studi terhadap 171 responden ini menemukan bahwa kontrol diri dan keterhubungan dengan sekolah secara bersamaan berkontribusi sebesar 23,8% terhadap masalah emosi dan perilaku. Sementara, sebesar 76,2% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Kemudian, pada tulisan yang berjudul “Bertumbuh di Balik Jeruji: Stress-Related Growth pada Narapidana Tamping”, Yovita Giri Sekarsari dan Maria Laksmi Anantasari melakukan studi kualitatif yang mengeksplorasi stress-related growth (SRG) atau proses perkembangan positif pribadi yang muncul dari kondisi stres. Dengan melakukan wawancara terhadap tiga narapidana Tamping, peneliti mengidentifikasi proses pertumbuhan diri serta faktor eksternal dan internal yang memengaruhinya. Peneliti menemukan bahwa pertumbuhan diri berlangsung dalam bentuk peningkatan kesadaran diri, ketahanan, kemandirian, perubahan makna, serta peningkatan kecakapan kerja. Artikel ketiga berjudul “Gambaran Penyesuaian Diri Mahasiswa Anak Tunggal yang Merantau” ditulis Bonaventura Bagastama Widhi Pramaditho dan Agnes Indar Etikawati dalam rangka mendeskripsikan penyesuaian diri mahasiswa anak tunggal yang merantau. Dalam studi kualitatif ini, ketiga informan menunjukkan enam tema dalam upaya penyesuaian diri. Peneliti menemukan bahwa tema yang paling dominan adalah mengembangkan keterampilan sosial dan keterlibatan dalam kegiatan kampus. Faktor internal berupa motivasi, kebutuhan relasi, dan refleksi diri; serta faktor eksternal seperti iklim kampus dan pola asuh orang tua memengaruhi upaya penyesuaian diri tersebut. Artikel selanjutnya ditulis oleh Martaria Rizky Rinaldi dan Jelang Hardika. Artikel berjudul “Stres dan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu Bekerja: Peran Moderasi Mindful Parenting” menemukan bahwa mindful parenting memiliki efek positif signifikan pada kesejahteraan psikologis, sementara stres berefek negatif signifikan. Dengan melakukan studi cross-sectional pada 87 responden, penelitian ini menemukan bahwa mindful parenting tidak signifikan memoderasi hubungan antara stres dengan kesejahteraan psikologis. Pada artikel kelima, Agung Santoso, Alice Whita Savira, dan Robertus Landung Prihatmoko memperdebatkan soal ukuran sampel ujicoba. Melalui judul “Penentuan Besarnya Sampel Uji Coba berdasarkan Presisi Estimasi Alpha Cronbach”, penulis membahas pentingnya ukuran sampel ujicoba yang memadai berdasarkan analisis power dan akurasi estimasi parameter dalam dua studi simulasi. Pada simulasi pertama, ukuran sampel yang tidak memadai menghasilkan power yang rendah dan fluktuasi estimasi reliabilitas yang besar. Sementara itu, simulasi kedua menemukan bahwa formula Bonett lebih baik dalam mengestimasi ukuran sampel yang dibutuhkan untuk power dan akurasi yang tinggi dibandingkan formula Feldt.Kelima artikel studi empiris di atas kemudian diikuti dua artikel non-empiris lainnya. Artikel non-empiris pertama, mengenai posisi Psikologi terkait krisis lingkungan ditulis oleh Raden Rara Maria Anita Dewi Sari. Melalui judul “Dari Individu ke Sistem: Peran Psikologi Kritis dalam Memahami dan Mengatasi Krisis Lingkungan”, penulis mengelaborasi pemikiran Psikologi Kritis guna memahami sistem sosial, budaya, dan ekonomi dalam membentuk perilaku merusak lingkungan. Penemuan akar masalah struktural ini hendaknya mendorong transformasi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Implikasinya, solusi yang dirasa efektif oleh penulis adalah integrasi kearifan lokal dan kolaborasi pengetahuan ilmiah lokal. Artikel terakhir adalah semacam obituari atau necrology untuk sosok yang berperan besar dalam perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma (USD), yakni Dr. Christina Siwi Handayani. Bagi penulis, yakni YB. Cahya Widiyanto, Ibu Christin merupakan seorang ahli Psikologi yang sensitif terhadap konteks dan praktik hidup sehari-hari. Bagi Ibu Christin, Psikologi merupakan ilmu sosial-humaniora yang harus dikembangkan berdasarkan konteks hidup masyarakatnya. Dengan judul “Psikologi yang Kembali kepada Konteks”, penulis mengisahkan pengalaman kerja akademik bersama Ibu Christin yang menegaskan rekognisi dan kontribusi pemikiran Ibu Christin.Dari tujuh tulisan yang tersedia dalam Suksma Volume 6 Nomor 1 kali ini, ada hal menarik yang patut kita telaah ke belakang bersama. Sejauh terbitan Suksma sejak Mei 2020, terdapat sebanyak 83 tulisan yang mengulas topik dan pengukuran Psikologi – data terhitung termasuk terbitan Volume 6 Nomor 1. Dalam laman web Suksma, dituliskan demikian, “Suksma menerima naskah hasil penelitian lapangan, artikel psikologi yang berbasis kajian teoretik, resensi buku dan juga obituari” (Universitas Sanata Dharma. Suksma, 2020). Terdapat 12 naskah editorial, 56 artikel empiris, 12 artikel non-empiris/teoretis, 2 tinjauan buku, dan 1 obituari.Guna kepentingan tulisan ini, saya akan mengidentifikasi 12 naskah editorial. Kedua belas naskah tersebut berisi mengenai tanggapan, harapan, dan barangkali arah perdebatan yang dicita-citakan Suksma. Dari 12 naskah editorial, terdapat 9 naskah yang secara berulang menekankan pada “konteks”, “subyektivitas”, dan “refleksivitas”. Dalam tradisi Psikoanalisis, keberulangan ini dikenal dengan istilah compulsion to repeat atau repetition compulsion. Istilah tersebut menunjukkan pengulangan pada sesuatu yang belum terasimilasi dalam realitas pengalaman (Yang, 2016) – sebuah “perpetual recurrence of the same thing” (kekambuhan abadi terhadap perkara yang sama) (Freud, 1920/1961, hlm. 16). Dalam konteks ini, ketiga istilah berulang tersebut barangkali memang belum terasimilasi penuh dalam disiplin maupun penelitian Psikologi. Marjinalisasi – kemudian pengulangan – ini menunjukkan hadirnya kecemasan berupa kecenderungan ketidakmantapan posisi peneliti dan analisisnya. Posisi tidak mantap ini kemudian menghadirkan dialektika yang menuntut seseorang untuk terus tidak “nyaman” dengan posisi dan cara berpikirnya. Artinya, penekanannya adalah pada mempertanyakan: Mengapa saya berpikir dengan cara saya berpikir?Dengan mengambil semangat “mengapa saya berpikir dengan cara saya berpikir?”, Widiyanto (2020) menekankan bahwa Suksma bertendensi untuk menyajikan publikasi yang otentik dan idealisme, alih-alih berakhir sebagai berkas obligasi formal-administratif. Kemudian, Harimurti (2020) membicarakan mengenai eksperimentasi metodologi terlepas dari pendekatan kualitatif atau kuantitatif pada umumnya. Pada editorial lain, Etikawati (2021) menekankan pada aspek kontekstualitas dalam analisis, yang pada akhirnya menghindari analisis yang menjurus pada generalisasi. Selanjutnya, Madyaningrum (2022) menekankan pada perspektif multidimensi agar kehendak untuk memperbaiki (asumsi dasar para peneliti) tidak terjebak dalam “menyalahkan korban” (blaming the victim). Sementara itu, editorial yang ditulis Hartoko (2022) mengajak para penulis untuk menjadi tidak “kerasan” di rumahnya sendiri – dalam arti mempertanyakan asumsi epistemologis-ontologis penelitian Psikologi yang dilakukan. Karenanya, aspek intersubyektivitas menjadi perkara yang perlu direkognisi dalam penelitian – yang tampaknya masih menuai resistensi dari model tradisional Psikologi. Sembari menekankan pada editorial sebelumnya, Harimurti (2023) mengelaborasi pada konteks (context-bound), fluiditas fenomena, dan aspek posisionalitas peneliti yang idealnya diperhatikan dalam kerja akademisnya. Kembali lagi diutarakan, Widiyanto (2023) mengingatkan soal kontekstualitas agar tidak terjebak dalam penelitian yang sifatnya replikatif dan menerima mentah-mentah teori yang sudah dianggap mapan. Kemudian dalam editorial Volume 5 Nomor 3 (2024), Widiyanto dan Harimurti (2024) merefleksikan ideologi yang mendasari Psikologi Industri dan Organisasi yang cenderung meminggirkan karyawan. Karyawan direduksi menjadi pengepul keuntungan bagi organisasi. Editorial tersebut membicarakan bagaimana power beroperasi mengabaikan subyektivitas manusia. Pun demikian dengan editorial terbitan kali ini, sebagaimana akan saya jabarkan pada bagian selanjutnya.Terlepas dari naskah editorial Suksma, statistik terbitan Suksma tersebut di atas tidak menunjukkan apapun kecuali pembagian kategori. Padahal dalam suatu kategori, substansi berada dalam kontennya. Lantas, bagaimana produksi pengetahuan dalam konten-konten tulisan tersebut? Dalam dunia keilmuan, kita dapat mempertanyakan: Apa yang dimaksud sebagai pengetahuan? Bagaimana implikasi konseptual mengenai konsep pengetahuan itu sendiri? Dalam bukunya mengenai Psikologi Teoretis, Teo (2018) menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan relevan pada saat dan tempat tertentu. Sebagai contoh, Baumrind (1966) mengidentifikasi tiga bentuk pola asuh. Pola asuh pertama adalah pola asuh permisif, yang mana meyakini bahwa anak-anak memutuskan sendiri kegiatan yang akan mereka lakukan. Kedua adalah pola asuh authoritarian yang menekankan pada pengendalian, pembentukan, dan kepatuhan si anak terhadap pengasuh. Kemudian ketiga adalah pola asuh authoritative yang membimbing anak secara rasional dan mengikuti sifat manusia secara rasional dengan menyediakan alasan terhadap suatu aturan. Dalam tradisi Barat, galib dikatakan bahwa pengasuhan authoritative adalah yang terbaik. Meskipun demikian, apakah anggapan kebenaran serupa juga akan relevan dalam sistem budaya lain – misalnya dalam sistem teokrasi?Dengan kata-kata ajaib, yakni “konteks”, barangkali para peneliti akan menyimpulkan bahwa setiap kebenaran menjadi “betul-betul-benar” hanya pada konteks tertentu. Meminjam istilah dari budaya Jawa, orang bisa mengatakan “bener, tur ora pener” (atau “benar tetapi tidak elok”) (Anderson, 1965). Ambil contohnya adalah membenci seseorang kemudian mengatakan bahwa kita benci terhadap orang tersebut dalam ruang publik. Betul bahwa mungkin kita membencinya, tetapi dalam alam berpikir Jawa, hal tersebut tidak elok dan tidak bijak. Dengan kata lain, ada semacam unwritten rules yang beroperasi dalam tataran simbolik. Contoh lain, dengan model yang agak berbeda, adalah terkait dengan tes intelegensi yang dikembangkan oleh Binet (Gould, 1981). Binet pada awalnya menciptakan skala IQ sebagai alat untuk mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan dukungan khusus dalam pendidikan. Namun, dalam perkembangannya, kaum hereditarian dan Army Mental Tests Amerika justru menjadikan skor IQ sebagai ukuran tunggal kecerdasan bawaan yang menetap, mengabaikan pengaruh lingkungan, dan menggunakan tes tersebut untuk memberi peringkat individu. Implikasinya adalah skor IQ membenarkan hirarki sosial dan ras, kemudian bahkan mengadvokasi kebijakan pembatasan imigrasi. Dalam menegaskan kedudukan tes IQ, berbagai problem yang muncul juga diabaikan: latar belakang budaya partisipan atau instruksi yang tidak terpahami. Singkat kata, keabaian terhadap konteks menunjukkan bahwa ada kekuasaan/pengetahuan tertentu yang dikonstruksi lebih benar dibanding yang lainnya. Dengan kata lain, aspek power menjadi perkara yang perlu diperhatikan dalam penelitian Psikologi. Ada power dalam suatu unwritten rules.Aspek power ini berimplikasi pada positionality yang perlu dipertimbangkan peneliti. Posisionalitas ini menggambarkan cara pandang terhadap dunia dan posisi yang peneliti ambil mengenai penelitian dan konteksnya. Dalam tradisi penelitian Psikologi, kita mengenal reflexivity. Refleksivitas ini menjadi upaya peneliti dalam rangka mencari asumsi-asumsi tersembunyi yang mendasari penelitiannya. Sama halnya dengan yang dinyatakan Benedict Anderson atau Slavoj Žižek pada awal tulisan ini, kita perlu melihat sesuatu yang tidak tampak yang memungkinkan suatu fenomena atau peristiwa berlangsung. Teo (2018) menyebutkan bahwa refleksivitas merupakan proses berpikir kritis dalam Psikologi yang hilang dalam tradisi positivisme. Bisa jadi, seorang peneliti mengabaikan refleksivitas atau berpura-pura bahwa pertanyaan dasar seperti epistemologi, ontologi, etika, dan estetika sudah terjawab. Pada poin ontologi, Teo (2018) menawarkan pertanyaan mengenai “apa itu manusia?” Menurut Teo, selama ini Psikologi melihat manusia secara historis eksklusif; didominasi oleh subjek Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic (WEIRD) dan menyingkirkan yang lainnya. Teo menawarkan konsep subjektivitas yang bukan sekadar sudut pandang orang pertama, tetapi juga titik perubahan dan titik aktivitas yang memungkinkan hadirnya agensi, refleksivitas, praksis, ketubuhan, dan resistensi. Dalam poin sifat pengetahuan atau epistemologi, Teo mengusulkan peneliti Psikologi untuk menekankan peran karakteristik sosial, nilai-nilai, dan kekuasaan dalam produksi pengetahuan. Aspek kepentingan juga perlu dicermati dalam produksi keilmuan, misal skor IQ yang diteliti Gould (1981) ternyata hanya memenuhi hasrat kekuasaan pihak otoritas. Bahaya epistemologis dalam penelitian Psikologi selama ini adalah kekerasan epistemik (epistemological violence) yang bisa saja terjadi, misalnya menggambarkan kelompok terpinggirkan sebagai yang tidak beradab dan inferior (Teo, 2010; 2018). Kemudian, pada aspek etis-politik, yang dipertanyakan adalah “apa yang seharusnya dilakukan oleh psikolog atau peneliti.” Pertanyaan demikian berarti melihat implikasi moral dari praktik produksi pengetahuan (epistemologis). Psikologi memiliki catatan historis yang mengidentifikasi kelompok terpinggirkan (misalnya orang kulit berwarna, perempuan, kelas bawah, difabel, atau queer) adalah liyan yang bermasalah. Artinya, ada kemungkinan penelitian justru bukan menjadi problem-solving, melainkan problem-making dalam arti menempatkan subjek sebagai pihak yang patut dipersalahkan. Terakhir adalah menyoal estetika yang sering kali diabaikan dalam Psikologi. Teo (2018) mengusulkan seni menjadi suatu praktik pembebasan lewat perubahan subyektivitas dan resistensi terhadap ketidakadilan. Dengan kata lain, seni sebagai sebuah resistensi berpotensi menantang asumsi dan praktik yang sudah mapan dalam suatu metode ilmiah. Meskipun akhir-akhir ini terdapat tren yang menunjukkan piranti kesenian dalam menyejahterakan manusia, tetapi sifat seni yang mengasingkan, mengiritasi, dan membuat kita bertanya mengenai cara pandang kita terhadap dunia tidak memperoleh ruang yang memadai (Han, 2021).Lantas, apa implikasi gagasan epistemologi, ontologi, etika, dan estetika terhadap konten dalam Suksma? Dengan cara baca Benedict Anderson atau Slavoj Žižek, pertanyaan tersebut dapat kita formulasikan demikian: Apa yang hilang atau absen dari Suksma? Pertama adalah bahwa posisionalitas peneliti perlu ditunjukkan secara eksplisit pada bagian jurnal. Dengan menunjukkan posisionalitas ini, maka setiap peneliti diajak untuk melakukan refleksivitas dan kemungkinan untuk mencermati epistemologi, ontologi, etika (juga estetika) yang barangkali mengabaikan analisis yang integratif terhadap fenomena psikologis (lihat dalam Braun Clarke, 2022). Kedua adalah bahwa Psikologi perlu juga merambah dalam bidang-bidang seni yang boleh jadi membuka ruang terhadap resistensi. Para pemikir Psikologi di masa lampau juga telah menunjukkan kecenderungan ini. Sebagai contoh, Freud menggunakan sastra dan seni rupa untuk menunjukkan dinamika mental manusia. Ketiga, ada baiknya Suksma memiliki tiga edisi yang masing-masing secara khusus memperdebatkan apa yang dimaksud “konteks”, “subyektivitas”, dan “refleksivitas” dalam suatu penelitian, mengapa hal tersebut penting, dan bagaimana masing-masing dimunculkan dalam penelitian.Ketiga poin di atas barangkali hanya sekadar usulan mengenai bagaimana cara melihat suatu penelitian. Penelitian bukan melulu bagaimana melaporkan pola yang terjadi pada suatu fenomena psikologis. Penelitian dengan sendirinya menjelma suatu proyek panjang kemanusiaan. Pada akhirnya, sebuah penelitian tidak sekadar memproduksi pengetahuan, melainkan juga manusianya – entah yang diteliti maupun peneliti sendiri. 
Psikologi yang Kembali kepada Konteks Widiyanto, YB. Cahya
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.11475

Abstract

-
Peran Kontrol Diri dan Keterhubungan dengan Sekolah terhadap Masalah Emosi dan Perilaku Remaja Usia SMP Sajidah, Anisa; Saptandari, Edilburga Wulan
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.11562

Abstract

Emotional and behavioral problems are likely to emerge in early adolescents as they are considered emotionally immature and highly susceptible to changes in their social environment. This study aims to examine the role of self-control and school connectedness in adolescent emotional and behavioral problems. The research hypothesis is that self-control and connectedness to school together play a role in adolescents' emotional and behavioral problems. Research uses a quantitative method with a purposive sampling technique, involving 171 respondents aged 12-14 years who are at the junior high school level. Measurements were carried out using three scales: The Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) with a Cronbach's Alpha value of 0.760, the self-control scale with a Cronbach's Alpha value of 0.739, and the Student Connectedness Questionnaire (SCQ) with a Cronbach's Alpha value of 0.891. The data were analyzed using multiple regression analysis with a significance level of 0.05. The results showed that self-control and school connectedness contribute to emotional and behavioral problems with an effective contribution of 23.8%, while 76.2% are other factors that were not studied.
Bertumbuh di Balik Jeruji: Stress-Related Growth pada Narapidana Tamping Sekarsari, Yovita Giri; Anantasari, Maria Laksmi
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.11616

Abstract

Research has shown that most inmates experience stress while incarcerated. If managed appropriately, distress can foster stress-related growth (SRG), a process of positive personal development. This study explores SRG among prisoner escorts (tamping)—well-behaved inmates who are not recidivists, demonstrate self-maturity during correctional processes, and are selected by officers to assist in coaching other inmates. Research on SRG in prisons is crucial as growth enhances self-functioning and adaptation. This study involved three informants, selected through purposive sampling, with criteria of being early adults and serving as tamping for a minimum one year. Data were collected through a preliminary questionnaire, followed by semi-structured interviews. A descriptive phenomenological approach and thematic analysis techniques were employed to examine their experiences and the formation process of SRG. The study identified a self-growth process, internal factors influencing self-growth (personal character and self-motivation to change), and external factors providing support (friends, family, and prison officers). Forms of self-growth include increased self-awareness, resilience, independence, compassion, new perspectives on oneself and others, greater respect for family, strengthened spiritual connection, and changes in life meaning and orientation. Additionally, a novel finding in this study is that prisoner escorts also experience an increase in work proficiency, which further enhances their rehabilitation process. The study suggests expanding informant criteria, conducting longitudinal research, and exploring related variables such as gratitude, self-forgiveness, and self-compassion. Further studies should also examine related issues such as choice, commitment, and social support, which may influence SRG outcomes in prison settings.
Gambaran Penyesuaian Diri Mahasiswa Anak Tunggal yang Merantau Pramaditho, Bonaventura Bagastama Widhi; Etikawati, Agnes Indar
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.11706

Abstract

This study aims to obtain a description of the adjustment of single-child students who migrate. The characteristics of an only child raises the assumption that single-child students experience greater challenges and are required to make greater efforts when they have to live in a new environment. This study uses a qualitative approach with thematic analysis to obtain descriptive results. This study involved three students who were only children who migrated to the Special Region of Yogyakarta and were in their first and second years of college. The researcher used semi-structured interviews to collect information, with core questions that explored the informan's experiences in making adjustment efforts as students who migrated. This study found six themes of adjustment of single-child students who migrated, namely 1) developing social skills, 2) carrying out self-regulation, 3) increasing involvement in campus activities, 4) developing learning skills, 5) exploring the environment, and 6) contributing to the surrounding community. The most dominant themes were developing social skills and showing involvement in campus activities. The three informants made great efforts related to these themes. There are a number of factors that influence the informants' adjustment efforts, which can be classified into internal and external factors. Internal factors found include motivation to achieve goals, the need to establish relationships, self-reflection skills, consumption behavior, self-discipline, and social conformity. External factors found include campus climate, parental care, level of demands from the surrounding community, demands of lectures, parental care and culture differences. The limitation of this study is the selection of respondents who come from one college and do not specify the minimum distance of the original residence from the location of the migration. In the discussion section, the results of this study are compared with the adjustment of migrant students in general and the comparison between the three respondents related to the context of their respective backgrounds.
Stres dan Kesejahteraan Psikologis pada Ibu Bekerja: Peran Moderasi Mindful Parenting Rinaldi, Martaria Rizky; Hardika, Jelang
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 6, No 1 (2025)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v6i1.11252

Abstract

Employment provides economic and psychological benefits for mothers but also presents significant challenges that can impact psychological well-being. This study aims to explore the effects of mindful parenting and stress on the psychological well-being of working mothers. This research tests the hypothesis that mindful parenting can improve psychological well-being and that stress can decrease it, with mindful parenting serving as a moderator in this relationship. Using a cross-sectional design, data were collected from 87 working mothers via an online questionnaire. Analysis results show that mindful parenting has a significant positive effect on psychological well-being (p 0.001), while stress has a significant negative effect (p = 0.047). However, the interaction between stress and mindful parenting was not significant (p = 0.995). These findings suggest that mindful parenting plays an important role in enhancing psychological well-being, although it may not moderate the impact of stress. The study contributes to the literature by highlighting the role of parenting mindfulness as a positive factor in working mothers’ mental health. Future research using longitudinal or experimental designs is recommended to assess causal relationships and to explore other protective factors such as resilience and social support that may interact with stress and parenting. 

Page 1 of 1 | Total Record : 8