cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 182 Documents
Ambiguitas, Interkulturalitas, Dan Hibriditas Relasional Dalam Relasi Antara Israel Dan Bangsa-Bangsa Lain Robert Setio
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.993 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.91

Abstract

Abstrak: Artikel ini merupakan analisis terhadap hubungan antara Israel dan bangsa-bangsa lainnya dengan menggunakan pemikiran tentang “liyan.” Dalam masyarakat multikultural kehadiran liyan tidak terhindarkan dan menuntut tanggapan yang sungguh-sungguh. Keadaan ini pada gilirannya akan menciptakan ambiguitas, sebagaimana yang dialami oleh Israel. Penemuan arkeologis akhir-akhir ini membuktikan bahwa hubungan antara Israel dengan bangsa-bangsa lain ternyata tidak seperti yang dilukiskan oleh Alkitab. Israel bukanlah sebuah bangsa yang pada suatu masa datang ke Kanaan yang sudah berpenduduk, tetapi mereka muncul secara bertahap dari antara bangsa Kanaan sendiri. Maka, Israel memiliki banyak kesamaan dengan bangsa-bangsa lain itu. Pada pihak lain, Israel juga menumbuhkan sebuah ideologi yang lama-kelamaan akan membentuk mereka menjadi sebuah bangsa. Telah disarankan agar hubungan antara Israel dengan bangsa-bangsa lain itu dipandang sebagai hubungan interkultural. Meskipun pandangan itu masuk akal, namun penulis hendak mengajukan cara pandang lain. Cara pandang itu adalah hibriditas relasional. Dalam pandangan ini, Israel dilihat sebagai sebuah bangsa yang bersifat hibrid, namun bukan dalam arti yang statis. Hibriditas di sini dipandang sebagai sebuah keadaan yang menuntut tanggapan aktif. Dengan kata lain, kesamaan dan perbedaan antara Israel dengan bangsa-bangsa lainnya tidak boleh dianggap sebagai sebuah kondisi yang sudah jadi melainkan terus-menerus dalam proses pembentukan. Kata-kata kunci: Liyan, ambiguitas, budaya, interkultural, agama, kesamaan, perbedaan, hibriditas relasional. Abstract: This article will analyze the relationship between Israel and other nations using the concept of “the other.” In a multicultural society, the presence of the other is unavoidable and demands a serious response. This, however, creates ambiguity, as experienced by Israel. Recent archeological findings have proven that the relationship between Israel and other nations mentioned in the Bible was unlike the description provided by the Bible. Israel was not a separate nation that came into an already occupied land of Canaan, but rather, it gradually emerged as agroup from within the people of the land. Therefore, it can be expected that this nation shared many similarities with its cohabitants. On the other hand, it also developed a distinctive ideology which over time formed Israel as a separate nation. It has been suggested to consider the relationship between Israel and the others through the lens of interculturality. This article proposes another perspective, that is, a relational hybridity. From this perspective, Israel is seen as a hybrid nation. The hybridity is understood as a state of life, but, as one that always demands an active response. In other words, it is a process continously evolving. Keywords: The other, ambiguity, intercultural, religion, similarity, difference, hybridity, relational
Manusia Sebagai “Kami”Menurut Plotinos A. Setyo Wibowo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.844 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.92

Abstract

Abstrak: Bertitiktolak dari teori Prosesi (proodos) realitas, Plotinos menyatakan bahwa manusia adalah sebuah pluralitas, sebuah “kami,” di mana sebagai bagian utuh dari realitas, jiwa manusia merangkumi di dalamnya ketiga hipostasis intellingibel (Yang Satu, Intellek, Jiwa). Kesatuan aktual manusia dengan dunia intelligibel diungkapkan Plotinos dalam doktrinnya yang kontroversial tentang bagian jiwa manusia yang tidak turun ke dunia. Pemikiran Plotinos ini merupakan rangkuman orisinal atas ajaran-ajaran Platon tentang imortalitas jiwa, doktrin hylemorfisme Aristoteles dalam ranah Fisika—kategori-kategori forma, materia, potentia actus, entelekheia, dan energeia, motor immobil, noûs yang memikirkan dirinya sendiri—serta teori Logos dari Stoicisme. Sebagaimana tampak dalam prinsip energeia ganda, Plotinos secara kreatif menggunakan sumber-sumber para pendahulunya untuk mengemukakan teori barunya tentang realitas, khususnya tentang jiwa manusia. Kata-kata kunci: imortalitas jiwa, hylemorfisme, logos, prosesi, hipostasis, Yang Satu, Intellek, Jiwa. Abstract: The procession of reality leads Plotinus to assert that man is a plurality. As part of reality, each of us is a “we,” because all three hypostases (the One, the Intellect, and the Soul) are present in us. This is a controversial theory of soul. Plotinus affirms that man is actually present in the intelligible world by the undescended part of his soul. To understand this original theory, one has to consider the way Plotinus used his predecessors’ theories: the Platonic theory of the soul’s immortality, the hylemorphism theory of Aristotle’s Physics (form, matter, potency, actuality, entelechy, energy, unmoved mover, noûs which thinks its noema), and the Stoics’ theory of Logos. As shown in the theory of double energy, Plotinus used creatively the theories of those predecessors to invent his own theory of the procession of reality, more specifically, his unique theory of man’s soul. Keywords: immortality of the soul, hylemorphism, logos, procession, hypostase, the One, Intellect, Soul.
Menggumuli Teologi Pastoral Yang Relevan Bagi Indonesia Daniel Susanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.045 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.93

Abstract

Abstract: Pastoral theology in Indonesia is inherited from the West. Because the Indonesian context is not the same as that of Western society, theologians in Indonesia need to develop pastoral theology that is relevant to the Indonesian context. This article is an effort to engage with pastoral theology in a way that is relevant to Indonesia. This effort departs from an understanding of the church in Indonesia, which is open and serving. In relation to the traditional understanding of theology and its branches, pastoral theology in Indonesia can be understood as a field of study on theory and practice of pastoral ministry. In addition, pastoral theology is a form of contextual theological reflection. Correlation is a pastoral theological method relevant to Indonesia, because in this method the process of theology starts from pastoral experience. Thus it is closer to the reality of Indonesian life, but this method does not forget Christian message. In order to gain a wider pastoral theological perspective, the understanding of pastoral ministry in Indonesia must be holistic, which includes individual, societal, and environmental perspectives. Keywords: Church, pastoral theology, understanding of pastoral theology, deductive method, inductive method, method of correlation, holistic pastoral ministry. Abstrak: Teologi pastoral di Indonesia diwarisi dari Barat. Para teolog pastoral di Indonesia perlu mengembangkan teologi pastoral yang relevan dengan konteks Indonesia, karena konteks masyarakat Indonesia tidak sama dengan konteks masyarakat Barat. Tulisan ini merupakan sebuah upaya untuk menggumuli teologi pastoral yang relevan bagi Indonesia. Upaya ini berangkat dari pemahaman tentang Gereja di Indonesia yang bersifat terbuka dan melayani. Dalam rangka pembagian teologi ke dalam cabang-cabangnya secara tradisional, teologi pastoral di Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu bidang studi atau cabang teologi yang mempelajari teori dan praktik pelayanan pastoral. Di samping itu, teologi pastoral merupakan salah satu bentuk refleksi teologi yang bersifat kontekstual. Metode korelasi merupakan metode berteologi pastoral yang revelan bagi Indonesia, karena dalam metode ini proses berteologi pastoral dimulai dari pengalaman pastoral sehingga lebih dekat dengan realitas, tetapi metode ini tidak melupakan peranan berita Kristiani. Agar refleksi teologi pastoral mempunyai jangkauan yang luas, pemahaman tentang pelayanan pastoral di Indonesia harus bersifat holistik yang mencakup perspektif individu, masyarakat, dan lingkungan hidup. Kata-kata kunci: Gereja, teologi pastoral, pengertian tentang teologi pastoral, metode deduktif, metode induktif, metode korelasi, pelayanan pastoral holistik.
Menimbang Ulang Apokalips Kitab Daniel Yongky Karman
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (156.527 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.94

Abstract

Abstrak: Pembacaan atas aspek apokaliptik Kitab Daniel sering dipusatkan pada bagian kedua kitab itu (Dan. 7-12). Bagian pertamanya (Dan. 1-6) hanya dibaca sebagai cerita-cerita heroisme iman. Dengan begitu, sifat apokaliptik tidak kelihatan sebagai karakteristik kitab itu secara keseluruhan. Apokaliptik sendiri cenderung dikaitkan dengan eskatologi, dan bagian kedua kitab tersebut secara mencolok memakai kata “akhir.” Pengaitan aspek apokaliptik dengan fatalisme akhir zaman berkembang di kalangan sekte kiamat. Kendati aspek eskatologisnya, apokaliptik seharusnya juga dipahami dalam matriks hikmat. Jika dibaca dalam kesatuan dan keutuhannya, kitab itu memperlihatkan gagasan mengenai hidup berhikmat dalam mengantisipasi kiamat, bukan dengan menarik diri dari dunia, melainkan setia kepada Allah dan kritis terhadap arogansi kekuasaan. Kata-kata Kunci: apokaliptik, kiamat, radikal, Makabe, sektarian, nubuat, hikmat, eskatologi. Abstract: The reading of the apocalyptic aspect of the Book of Daniel is often focused on the book’s second part (Dan. 7-12). Its first part (Dan. 1-6) is read only as stories of faithful heroism. In this manner, the apocalyptic dimension is not seen as characteristic of the book as a whole. Apocalypse itself tends to be associated with eschatology, and indeed the second part of the book strikingly makes use of the word “end.” The association of apocalypse with the fatalism of the end time develops within the doomsday sect. Despite its eschatological dimension, the apocalyptic aspect should be read within the matrix of wisdom. When being read in its unity and integrity, the book demonstrates the idea of living wisely in the anticipation of the end, not by withdrawing oneself away from the world, but by being faithful to God and being critical of the arrogance of power. Keywords: apocalyptic, doomsday, radical, Maccabees, sectarian, prophecy, wisdom, eschatology.
Seumas Miller, Peter Roberts, Edward Spence, Corruption and Anti-Corruption: An Applied Philosophical Approach, New Jersey: Pearson Education, Inc., 2005, xviii + 232 hlm. Yulius Tandyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.404 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.96

Abstract

Adalah hal yang lumrah bila dalam tiga dasa warsa terakhir ini muncul minat yang semakin tinggi terhadap kajian dan seluk-beluk korupsi mengingat berbagai kerusakan yang ditimbulkannya. Bahkan, topik korupsi menjadi agenda internasional para ahli politik dan pembuat kebijakan. Kendati demikian, literatur kajian mengenai korupsi dalam tradisi filsafat masih dapat dikatakan minim. Oleh karena itu, kajian filsafat terapan mengenai korupsi yang dilakukan oleh Seumas Miller, Peter Roberts, dan Edward Spence layak diapresiasi. Dalam buku ini, para penulis (selanjutnya akan disingkat menjadi Miller, dkk.) menegaskan bahwa korupsi merupakan suatu spesies imoralitas (hlm. xvi). Melalui titik pijak tersebut, Miler dkk. memperlihatkan perbedaan kerangka konseptual yang halus antara korupsi dan tindakan imoralitas lainnya. Dengan kata lain, tindakan korupsi sudah pasti merupakan perbuatan imoral, tetapi tidak semua perbuatan imoral adalah tindakan korupsi. Dengan menempatkan persoalan korupsi pada ranah moralitas, Miler dkk. seakan menegaskan bahwa korupsi adalah suatu gejala khas manusiawi dan dilakukan secara sadar. Hal ini diungkapkan secara eksplisit oleh Miller dkk. Mereka mengstakan bahwa tindakan korupsi adalah laku kebiasaan yang salah secara moral, dan karenanya tidak didorong oleh keyakinan sejati yang benar secara moral (hlm. 13). .................. Berdasarkan uraian-uraian yang cermat dan halus mengenai korupsi, Miller dkk. juga memaparkan lokus tanggung jawab moral untuk memerangi korupsi. Secara detail, paparan tersebut diuraikan dalam bab ke-6 hingga ke-10 yang memuat berbagai alternatif untuk menghadapi korupsi, seperti pengembangan sistem-sistem antikorupsi, peran “peniup peluit” (whistleblower), pranata yuridis, serta mekanisme hukuman yang sesuai dengan teori keadilan yang bersifat memulihkan (restorative theory of justice). Bagi Miller dkk., berbagai pertimbangan tindakan antikorupsi yang ditawarkannya harus dilandaskan pada tanggung jawab moral. Pendasaran ini konsisten dengan kerangka konseptual yang diajukan pada bagian awal buku ini: bahwa korupsi merupakan persoalan moral. Mereka juga menegaskan bahwa tanggung jawab moral tersebut bersifat kolektif (hlm. 211). Tidak hanya itu, sistem antikorupsi yang digagas juga perlu bersifat menyeluruh: berupa pengembangan unsur-unsur reaktif maupun preventif sekaligus (hlm. 156). Miller dkk. juga berharap bahwa pranata yuridis dan mekanisme hukuman seharusnya dapat menentukan inti dari sistem keadilan dengan mengambil inspirasi pemikiran politik yang dikembangkan dari tradisi filosofis Aristoteles, John Locke, David Hume, Imanuel Kant, dan John Stuart Mill. Selain itu, baik pranata yuridis mapun mekanisme hukuman diharapkan dapat berperan untuk memulihkan (mengintegrasikan) kembali hal-hal yang korup (rusak) pada masyarakat dan sekaligus menghalau korupsi dari masyarakat. Melalui rangkaian paparan buku tersebut, kajian Miller dkk. mengenai korupsi dan antikorupsi merupakan masukan yang berharga dari tradisi filsafat, khususnya filsafat moral. Hal ini sangat berguna untuk mengembangkan kajian korupsi serta antikorupsi secara mendalam dan serius dalam konteks kekinian. (Yulius Tandyanto, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
M. Sastrapratedja, Lima Gagasan Yang Dapat Mengubah Indonesia, Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013, 413 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.338 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.98

Abstract

Lima gagasan yang dapat mengubah Indonesia itu tentu Pancasila. Sebagaimana ditulis Jakob Oetama dalam kata pengantar buku Profesor Sastrapratedja, sudah sangat mendesak untuk mengaktualisasikan kembali Pancasila. Pancasila sudah lama berada dalam bahaya, bukan karena masih ada kekuatan politik yang mempersoalkannya, melainkan karena dukungan terhadap Pancasila cenderung menguapkan maknanya. Di masa Demokrasi Terpimpin Pancasila semakin dikesampingkan oleh semboyan-semboyan lain di mana yang paling tragis adalah NASAKOM. Di masa Orde Baru Pancasila dinyatakan sakti dan sesudahnya jutaan saudara dan saudari sebangsa dibunuh, dikucilkan, dan dihancurkan eksistensinya; Pancasila menjadi payung salah satu kejahatan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan kemudian, melalui manipulasi, seperti dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pancasila di-jawa-kan—dalam pidatonya di Pekanbaru Suharto mengatakan bahwa untuk memahami Pancasila orang perlu tahu falsafah honocaroko—dan dibonsai menjadi anjuran untuk bersikap baik-baik, bebas bertanggungjawab di bawah naungan pemerintah. Pancasila bonsai itu diindoktrinasikan melalui kursus-kursus BP7 kepada masyarakat. Maka waktu Suharto meninggalkan tahta kekuasaannya, Pancasila seakan sudah masuk kotak, orang sepertinya malu berbicara mengenai Pancasila. Panggung ideologis yang kosong segera mulai diisi oleh ideologi-ideologi picik-agamis-eksklusivis yang betul-betul mau membersihkan Indonesia dari sisa Pancasila. Maka pada 2006 AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyerukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Pancasila kembali dijadikan acuan akhir eksplisit segala kebijakan kenegaraan. Karena itu, pemahaman kembali tentang arti Pancasila sangat mendesak. Itulah aktualitas buku Professor Sastrapratedja. Judulnya bukan sekedar kata keren. Sastrapratedja menunjukkan bahwa Pancasila bukan sebuah dokumen sejarah saja—seperti Declaration of Independence Amerika Serikat—atau sebuah pilar di atasnya bangsa Indonesia meneruskan perjalanannya. Sastrapratedja memperlihatkan bahwa Pancasila mempunyai gigi; artinya, Pancasila merupakan petunjuk tajam tentang kebijakan mana yang boleh dan tidak boleh diambil oleh negara yang mewujudkan bangsa Indonesia. Sastrapratedja menunjukkan dengan rinci bahwa kalau kita mengaku mendasarkan kehidupan bangsa pada lima sila Pancasila maka ada konsekuensinya. Ada kebijakan yang wajib diambil dan ada kebijakan yang wajib ditolak. Kalau negara kita mengikuti petunjuk Pancasila maka negara kita akan berubah. Buku ini terdiri dari dua puluh tiga makalah yang ditulis penulis dalam lima belas tahun terakhir. Bentuk itu menguntungkan karena pembaca tidak perlu membaca 393 halaman teks ini dari permulaan sampai akhir. Daftar isi yang cukup jelas, sebuah indeks nama dan sebuah indeks analitis rinci membantu pembaca untuk menemukan persis apa yang dicarinya. Sastrapratedja tentu tidak hanya membicarakan Pancasila. Di antara sekian masalah yang dibicarakan ada, misalnya, ”etika ilmu pengetahuan“—yang menurut Sastrapratedja memuat lima prinsip: harus menghormati martabat manusia sebagai pribadi, berpegang pada prinsip ”tidak merugikan,” terarah pada kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat seluruhnya, pada pengurangan penderitaan, serta pada pemerataan hasil-hasilnya—, ”nasionalisme,“ ”jati diri manusia Indonesia,“ ”globalisasi“ dan tantangannya, pelbagai arti kata ”ideologi,“ ”etika politik,“ arti ”budaya politik,“ ”multikulturalisme,“ ”krisis modernitas“ sampai ”keamanan pangan“ sebagai tantangan etis. ....... Satu muatan Pancasila yang diangkat oleh Sastrapratedja adalah bahwa ”Pancasila menjadikan kehidupan masyarakat dan negara lebih manusiawi.” Mempancasilakan Indonesia berarti membuat bangsa Indonesia hidup bersama dengan lebih manusiawi. Hal itu eksplisit dituntut dalam sila kedua, tetapi memancar ke semua sila. Lebih manusiawi berarti penolakan terhadap kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah. Pancasila mendorong untuk mengusahakan “penghalusan perasaan” dan “transformasi keagresifan” manusia Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa memanusiakan manusia dengan mengajak menghormati perbedaan, mengakui identitas semua warga dan komunitas masyarakat, dan dengan menjamin kebebasan beragama dan ”toleransi” terhadap kemajemukan. Menjunjung tinggi Pancasila membawa kewajiban untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Demokrasi membawa ”komitmen pada kesamaan.” Usaha mewujudkan keadilan sosial berakar dalam solidaritas. Bahwa Pancasila merupakan suatu etika politik, menurut Sastrapratedja, tidak berarti bahwa Pancasila tidak menyangkut sikap etis manusia Indonesia masing-masing. Pancasila dapat menjadi etika politik apabila nilai-nilai Pancasila dihayati oleh masyarakat masing-masing. Sesuai dengan lima silanya karakter manusia Pancasilais ditandai oleh lima kemampuan: kemampuan untuk menghargai perbedaan, untuk membawa diri secara manusiawi dan santun, untuk mencintai tanah airnya, untuk bersikap demokratis, serta bersikap adil dan solider. Pendidikan Pancasila dengan demikian adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sikap-sikap Pancasilais itu. Sesuatu yang masih dapat dimasukkan ke dalam edisi berikut buku ”Lima Gagasan…” adalah tanggapan terhadap pelbagai paham tentang Pancasila yang selama ini muncul di Indonesia. Ada sebuah koreksi kecil. Catatan Delanty, yang dikutip Sastrapratedja, yang mengatakan bahwa Ayatullah Khomeini dulu menyebarkan gagasannya lewat internet (hlm. 85) tentu keliru. Waktu Khomeini di Paris—dan sampai ia meninggal dunia—belum ada internet. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat, Driyarakra, Jakarta ).
Brian Thomas Swimme and Mary Evelyn Tucker, Journey of the Universe, New Haven: Yale University Press, 2011, xi+175 hlm. Martin Harun
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.181 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v13i1.100

Abstract

Buku ini dikarang untuk pembaca “awam” (seperti saya) oleh dua ilmuwan yang masing-masing sudah memiliki nama tersendiri karena banyak publikasi: Brian Thomas Swimme, seorang profesor kosmologi evolusioner di San Francisco, dan Mary Evelyn Tucker, seorang lektor dalam bidang studi lingkungan hidup di Yale, New Haven. Diilhami oleh mentor dan sahabat mereka, almarhum geolog dan teolog Thomas Berry, mereka bersama-sama menyusun suatu “kisah (epos) tentang munculnya alam semesta dan berkembangnya komunitas hidup, dengan menawarkan suatu visi baru tentang cara kita dapat menumbuhkan semangat komunitas bumi.” (cover). Bab 1-4 mengisahkan kurang lebih sembilan milyar tahun perkembangan alam semesta, mulai dari Big Bang, eksplosi terang dan materi yang senantiasa meluas dan melalui suatu proses kreatif menggembleng materi yang kemudian akan menjadi miliaran galaksi. Dengan bahasa yang umumnya non-teknis, dan sangat indah, disertai dengan kepekaan terhadap tradisi-tradisi bangsa-bangsa manusia yang bermenung tentang alam raya, para pengarang berhasil menampilkan deretan kejadian yang dahsyat dan jauh itu menjadi suatu proses yang terasa menyangkut kita juga. Fokus mereka pada proses pembentukan bintang-bintang serta eksplosi-eksplosi bintang yang, baru sesudah 8-9 miliar tahun, memunculkan solar system kita, yakni matahari dengan planet-planet di sekitarnya, khususnya bumi kita yang mengalami suatu proses penyejukan dan pemadatan yang unik. Dalam proses jutaan tahun terbentuk atmosfir di sekitar bumi dan lautan-lautan yang menutupi sebagian besar permukaannya. Dengan energi yang berasal dari terang matahari dari jarak yang menguntungkan, dipersiapkan pentas untuk suatu tahap baru yang menakjubkan: munculnya hidup di bumi. .................... Dalam bab 10-11 para pengarang mencari jalan keluar dari ketidak-seimbangan destruktif yang telah terjadi di bumi. Mereka mempermasalahkan pemikiran materialistis deterministis yang sejak Galileo, Newton, Descartes, dan lain-lainnya, menyerahkan materi yang dianggap mati begitu saja kepada kontrol manusia yang berakal budi. Apakah materi memang sepasif seperti dipikirkan filsafat itu? Kita sekarang dapat melihat dari miliaran tahun pembentukan alam semesta bagaimana di dalam materi pun ada dinamika mengatur diri (self organizing) dengan cara-cara yang tidak dapat diprediksi. Di tengah proses besar yang penuh kreativitas ini umat manusia ditantang mencari tempat dan perannya ke depan. Seperti bintang-bintang dan lautan-lautan telah memberi sumbangan tersendiri untuk jagat raya dan bumi, demikian juga miliaran manusia—sebagai garis depan evolusi sekarang—akan dapat membantu membuka jalan bagi sesuatu yang kini belum dapat diduga, asalkan manusia mau melepaskan genggaman kontrolnya atas yang lain dan dengan sikap kekaguman mau menjadi bagian dari komunitas bumi dan menyelaraskan diri dengan iramanya Ini cuma beberapa benang dari sebuah buku yang sangat kaya, inspiratif, dan mampu mengubah pandangan pembaca. Menurut hemat saya, buku ini juga secara mendalam bersifat religius, kendati tidak meminjam bahasa agama apapun. Kalau belum ada teerjemahannya dalam bahasa Indonesia, hendaknya diadakan terjemahan tersebut, dan bila mungkin dengan tetap menjaga keindahan bahasanya. (Martin Harun, Guru Besar Teologi emeritus, Sekolah Tingi Filsafat Driyarkara,Jakarta).
Bingkai Kurus Realisme Struktural Epistemik Karlina Supelli
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (627.646 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i2.102

Abstract

Abstrak: Di tengah-tengah perdebatan panjang antara realisme dan anti realisme dalam filsafat ilmu, realisme struktural (RS) diajukan sebagai gagasan yang terbaik dari keduanya. Versi epistemik RS (RSE) berpendapat bahwa kita memiliki alasan yang baik untuk percaya bahwa teori memiliki struktur yang tepat, yaitu bahwa wujud dan struktur yang dipostulatkan oleh teori betul-betul ada. Namun demikian, RSE tidak mengajukan dakuan epistemik menyangkut hakikat wujud yang melandasi struktur. Semua pengetahuan mengenai dunia fisis adalah pengetahuan tentang struktur. Dalam tulisan ini penulis memberi tinjauan tentang RSE dan beberapa argumen yang menolak RSE. Belajar dari sejarah fisika zarah, penulis akan memperlihatkan bahwa struktur menunjuk ke sifat-sifat mendasar yang dimiliki oleh komponen-komponennya dan dengan demikian menyediakan jalur epistemik bagi wujud yang relasi-relasinya mendefinisikan struktur. Meski demikian, struktur matematis sebuah teori hanya memungkinkan kita membangun pengetahuan tentang wujud-wujud yang tidak teramati sebagai “objek” dan bukan objek-objek partikular. Kata-kata Kunci: Realisme, anti-realisme, realisme struktural epistemik, argumen tanpa keajaiban, meta-induksi pesimistik, wujud takteramati. Abstract: In the lengthy debate between antirealism and realism in the philosophy of science, structural realism (SR) has been suggested as “the best of both worlds.” The epistemic version of SR (ESR) holds that we have good reason to believe that our most successful scientific theories are structurally correct—that the entities and structures postulated by a theory actually exist, and yet it makes no epistemic claim about the nature of the underlying entities. All that we can know is the structure of the physical world. In this article I present an overview of ESR and a number of arguments that have been brought up against it. Drawing lessons from the history of contemporary physics, I will show that “structure” points to the fundamental properties of its constituents and thus provides an epistemic access to the nature of those entities whose relations define structure in the first place. Nevertheless, the mathematical structure of a theory enables us only to construe knowledge of an unobservable entity as “object,” and not this or that particular object. Keywords: Realism, anti-realism, epistemic structural realism, no miracle argument, pesimistic meta-induction, unobservable entity.
Bahasa Dan Kebenaran Menurut John Langshaw Austin Antonius Widyarsono
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (434.6 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i2.104

Abstract

Abstrak: John Langshaw Austin menjadi terkenal sebagai filosof Lingkaran Oxford yang menekankan pentingnya tuturan performatif. Namun dalam artikelnya “Truth” (1950) ia menggunakan teori korespondensi dalam memahami masalah kebenaran. Austin mengkritik Strawson yang menggunakan teori deflasioner tentang kebenaran berdasarkan analisis mengenai pentingnya tuturan performatif. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengapa Austin lebih memilih teori korespondensi dari pada teori deflasioner dalam memahami kebenaran. Juga akan ditunjukkan sumbangan khas Austin yang membarui teori korespondensi umum yang menggunakan metafora “cermin” dan “peta” realitas dengan menekankan sifat konvensional ide korespondensi. Menurut penulis, hal ini merupakan suatu usaha yang serius dan berguna dalam mengartikulasikan cara kita menggunakan simbol-simbol bahasa yang ditentukan secara sewenang-wenang untuk merepresentasikan realitas dunia. Kata-kata Kunci: Kebenaran, teori korespondensi, teori koherensi, teori deflasioner, teori tindak-tutur, aspek ilokusioner bahasa, tuturan deskriptif, tuturan performatif, konvensi deskriptif, konvensi demonstratif. Abstract: John Langshaw Austin is an “Ordinary Language Philosopher” of Oxford, who is famous for emphasizing the importance of performative statements. In his article, “Truth” (1950), however, he used correspondence theory for understanding the problem of truth. Austin criticized Strawson, who uses the deflationary theory of truth that is compatible with the analysis of performative utterances. This article will explain why Austin chooses the correspondence theory of truth rather than deflationary one. It will also elaborate Austin’s specific contribution in changing the version of the correspondence theory, which uses the metaphor of “mirroring” or “mapping”’ the world, to a conventional correspondence theory. It is, in my opinion, a serious and notable attempt to articulate our use of arbitrary symbols in the representation of brute reality. Keywords: Truth, correspondence theory, coherence theory, deflationary theory, speech-act theory, the illocutionary aspect of language, descriptive utterance, performative utterance, descriptive convention, demonstrative convention.
Hegemoni Kerja Imaterial Sebagai Peluang Resistensi Terhadap Kapitalisme Dalam Perspektif Autonomia A. Galih Prasetyo
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.717 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i2.105

Abstract

Abstrak: Kapitalisme kontemporer dicirikan oleh beberapa transformasi makro-struktural, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu dari transformasi paling drastis terjadi di dalam aktivitas kerja. Sebagai aktivitas utama yang mendorong akumulasi modal, dunia kerja hari ini ditandai oleh hegemoni kerja imaterial. Artikel ini menyajikan pikiran dan gagasan dari Autonomia, sebuah “aliran pemikiran” kontemporer dari Italia yang merenungkan sifat dan karakter dari jenis kerja “baru” tersebut. Para pemikir Autonomia berargumen bahwa hegemoni kerja imaterial memberikan tantangan dan peluang baru dalam tatanan kapitalisme. Sementara pekerja imaterial rentan untuk dieksploitasi oleh pihak kapitalis, mereka juga dapat membebaskan dirinya dari penindasan kapitalis. Hal ini dimungkinkan karena kerja imaterial memuat karakteristik khusus dalam kaitannya dengan modal. Emansipasi dari relasi kapitalis dapat terjadi apabila pekerja imaterial, bersama dengan korban kapitalisme lainnya, bersatu sebagai jaringan jamak dan melakukan dua strategi perlawanan: penolakan kerja dan eksodus. Kata-kata Kunci: Kerja imaterial, Autonomia, kapitalisme, jaringan jamak, penolakan kerja, eksodus. Abstract: Contemporary capitalism is characterized by some macro structural transformations, along with the advancement of information and communication technologies. One of the most drastic transformations occurs in the nature of labor. As the main activity which drives the accumulation of capital, today’s labor world is marked by the hegemony of immaterial labor. This article presents thoughts and ideas of Autonomia, a contemporary “school of thought” originating from Italy which has a distinctive view on traits and characters of this “new” kind of labor. Autonomia thinkers argue that the hegemony of immaterial labor poses new challenges and opportunities within capitalist order. While immaterial laborers are prone to be exploited by capitalists, they also can liberate themselves from the capitalist oppression. It is because immaterial labor embodies special characteristics in its relation to capital. The emancipation from capitalist relations can happen if immaterial laborers, together with other capitalism’s victims, unite as a multitude and enforce two resistance strategies, namely, refusal of work and exodus. Keywords: Immaterial labor, Autonomia, capitalism, multitude, refusal of work, exodus.

Page 6 of 19 | Total Record : 182


Filter by Year

2010 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 21 No. 2 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 21 No. 1 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 2 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 1 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue