Articles
56 Documents
KUDETA MILITER : JUNTA MILITER ERA MODERN
FIKI RAHMATINA NIHRIROH;
FAUSTINA IVANA SARI DEWI JANUGROHO;
EUNEKE DEWI TRIHANTARI
Jurnal Pena Wimaya Vol 1, No 1 (2021): Vol 1, No 1 (2021): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (146.153 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v1i1.4637
AbstrakMunculnya demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara merupakan sebuah hal yang umum terjadi pada era modern. Namun nampaknya, hal tersebut tidak terjadi di Myanmar sebab kekuatan militer masih menguasai negara ini dalam waktu yang panjang. Usaha penerapan demokrasi di Myanmar beberapa kali dilakukan, tetapi menemui hambatan karena pengaruh militer yang kuat. Proses demokratisasi yang mengalami kegagalan akibat dominasi militer menyebabkan demokrasi sulit untuk sepenuhnya diterapkan.Artikel ini akan menjelaskan kudeta militer pada tahun 1962 – 1988 yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat Myanmar. Pengalaman buruk dibawah pemerintahan militer membuat masyarakat Myanmar memperjuangkan demokrasi melalui serangkaian proses demokratisasi sejak tahun 1990 hingga akhirnya berhasil memiliki pemerintahan sipil pertama pada tahun 2015. Berhasilnya penerapan demokrasi sejak tahun 2015 tidak menutup kemungkinan adanya kudeta yang dilakukan oleh pihak militer, seperti yang terjadi pada Februari 2021 yang lalu. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha untuk menerapkan nilai – nilai demokrasi bukanlah hal yang mudah.Kata Kunci: Demokratisasi, Demokrasi, Kudeta, Myanmar.Abstract The emergence of democracy in the system of government of a country is a common occurrence in the modern era. But apparently, this is not the case in Myanmar because military forces still control the country for a long time. Efforts to implement democracy in Myanmar were several times carried out, but encountered obstacles due to strong military influence. The process of democratization that failed due to military dominance made it difficult for a democracy to be fully implemented.This article will explain the military coup in 1962 – 1988 that caused suffering for the people of Myanmar. Poor experience under military rule led Myanmar people to fight for democracy through a series of democratization processes from 1990 until finally succeeding in having the first civilian government in 2015. The successful implementation of democracy since 2015 does not close the possibility of a coup by the military, as happened in February 2021. Thus, it can be concluded that efforts to apply democratic values are not easy.Keywords: Democratization, Democracy, Coup, Myanmar.
KEPENTINGAN INDONESIA MENGUSULKAN UNTUK MEMPERPANJANG KEANGGOTAAN DI DEWAN IMO PADA TAHUN 2019
Millennia Agatha Suharjito;
Sri Issundari;
Reza Prima Yanti
Jurnal Pena Wimaya Vol 3, No 1 (2023): Jurnal PenaWimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (836.57 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v3i1.8370
Tulisan ini akan membahas mengenai kepentingan yang dimiliki oleh Indonesia dalam rangka mengusulkan untuk memperpanjang keanggotaan di Dewan International Maritime Organization (IMO) pada tahun 2019. Dalam hal tersebut, penulis menggunakan teori kepentingan nasional sebagai dasar untuk mengetahui latar belakang kepentingan Indonesia mengusulkan untuk memperpanjang masa keanggotaan Dewan IMO. Melalui teori tersebut, terdapat beberapa kepentingan yang mempengaruhi indonesia dalam memperpanjang keanggotaan di Dewan IMO diantaranya seperti kepentingan self preservation, independence, dan economic well being. Dengan adanya beberapa kepentingan tersebut, dapat diketahui kepentingan Indonesia mengarah pada upaya Indonesia dalam mencapai visinya sebagai poros maritim dunia.Kata kunci: Indonesia, Mengusulkan, Keanggotaan, Dewan, IMO.
UPAYA ASEAN MENANGANI PERDAGANGAN MANUSIA DI ASIA TENGGARA
Chika Monika Sitinjak;
Shafa Maulana Dewi Kurniawan;
Sagaralange Paramahita
Jurnal Pena Wimaya Vol 2, No 2 (2022): Vol 2, No 2 (2022): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (562.644 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v2i2.7183
Perdagangan manusia merupakan isu krusial di dunia dan sangat menarik perhatian massa. Asia Tenggara sendiri merupakan kawasan yang hampir semua negara bagiannya memiliki isu perdagangan manusia. Penelitian ini akan mencoba menelaah upaya apa saja yang dilakukan Asean sebagai organisasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara terhadap masalah perdagangan manusia di Asia Tenggara. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka. Isu ini dianalisis menggunakan perspektif keamanan manusia (human security) dalam keamanan non-tradisional. Di Indonesia sendiri, kasus perdagangan manusia meningkat sebanyak 214 kasus pada tahun 2019. Selain itu, UN Women memperkirakan bahwa terdapat lebih dari 255.00 anak dan perempuan yang diperjualbelikan setiap tahunnya di Asia Tenggara. Melihat tingginya kasus perdagangan manusia di Asia Tenggara, Organisasi regional ASEAN melaksanakan upaya kolektif yang terfokus pada kerja sama antar negara anggota ASEAN, perlindungan terhadap korban, dan penegakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan perdagangan manusia.
SEGITIGA KEKERASAN, HAM, DAN PEREMPUAN AFGHANISTAN ERA KEPEMIMPINAN TALIBAN
Rafika Wahyu Andani
Jurnal Pena Wimaya Vol 2, No 1 (2022): Vol 2, No 1 (2022): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (204.913 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v2i1.6165
Pemenuhan hak asasi perempuan di Afghanistan menjadi salah satu isu yang sulit mendapat titik terang. Di era kepemimpinan Taliban yang berhasil merebut kursi pemerintahan beberapa waktu silam, hak perempuan kembali mengalami kemunduran. Human Right Watch menyatakan bahwa situasi hak perempuan di Afghanistan semakin memburuk. Ancaman dan serangan ditujukkan kepada para pemimpin perempuan, anak perempuan yang bersekolah, dan perempuan yang berusaha menghindari diri dari kekerasan domestik. Peristiwa kekerasan yang terus-terusan terulang seolah tidak terlihat di mata hukum dan pemerintah. Perlakuan Taliban ini menjadi bukti adanya diskriminasi terhadap perempuan. Artikel ini menggunakan Teori Segitiga Kekerasan Johan Galtung yang membagi kekerasan menjadi tiga kategori yang saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Penulis juga mengaitkan perilaku kekerasan dengan konsep HAM. Tulisan ini mencoba untuk mencari dan mengindetifikasi kekerasan berserta dampaknya, sehingga memungkinkan untuk mencari solusi yang lebih komprehensif. Kata kunci: Segitiga Kekerasan, HAM, Kekerasan, Perempuan, Taliban.
REGIONALISME DALAM REGIONAL COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP (RCEP): SEBUAH PERSPEKTIF
Muwalliha Syahdani
Jurnal Pena Wimaya Vol 1, No 1 (2021): Vol 1, No 1 (2021): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (887.542 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v1i1.4807
Tulisan ini akan berfokus pada kajian teoritik regionalisme dalam melihat perkembangan RCEP sebagai mega trade deal. Pemaparan akan dilakukan dengan membedah konsep regionalisme yang dibawakan oleh Louise Fawcett sebagai seorang pemikir Hubungan Internasional asal Inggris. Fawcett membagi jenis regionalisme ke dalam Old Regionalism dan New Regionalism. Pengklasifikasian ini tidak lepas dari masa Perang Dingin di tahun 1980-an yang menjadi awal kebangkitan ASEAN sebagai point of reference dalam perkembangan regionalisme. Sebagai sebuah konsolidasi, RCEP menjadi satu bagian penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Mega trade deal seperti ini menghubungkan kelima perjanjian dagang yang sudah dibuat sebelumnya antara ASEAN dengan lima negara mitra. Total ada 15 negara yang menandatangani perjanjian RCEP yaitu 10 negara ASEAN ditambah 5 negara mitra lain seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru (ASEAN +5).This article will focus on the theoretical study of regionalism in seeing the development of RCEP as a mega trade deal. The discussion will be carried out by dissecting the concept of regionalism brought up by Louise Fawcett as a thinker of International Relations from England. Fawcett divides the types of Regionalism into Old Regionalism and New Regionalism. This classification cannot be separated from the Cold War era in the 1980s which marked the beginning of the rise of the ASEAN as a reference point in the development of regionalism. As a matter of fact, RCEP is an important sphere in Indonesia's chairmanship in ASEAN. A major trade agreement like this connects the five trade agreements that have been made previously between ASEAN and the five partner countries. A total of 15 countries have signed the RCEP agreement, namely 10 ASEAN countries plus 5 other partners such as China, Japan, South Korea, Australia and New Zealand (ASEAN +5).
AKTIVISME TRANSNASIONAL BARU DALAM GERAKAN MILK TEA ALLIANCE: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DI HONG KONG, THAILAND, DAN TAIWAN
Rayhan Fasya Firdausi
Jurnal Pena Wimaya Vol 3, No 1 (2023): Jurnal PenaWimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1248.486 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v3i1.8274
Penelitian ini akan membahas gerakan Milk Tea Alliance sebagai gerakan aktivisme transnasional baru. Globalisasi yang terjadi di era kontemporer menghasilkan konektivitas yang dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok massa untuk menggerakkan orang lain melalui teknologi. Riset ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana MTA bisa mempengaruhi gerakan massa untuk mendukung ide demokrasi di Hong Kong, Thailand, dan Taiwan. Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus dengan melihat perkembangan gerakan dengan menggunakan kerangka konseptual aktivisme transnasional baru milik Sidney Tarrow. Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada tagar yang dipertukarkan yang berhasil mendorong massa untuk melakukan gerakan baik secara online ataupun offline untuk mengusung ide demokrasi dengan didukung penggunaan teknologi.
KEGAGALAN BRAZIL DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PARIS AGREEMENT TAHUN 2015-2022
Rayhan Fasya Firdausi;
Irfan Aditya Kamal;
Irsyad Nabil Putra Hansa
Jurnal Pena Wimaya Vol 2, No 2 (2022): Vol 2, No 2 (2022): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (157.248 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v2i2.7145
Sebagai salah satu negara yang ikut dalam Paris Agreement, Brazil memiliki andil untuk ikut memenuhi tujuan dari kesepakatan tersebut di negaranya. Di satu sisi, Brazil merupakan salah satu negara yang mengalami krisis deforestasi, yang mana ini bertentangan dengan tujuan Paris Agreement itu sendiri, yaitu untuk meminimalisir emisi gas untuk mencapai target emisi net zero. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu upaya-upaya apa saja yang dilakukan Brazil dalam memenuhi kesepakatan-kesepakatan dalam Paris Agreement untuk mencapai target emisi net zero di tengah-tengah krisis deforestasi yang sedang dialami oleh negaranya? Penelitian ini menggunakan teori implementasi kebijakan publik milik George C. Edward dengan empat variabel: komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Dalam mewujudkan Paris Agreement, Brazil memiliki dua skema: Nationally Determined Contribution dan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation. Dua skema tersebut mengatur tentang target penurunan emisi dan pengurangan laju deforestasi. Hasil penelitian dari dua variabel (sumberdaya dan disposisi) menunjukkan bahwa Brazil gagal memenuhi tujuan Paris Agreement karena minimnya sumberdaya terutama dana dan tidak berjalannya fungsi disposisi.
Kebijakan Rusia untuk Bertahan Menghadapi Sanksi Ekonomi Uni-Eropa di Tahun 2016-2020 Melalui Strategi Import Substitution
Igo Ilham Mahendra
Jurnal Pena Wimaya Vol 2, No 1 (2022): Vol 2, No 1 (2022): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (315.06 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v2i1.6457
In the dynamics of Russia's relations with the European Union, at the beginning of the administration of President Vladimir Putin, Russia tried to approach the European Union as a trading partner. However, after Russia's intervention in Ukraine and the annexation of Crimea and the imposition of economic sanctions by the European Union on Russia in 2014, relations between the two entities became strained. Both parties impose sanctions on each other. Russia and the EU are two entities that have not much different influence and power. Therefore, this theme is important as an analysis of Russia's defense stance against the European Union Economic sanctions in 2016-2020 through the Import Substitution strategy. The author uses a national interest approach to analyze this problem. In this paper the author argues that the Import Substitution strategy is a form of policy to survive the economic sanctions of the European Union and as Russia's national interest over economic sovereignty.
DIPLOMASI MASKER CHINA DAN KETERLIBATAN PEOPLE’S LIBERATION ARMY
Mohammad Maulana Ilhami
Jurnal Pena Wimaya Vol 1, No 1 (2021): Vol 1, No 1 (2021): Pena Wimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (914.61 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v1i1.4702
ABSTRAKPandemi Covid-19 menyebabkan seluruh negara mengalami kesulitan terutama dalam menangani isu kesehatan. China, yang sejak awal telah dianggap sebagai episentrum pandemi telah melakukan berbagai tindakan untuk merespon hal tersebut, bukan hanya dalam lingkup domestik namun juga secara global. Salah satunya dapat dilihat dari pemberian bantuan dukungan medis melalui diplomasi masker yang dilakukan oleh Pemerintah Cina maupun People’s Liberation Army. Penulisan ilmiah ini diharapkan bisa memberikan informasi khususnya dalam bahasa Indonesia mengenai diplomasi masker ini. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan mengolah data yang didapat dari buku, jurnal, e-jurnal, serta laman berita terpercaya. Penelitian ini dapat menemukan bahwa dengan dilakukannya diplomasi masker ini, pemerintah Cina dan People’s Liberation Army memiliki agenda lain dibalik pemberian bantuan-bantuan tersebut.Kata Kunci: Covid-19, diplomasi masker, pemerintah Cina, People’s Liberation Army.
UPAYA DIPLOMASI JEPANG DALAM MENYELESAIKAN ISU COMFORT WOMEN
Rossi Indrakorniawan;
Ghifarul Madilla;
Kanugrahayuning Bethari;
Ajeng Kenya
Jurnal Pena Wimaya Vol 3, No 1 (2023): Jurnal PenaWimaya
Publisher : Pena Wimaya
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (803.496 KB)
|
DOI: 10.31315/jpw.v3i1.8465
Penelitian ini akan membahas Upaya Diplomasi Jepang dalam Menyelesaikan Isu Comfort Women. Upaya yang dilakukan Jepang ini dapat dikatakan sebagai bentuk usaha dari Jepang agar tetap berhubungan baik dengan pihak Korea Selatan. Penelitian ini menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Jepang mulai dari pembuatan kebijakan dan perjanjian, sikap permintaan maaf Jepang hingga bentuk tanggung jawab Jepang melalui pemberian kompensasi secara finansial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kasus dengan melihat bentuk bentuk perjanjian serta isi perjanjian, upaya diplomasi Jepang serta respon dari Korea Selatan terkait upaya Jepang. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kedua Negara cukup sulit untuk berdamai dikarenakan perbedaan pandangan kedua Negara terkait Isu Comfort Women. Korea Selatan menganggap Jepang belum tulus melakukan permohonan maaf. Selain itu, terdapat tuntutan Korea kepada Jepang untuk memberikan kompensasi kepada setiap korban. Kasus ini dikahiri dengan penandatangan Ireversible Agreement yang disebut Agreement on comfort women. Meskipun masih terdapat kekurangan dan kecaman dari para korban terkait perjanjian ini, kasus ini sudah resmi ditutup dan kedua negara tidak diperbolehkan mengangkat isu ini ke forum internasional.Kata kunci: comfort women, Jepang, Korea Selatan