cover
Contact Name
Tri Mulyaningsih
Contact Email
trimulya@unram.ac.id
Phone
+62274-512102
Journal Mail Official
jik@ugm.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/about/editorialTeam
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmu Kehutanan
ISSN : 01264451     EISSN : 24773751     DOI : https://doi.org/10.22146/jik.28284
Focusing on aspects of forestry and environments, both basic and applied. The Journal intended as a medium for communicating and motivating research activities through scientific papers, including research papers, short communications, and reviews
Articles 206 Documents
Studi Mutu Kayu Jati di Hutan Rakyat Gunungkidul. VI. Kadar Zat Anorganik dan Keasaman Ganis Lukmandaru; Rudy Nur Hidayah
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1439.068 KB) | DOI: 10.22146/jik.24901

Abstract

Zat anorganik dan keasaman telah terbukti dalam mempengaruhi sifat-sifat kayu. Paper-paper sebelumnya dalam seri ini telah membahas sifat fisik dan kimia kayu jati dari hutan rakyat. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kadar zat anorganik dan keasaman kayu jati dari hutan rakyat Gunungkidul di 3 tempat tumbuh dengan zona ekologis berbeda (Panggang, Playen, Nglipar). Parameter yang diteliti adalah nilai pH, kadar abu (ASTM D-1102), kadar silika dan silikat (SNI 14-1031-1989), dan kadar unsur zat anorganik (Ca, Mg, K, Na, Fe, Mn, dan Cu) melalui Atomic Absorption Spectrophotometer. Kisaran kadar abu serta kadar silika dan silikat secara berurutan adalah 0,38-2,62%, dan 0,01-1,17%. Kisaran nilai kadar zat anorganik Ca, K, Mg, Na, dan Fe adalah 408–2919 ppm; 69-23705 ppm; 947-1653 ppm; 4-31 ppm; dan 0-326 ppm, secara berturutan sedangkan Mn dan Cu tidak terdeteksi di semua sampel. Selanjutnya, kisaran nilai pH yang diperoleh sebesar 5,23 – 6,98. Berdasarkan analisis variansi, kadar abu, silika-silikat, dan Na dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh dan arah radial pohon (gubal, teras luar, dan teras dalam). Kayu dari Playen (zona tengah/Ledok Wonosari) menunjukkan nilai yang cukup tinggi untuk kadar abu dan silika-silikat. Faktor arah radial pohon berpengaruh nyata pada unsur Ca, K, dan Mg melalui uji Kruskal-Wallis. Dari analisis korelasi Pearson, didapatkan hubungan kuat antara kadar abu dengan kadar silika-silkat (r = 0,77-0,88) serta kadar abu-Ca (r=-0,51) dan kadar abu-Mg (r=0,59) di bagian teras. Dalam tingkat unsur, hubungan terkuat diamati pada kadar Ca-Mg (r = -0,46). Perhatian khusus perlu diberikan pada kadar silika-silkat yang relatif tinggi di sampel yang diamati karena pengaruhnya terhadap penumpulan peralatan gergaji.Study of Teakwood Quality from Community Forests in Gunungkidul. VI. Inorganic Material Contents and AcidityAbstractInorganic materials and acidity in the wood has been proved to affect the wood properties. The previous paper in this series reported on the physical and chemical properties of teak wood from community forests. Therefore, this study aimed to explore the content of inorganic materials and acidity of teak wood grown in the 3 sites (Panggang, Playen, Nglipar) with different ecological attributes from community forests in Gunungkidul. The evaluated parameters were pH values, the contents of ash (ASTM D-1102), silica and silicates (SNI 14-1031-1989), and inorganic matters (Ca, Mg, K, Na, Fe, Mn, and Cu) by means of Atomic Absorption Spectrophotometer. The ranges of ash and silica-silicates content were 0.38-2.62%, and 0.01-1.17%, respectively. The ranges of inorganic element content for Ca, K, Mg, Na, and Fe were 408–2919 ppm; 69 – 23705 ppm; 947–1653 ppm; 4 – 31 ppm; and 0 – 326 ppm, respectively whereas Mn and Cu were not detected in any samples. Further, the obtained pH values range was 5.23–6.98. On the basis of analysis of variance, the contents of ash, silica-silicates, and Na were affected significantly by site and radial direction (sapwood, outer heartwood, and inner heartwood) factors. The woods from Playen (middle zone/Ledok Wonosari) had significantly high in ash and silica-silicate contents. By Kruskal-Wallis test, radial direction factor affected significantly the levels of Ca, K, and Mg. As defined by Pearson’s correlation analysis, it was found a strong correlation between the ash and silica-silicates contents (r=0.77-0.88), as well as between the ash-Ca content (r=-0.51) and the ash-Mg content (r=0.59) in the heartwood part. In the inorganic element levels, the strongest correlation was measured between Ca-Mg content (r=-0.46). Special attention should be given to the comparatively high amounts of the silica-silicates content in the observed samples as it would dull cutting tools considerably.
Serapan Logam Berat oleh Fungi Mikoriza Arbuskula Lokal pada Nauclea orientalis L. dan Potensial untuk Fitoremediasi Tanah Serpentine Faisal Danu Tuheteru; Asrianti Arif; Eka Widiastuti; Ninis Rahmawati
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.134 KB) | DOI: 10.22146/jik.24902

Abstract

Pengaruh fungi mikoriza arbuskula (FMA) lokal terhadap pertumbuhan dan serapan logam tanaman Nauclea orientalis L., telah diteliti. Tanaman ditumbuhkan pada kondisi rumah kaca pada media serpentine soil tanpa dan dengan FMA (Glomus sp., Acaulospora tuberculata, dan campuran) selama 2 bulan. Akar tanaman lonkida terkolonisasi FMA dengan ditemukan struktur FMA berupa hifa internal>hifa eksternal>coil> vesikula>arbuskula. Kolonisasi A. tuberculata dan Glomus sp. signifikan meningkatkan berat kering akar (P<0,01, r=0,810) dan pucuk (P<0,05, r=0,802). N. orientalis memiliki ketergantungan tinggi terhadap inokulasi FMA (MIE>65). Nilai Transpor Faktor (TF) <1 untuk semua logam dengan urutan serapan logam Fe>Mn>Ni>Cr. Glomus sp mengurangi serapan Fe dan Ni akar sebesar 13% dan 3%, secara berturutan. A. tuberculata meningkatkan serapan semua logam. Kemampuan serapan logam berbeda antara jenis FMA.Heavy Metal Uptake by Indigenous Arbuscular Mycorrhizas of Nauclea orientalis L. and the Potential for Phytoremediation of Serpentine SoilAbstractEffect of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) on growth and metal uptake of Nauclea orientalis L. plants, has been investigated. Plants were grown in greenhouse conditions on serpentine soil media without and with the AMF (Glomus sp., Acaulospora tuberculata, and mix) for two months. Lonkida roots was colonized by AMF because it was found structures of AMF: internal hyphae>external hypae>coil>vesicles>arbuscule. Colonization A. tuberculata and Glomus sp. significantly increased dry weight of root (P<0.01, r=0.810) and shoot (P<0.05, r=0.802). N. orientalis has a high dependence on inoculation of AMF (MIE>65). Transport Factor value (TF) <1 for all metals with metal uptake sequence was Fe>Mn>Ni>Cr. Glomus sp reduced Fe and Ni uptake on roots by 13% and 3%, respectively. A. tuberculata increased the uptake of all metals. Metal uptake ability was difference among types of AMF.
Hiperdominansi Jenis dan Biomassa Pohon di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Indonesia Andes Hamuraby Rozak; Sri Astutik; Zaenal Mutaqien; Didik Widyatmoko; Endah Sulistyawati
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (397.987 KB) | DOI: 10.22146/jik.24903

Abstract

Hiperdominansi jenis dan biomassa adalah suatu konsep yang menjelaskan pentingnya sebagian kecil jenis dan biomassa relatif terhadap rata-rata biomassa pohon pada suatu kawasan hutan. Pemahaman pada konsep ini berimplikasi pada upaya monitoring kawasan hutan khususnya bagi spesies penyumbang biomassa terbesar dan membantu pemahaman pada proses restorasi ekologinya. Analisis hiperdominansi jenis dan kontribusi pohon besar (DBH>50 cm) terhadap biomassa pohon telah dilakukan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Sejumlah 26 plot pengamatan telah dibuat pada 26 level ketinggian yang berbeda (1013-3010 m dpl) dan dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu zona submontana, montana, dan subalpine. Pohon-pohon yang terdapat dalam plot pengamatan kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelompok diameter yaitu pohon kecil (5-30 cm), pohon sedang (30-50 cm), dan pohon besar (>50 cm). Hasil analisis menunjukkan bahwa hiperdominansi jenis terjadi di hutan TNGGP. Empat jenis pohon dari 114 jenis yang teridentifikasi yaitu Schima wallichii, Altingia excelsa, Vaccinium varingiaefolium, dan Castanopsis acuminatissima merepresentasikan 56,96% dari total biomassa pohon yang ada di plot TNGGP. Lebih lanjut, pohon kecil dan besar diketahui sebagai penyumbang biomassa yang sangat signifikan dibandingkan pohon sedang. Pada level plot penelitian, pohon dengan DBH>50 cm yang berjumlah 192 individu (atau 13%) dari 1471 individu pohon mampu merepresentasikan 61,4% dari total biomassanya. Namun demikian, pada level kawasan hutan, pohon kecil dan pohon besar memiliki kontribusi yang sama signifikannya terhadap biomassa per hektarnya yaitu masing-masing sebesar 40,9% dan 38,77%. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya sedikit jenis pohon saja mampu merepresentasikan sebagian besar dari total biomassa pohon. Pohon-pohon kecil dan besar diketahui memainkan peranan yang penting dalam biomassa di hutan TNGGP.Hyperdominance of Tree Species and Biomass in Mount Gede Pangrango National Park, IndonesiaAbstractThe hyperdominance of tree species and biomass is a concept explaining the importance of a small portion of species and biomass relative to the average of biomass in a forested area. Understanding this concept has important implication on forest monitoring, especially to monitor the most significant species that show high contributes on biomass and its ecological restoration. Hyperdominance analysis of tree species and large trees (DBH > 50 cm) contribution to tree biomass were investigated in tropical mountain forest of Mount Gede Pangrango National Park (TNGGP). A total of 26 sample plots were installed in 26 different altitude between 1013 and 3010 m asl and grouped into three zones i.e. submontane, montane, and subalpine zones. Trees within plot were identified, measured, and grouped into three groups i.e. small (DBH 5-30 cm), medium (DBH 30-50 cm), and large trees (DBH>50 cm). The result showed that there were hyperdominant in TNGGP. Four species from 114 identified tree species i.e. Schima wallichii, Altingia excelsa, Vaccinium varingiaefolium, and Castanopsis acuminatissima represented 56.96% of the total biomass in the plot level. Furthermore, only 13% of trees from 1471 trees responsible for 61.4% of the total tree biomass in the plot level. However, small and large trees have similar significant contribution to the average biomass in the forest level i.e. 40.9% and 38.77%, respectively. These results suggest that only few species represent a huge amount of biomass. Both small and large trees play important role in the forest biomass of TNGGP.
Variasi Cendana (Santalum album Linn.) Berdasarkan Morfologi Daun dan Bunga di Desa Petir, Rongkop, Gunungkidul Ridla Arifriana; Sapto Indrioko; Atus Syahbudin
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (643.136 KB) | DOI: 10.22146/jik.24905

Abstract

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan salah satu spesies yang digunakan sebagai tanaman rehabilitasi, dikenal mampu tumbuh di lahan dengan keterbatasan hara, dan memiliki nilai ekonomi tinggi dari kandungan minyak santalol yang wangi. Cendana merupakan spesies asli di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) namun dijumpai permudaan alami di beberapa kawasan Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satunya di Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul. Permudaan alami tersebut memiliki variasi morfologi yang relatif besar pada populasinya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan variasi cendana dan mengklasifikasikan cendana yang ditemui di lokasi penelitian berdasarkan karakter morfologi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa (1) cendana (meliputi organ generatif dan vegetatif) yang diambil secara sengaja (purposive) dan (2) Ximenia americana sebagai spesies pembanding. Data dideskripsi secara morfologi dan dilakukan analisis filogeni menggunakan metode maksimum parsimoni dengan penanda morfologi. Karakter morfologi cendana bervariasi pada ukuran dan bentuk daun, warna tenda bunga (perigonium), bunga, bentuk cuping, bentuk appendiks, warna batang, bentuk dan ukuran buah. Ditemui dua karakter cendana yang belum dijelaskan pada sumber sebelumnya di Indonesia yaitu bentuk daun lanset dan bulat telur serta karakter warna tenda bunga (perigonium), bunga oranye. Hasil analisis filogeni menunjukkan karakter daun kecil cendana lebih dekat dengan yang dimiliki oleh spesies pembanding. Karakter diagnostik secara tegas mengelompokan ukuran daun kecil dan ukuran daun besar. Ukuran daun kecil pada kisaran 2,8-7,7 cm sampai dengan 1,1-2,2 cm dan 7,9-10 cm sampai dengan 3,1-4 cm untuk cendana berdaun besar. Variasi bentuk daun serta warna bunga ditemukan pada masing-masing kelompok ukuran daun.Variation of Sandalwood (Santalum album Linn.) Based on Morphology of Leaves and Flowers at Petir Village, Rongkop, GunungkidulAbstractSandalwood (Santalum album Linn.) is one of the flora that are commonly used as rehabilitation species, known as a plant that can grow in a lack of nutrient soil, and has a high economic value of santalol oil. This plant is indigenous in East Nusa Tenggara but it has a natural regenaration in some areas of Gunungkidul Yogyakarta, including in Petir Village, Rongkop, Gunungkidul. Morphological variation of Sandalwood in this area was relatively high. This research aimed to describe and classify sandalwood variations that exist in the research site based on the morphological characters. The materials used in this study were (1) sandalwood as the target species (including generative and vegetative organs) with purposive sampling and (2) Ximenia americana as the outgroup species. Data were analyzed using description and phylogeny analysis using maximum parsimony method with morphological markers. Morphological characters of Sandalwoods were varied in size and leave shapes, flowers perigonium, lobes shapes, appendices shapes, stem color, shapes and fruit size. There were two characters that have not been described in the previous sources in Indonesia, form of leaves (oblong and oval) and orange color of perigonium. Phylogeny results showed that a small leaf sandalwood character was closer to the outgroup character. Diagnostic characters explicitly classified small leaf size and leaf size large. Size of small leaf was from 2.8 -7.7 cm to 1.1-2.2 cm and from 7.9-10 cm to 3.1-4 cm for large leaf. Leaf form and colour of flower variation was found in each group of leaf size.
Pertumbuhan Tunas Beberapa Klon Jati Terseleksi setelah Pemangkasan di Persemaian Hamdan Adma Adinugraha; Tri Maria Hasnah; Waris Waris
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.716 KB) | DOI: 10.22146/jik.24907

Abstract

Kebun pangkas jati dibangun dalam rangka memperbanyak klon-klon terseleksi di plot uji klon jati. Biasanya, kebun pangkas dibangun pada lahan dengan luasan tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pertunasan beberapa klon jati pada kebun pangkas jati di tingkat persemaian. Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan 10 klon jati yang diulang sebanyak 3 kali dengan 10 tanaman pangkasan dalam setiap ulangan. Klon yang digunakan adalah hasil seleksi uji klon jati di Gunung Kidul, Yogyakarta.Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan klon berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah tunas, panjang tunas, diameter tunas, jumlah ruas dan jumlah daun. Hasil pengamatan menunjukkan untuk pertumbuhan tunas pada umur 6 minggu diperoleh rerata jumlah tunas 4,33; panjang tunas 9,09 cm; diameter tunas 5,91 mm; jumlah ruas tunas 2,38, dan jumlah daun 5,09 helai. Persentase hidup tanaman setelah pemangkasan bervariasi antar klon antara 86,67-96,67%. Hasil penaksiran nilai heritabilitas untuk pertumbuhan tunas termasuk kategori sedang sampai tinggi yaitu sebesar 0,41-0,73.The Shoot Growth of Several Selected Clones of Teak after Coppicing in the NurseryAbstractTeak hedge garden was established to multiply several selected clones of teak from clonal test trial. It was usually established on a certain arable land. This study was conducted to determine the ability of various teak clones in the sprouting hedge garden which was established in the nursery. The study was arranged in randomized complete block design with 10 clones, 3 replications, and 10 individual ramet per replication. The tested clones were selected from a teak clonal test in Gunungkidul, Yogyakarta. The results showed that clones significantly affected the shoot growth: number, length, diameter, number of internode and number of leaf. At 6 weeks after hedging, the average of shoot number was 4.3, shoot length of 9.1 cm, shoot diameter of 5.9 mm, the number of internode of 2.4, and the average number of leaves was 5.1. The survival rate of plants after hedging treatment was varied from 86.7 to 96.7 %. Estimated heritability for shoot growth was categorized as moderate to high, varying from 0.41 to 0.73.
Tigers and Their Prey in Bukit Rimbang Bukit Baling: Abundance Baseline for Effective Wildlife Reserve Management Febri Anggriawan Widodo; Stephanus Hanny; Eko Hery Satriyo Utomo; Zulfahmi Zulfahmi; Kusdianto Kusdianto; Eka Septayuda; Tugio Tugio; Effendy Panjaitan; Leonardo Subali; Agung Suprianto; Karmila Parakkasi; Nurchalis Fadhli; Wishnu Sukmantoro; Ika Budianti; Sunarto Sunarto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1008.274 KB) | DOI: 10.22146/jik.28275

Abstract

Managing the critically endangered Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) needs accurate information on its abundance and availability of prey at the landscape level. Bukit Rimbang Bukit Baling Wildlife Reserve in central Sumatra represents an important area for tigers at local, regional and global levels. The area has been recognized as a long-term priority Tiger Conservation Landscape. Solid baseline information on tigers and prey is fundamentally needed for the management. The objective of this study was to produce robust estimate of tiger density and prey a vailability in the reserve. We used camera traps to systematically collecting photographic samples of tigers and prey using Spatial Capture Recapture (SCR) framework. We estimated density for tigers and calculated trap success rate (TSR; independent pictures/100 trap nights) for main prey species. Three blocks in the reserve were sampled from 2012 to 2015 accumulating a total of 8,125 effective trap nights. We captured 14 tiger individuals including three cubs. We documented the highest density of tigers (individuals/100 km2) in southern sampling block (based on traditional capture recapture (TCR) : 1.52 ± SE 0.55; based on Maximum Likelihood (ML) SCR:0.51 ± SE 0.22) and the lowest in northeastern sampling block (TCR: 0.77 ±SE 0.39; ML SCR: 0.19 ± SE 0.16). The highest TSR of main prey (large ungulates and primates) was in northeastern block (35.01 ± SD 8.67) and the lowest was in southern block (12.42 ± SD 2.91). The highest level of disturbance, as indicated by TSR of people, was in northeastern sampling block (5.45 ± SD 5.64) and the lowest in southern (1.26 ± SD 2.41). The results suggested that human disturbance strongly determine the density of tigers in the area, more than prey availability. To recover tigers, suggested strategies include controlling human disturbance and poaching to the lowest possible level in addition to maintaining main prey availability.Keywords: Capture-Mark-Recapture; closed population; habitat management; population viability; tiger recovery Harimau dan Mangsanya di Bukit Rimbang Bukit Baling: Basis Informasi Kelimpahan untuk Pengelolaan Suaka Margasatwa yang EfektifIntisariMengelola spesies kunci seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang dalam kondisi kritis, memerlukan informasi terkait populasi satwa tersebut dan ketersediaan satwa mangsanya pada tingkat lanskap. Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling di Sumatera bagian tengah merupakan sebuah kawasan penting untuk harimau baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. Kawasan ini telah diakui sebagai sebuah kawasan prioritas jangka panjang Tiger Conservation Landascapes (TCL). Informasi dasar yang sahih mengenai populasi harimau dan mangsanya sangat dibutuhkan untuk pengelolaan efektif satwa tersebut dan kawasan habitatnya. Tujuan dari studi ini adalah untuk menghasilkan perkiraan kepadatan populasi harimau dan ketersediaan mangsanya di kawasan suaka margasatwa tersebut. Kami menggunakan perangkap kamera untuk mengumpulkan sampel gambar harimau dan mangsanya secara sistematis menggunakan kerangka kerja Spatial Capture Recapture (SCR). Kami memperkirakan kepadatan harimau dan menghitung angka keberhasilan perangkap atau trap success rate (TSR: gambar independen/100 hari aktif kamera) untuk satwa mangsa utama. Tiga blok di dalam suaka margasatwa telah disurvei dari tahun 2012 hingga 2015 mengakumulasikan keseluruhan 8,125 hari kamera aktif. Kami merekam 14 individu harimau termasuk tiga anak. Kami mendokumentasikan kepadatan tertinggi harimau (individu/100 km2) di blok sampling selatan (berdasarkan pendekatan analisa capture recapture tradisional (TCR) 1.52 ± SE 0.55; berdasarkan Maximum Likelihood (ML) SCR 0.51 ± SE 0.22) dan terendah di utara-timur (TCR: 0.77 ±SE 0.39; ML SCR: 0.19 ± SE 0.16). TSR tertinggi dari mangsa utama (ungulate besar dan primata) adalah di blok sampling utara-timur (35.01 ± SD 8.67) dan terendah adalah di blok sampling selatan (12.42 ± SD 2.91). Tingkat gangguan tertinggi, sebagaimana diindikasikan oleh TSR manusia, adalah di blok sampling utara-timur (5.45 ± SD 5.64) dan terendahnya di blok sampling selatan (1.26 ± SD 2.41). Hasil studi ini mengindikasikan bahwa gangguan manusia yang sangat tinggi sangat menentukan kepadatan harimau di kawasan ini, melebihi pengaruh dari ketersediaan satwa mangsa. Untuk memulihkan populasi harimau, disarankan beberapa strategi termasuk mengendalikan gangguan manusia dan perburuan hingga ke tingkat terendah, selain tetap memastikan ketersediaan satwa mangsa utama yang memadai.
Penggunaan Citra Satelit untuk Mengetahui Persebaran Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub. di Bukit Tapak, Cagar Alam Batukahu Bali Rajif Iryadi; Arief Priyadi; I Dewa Putu Darma
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (642.476 KB) | DOI: 10.22146/jik.28277

Abstract

Citra Pleaides merupakan aset penting untuk memperoleh data dan informasi tentang struktur vegetasi di hutan yang sulit untuk diukur langsung karena wilayah yang tidak dapat diakses dan memiliki cakupan luas. Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub. merupakan salah satu tanaman khas di Bukit Tapak yang memiliki nilai konservasi dan nilai ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persebaran D. imbricatus menggunakan data citra satelit Pleaides yang memiliki resolusi spasial tinggi. Penelitian dilakukan dengan interpretasi visual pada citra satelit Pleaides tahun 2014 dan data spasial elevasi. Akurasi citra Pleaides dalam identifikasi tutupan D. imbricatus mencapai 96,83% dan ketelitian total pemetaan mencapai 93,38% dengan koefisien kappa 88,64%. Persebaran D. imbricatus di Bukit Tapak memiliki range habitat aktual lebih sempit dibandingkan dengan range potensialnya yakni pada elevasi 1.321-1.800 mdpl dengan persentase tutupan 89,52% dari total tutupannya. Lereng Bukit Tapak dengan kemiringan 25,1-55% memiliki lingkup tutupan D. imbricatus sebesar 79,29% dari total tutupannya dan sisanya pada lereng>25%. Informasi tersebut penting terkait dengan kelestarian dan usaha konservasi salah satu jenis tumbuhan berbiji terbuka ini di Bukit Tapak.Kata kunci: akurasi; interpretasi; kanopi; konservasi; pleaides Usage of Satellite Imagery to Determine Distribution of Dacrycarpus imbricatus (Blume) De Laub. on The Tapak Hill, Batukahu Natural Reserve BaliAbstractPleaides image is an important asset to obtain data and information with regard to the structure of the vegetation in the forest that are difficult to measure directly as the area is inaccessible and has a large coverage. Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub. is the one of typical plants on the Tapak Hill which has the conservation and economic values. This study aimed to determine the location and distribution of D. imbricatus using Pleaides satellite image that had a high spatial resolution. The determination of site characteristics was conducted by visual interpretation of high resolution satellite imagery Pleiades 2014 and elevation spatial data. Pleaides accuracy in the identification cover of D. imbricatus reached 96.83% and total accuracy mapping reached 93.38% with kappa coefficient of 88.64%. The distribution of D. imbricatus in Tapak Hill showed actual habitat range narrower than of its potential, which was distributed on the elevation of 1,321 – 1,800 m asl with a percentage of 89,52% from its total cover. About 79.29% of the coverage laid on the slope of 25.1 to 55%, whereas the rest on the slope of >25%. This information is important related to sustainability and conservation efforts for this gymnosperm plant in Tapak Hill. 
Tipologi dan Kerawanan Korupsi Sektor Kehutanan di Indonesia Eko Novi Setiawan; Ahmad Maryudi; Gabriel Lele
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.517 KB) | DOI: 10.22146/jik.28278

Abstract

Diindikasikan bahwa tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia ada kaitannya dengan tingkat korupsi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipologi dan kerawanan korupsi sektor kehutanan di Indonesia. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2015, sebanyak 39 pelaku korupsi sektor kehutanan yang terdiri dari anggota DPR, pejabat Kementerian Kehutanan, Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Kepala Dinas) serta pengusaha, telah diproses hukum dan mendapatkan vonis dari pengadilan. Terdapat 6 (enam) tipologi korupsi sektor kehutanan di Indonesia yaitu: 1) korupsi transaksional, 2) pemerasan, 3) investasi untuk korupsi, 4) nepotisme, 5) korupsi untuk bertahan, dan 6) korupsi untuk mendapatkan dukungan. Penelitian ini menemukan 4 bentuk kerawanan korupsi sektor kehutanan yaitu: 1) proses perijinan, 2) pengawasan 3) proses tata ruang kehutanan, dan 4) pengadaan barang dan jasa kehutanan.Kata kunci: deforestasi; kehutanan Indonesia; kerawanan korupsi; korupsi; tipologi korupsi The Typology and Corruption Susceptibility in Forestry Sector in IndonesiaAbstractIt is widely indicated that the high rates of deforestation in Indonesia are closely linked with the high corruption. This research aimed to identify the typologies and the potential of occurence of corruption in the forest sector in Indonesia. From 2001 to 2015, thirty nine corruptors have been brought to the courts and eventually sentenced. They included parliament members, high-rank forest officials, local government (Governor/Mayor/Chief of District Forest Service), and business persons. This research found six typologies of corruption in the forest sector in Indonesia, i.e. 1) transactive corruption, 2) extortive corruption, 3) investive corruption, 4) nepotistic corruption), 5) defensive corruption, and 6) supportive corruption. It also identified four forest activities that potentially encourage corruption, i.e. 1) licensing, 2) monitoring, 3) spatial planning, and 4) public procurement.
Model Pengelolaan Ternak di Sekitar Hutan Gunung Mutis dan Dampaknya terhadap Kelestarian Hutan Rahman Kurniadi; Herry Purnomo; Nurheni Wijayanto; Asnath Maria Fuah
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (640.488 KB) | DOI: 10.22146/jik.28281

Abstract

Penelitian ini mengkaji kelayakan finansial dan dampak dari model pengelolaan ternak yang ditemukan di sekitar hutan Gunung Mutis di Pulau Timor. Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap 40 masyarakat sekitar hutan. Terdapat dua model pengelolaan ternak yang ditemukan di sekitar hutan. Model pertama adalah model pemeliharaan ternak di dalam kandang dan model kedua adalah model penggembalaan ternak di hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua model layak secara finansial. Namun demikian, jika menggunakan biaya tenaga kerja komersial, model pemeliharaan ternak di dalam kandang secara finansial tidak layak untuk dilakukan, sedangkan model penggembalaan di hutan layak secara finansial. Model pengelolaan ternak di dalam hutan berdampak negatif terhadap regenerasi pohon sedangkan model pemeliharaan ternak di dalam kandang tidak berdampak negatif terhadap kelestarian hutan. Dari hasil penelitian disarankan agar pemerintah membatasi areal untuk penggembalaan ternak di hutan.Kata kunci: kelayakan finansial; model silvopasture; Mutis; penggembalaan ternak hutan; Timor Livestock Management Models Around Mt. Mutis Forest and Its Impact on Forest SustainabilityAbstractThe study examined the financial feasibility and impacts of livestock management models found around Mt. Mutis forest in Timor Island of Indonesia. Data was collected through interviewing 40 communities around the forest. There were two livestock management models around the forest, the first model was livestock management which raise livestock in the cattle pen, and the second model was livestock management which graze livestock in the forest. This study found that both livestock management models were financially feasible. However, if commercial cost of workers was counted, the livestock management model which raise livestock in the cattle pen was financially not feasible while livestock management model which graze livestock in the forest was financially feasible. Livestock management model which graze livestock in the forest however had negative impacts on the regeneration of trees. On the basis of this study, it is suggested that the government should limit the forest area that could be used for forest grazing.
Variasi Karakter Pembungaan Antar Varian dan Ras Lahan Cendana Sepanjang Gradien Geografis di Gunung Sewu Yeni Widyana Nurcahyani Cahyaningrum; Sapto Indrioko; Eny Faridah; Atus Syahbudin
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 11, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1015.071 KB) | DOI: 10.22146/jik.28282

Abstract

Cendana merupakan spesies asli Indonesia bagian timur, yang menjadi ras lahan di Gunung Sewu. Sembilan ras lahan di Gunung Sewu, seluruhnya tersusun atas tiga varian yang berbeda struktur dan warna bunganya (MK, merah kecil; MB, merah besar; dan KB, kuning besar). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter pembungaan ketiga varian cendana di Gunung Sewu pada periode pembungaan tahun 2015; di tiga ras lahan yang mewakili tiap zona yaitu Nglanggeran (Zona Utara), Bleberan (Zona Tengah), dan Petir (Zona Selatan). Observasi meliputi fenologi, kemasakan organ reproduksi, display, dan struktur pembungaan. Struktur pembungaan dan longevity organ reproduksi berbeda antar varian. MB dan KB didominasi warna merah dan marun, perigonium lebih besar, organ reproduksi lebih panjang, posisi putik sejajar/lebih rendah dari benang sari, dan longevity lebih singkat. MK didominasi kuning hingga oranye, lebih kecil, posisi putik sejajar/lebih tinggi, dan longevity lebih lama. Display pembungaan berbeda antar ras lahan, namun tidak berbeda antar varian. Petir, dengan ukuran populasi terbesar, memproduksi paling banyak pohon berbunga dan total bunga untuk seluruh varian. Ras lahan dan varian berbunga dua kali setahun, namun dengan inisiasi dan durasi yang berbeda. KB berbunga lebih awal di seluruh ras lahan, sedangkan MB paling akhir. MK memiliki durasi pembungaan terpanjang. Perbedaan antar ras lahan lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti ketinggian, jenis tanah, dan iklim. Ras lahan yang lebih rendah, kering, dan panas berbunga lebih awal dan singkat. Peningkatan temperatur dan turunnya status air tanah menyebabkan keguguran massal yang diikuti sequential replacement, mengakibatkan perubahan frekuensi pembungaan. Strategi konservasi cendana di Gunung Sewu perlu dirancang berbasis keragaman genetik, sinkroni pembungaan, dan kompatibilitas antar varian, dengan tetap mempertimbangkan keberagaman tempat tumbuhnya.Kata kunci: cendana; Gunung Sewu; pembungaan; ras lahan; varian bunga The Flowering Characters Variation Among Floral Variants and Landraces Along Geographical Gradients in Gunung SewuAbstractSandalwood was origin to the south-eastern islands of Indonesia, but is recently occured as new land-races in Gunung Sewu, Java island. All of land-races consisted of three floral variants (MK, refers to “merah kecil”; MB, “merah besar”; and KB, “kuning besar”, respectively). This research aimed to determine flowering of these variants among three of land-races which were representing geographical zone in Gunung Sewu: Nglanggeran, Blebera, and Petir. Observation on phenology, sexual organs maturity, floral structure, and display was conducted in 2015. Floral structures varied among variants. MB and KB dominated by red and maroon colors, possessed bigger perigonium, longer sexual organs but with shorter longevity, and similar/lower position of stylus to stamens. MK dominated by yellow to orange colors, smaller, similar/higher position of stylus, and longer longevity. Floral display varied among land-races but were similar among variants. Petir, with biggest population size, produced the most abundant flowers and flowering trees at all variants. Sandalwood flowered twice a year in all of land-races and variants, however, the onset and duration varied. KB flowered earliest while MB was the latest. MK possessed longest flowering period. Flowering varied among land-races due to the altitude, soils, and climatic differences. Lower altitude, drier, and warmer sites flowered earlier and shorter. Mass abortion and sequential replacement, resulting in the alteration on flowering frequency, occured due to the extreme temperature increment. Conservation strategy should be arranged based on genetic differentiation, flowering differences, and crossing abilities among variants. Differences of landscapes, which may contribute to the differences of environmental conditions and flowering processes, should also be considered.