cover
Contact Name
Tri Mulyaningsih
Contact Email
trimulya@unram.ac.id
Phone
+62274-512102
Journal Mail Official
jik@ugm.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/about/editorialTeam
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Ilmu Kehutanan
ISSN : 01264451     EISSN : 24773751     DOI : https://doi.org/10.22146/jik.28284
Focusing on aspects of forestry and environments, both basic and applied. The Journal intended as a medium for communicating and motivating research activities through scientific papers, including research papers, short communications, and reviews
Articles 206 Documents
Modeling The Fate of Sumatran Elephants in Bukit Tigapuluh Indonesia: Research Needs & Implications for Population Management Alexander Markus Moßbrucker; Muhammad Ali Imron; Satyawan Pudyatmoko; Peter-Hinrich Pratje; Sumardi Sumardi
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (827.278 KB) | DOI: 10.22146/jik.12622

Abstract

The critically endangered Sumatran elephant persists in mainly small and isolated populations that may require intensive management to be viable in the long term. Population Viability Analysis (PVA) provides the opportunity to evaluate conservation strategies and objectives prior to implementation, which can be very valuable for site managers by supporting their decision making process. This study applies PVA to a local population of Sumatran elephants roaming the Bukit Tigapuluh landscape, Sumatra, with the main goal to explore the impact of pre-selected conservation measures and population scenarios on both population growth rate and extinction probability. Sensitivity testing revealed considerable parameter uncertainties that should be addressed by targeted research projects in order to improve the predictive power of the baseline population model. Given that further habitat destruction can be prevented, containing illegal killings appears to be of highest priority among the tested conservation measures and represents a mandatory pre-condition for activities addressing inbreeding depression such as elephant translocation or the establishment of a conservation corridor.Keywords: Elephas maximus sumatranus; population viability analysis (PVA); Asian elephant; elephant conservation; Vortex Pemodelan Kelestarian dari Gajah Sumatera di Bukit Tigapuluh Indonesia: Kebutuhan Penelitian dan Implikasi untuk Manajemen PopulasiAbstractGajah Sumatera yang berstatus kritis sebagian besar bertahan dalam populasi kecil dan terisolasi membutuhkan pengelolaan intensif agar dapat tetap lestari dalam jangka panjang. Analisis Viabilitas Populasi (Population Viability Analysis, PVA) berpeluang untuk digunakan sebagai sarana evaluasi atas tujuan dan strategi konservasi yang disusun sebelum implementasi, yang akan sangat bermanfaat bagi pengelola kawasan guna mendukung pengambilan keputusan. Studi ini menggunakan PVA pada populasi lokal gajah Sumatera yang menjelajahi lanskap Bukit Tigapuluh, Sumatera, dengan tujuan utama mengeksplorasi dampak atas skenario upaya konservasi dan populasi terpilih terhadap laju pertumbuhan populasi dan probabilitas kepunahan. Uji sensitivitas menunjukkan adanya ketidakpastian atas sejumlah parameter pokok yang seharusnya diteliti untuk meningkatkan kekuatan prediksi atas baseline model populasi. Mengingat kerusakan habitat yang lebih parah dapat dicegah, untuk itu upaya penangkalan pembunuhan ilegal merupakan prioritas tertinggi di antara upaya-upaya konservasi yang sudah diuji dan menjadi prasyarat wajib untuk menjawab masalah kemungkinan dampak perkawinan sedarah (inbreeding depression) seperti translokasi gajah atau membangun koridor konservasi. 
Zona Ekowisata Kawasan Konservasi Pesisir di Kecamatan Katingan Kuala, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah Melalui Pendekatan Ekologi Bentang Lahan Cakra Birawa; Raden Mas Sukarna
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (396.405 KB) | DOI: 10.22146/jik.12628

Abstract

Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki pengaruh strategis terhadap pengembangan ekonomi Indonesia karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Pemanfatan dan pengelolaan kawasan pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah daerah belum mencerminkan aspek-aspek kelestarian dan keberkelanjutan. Untuk mendukung hal tersebut, perlu dikembangkan zona ekowisata yang mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari zona ekowisata kawasan konservasi pesisir di Kecamatan Katingan Kuala Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah melalui pendekatan ekologi bentang lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari seluruh luas wilayah Kecamatan Katingan Kuala (1.440 km2) dapat dikategorikan dalam empat sub zona, yaitu zona ekowisata ± 15,83 %, zona penyangga ± 31,30 %, zona inti untuk konservasi dan rehabilitasi ± 29,55 %, dan zona produksi dan ekonomi ± 23,31 %. Disimpulkan bahwa kegiatan pengembangan ekowisata di wilayah pesisir ini harus serasi dan selaras dengan upaya konservasi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan hidup secara menyeluruh.Kata kunci:  zonasi ekowisata, ekologi bentang lahan, konservasi pesisir, pembangunan keberlanjutan, Katingan Kuala. Ecoutourism Zone of Coastal Conservation Area through Landscape Ecology Approach in Katingan Kuala Sub-regency, Katingan Regency, Central Kalimantan Province AbstractMarine and coastal areas as well as their natural resources have strategic effects towards the economic development of Indonesia because they are reliable to be one of the pillars of the national economy. Utilization and management of coastal areas either conducted by the community or local government have not reflect the conservation and sustainable aspects. To support these conditions, it is necessary to develop ecotourism zone, which is able to improve the local economies. This research aimed to study ecotourism zone of the coastal conservation area in Katingan Kuala Sub-district, Central Kalimantan Province through landscape ecology approach. The results showed that the total area of Katingan Kuala Sub-district, which is1,440 km2, could be categorized into four sub-zones, i.e. ecotourism zone is ±15.83 %, buffer zone is ± 31.30 %, core zone for conservation and rehabilitation is ± 29.55 %, and production and economic zone is ± 23.31 %. It was concluded that ecotourism development in these coastal areas should be in harmony with the conservation, protection, and preservation of the environment as a whole.
Pengelompokan Keruing (Dipterocarpus spp.) di Indonesia Menurut Karakter Buah Dwi Tyaningsih Adriyanti; Soekotjo Soekotjo; Mochammad Na'iem; Anto Rimbawanto
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.978 KB) | DOI: 10.22146/jik.12629

Abstract

Status taksonomi Famili Dipterocarpaceae telah mengalami beberapa kali perubahan. Menurut tinjauan klasifikasi yang disusun oleh Heim, Symington, Meijer, Maury, dan Ashton bahwa Dipterocarpus memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Anisoptera sehingga dalam beberapa klasifikasi digambarkan dengan menuliskan keduanya dalam satu kelompok. Namun, Heim memiliki pandangan yang berbeda dengan 4 ahli yang lain yaitu membagi genus Dipterocarpus menjadi 5 seksi yaitu sphaerales, angulati, plicati, alati, dan tuberculati. Penggolongan yang dilakukan oleh Heim atas Dipterocarpus ternyata didukung dengan keterangan yang dikemukakan oleh Symington bahwa ke-5 seksi dapat dideteksi dari kelopak buah yang membentuk tabung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan seksi dalam genus Dipterocarpus ditinjau dari karakter buahnya. Materi sebanyak 38 spesies Dipterocarpus dan 3 Anisoptera dikoleksi dari sebaran alaminya kemudian diidentifikasi menggunakan prosedur standar dan hasilnya ditabulasikan dalam bentuk matrik. Terdapat 48 karakter meliputi seluruh organ, namun yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada 9 karakter khusus pada organ buah. Analisis dilakukan secara statistik dengan software NCSS seri 10 untuk mendapatkan dendrogram yang akan menggambarkan hubungan kedekatan antar spesies. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kedudukan seksi dalam Dipterocarpus dapat dibuktikan secara nyata melalui karakter morfologinya. Dengan memanfaatkan Anisoptera sebagai outgroup, diketahui bahwa Dipterocarpus dari seksi sphaerales paling dekat dengan Anisoptera, kemudian diikuti oleh tuberculati, angulati, alati, dan plicati.Kata kunci: pengelompokan, Dipterocarpus, seksi, karakteristik, buah Classification of Keruing (Dipterocarpus spp.) in Indonesia on the Basis of Fruit CharactersAbstractThe taxonomy status of Dipterocarpaceae family has been changed for several times. According to the review of classification compiled by Heim, Symington, Meijer, Maury and Ashton, the genus Dipterocarpus had quite close relations with Anisoptera, therefore, in some classifications they were described by writing in a group. However, Heim had a different point of view from four other experts as he divided the genus Dipterocarpus into 5 sections: sphaerales, tuberculati, angulati, alati and plicati, The classification done by Heim on Dipterocarpus were supported by Symington that the 5 sections could be detected from the fruit petals forming a tube. This study aimed to determine the position of the species in the genus of Dipterocarpus in terms of fruit characters. There were 38 species of Dipterocarpus and 3 species of Anisoptera used in the research which were collected from the natural distribution and then were identified using standard procedures, and the results were tabulated in a matrix. There were 48 characters from the entire organ, but only 9 fruit characters used in this research. Statistical analysis was done with NCSS software series 10 to build a dendrogram and to draw the hierarchical of relations between species. The results showed that the position of section in Dipterocarpus was significantly provable through morphological characters. By utilizing Anisoptera as an outgroup, it was known that Dipterocarpus of sphaerales section was closest to the Anisoptera, followed by tuberculati, angulati, alati and plicati.
Pemanfaatan Tumbuhan Cempedak (Artocarpus champeden) oleh Masyarakat Kampung Sabun Distrik Aitinyo Tengah Kabupaten Maybrat, Papua Barat Ariance Juli Ross Nauw; Sepus M Fatem; Susilo Budi Husodo; Mecky Sagrim
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (851.821 KB) | DOI: 10.22146/jik.12631

Abstract

Tumbuhan cempedak (Artocarpus champeden) merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) potensial di wilayah Maybrat. Jenis HHBK ini dimanfaatkan sebagai salah satu pangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Maybrat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2014, untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan cempedak (Artocarpus chempeden) bagi masyarakat Kampung Sabun, Distrik Aitinyo, Kabupaten Maybrat. Pengambilan data dilakukan melalui observasi dan wawancara terstruktur pada 15 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian tumbuhan cempedak yang dimanfaatkan adalah buah dan biji. Pengolahan tumbuhan cempedak terbagi atas 3 bentuk, yaitu: pengolahan pada buah masak, buah muda, dan biji, sedangkan pengolahan biji dibagi dalam 4 bagian, yaitu: proses perebusan dan pengukusan, sangrai, pengisian dalam bambu, dan penyimpanan biji. Upaya konservasi cempedak telah dilakukan secara sederhana melalui penanaman pada areal kebun dan pekarangan rumah masyarakat. Penelitian ini juga memperoleh informasi bahwa pemanfaatan cempedak hanya terbatas untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat saja. Pengolahan komersil belum dikembangkan. Dengan demikian, pengembangan cempedak sebagai alternatif pangan produk HHBK perlu dilakukan dengan mendorong kerjasama lintas sektor baik pertanian dan kehutanan serta pihak terkait di wilayah Maybrat.Kata kunci: Artocarpus champeden, Masyarakat Kampung Sabun, Kabupaten Maybrat, HHBK, pengolahan buah  Utilization of Cempedak (Artocarpus champeden) by Communities in Sabun Village, Central Aitinyo Sub-district, Maybrat Regency, West Papua ProvinceAbstractCempedak (Artocarpus champeden) is one of the non timber forest products (NTFPs) from the Maybrat district. It is used as a daily food of Maybrat people. The study was conducted from June-July 2014 in Sabun Village, Aitinyo Sub district of the Maybrat Regency, West Papua Province. The objectives of this study were to explore the utilization, harvesting technique, and manufacturing process of cempedak in Sabun villages. Field observations and interviews were used to collect the data of 15 respondents. The result showed that fruits and seeds are part of of the cempedak trees, which is utilised for food. Cempedak processing were divided into 3 parts i.e. the ripe fruit, the unripe fruit, and the seed. Processing of the seed were divided into four parts i.e. boiling, steaming, frying without oil process, filling inside bamboo, and storage. Conservation efforts were conducted by planting cempedak in the garden of villagers’ house. This research also revealed that the utilization process was done for household purposes only. Therefore, the development of cempedak for an alternative food as NTFPs, is necessary to be promoted by collaboration of related stakeholders including forestry and agriculture in Maybrat Regency.
Arah Tata Hubungan Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia Ahmad Maryudi
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (156.894 KB) | DOI: 10.22146/jik.12632

Abstract

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebijakan ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan mendasar pengelolaan hutan di Indonesia, seperti tata kelola yang buruk, ketidakjelasan hak tenurial, dan lemahnya kapasitas dalam manajemen hutan. KPH dikonseptualisasikan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di tingkat tapak. Kebijakan pembangunan KPH yang diatur oleh pusat dipandang dapat menambah kompleksitas terhadap struktur pengurusan dan pengelolaan yang sudah ada selama ini. Makalah ini membahas konsep tata hubungan kelembagaan dalam kebijakan KPH.Kata kunci: KPH, pengurusan, kelembagaan, kewenangan, resentralisasi Direction of Institutions and Bureaucracies of Forest Management Units (FMUs) in Indonesia AbstractThe establishment of Forest Management Units (FMUs) has been made as one of the top policy priorities by the Ministry of Environment and Forestry. The policy is expected to become a solution for problems regarding to the management of forests in Indonesia, e.g. poor forest governance, tenurial problems, limited capacity in the management of forests. FMU is conceptualized as a forest management agent/ institution at the field. The policy of establishing FMUs is often viewed to add complexities of the current forest administration and management structures. This paper discusses concepts of institutions and bureaucracies of the FMU policy.
Development of Drying Schedule of Superior and Conventional Teak Wood of Ten Years-old Planted in Blora, Central Java Tomy Listyanto; Yusuf Setia Darmawan; Rini Pujiarti; Fanny Hidayati; Ganis Lukmandaru; Joko Sulistyo
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.176 KB) | DOI: 10.22146/jik.12633

Abstract

The aims of this study were to investigate drying defect characteristics, to develop proper drying schedule, and to analyze the relationship between the developed drying schedule and its wood properties. This study used superior and conventional teak wood of ten years-old planted in Blora, Central Java. Sample from different axial positions (bottom and middle part) and different board thicknesses (20 mm and 40 mm) were taken. Drying schedule was developed in accordance to Terazawa method, which dried the sample for 72 h at a temperature of 100 °C. Initial moisture content, crack, collapse, and honeycombing were observed to determine the proper drying schedule. The developed drying schedule then was related to their characteristics, such origin of the seedling, thickness, density, and heartwood percentage. The proper scheduled was also applied in larger sample and evaluated. The results showed that there were five variations of drying schedule for superior and conventional teak wood. Chi square analysis indicated that the board thickness affect significantly on developing drying schedules. Boards with a thickness of 20 mm can be dried with an initial temperature of 70 °C, the wet bulb depression 7°C, and the final temperature of 105°C. Further, boards with a thickness of 40 mm should be dried with a softer drying schedule with an initial temperature of 60°C, wet bulb depression temperature of 4 °C, and the final temperature of 85°C. Application of the selected drying schedule was succeed without any significant defects.Keywords: superior; teak; drying schedules; inferior; wood Pengembangan Skedul Pengeringan Kayu Jati "Mega" dan Konvensional Umur 10 tahun Ditanam di Blora, Jawa tengahAbstractTujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik cacat pengeringan, skedul pengeringan yang sesuai, variasi ketebalan papan serta beberapa sifat kayunya terhadap skedul pengeringan. Penelitian ini menggunakan kayu jati prospektif unggul dan konvensional umur 10 tahun dari Blora, Jawa Tengah dengan letak aksial yang berbeda (pangkal dan tengah) serta ketebalan papan masing-masing 20 mm dan 40 mm. Penyusunan skedul pengeringan menurut metode Terazawa, dengan pengeringan selama 72 jam pada suhu 100°C. Parameter yang diamati yaitu kadar air awal, cacat retak, kolaps, dan honeycombing. Cacat yang terjadi digunakan untuk penyusunan skedul pengeringan. Skedul pengeringan selanjutnya diuji hubungannya dengan sumber asal bibit, ketebalan, berat jenis, dan persen kayu terasnya. Skedul pengeringan yang paling sesuai selanjutnya diujicoba dan dievaluasi. Berdasarkan hasil penelitian, diajukan lima skedul pengeringan. Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa ketebalan papan memiliki hubungan signifikan terhadap variasi skedul pengeringan. Papan dengan ketebalan 2 cm dapat dikeringkan dengan suhu awal 70°C, depresiasi bola basah 7°C, dan suhu akhir 105°C. Selanjutnya, papan dengan ketebalan 4 cm perlu dikeringkan dengan skedul yang lebih lunak dengan suhu awal 60°C, depresiasi suhu bola basah 4°C, dan suhu akhir 85°C. Hasil uji aplikasi menunjukkan hasil yang memuaskan dengan cacat yang tidak signifikan. 
Perubahan Iklim Global dan Perkembangan Hama Penyakit Hutan di Indonesia, Tantangan, dan Antisipasi ke Depan Sri Rahayu
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.565 KB)

Abstract

Perubahan Iklim Global dan Perkembangan Hama Penyakit Hutan di Indonesia, Tantangan, dan Antisipasi ke Depan 
Assesment of Vegetation Cover Status in Dry Lands of The Sudan Using Social and Terrestrial Data Mohammed Hamed Mohammed; Suzan Abdelrahman Hamad; Hassan Elnour Adam
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.03 KB) | DOI: 10.22146/jik.16508

Abstract

The current study was conducted in 2015 in Bara Locality, North Kordofan, Sudan. The study area has experienced recurrent drought spells since 1970s of the past century. The main objective of this study was to assess and map the vegetation cover in the area using social, terrestrial and remotely sensed data. To accomplish the above mentioned objective, the study was based on qualitative and quantitative data. In qualitative data, household survey was conducted in which 100 respondents were randomly interviewed. Quantitative data was collected using terrestrial inventory and satellite imageries. In terrestrial inventory, 22 ground control points (GCPs) were randomly registered using GPS in order to get general overview of the land cover of the study area. In each GCP, tree species by number was inventoried within an area of 1 ha. Remote sensing data, covering the target study area, were acquainted using LANDSAT5 imageries (2014) with spatial resolution of 30×30 m. Results of the household survey revealed that only 13 shrub/tree species mentioned by 45% of the respondents, while only 9 woody species were identified, belonging to 8 families from terrestrial inventory. The results of the household survey, 45% of the respondents, indicated that vegetation cover was very good 20 years ago. The study categorized the present land cover as woody vegetation (19%), Acacia senegal stands (5%), shrubs i.e. Leptadenia pyrotechnica and Acacia nubica (18%), small scale farms and grasses (19%) and sandy soil and dunes (39%). The results of the land cover distribution indicated that vegetation cover decreased by 24% while sand/sand dunes was increased by 21% from 1985 to 2015. The study concluded that the study area is under threat of land degradation that may lead to depletion of vegetation cover and decline land productivity. Pengukuran Status Penutupan Vegetasi di Lahan Kering Sudan Menggunakan Data Sosial dan TerestrialIntisariPenelitian ini dilakukan pada tahun 2015 di Lokalitas Bara, Kordofan Utara, Sudan. Lokasi penelitian telah mengalami masa kekeringan yang berulang sejak dekade 1970-an. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menilai dan memetakan tutupan vegetasi di lokasi penelitian dengan menggunakan data sosial, terestrial, dan penginderaan jauh. Untuk mencapai tujuan dimaksud, penelitian ini menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Untuk data kualitatif, survei rumah tangga dengan wawancara terhadap 100 responden yang dipilih secara acak. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan inventarisasi terestrial dan satelit citra. Untuk inventarisasi terestrial, 22 titik kontrol (GCP) didaftar secara acak dengan menggunakan GPS untuk mendapatkan gambaran umum dari tutupan lahan daerah penelitian. Pada setiap GCP, jumlah spesies pohon diinventarisasi dalam area 1 ha. Data penginderaan jauh yang mencakup wilayah studi diambil dengan citra LANDSAT5 (2014) dengan resolusi spasial 30 × 30 m. Hasil survei rumah tangga menunjukkan bahwa hanya 13 jenis semak/pohon yang disebutkan oleh 45% responden, sementara hanya 9 spesies kayu yang terindentifikasi, milik 8 keluarga dari inventarisasi terestrial. Berdasarkan hasil survei rumah tangga, 45% dari responden menyatakan bahwa tutupan vegetasi yang sangat baik 20 tahun yang lalu. Penelitian ini mengelompokkan tutupan lahan saat ini ke dalam vegetasi berkayu (19%), tegakan Acacia senegal (5%), semak yaitu Leptadenia pyrotechnica dan Acacia nubica (18%), pertanian skala kecil dan rerumputan (19%), dan tanah dan bukit pasir (39%). Hasil dari distribusi tutupan lahan menunjukkan bahwa tutupan vegetasi mengalami penurunan sebesar 24%, sedangkan proporsi pasir/bukit pasir meningkat 21% dari 1985 ke 2015. Penelitian ini menyimpulkan bahwa daerah penelitian berada di bawah ancaman degradasi lahan yang dapat menyebabkan penipisan vegetasi tutupan dan menurunkan produktivitas lahan.
Pemodelan Spasial Resiliensi Ekosistem Gunungapi Merapi Pasca Erupsi Emma Soraya; Wahyu Wardhana; Ronggo Sadono
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.888 KB) | DOI: 10.22146/jik.16509

Abstract

Kemampuan ekosistem hutan di wilayah gunungapi pasca erupsi dapat kembali berfungsi seperti sebelumnya sangat dipengaruhi oleh resiliensi atau daya lentur/lembam ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem dalam studi ini didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem untuk bangkit kembali setelah guncangan/gangguan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memodelkan sebaran resiliensi spasial ekosistem hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) lima tahun pasca erupsi dan intervensi restorasi. Analisis dilakukan dengan pendekatan penginderaan jauh multi temporal dan analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis untuk menggambarkan perubahan kondisi ekosistem gunungapi sebelum dan pasca erupsi dan kegiatan restorasi. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa setelah lima tahun pasca erupsi, telah terjadi transisi resiliensi/perbaikan ekosistem dari lahan terbuka ke lahan dengan tutupan vegetasi berupa rumput, semak belukar, dan hutan sekunder. Transisi resiliensi ini terjadi baik secara suksesi alami maupun campur tangan manusia dalam bentuk tindakan restorasi. Salah satu catatan hasil dari penelitian ini antara lain adalah keberhasilan kegiatan restorasi untuk mengembalikan kondisi ekosistem seperti sebelum erupsi tidak selalu dapat dideteksi dalam jangka lima tahun setelah erupsi. Kata kunci: Gunungapi Merapi; multi temporal; penginderaan jauh; resiliensi spasial; sistem informasi geografis Spatial Resilience Modelling of Merapi Volcano Ecosystem Post-EruptionThe ability of volcano ecosystem to recover post an eruption to the pre eruption status is affected by its ecological resilience. Resilience of an ecosystem can be defined as the ability of an ecosystem to bounch back after (a) disturbance(s). This study aimed to model spatial resilience of Merapi volcano ecosystem within the area of National Park of Merapi Volcano (TNGM) five years post 2010 eruption and restoration intervention. Analysis was conducted using multi temporal remote sensing and spatial analysis using geographic information system to draw the changes of the ecosystem over time, particularly post eruption and restoration actions. The modelling resulted that five years post eruption, there was resilience transisition/ recovery in volcano ecosystem in TNGM post 2010 eruption. The resilience was shown by the changes from open area to vegetation covers as grass, shrubs, and secondary forests. The transitions occured in term of natural succession as well as human intervention in restoration programs. However, the success of restoration actions to recover the ecosystem to the pre eruption status was not always able to be detected within the period of five years post eruption.
Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Jati Unggul "Mega" dan Kayu Jati Konvensional yang Ditanam di Hutan Pendidikan, Wanagama, Gunungkidul, Yogyakarta Fanny Hidayati; Isti Tamira Fajrin; Muhammad Rosyid Ridho; Widyanto Dwi Nugroho; Sri Nugroho Marsoem; Mohammad Na'iem
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.473 KB) | DOI: 10.22146/jik.16510

Abstract

Kebutuhan kayu jati semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat. Di lain pihak, jati merupakan salah satu jenis dengan rotasi umur yang panjang. Selain itu, ketersediaan kayu jati dari Perum Perhutani belum mampu memenuhi kebutuhan kayu jati untuk industri. Oleh sebab itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan kegiatan pemuliaan pohon, dimana dalam kegiatan ini dihasilkan bibit unggul dengan sifat pertumbuhan superior. Akan tetapi, informasi mengenai sifat-sifat kayunya masih sangat terbatas, sehingga penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai sifat-sifat kayu terutama sifat fisika (kadar air, berat jenis, dan penyusutan) dan mekanika (kekuatan lengkung statis dan kekuatan tekan) serta variasi aksial kayu jati unggul tersebut pada umur yang masih muda yakni 11 tahun yang ditanam di Hutan Pendidikan Wanagama, Gunungkidul Yogyakarta dan dibandingkan dengan jati konvensional umur 14 tahun yang ditanam di lokasi yang sama. Sebagai hasilnya, sifat fisika kayu tidak berbeda nyata antara kayu jati unggul dan kayu jati konvensional, kecuali kadar air segar. Untuk sifat mekanika kayu, kekuatan lengkung statis (MOR dan MOE) serta kekuatan tekan sejajar serat berbeda nyata antara kayu jati unggul dan jati konvensional, sedangkan untuk kekuatan tekan sejajar serat tidak berbeda nyata.Kata kunci: jati unggul, jati konvensional, sifat fisika, sifat mekanika, umur muda.Physical and Mechanical Properties of Superior “Mega”  and Conventional Teak Wood Planted in Wanagama Educational Forest, Gunungkidul, YogyakartaAbstractDemand of teak wood increases every year along the increase of human population and prosperity. On the other hand, teak is one of the long rotation tree species. Furthermore, the avaibility of teak from the Perum Perhutani as the biggest teak plantation company is not enough to fulfill the demand of teak wood from wood industry. Therefore, many efforts have been conducted to solve this problem, such as by tree breeding program. In Indonesia, this program only focused in the growth characteristics. However, information of wood properties of superior teak is still limited in Indonesia. Therefore, the aim of this research was to clarify the physical and mechanical characteristics of superior teak wood (11-year-old) and compared with the conventional teak (14-year-old) planted in Wanagama Forest, Gunungkidul, Yogyakarta and its longitudinal variation. As the results, physical properties were not significantly different between superior teak and conventional teak, except for green moisture content. Bending strength (MOR dan MOE) and compression strength parallel to grain were significantly different between superior and conventional teak. In addition, compressive strength perpendicular to grain was not significantly different between superior and conventional teak.