cover
Contact Name
athifatul wafirah
Contact Email
athifatulwafirah12@gmail.com
Phone
628197444487
Journal Mail Official
stiqnis.alqorni@gmail.com
Editorial Address
Jl. KH. Moh. Sirajuddin No. 03, Pondok Pesantren Nurul Islam, Karangcempaka, Bluto-Sumenep 69466
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
(Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir)
ISSN : 2502549X     EISSN : 25806394     DOI : -
Jurnal kami bertujuan untuk menerbitkan penelitian atau karya tulis ilmiah lainnya yang berkualitas tinggi di bidang Ilmu al-uran dan Tafsir, dengan penekanan khusus pada aspek Hukum, Sains, historis, teologis, dan sosial-budaya. Kami menyambut artikel penelitian asli atau KTI, ulasan, dan esai kritis yang berkontribusi pada pemahaman pemikiran dan praktik Islam.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 4 Documents
Search results for , issue "Vol. 3 No. 2 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir" : 4 Documents clear
Konsep Jihad dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dalam Surat Al-Baqarah Ayat 190-193) Muwafiq, Ahmad; Sadewa, Mohammad Aristo
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 3 No. 2 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Surah al-Baqarah ayat 192-193 menurut Ibnu Katsir bahwa ayat 192 ialah bahwa ketika mereka berhenti melakukan peperangan di tanah Haram(suci), mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, sesungguhnya Allah akan mengampuni doosa-dosa mereka, sekalipun mereka telah memerangi kaum Muslimin di tanah suci. Dan ayat 193 ialah fitnah yang dimaksudkan adalah syirik dan agama Allah-lah yang menang lagi tinggi berada di atas agama lainnya.. Sedangkan menurut Sayyid Quthb bahwa ayat 192 ialah sungguh sangat mulia ketika orang-orang kafir Quraisy yang berhenti memerangi kaum muslimin itu tidak boleh ada qishah namun perlu digaris bawahi bahwa ampunan itu ialah sebuah penarik bagi kaum kafir untuk berpindah agama. Ayat 193 tujuan perang adalah supaya tidak terjadi fitnah karena fitnah itu lebih berbahaya atau lebih kejam daripada pembunuhan karena mereka (kaum kafir) menggangu umat Islam dalam melaksanakan kebaikan dan dan manhaj. Ibnu Katsir menurut Adz-Zahabi Tafsir Ibn katsir, menggunakan metode menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, menafsirkan al-Qur’an dengan melihat ijtihad-ijtihad para sahabat dan tabi’in. Dalam penyajian tafsir Ibn Katsir ini, menggunakan metode analitis (tahlili). Sedangkan Sayyid Qutbh dalam menafsirkan al-Qur’an ialah dengan menggunakan metode penafsiran dengan Tahlili, sedangkan sumber penafsiran terdiri dari dua tahapan yakni: mengambil penafsiran bil Ma’tsur, kemudian baru menafsirkan dengan pemikiran, pendapat ataupun kutipan pendapat sebagai penjelas dari argumentasinya. Keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat saat itu mendorongnya untuk menulis tafsir ini sebagai solusi bagi permasalahannya dengan kebijakan pemerintah Mesir pada saat itu membuatnya menuliskan tafsir bernafaskan pergerakan. Dengan demikian tafsir Fi Zhilalil Qur’an bisa digolongkan kedalam tafsir al-Adabi Ijtima’i (sastra, budaya dan kemasyarakatan).
Etika Bertamu dalam Al-Qur’an (Analisis Penafsiran Ibnu Katsir Surat An-nur Ayat 27-29) Hasyim, Imam; ., Mahmudi
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 3 No. 2 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada surah An-Nur ayat 27-29 ini berbicara mengenai etika bertamu. Adapun hukum, petunjuk dan pelajaran yang dapat kita ambil di antaranya adalah: Disunahkan ketika bertamu untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.Haram hukumnya bagi seseorang memandang ke dalam rumah yang bukan rumahnya tanpa izin.Tidak diperbolehkan meminta izin lebih dari tiga kali. Dalam artian jika telah meminta izin sebanyak 3 kali namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah maka hendaklah pihak yang bertamu menunda keinginginannya.Jangan hanya mengatakan “saya” ketika ditanya oleh sipemilik rumah “siapa ini?” sebab hal tersebut dapat mengakibatkan kebingunan lantaran pemilik rumah tidak mengetahui secara pasti siapa yang bertamu.Sepantasnya bagi orang yang meminta izin tidak mengetuk pntu terlalu keras. Karena ini termasuk kurang mempunyai etika.Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR.Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad). Jika pemilik rumah menyuruh kembali, maka orang yang meminta izin harus kembali. Namun demikian bukan berarti pemilik rumah memiliki kebebasan untuk mengusir tamunya. Tetap harus menjaga perasaan yang bertamu. Tidak diperbolehkan memasuki rumah yang di dalamnya tidak ada seorang pun. Namun hal ini berbeda jika rumah atau tempat kediaman yang akan dimasuki sudah tidak ada penghuninya atau memang sudah tidak dihuni lagi. Sebagai tuan rumah haruslah memuliakan tamu. Dalam artian penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah SAW dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
Urgensi Zikir Perspektif Al-Qur’an (Analisis Tafsir Al-Misbah) Amalia, Roziana; ., Faizah
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 3 No. 2 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Zikir secara arti bahasa ialah mengingat atau menghafal, sehingga untuk mencapai mengingat atau menghafal maka diperlukan kata yang sering diucapkan secara di ulang-ulang. Akan tetapi zikir tidak hanya bermakna pada pengucapan melalui lisan mengenai kalimat-kalimat tauhid (Allah) saja, akan tetapi lebih mencakup pada tataran penghayatan yang dilakukan oleh hati. Kata zikir dalam berbagai bentuk ditemukan dalam al-Quran tidak kurang dari 280 kali. Zikir menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah: secara pengertian sempit adalah yang dilakukan dengan lidah saja. Zikir dengan lidah ini adalah menyebut-nyebut Allah atau apa yang berkaitan dengan-Nya. Sedangkan Zikir dalam pengertian luas adalah keadaan tentang kehadiran Allah dimana dan kapan saja serta kesadaran akan kebersamaan-Nya dengan makhluk.
Kepemimpinan Wanita dalam Surat An-Nisa’: 34 (Studi Komparatif Tafsir Ibnu Katsir & Tafsir Al-Mishbah) ., Syaoki; Arifin, Syamsul
JURNAL ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR NURUL ISLAM SUMENEP Vol. 3 No. 2 (2018): Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : STQINIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pandangan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Quranul Adzim mengenai kepemimpinan wanita, beliau sangat tegas melarang perempuan menjadi pemimpin dalam semua sektor, baik dalam ranah publik ataupun domestik. Hal ini didasarkan pada teks surat an-nisa’ ayat 34 dan dikuatkan dengan hadits riwayat Abu Bakrah yang menyatakan bahwa “Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita”. Sedangkan M. Quraish Shihab tidak menentang perempuan untuk menjadi pemimpin dalam ranah publik selama ia mempunyai kepampuan untuk memimpin dan tidak mengabaikan tugas pokoknya sebagai istri.

Page 1 of 1 | Total Record : 4