cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kesehatan Reproduksi
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 195 Documents
PENGARUH STATUS RAWATAN BAYI DI NICU TERHADAP RISIKO DEPRESI PASCASALIN Ema, Yasmina; Siswishanto, Rukmono Siswishanto; Widad, Shofwal
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.101 KB) | DOI: 10.22146/jkr.5749

Abstract

PENGARUH STATUS RAWATAN BAYI DI NICU TERHADAP RISIKO DEPRESI PASCASALINYasmina Ema1, Rukmono Siswishanto2, Shofwal Widad3ABSTRACT Background: Postnatal depression is a frequent complication after childbirth, approximately occurred 6.5 to 14.5% in postnatal women. Untreated postnatal depression can have adverse long-term effects. Episodes of depression can be chronic so it will affect the quality of life. Depression that occurs in the mother will affect behavioral, emotional, cognitive, and child interpersonal is in the future. Post partum women whose babies are takenb care in the NICU is believed to have the level of depression, level of anxiety, and trauma symptoms that were higher compared with the women who don’t. The occurrence of depression is associated with a variety of factors, including the adaptation with a sick baby, having a baby that isolated in the NICU, and the stress arising from the NICU environment itself.Objective: To observe the influence of the status of infants in the NICU treatment on the incidence of postnatal depression.Method: This study used a cross-sectional design. The subjects were post portum women days 14-21 who met the criteria. Subjects were divided into 2 groups, one group of mothers with babies in the NICU and one group of mothers with babies under wentrooming. This study used edinburgh post natal depression scale (EPDS). Statistical test used was chi-square and logistic in regression.Results and Discussion: The subjects who met the criteria were 144 women. A total of 19 women was suffered from postnatal depression (13.1%). Educational status of husband and infant admision to NICU giving significant differences on postnatal depression (p = 0.027 and p = 0.047). Infant care in the NICU increased postnatal depression 3.34 times compared rooming in group (CI 95% 1.12 to 9.99).Conclusion: The proportion of postnatal depression group of mothers with infants treated in the NICU were larger than the rooming in group. Keyword: postnatal depression, neonatal intensive care admission, EPDS ABSTRAK Latar Belakang: Depresi pascasalin merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul setelah persalinan, terjadi pada 6,5-14,5% dari wanita pascasalin. Depresi pascasalin yang tidak diobati dapat memiliki efek jangka panjang yang merugikan. Episode depresi ini bisa menjadi kronis sehingga akan mempengaruhi kualitas hidupnya. Depresi yang terjadi pada ibu akan mempengaruhi perilaku, emosi, kognitif, dan interpersonal anak di kemudian hari. Wanita pascasalin yang bayinya dirawat di NICU dipercaya mempunyai tingkat depresi, tingkat kecemasan, dan gejala trauma yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita pascasalin yang bayinya menjalani rawat gabung. Terjadinya depresi ini berhubungan dengan berbagai macam faktor, meliputi adaptasi dengan bayi yang sakit, memiliki bayi yang terisolasi di ruangan NICU, dan stress yang timbul karena lingkungan NICU itu sendiri.Tujuan: Mengetahui pengaruh status rawatan bayi di NICU terhadap kejadian depresi pascasalin.Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien pascasalin hari ke 14-21 yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek dibagi menjadi 2, kelompok ibu dengan bayi yang dirawat di NICU dan kelompok ibu dengan bayi rawat gabung. Penelitian ini menggunakan Edinburgh Post Natal Depression Scale (EPDS).Hasil dan Pembahasan: Subyek penelitian yang memenuhi kriteria berjumlah 144 orang. Sebanyak 19 ibu menderita depresi pascasalin (13,1%). Pendidikan suami dan status rawat bayi memberikan perbedaan secara bermakna terhadap depresi pascasalin (p= 0,027 dan p=0,047). Perawatan bayi di NICU meningkatkan risiko depresi pascasalin sebesar 3,34 kali dibanding perawatan bayi secara rawat gabung (CI 95% 1,12-9,99). Kesimpulan: Proporsi depresi pascasalin kelompok ibu dengan bayi dirawat di NICU lebih besar dibanding kelompok ibu dengan bayi rawat gabung.Kata kunci: depresi pascasalin, status rawat bayi NICU, skor EPDS. 1,2,3 Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
THE USE OF NEW INSERTER (R_INSERTER) FOR DELIVERING CuT-380A IUD DURING POSTPARTUM PERIOD PHASE II CLINICAL TRIAL Siswosudarmo, Risanto; Kurniawan, Kadek; Suwartono, Herdhana; Alkaff, Taufik Rahman; Anggraeni, Maria
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.78 KB) | DOI: 10.22146/jkr.5750

Abstract

THE USE OF NEW INSERTER (R_INSERTER) FOR DELIVERING CuT-380A IUD DURING POSTPARTUM PERIOD PHASE II CLINICAL TRIALRisanto Siswosudarmo1, Kadek Kurniawan2, Herdhana Suwartono3, Taufik Rahman Alkaff4, and Maria Anggraeni5ABSTRAKLatar Belakang: IUD adalah salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang efektif, tetapi penggunaan di Indonesia masih rendah. Karena inserter IUD yang biasa di pakai terlalu pendek untuk pemasangan segera pascasalin maka bentuk inserter baru (R_inseter) telah dikembangkan.Tujuan: Untuk mengetahui apakah R_inserter dapat digunakan dengan mudah sesuai standard pemasangan IUD dan untuk mengetahui keamanannya.Metode: Uji klinis fase II, post test observation.Bahan dan cara: IUD yang dipasang adalah TCu380A dengan modifikasi pada inserternya (R_inserter) buatan PT Kimia Farma. Penelitian ini dilakukan di 3 Rumah Sakit dan 3 Puskesmas yang merupakan afiliasi rumah sakit pendidikan Dr Sardjito dari bulan Januari 2012 sampai April 2013. Semua klien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian ini. Pemasangan dilakukan oleh Residen atau Bidan yang telah mendapatkan pelatihan. Follow up dilakukan setelah 1 minggu, 1, 3, 6, 9 dan 12 bulan pascapasang. Kemudahan, angka ekspulsi, infeksi, nyeri, perdarahan, dan angka kelangsungan merupakan hasil utama yang diobservasi. Hasil dan Pembahasan: Selama kurun waktu tersebut telah direkrut sebanyak 142 klien yang memenuhi kriteria kelayakan. Lama pemasangan rata-rata adalah 3,89 ± 2,08 menit dengan minimum 2 menit dan maksimum 10 menit. Tidak ada kesulitan yang dirasakan. Secara kumulatif kejadian dalam 1, 3, 6, 9 dan 12 bulan untuk ekspulsi masing-masing adalah 9,9%, 9,9%, 10,6%, 10,6% dan 10%. Angka ekspulsi jika IUD dipasang dalam 10 menit pertama setelah plasenta lahir adalah 6,2% dibanding 24,1% bila pemasangan dilakukan setelah 10 menit (RR 3,90; 95%CI 1,37-11,2). Kejadian seperti infeksi, nyeri dan perdarahan relatif kecil dan dapat diatasi. Angka kelangsungan selama 1, 3, 6, 9 dan 12 bulan berturut turut adalah 89,4%, 89,4%, 86,6% 86,6% dan 85,9%. Tidak dijumpai kehamilan pada penelitian ini.Kesimpulan: R_inserter dapat dipakai untuk memasang IUD CuT-380A dengan mudah dan aman. Angka kejadian ekspulsi tertinggi terjadi dalam satu bulan pertama pascapasang dan berhubungan dengan saat pemasangan.Kata kunci: R_inserter, IUD pascasalin, ekspulsi, infeksi, angka kelangsungan. ABSTRACT Background: IUD is one of the most effective and long acting contraception, but the rate of its use in Indonesia is still low. As conventional IUD inserter is too short to deliver it during immediate postpartum (postplacental) period, then the new inserter, R_inserter, is developped.Objective:To find out whether the R_inserter can be used easily to deliver CuT-380A IUD during postpartum period in a standard procedure and to find out its safety.Method: Phase II clinical trial, post-test observation.Materials and Method: The IUD’s used were the conventional CuT-380A with a modification on its inserter namely 9 cm longer, produced by PT Kimia Farma Indonesia. The study was carried out in three hospitals and three community health centers (Puskemas) which were the network of Sardjito teaching hospital, from January 2012 to April 2013. All eligible women needing IUD as their contraception were recruited. IUD insertion was carried out by trained obstetric and gynecology resident or midwives. Follow up was done after 1 week, then 1, 3, 6, 9 and 12months after insertion.The ease of insertion, rate of the following events namely expulsion, infection, pain, bleeding, and continuation were main outcomes of interest.Results and Discussion: During the study period, a total 142 participants were recruited. The mean duration of insertion was 3.89 ± 2.08 minutes (ranged 2 to 10 minutes). No subjective difficulties were perceived by the providers. The cumulative expulsion rate for 1, 3, 6, 9 and 12 months were 9.9%, 9.9%, 10.6%, 10.6% and 10.% consecutively. The rate of expulsion if the IUD was inserted during 10 minutes after placental delivery was 6.2% compared to 24.1% if it was inserted after 10 minutes (RR 3.90; 95% CI 1.37-11.2). Infection, pain, and bleeding were relatively small and could be appropriately managed. The continuation rate for 1, 3, 6, 9 and 12 months were 89.4%, 89.4%, 86.6%, 86.6% and 85.9% consecutively. No pregnancy was found during the study period.Conclussion: The R_inserter could be easily used to deliver a CuT-380A IUD. The rate of expulsion was highest during the first month of insertion and was related to the time of insertion.Keywords:  R_ inserter, postpartum IUD, expulsion, infection, continuation rate.1,2,3,4 Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada/ Sardjito Hospital Yogyakarta5 National Family Planning Board, Jakarta
HUBUNGAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG NAPZA SISWA SMU DI SURAKARTA Soetrisno, Soetrisno; Trimulya, Didon Muhammad; Riyanto, Slamet
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.809 KB) | DOI: 10.22146/jkr.5751

Abstract

HUBUNGAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG NAPZA SISWA SMU DI SURAKARTASoetrisno1, Didon Muhammad Trimulya2 , Slamet Riyanto3ABSTRACTBackground: Narcotics, psychotropic and other addictive substances misuse (drugs abuse) could effect various society segments, mostly young people age 15-24 years. The young generation is a strategic target for drug distribution including illegal trade in Surakarta. Necessary precautions should be taken as it could lead to addiction, could affect on survival, especially the young generation, including senior high school students. Policy to introduce adolescent reproductive health (ARH) education in particular with drugs abuse topic has been enacted in Surakarta since 2012, but had not covered the entire high school.Objective: Observing the correlation between adolescent reproductive health education with knowledge of NAPZA on high school students in Surakarta.Method: This study used an observational analytic with cross sectional design. A total of 120 students were taken by purposive random sampling. Total of 120 students were involved from second grade they consisted 60 students who had been given adolescent reproductive health education for one year (since first grade) and 60 students who had not. Students were given a questionnaire about NAPZA that has been tested for validity and reliability. Data analysis was then performed using chi-square.Results and Discussion: There is a significant correlation between adolescent reproductive health education with knowledge about types, characteristic of high risk youth, sign of addiction, category of drug users, as well as the dangers of drug prevention among high school students in Surakarta (p<0.05).Conclusion: There is a significant correlation between adolescent reproductive health education with knowledge of NAPZA on high school students in Surakarta.Keywords: Knowledge of NAPZA, Adolescent Reproductive Health Education, Youth of Surakarta. ABSTRAKLatar Belakang: Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain (NAPZA) dapat dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, terbanyak generasi muda 15–24 tahun. Generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA termasuk di Surakarta. Diperlukan kewaspadaan terhadap bahaya serta pengaruh NAPZA yang dapat menimbulkan ketagihan, dengan dampak terhadap kelangsungan hidup dengan pembinaan, khususnya generasi muda termasuk siswa Sekolah Menengah Umum (SMU). Kebijakan pembelajaran kesehatan reproduksi remaja (KRR) khususnya topik NAPZA telah diberlakukan di Surakarta sejak ajaran baru 2012 sampai sekarang, namun belum mencakup keseluruhan SMU.Tujuan: Mengamati hubungan pembelajaran KRR dengan pengetahuan NAPZA siswa SMU di Surakarta.Metode: Penelitian observasional analitik rancangan cross sectional. 120 subyek penelitian (siswa) diambil secara purposive random sampling. Sebanyak 60 subyek penelitian diambil dari siswa SMU kelas 2 yang sudah mendapatkan pembelajaran KRR selama satu tahun (sejak kelas 1) dan sebanyak 60 subyek penelitian siswa SMU yang belum mendapatkan pembelajaran. Subyek penelitian, baik yang sudah dan belum mendapatkan pembelajaran KRR diberikan kuesioner tentang NAPZA yang sudah diuji validitas dan reliabilitas. Kemudian dilakukan uji chi square.Hasil dan Pembahasan: Terdapat hubungan bermakna pembelajaran KRR dengan pengetahuan tentang jenis, ciri remaja beresiko pengguna, tanda kecanduan, golongan gangguan pengguna, bahaya serta penanggulangan NAPZA siswa SMU di Surakarta (p<0.05).Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna pembelajaran Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dengan pengetahuan tentang NAPZA siswa SMU di Surakarta.Kata Kunci: Pengetahuan NAPZA, KRR, siswa SMU 1,2 Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta telp:0271-665145/08166725643 Dinas Kesehatan Kota Surakarta
PERBANDINGAN SKOR DISMENOREA PADA PASIEN ENDOMETRIOSIS YANG MENDAPATKAN TERAPI ABLASI LAPAROSKOPI DILANJUTKAN GnRH AGONIST VERSUS ABLASI LAPAROSKOPI SAJA DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Isyana, Marta; Dasuki, Djaswadi; Rumekti, Diah
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.786 KB) | DOI: 10.22146/jkr.5752

Abstract

PERBANDINGAN SKOR DISMENOREA PADA PASIEN ENDOMETRIOSIS YANG MENDAPATKAN TERAPI ABLASI LAPAROSKOPI DILANJUTKAN GnRH AGONIST VERSUS ABLASI LAPAROSKOPI SAJA DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTAMarta Isyana 1 , Djaswadi Dasuki2, Diah Rumekti3ABSTRACTBackground: Dysmenorrhea in endometriosis is a condition that adversely impacts the quality of life of women. The current treatment for dysmenorrhea in endometriosis is essentially palliative, since most of these treatment can only suppress disease progression and relieve its symptoms.Objective: To compare the difference in dysmenorrhea scores pre and post treatment of dysmenorrhea in endometriosis patients who received laparoscopic ablation followed with GnRH agonist versus laparoscopic ablation therapy alone.Method: This is an observational study with a retrospective cohort design. Endometriosis patients were identified through medical records at Dr Sardjito Hospital, Yogyakarta. Patients were categorized into laparoscopic ablation therapy followed by GnRH agonist group and laparoscopic ablation therapy only group. Evaluation of dysmenorrhoea scores were performed in 6 months after therapy.Result and Discussion: A total of 88 subjects (44 subjects in each group) were eligible and gave their consent to participate. Patients who received laparoscopic ablation therapy followed by GnRH agonist showed greater VAS difference pre and post treatment (6,27±0,22 vs 4,20±1,17,p<0,001) compared with only ablation laparoscopic. This difference was not affected by age, BMI, and endometriosis stage. Eleven of the 44 subjects who received laparoscopic ablation followed by GnRH agonists developed side effects. There were 7 people with hot flushes, 3 people with decreased bone mineral density and 1 people with dry skin, whereas no subject in laparoscopic ablation group alone experienced them.Conclusions: Laparoscopic ablation followed by GnRH agonist therapy was associated with greather difference in dysmenorrhea score pre and post treatment compared with laparoscopic ablation only. Laparoscopic ablation therapy followed with a GnRH agonist was associated with higher side effects.Keywords: endometriosis, laparoscopic ablation, GnRH agonist, visual analog scaleABSTRAKLatar Belakang: Dismenorea pada endometriosis adalah suatu kondisi yang memberikan dampak bermakna pada mutu kehidupan wanita. Penanganan dismenorea pada endometriosis saat ini pada hakikatnya masih belum berhasil menyembuhkannya, karena sebagian besar baru mampu menekan perkembangan penyakit dan menghilangkan gejalanya.Tujuan: Membandingkan selisih skor dismenorea sebelum dan setelah terapi pada pasien endometriosis yang mendapatkan terapi ablasi laparoskopi dilanjutkan GnRH agonist versus ablasi laparoskopi saja.Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan rancangan penelitian kohort retrospektif. Pasien endometriosis diidentifikasi melalui rekam medis di RSUP DR Sardjito, Yogyakarta. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok terapi ablasi laparoskopi dilanjutkan dengan GnRH agonist dan terapi ablasi laparoskopi saja.Evaluasi untuk skor dismenorea dilakukan pada jangka waktu 6 bulan setelah terapi. Hasil dan Pembahasan: Sebanyak 88 subyek (44 subyek dalam setiap kelompok) memenuhi kriteria penelitian dan memberikan persetujuan untuk diikutsertakan dalam penelitian. Pasien yang mendapatkan terapi ablasi laparoskopi dilanjutkan GnRH agonist menunjukkan selisih VAS sebelum dan setelah terapi yang secara signifikan lebih baik (6,22±0,22 vs 4,20±1,17;p<0,001) dibandingkan dengan ablasi laparoskopi saja. Perbedaan ini tidak dipengaruhi oleh umur, BMI, maupun derajat endometriosis. Sebelas dari 44 subyek yang mendapatkan ablasi laparoskopi dilanjutkan GnRH agonist mengalami efek samping, yaitu 7 orang mengalami hot flushes, 3 orang mengalami penurunan densitas masa tulang dan 1 orang mengalami kulit kering, sedangkan tidak ada subyek dalam kelompok ablasi laparoskopi saja yang mengalami efek samping.Kesimpulan: Terapi ablasi laparoskopi yang dilanjutkan dengan GnRH agonist berhubungan dengan selisih skor dismenorea sebelum dan setelah terapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi ablasi laparoskopi saja. Terapi ablasi laparoskopi yang dilanjutkan dengan GnRH agonist berhubungan dengan tingkat efek samping yang lebih tinggi.Kata kunci: endometriosis, ablasi laparoskopi, GnRH agonist, visual analog scale 1,2,3 Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
PENGARUH CARA PERSALINAN TERHADAP INISIASI LAKTASI Ismiana, Anna; Taufiqurrahman, Irwan; Siswishanto, Rukmono
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 1, No 3 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (278.058 KB) | DOI: 10.22146/jkr.5753

Abstract

PENGARUH CARA PERSALINAN TERHADAP INISIASI LAKTASIAnna Ismiana 1, Irwan Taufiqurrahman2, Rukmono Siswishanto3ABSTRACT Background: Breastfeeding on the first day would prevent 16% of neonatal deaths and if early breastfeeding was given within the first 1 hour would prevent 22% neonatal of mortality per year.Objective: To determine the effect of mode of delivery on the initiation of breastfeeding.Method: The study was prospective cohort. The study was conducted by taking all cases of vaginal delivery and caesarean sections in the obstetric department of Dr. Sardjito, Banjarnegara Hospital, Wates Hospital, Wonosari Hospital and Magelang Hospital that met the criteria from January to May 2014. Maternal data were recorded from the medical records and the data of breast milk secretion within 24 hours after delivery were collected from paramedical personnel who had been trained before. The statistical test that is used was Chi-square.Results and Discussion: Subjects who met the inclusion criteria consisted of 162 women. Based on the mode of delivery, breastfeeding initiation on the first day after vaginal delivery were done in 73 women (90,1%), while in the cesarean delivery group, the initiation were done in only 34 women (42%). There were no significant relationship between age, education level, women occupation, and parity with the initiation of the first day of postnatal breastfeding. Statistically, BMI <25 kg/m2 had a significant association with 24 hours of postnatal breastfeeding initiation, but not clinically significant. There is a significant association between mode of delivery and the first day of postnatal lactation breastfeeding (OR=20,17;95% CI 7,47 to 54,43; p= 0,000).Conclusions: The proportion of the first day of breastfeeding initiation was larger in vaginal delivery group compared with cesarean delivery group.Keywords: mode of delivery, cesarean section, vaginal delivery, lactation initiation. ABSTRAKLatar Belakang: Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada hari pertama akan menyelamatkan 16% kematian neonatal dan jika menyusu dini dalam 1 jam pertama akan menyelamatkan 22% kematian balita pertahun dari kematian. Tujuan: Mengetahui pengaruh cara persalinan terhadap inisiasi laktasi.Metode: Studi kohort prospektif. Penelitian dilakukan dengan mengambil semua kasus persalinan vaginal dan seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito, RSUD Banjarnegara, RSUD Wates, RSUD Wonosari, dan RSUD Magelang yang memenuhi kriteria dari bulan Januari sampai dengan Mei 2014 sampai dengan sampel terpenuhi. Data maternal dicatat dari catatan medis, data penelitian didapat dari melakukan pemeriksaan keluarnya ASI dalam 24 jam pascasalin oleh petugas medis atau paramedis yang telah terlatih. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-square. Hasil dan Pembahasan: Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 162 orang. Berdasarkan karakteristik cara persalinan, kejadian inisiasi laktasi hari pertama pascasalin pada persalinan vaginal sebanyak 73 orang (90,1%), sedangkan pada persalinan secara seksio sesarea sebanyak 34 orang (42%). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan paritas dengan inisiasi laktasi hari pertama pascasalin. Secara statistik IMT <25 kg/m2 memiliki hubungan yang bermakna dengan inisiasi laktasi 24 jam pascasalin, namun tidak bermakna secara klinis. Terdapat hubungan yang bermakna antara cara persalinan dengan inisiasi laktasi hari pertama pascasalin (OR=20,17; 95%CI 7,47-54,43; p=0,000).Kesimpulan: Proporsi inisiasi laktasi hari pertama pascasalin pada kelompok persalinan vaginal lebih besar dibandingkan dengan kelompok persalinan seksio sesarea.Kata kunci: cara persalinan, seksio sesarea, persalinan vaginal, inisiasi laktasi 1,2,3 Bagian Obstetri dan Ginekologi, Facultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN BIDAN UNTUK SKRINING KANKER SERVIKS DENGAN METODE INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT (IVA) DI KALIMANTAN BARAT Mardiana, Mardiana; Dasuki, Djaswadi; Pradjatmo, Heru
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (197.687 KB) | DOI: 10.22146/jkr.6898

Abstract

Mardiana1, Djaswadi Dasuki2, Heru Pradjatmo2 ABSTRACT Background: Globally it is estimated that every two minutes a woman dies of cervical cancer and 500,000 women are diagnosed to have cervical cancer each year. In Indonesia, the incidence of cervical cancer is by 12.6 per 100,000 women with a mortality rate of 7 per 100,000. Screening method can reduce the incidence of cervical cancer if done cumulatively in 2012, the coverage of screening with a VIA method in Indonesia was 1.57%, whereas screening coverage with IVA in West Kalimantan Province was 1.06 %Objective: To assess midwives’ knowledge and skills of screening practices with a VIA method in health centers Method: This was an observational study with a cross-sectional study, using quantitative and qualitative approaches. The study was conducted in health centers in the province of West Kalimantan. This study was conducted in September to October 2014. The subjects of research were midwives who served in health centers doing a VIA examination in West Kalimantan who met inclusion and exclusion criteria. The total sample of this study was 42 taken with purposive sampling. The variables of this study were the dependent variable, ie, the practice of screening skills with a VIA method, the independent variable, ie, knowledge, and the extraneous variables, ie, age, education, and years of service. Analysis of the data included univariable, bivariable, multivariable, and qualitative. The quantitative data analysis used the chi-square and logistic regression with a significance level of p <0.05 and an OR value with confidence interval (CI) of 95%.Result & Discussion: The mean value of midwives’ knowledge was 26.0 from assessment scores of 0-30. A mean score of screening practice skills was 94.4 from 38-114. Of clinical assessment scores skill practice of competent midwives with good knowledge was higher than bad knowledge (OR= 6,98 CI 95% 1,21-40,33). After controlling education and years of service variables, good knowledge influenced screening clinical practice by 33%. Conclusion: Most of the midwives in West Kalimantan had good knowledge and skills to perform cervical cancer screening with a VIA method.Keywords: Knowledge, screening practice skills, VIA methods  ABSTRAKLatar Belakang: Di seluruh dunia diperkirakan setiap dua menit seorang wanita meninggal karena kanker servik dan sekitar 500.000 wanita di diagnosis kanker seviks setiap tahun. Di Indonesia insiden kanker serviks sebesar 12,6 per 100.000 perempuan dengan angka kematian sebesar 7 per 100.000. Metode skrining dapat menurunkan kejadian kanker serviks jika dilakukan secara kumulatif. Pada tahun 2012 cakupan skrining dengan metode IVA di Indonesia sebesar 1,57%, sedangkan cakupan skrining dengan metode IVA Propinsi Kalimantan Barat sebesar 1,06%.Tujuan: Menilai pengetahuan dan keterampilan praktek skrining bidan dengan metode IVA di puskesmas Metode: Jenis penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional study, menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan di puskesmas di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan bulan September sampai dengan Oktober 2014. Subjek penelitian bidan yang melayani pemeriksaan IVA di puskesmas di Provinsi Kalimantan Barat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Total sampel penelitian ini 42 sampel dengan pengambilan sampel purposive sampling. Variabel penelitian ini yaitu: variabel terikat adalah keterampilan praktek skrining metode IVA, variabel bebas: pengetahuan, dan variabel luar: usia, pendidikan, dan lama bekerja. Analisis data meliputi: univariabel, bivariabel, multivariabel, dan kualitatif. Untuk analisis data kuantitatif meng-gunakan metode chi square dan logistic regresi dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 dan nilai OR dengan Confidence Interval (CI) 95%.Hasil & Pembahasan: Nilai mean pengetahuan bidan sebesar 26,0 dari skor penilaian 0-30. Keterampilan praktik dengan nilai mean 94,4 dari skor 38-114. Keterampilan praktik klinik yang kompeten lebih tinggi pada bidan berpengetahuan baik daripada bidan berpengetahuan kurang (OR= 6,98 CI 95% 1,21-40,33). Pengetahuan baik setelah dikontrol variabel pendidikan dan lama bekerja berpengaruh terhadap keterampilan praktik skrining sebesar 33%.Kesimpulan: Sebagian besar bidan di Kalimantan Barat memiliki pengetahuan baik dan keterampilan yang kompeten untuk skrining kanker serviks dengan metode IVA. Kata Kunci: Pengetahuan, keterampilan praktek skrining, metode IVA 1 Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat2 Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada      Yogyakarta
PELAYANAN KESEHATAN PEDULI REMAJA MENURUT PERSPEKTIF REMAJA DI KOTA MAGELANG Rohmayanti, Rohmayanti; Rahman, Irwan Taufiqur; Nisman, Wenny Artanty
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.646 KB) | DOI: 10.22146/jkr.6900

Abstract

 Rohmayanti1, Irwan Taufiqur Rachman2, Wenny Artanty Nisman3 ABSTRACTBackground:Teenagers have greater risk for health problems, especially sexuality and reproduction problems. Government has already developed Adolescent Friendly Health Services (AFHS). This program has already run in primary health care to overcome teenager’s health problems. On the other hand, this program does not seem to accommodate some of teenager’s expectation. Therefore, we need to conduct a research for knowing what kind of health services are suitable with teenager’s perspective. Objective: This study was design to explore type of AFHS which were suitable in adolescent’s perspective. Method: In this qualitative study, phenomenology was used for the approach. This study was conducted from September-October 2014 in primary health care region of Magelang. The participants for this study were 10-19 years old teenagers and they had already received adolescent friendly health services. The participants had been chosen using purposive sampling. The data was collected using focus group discussion, observation and indepth interview. Colaizzi’s analysis had been used for data analysis manually.Result and Discussion: Adolescent’s perspective about AFHS consist of three theme. The first theme was adolescent perspective on existence of AFHS which was still various. The second theme was the perception of adolescents on the AFHS given in adolescents.The result was that not all six AFHS programs were given. The Third theme was adolescents hope for the result was AFHS health workers should be able to provide an explanation of the problems experienced by adolescents, be friendly, and the need to involve youth, teachers, parents and the community in AFHS services. Health Services that are conducted in teenagers, should be confidential,the service time was able to adjust school hours, use short massage, email for communication and information.Conclusion: adolescent’s have various expectations of the AFHS services in the future. Health services in accordance with the expectations of adolescents can be developed as a modified form of health care that can be implemented in AFHS primary health care.Keywords: Adolescent Friendly Health Services (AFHS), Adolescent.ABSTRAKLatar Belakang: Remaja sangat rentan terhadap berbagai ancaman risiko kesehatan terutama seksual dan reproduksi. Pemerintah telah mengadakan program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang dilaksanakan di puskesmas untuk mengatasi masalah kesehatan remaja. Program PKPR yang sudah berjalan, belum mengakomodir kepentingan remaja, sehingga perlu diketahui bagaimana pelayanan kesehatan peduli remaja yang sesuai dengan perspektif remaja.Tujuan: Mengetahui pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) menurut perspektif remaja.Metode:Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek penelitian adalah remaja usia 10-19 tahun yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan peduli remaja, dipilih secara purposive sampling. Pengumpulan data dengan cara FGD, observasi dan wawancara. Analisa data dilakukan secara manual, menggunakan tahapan analisa data menurut Colaizzi (1978). Penelitian dilakukan pada bulan September-Oktober 2014, di puskesmas wilayah Kota Magelang. Hasil dan Pembahasan: Perspektif remaja tentang PKPR terdiri atas tiga tema. Pertama, persepsi remaja tentang keberadaan PKPR masih sangat variatif. Kedua, persepsi remaja tentang program PKPR yang diberikan pada remaja, bahwa dari 6 program PKPR belum semua diberikan. Ketiga, harapan remaja terhadap PKPR ke depan bahwa petugas kesehatan harus mampu memberikan penjelasan tentang masalah yang dialami remaja, berlaku seperti sahabat, dan perlu melibatkan remaja, guru BP/UKS, orangtua serta masyarakat dalam pelayanan. Pelayanan dilakukan di tempat remaja berada, yang terjaga kerahasiaannya, waktu pelayanan menyesuaikan jam sekolah, perlu pemanfaatan sms, email untuk komunikasi dan informasi pada remaja. Kesimpulan: Remaja memiliki berbagai harapan terhadap PKPR di masa depan. Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan remaja dapat dikembangkan sebagai bentuk modifikasi pelayanan kesehatan peduli remaja yang dapat diterapkan di puskesmas. Kata Kunci: Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), remaja. 1  Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Magelang2 Bagian Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada         Yogyakarta3 Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta  
BIAYA PASIEN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL YANG MENJALANI SEKSIO SESAREA DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Rahmawan, Adi; Nurdiati, Detty Siti; Sofoewan, Sulchan
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.299 KB) | DOI: 10.22146/jkr.7115

Abstract

Adi Rahmawan1, Detty Siti Nurdiati2, Sulchan Sofoewan3 ABSTRACT Background: Ease of access and timeliness in reaching emergency obstetric care is necessary to save the mother and newborn. Delivery by emergency caesarean section aims to save the mother and newborn. The amount of cost from the emergency obstetric care particularly caesarean section, was significantly higher compared to childbirth without complications. The implementation JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) aims to overcome this programs. Government hospitals have a dilemma between the mission of serving the lower middle class society and the limited financial resources, as well as a variety of rules and bureaucracy. Casemix system on INA-CBG’s (Indonesian Case Base Groups) is grouping similar patient characteristics. Hospital will receive payments based on the average amount of cost by a group of diagnosis. Objective: Knowing the cost of the JKN patient who underwent cesarean section in Dr. Sardjito Hospital. Method: The study design is a descriptive. JKN patients undergoing Caesarean section in January-July 2014 at the Hospital Dr. Sardjito included in the study. Patients who moved to the VIP, VVIP, and suites classes are excluded. Patient cost data will be averaged and be detailed by characteristics. Result: A total of 136 patients underwent Caesarean section with JKN during January-July 2014. Average cost of patients underwent Caesarean section was 10,337,411 rupiahs. Patient with severe preeclampsia had average cost of 3,050,776 rupiahs higher than patients without severe preeclampsia. Patients with 4 disesases and complications had the difference in cost 16,995,952 rupiahs higher than patients without the disease. Patients with ICU care had higher average cost than non-admission to the ICU in the amount of 3,340,288 rupiahs. Difference in the higher average costs also occur on length of stay. Class treatment, duration stay in the delivery room, the induction or stimulation in the delivery room. History of cesarean section was not the leading cause of higher cost.Conclusion: The average cost of patients underwent Caesarean section was 10,337,411 rupiahs. Complications of the disease and the patient’s condition, severe preeclampsia, long hospitalization, ICU care, led to high costs in patients underwent Caesarean section.Keyword: seksio sesarea, cost, JKN, INA-CBG’ABSTRAKLatar belakang: Kemudahan akses dan ketepatan waktu dalam menjangkau pelayanan kegawadaruratan obstetri sangat diperlukan demi menyelamatkan ibu dan neonatal. Persalinan dengan seksio sesarea pada kedaruratan obstetrik bertujuan untuk menyelamatkan ibu dan neonatal. Biaya yang dihabiskan dari pelayanan kedaruratan obstetri operasi sesar, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan tanpa penyulit. Terselenggaranya program Jaminan Kesehehatan Nasional (JKN) mempunyai tujuan untuk mengatasi hal tersebut. Rumah sakit pemerintah menghadapi dilema antara misi melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dengan adanya keterbatasan sumber dana, serta berbagai aturan dan birokrasi yang harus dihadapi. Sistem casemix pada INA-CBG’s merupakan pengelompokan karakteristik pasien yang sejenis. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis.Tujuan: Mengetahui besarnya biaya pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalani operasi seksio sesarea di RSUP Dr. Sardjito Metode: Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah deskriptif. Pasien JKN yang menjalani seksio sesarea pada Januari-Juli 2014 di RSUP Dr. Sardjito diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien yang pindah perawatan ke kelas VIP, VVIP, dan suite di eksklusi. Data biaya pasien akan dirata-rata dan dirinci besarnya berdasarkan karakteristik Hasil & Pembahasan: Sebanyak 136 pasien JKN menjalani seksio sesarea selama Januari-Juli 2014. Rata-rata biaya pasien yang menjalani seksio sesarea adalah 10.337.411 rupiah. Pasien preeklamsia berat mempunyai ratas-rata biaya yang lebih tinggi 3.050.776 rupiah dibandingkan pasien tanpa preeklamsia berat. Pasien dengan 4 penyakit dan komplikasi mempunyai selisih biaya 16.995.952 rupiah lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa penyakit. Pasien dengan perawatan ICU mempunyai rata-rata biaya yang lebih tinggi dibanding yang tidak dirawat di ICU yaitu sebesar 3.340.288 rupiah. Selisih rata-rata biaya yang lebih tinggi juga terjadi pada lama rawat inap. Kelas perawatan, lama perawatan di kamar bersalin, tindakan induksi atau stimulasi di kamar bersalin, riwayat seksio sesarea saat ini tidak menyebabkan semakin tingginya biaya seksio sesarea.Kesimpulan: Rata-rata biaya pasien yang menjalani seksio sesarea adalah 10.337.411 rupiah. kondisi penyakit dan komplikasi pasien, preeklamsia berat, lama rawat inap, dan perawatan ICU menyebabkan tingginya biaya pada pasien yang menjalani seksio sesarea. Kata kunci: seksio sesarea, biaya, JKN, INA-CBG’s1,2,3 Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
GANGGUAN HASRAT SEKSUAL PADA WANITA PASCASALIN DAN HUBUNGANNYA DENGAN CARA PERSALINAN Irchami F, Yusnia; H, Irfan; H.P, Isanawidya; A.B, Avie; Patmini, Edi; Nugroho, Agung; Rahman, Muhammad Nurhadi
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.767 KB) | DOI: 10.22146/jkr.7117

Abstract

1Yusnia Irchami F, 1Irfan H, 1Isanawidya H.P, 1Avie A.B, 2Edi Patmini, 3Agung Nugroho, 2Muhammad Nurhadi Rahman ABSTRACTBackground: Sexual dysfunction in postpartum woman is closely related to the period of pregnancy and childbirth. One of the diagnostic criteria for sexual dysfunction is a sexual desire. Sexual desire disorder can be influenced by psychological factors and marriage relationship. However, there has been no consensus stating with certainty the effect of the method of delivery against sexual desire disorder in postpartum woman.Objective: To assess association between delivery method and sexual desire disorder among postpartum woman in RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.Method: A cross sectional study was conducted involving 53 subjects in spontaneous vaginal group and 49 subjects in sectio caesarea group. The Female Sexual Function Index (FSFI) questionnaire was administered to measure sexual desire disorder in 2-6 months postpartum woman. Data was analyzed using chi-square analysis. Result & Discussion: In spontaneous vaginal group, 62.3% of the subjects experienced sexual desire disorder while in sectio caesarea group showed 55.1% (p=0.463). Spontaneous vaginal delivery increases the risk of sexual desire disorder, but not significant statistically (Prevalence ratio 1.130 convidence interval (CI) 0.814 to 1.569).Conclusion: There was no significant relationship between the method of delivery and the prevalence of sexual desire disorder among postpartum woman in RSUD Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta.Keywords: Sexual desire disorders, spontaneous vaginal delivery, sectio caesarea delivery, postpartum womanABSTRAK Latar Belakang: Disfungsi seksual yang terjadi pada wanita pascasalin erat kaitannya dengan masa kehamilan dan persalinan. Salah satu kriteria diagnostik disfungsi seksual adalah hasrat seksual. Gangguan hasrat seksual dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis wanita dan hubungan pernikahan. Namun, belum terdapat konsensus yang menyatakan dengan pasti pengaruh metode persalinan terhadap gangguan hasrat seksual pada wanita pascasalin. Tujuan: Mengetahui hubungan antara metode persalinan terhadap prevalensi gangguan hasrat seksual pada wanita pascasalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang (cross sectional) dengan melibatkan 53 subjek pada kelompok persalinan vaginal dan 49 subjek pada kelompok sectio caesarea. Kuesioner Female Sexual Function Index (FSFI) digunakan untuk mengukur gangguan hasrat seksual pada subjek yang berada pada bulan ke 2-6 periode pascasalin. Data dianalisis dengan analis chi-square.Hasil & Pembahasan: Pada kelompok vaginal spontan, sebesar 62,3% subjek mengalami gangguan hasrat seksual sedangkan pada kelompok sectio caesarea didapatkan hasil sebesar 55,1% (p=0,463). Persalinan vaginal spontan meningkatkan risiko terjadinya gangguan hasrat seksual secara tidak bermakna (Rasio prevalensi 1,130 convidence interval (CI) 0,814-1,569). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara metode persalinan dengan prevalensi gangguan hasrat seksual pada wanita pascasalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.Kata kunci: Gangguan hasrat seksual, persalinan vaginal spontan, persalinan sectio caesarea, wanita pascasalin 1Mahasiswa S1 Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran UGM2Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran UGM / RSUP Dr. Sardjito3Bagian Kesehatan Ibu dan Anak, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas   Kedokteran UGM  
PERBANDINGAN ANTARA PEMBERIAN PROGESTERON VAGINAL DAN ALLYLESTRENOL ORAL PADA PENANGANAN ABORTUS IMINENS Dhani, Umar; Emilia, Ova; Siswosudarmo, Risanto
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (153.909 KB) | DOI: 10.22146/jkr.7120

Abstract

Umar Dhani1, Ova Emilia2, Risanto Siswosudarmo3 ABSTRACTBackground: Abortion is still the most common complication of pregnancy. Inadequate secretion of progesterone in early pregnancy has been associated with one of the cause of miscarriage. Progesterone supplementation has been used to prevent abortion but it is still debatable.Objective: To compare the success rate of vaginal progesterone vs oral allylestrenol in the treatment of threatened abortion and duration of maintaining pregnancy.Method: Randomized Clinical Trial. The study was conducted at four affiliated hospitals of Sardjito hospital Yogyakarta from November 2013 to May 2014. Subjects with the diagnosis threatened abortion meeting the following criteria were included: 8-16 weeks gestational age, hemoglobin content eH 10 g/dL, and live fetus. The following patients were excluded: there was a history of induced abortion, hormonal treatment, associated with IUD use, uterine anomaly and gynecology tumor. A total of 60 patients were recruited to obtain 0.6 times proportion difference and 80% power of study. Eligible subjects consisting of 30 and 29 were randomly allocated into vaginal progesterone and oral allylestrenol groups. Ability to maintain, duration of pregnancy and side effects were outcomes of interest. Chi-square, t-test, Fisher exact test and survival analysis were used for statistical analysis.Result & Discussion: Abortion rate in vaginal progesterone was 23.3% compared 37.9% with oral allylestrenol group (RR=0.61; 95% CI 0.27-1.36). Duration of maintaining pregnancy was 16.57 days vs 9.82 days in vaginal progesterone and oral allylestrenol respectively (mean difference 6.75 days; 95% CI 2.30-11.20). There was no difference in term of gestational age on the abortion rate (p>0.05). One case undergoing nausea was found in oral allylestrenol group.Conclusion: There was no difference between vaginal progesterone and oral allylestrenol in term of abortion rate. Vaginal progesterone could maintain pregnancy longer than oral allylestrenol.Keywords: Threatened abortion, Vaginal progesterone, Oral allylestrenol, Abortion rate, Side effect. ABSTRAKLatar Belakang: Abortus masih merupakan komplikasi kehamilan yang sering terjadi. Sekresi progesteron yang tidak memadai pada awal kehamilan telah dikaitkan dengan salah satu penyebab abortus. Suplementasi progesteron digunakan untuk mencegah keguguran spontan walaupun masih diperdebatkan.Tujuan: Membandingkan keberhasilan terapi progesteron vaginal vs. allylestrenol oral dalam hal kejadian abortus dan lama terjadinya abortus pada kasus abortus iminens.Metode: Randomized Clinical Trial. Penelitian dilakukan dibagian Obstetrika dan Ginekologi di RS Kabupaten yang merupakan afiliasi RS Sardjito dari bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014. Subyek yang memenuhi kriteria berikut ini: hamil 8-16 minggu, terdiagnosis abortus iminens, kadar hemoglobin > 10 g/dL, dan janin hidup. Pasien berikut ini tidak dimasukkan dalam penelitian: riwayat abortus provokatus, riwayat penggunaan terapi hormonal, abortus imminens karena kegagalan IUD, anomali uterus dan tumor ginekologis. Sebanyak 60 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan beda proporsi kejadian abortus sebesar 0,6 kali dengan kekuatan penelitian sebesar 80%. Subjek dibagi menjadi dua kelompok secara random yaitu kelompok yang mendapat progesteron vaginal dan allylestrenol oral masing-masing sebanyak 30 dan 29. Keberhasilan mempertahankan kehamilan, lama hari bertahan dan efek samping adalah hasil yang dinilai. Uji Chi-square, t-test, uji Fisher dan analisis survival adalah uji statistik yang dipakai.Hasil & Pembahasan: Kejadian abortus pada kelompok progesteron vaginal adalah 23,3% dibanding, 37,9% pada kelompok allylestrenol oral (RR=0,61; 95% CI 0,27-1,36). Lama bertahan pada kelompok progesteron vaginal rata-rata 16,57 hari dibanding rata-rata 9,82 hari pada kelompok allylestrenol oral (beda rata-rata 6,75 hari; 95% CI 2,30-11,20). Tidak ada perbedaan bermakna pengaruh umur kehamilan terhadap kejadian abortus pada kedua kelompok (p>0,05). Efek samping berupa perasaan mual hanya dijumpai pada kelompok allylestrenol oral.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kejadian abortus pada kedua kelompok meskipun kemampuan bertahan lebih lama pada kelompok progesteron vaginal.Kata Kunci: Abortus iminens, progesteron vaginal, allylestrenol oral, angka abortus, efek samping. 1,2,3 Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS SardjitoYogyakarta