Articles
310 Documents
HOW SHOULD SHARI’AH PRINCIPLES BE APPLIED IN MODERN COMPANY?
Susamto, Burhanuddin
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 4, No 1: Juni 2012
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v4i1.2156
The purpose of this study is to show why the modern business institution (company) should be Islamized, and to suggest ways in which shari’ah principles can be applied in the company. To achieve this purpose, we should understand how company be islamized in comprehensive and integrated  manner through the Islamic law perspective, with the contemporary issues like underlying contract of company, legal entity, and the concept of liability. The resolution of these issues is important to assert that shari’ah principles could be applied in the modern company by integrating approach. An integrating approach in the treating of these issues has, however, been lacking, nor has it been subjected to a thorough legal analysis through the principles of Islamic business law.  Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa institusi bisnis modern (perusahaan) harus diislamisasi, dan member masukan cara-cara bagimana prinsip- prinsip shari’ah dapat ditetapkan dalam perusahaan. Untuk mencapai tujuan ini, kita perlu memahami bagaimana perusahaan diislamisasi secara menyeluruh dan terintegrasi melalui perspektif hukum Islam terhadap persoalan kontemporer, seperti landasan kontrak perusahaan, badan hukum, dan konsep liabilitas. Solusi dari persoalan ini sangat penting untuk  menegaskan bahwa prinsip-prinsip shari’ah dapat ditetapkan pada perusahaan modern melalui pendekatan integrasi. Bagaimanapun, pendekatan integrasi dalam menyikapi persoalan ini jarang dilakukan, disamping tidak menjadi tema analisis melalui prinsip-prinsip hukum bisnis Islami. Â
URGENSI PENYUSUNAN MODEL BIMBINGAN KESEHATAN MENTAL (MENTAL HYGIENE) SELAMA MENUNGGU EKSEKUSI MATI
Wiwik Utami, Amir Hasan Ramli,
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 4, No 1: Juni 2012
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v4i1.2157
Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan urgensi penyusunan model pembimbingan kesehatan mental terpidana mati.  Penelitian ini merupakan penelitian hukum-empiris dengan pendekatan yuridis-psikologis. Berdasarkan hasil penelitian, materi dan metode pembimbingan kesehatan mental terpidana mati dilakukan berdasarkan interpretasi masing-masing petugas pemasyarakatan, sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.    Hal ini semata-mata dilakukan agar terpidana mati tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum di LAPAS/RUTAN, dan agar lebih siap dalam menghadapi eksekusi mati.  Pembimbing berasal dari dalam maupun luar LAPAS. Prosesnya diintegrasikan melalui kegiatan pembinaan bidang keagamaan dengan metode caramah secara massal dan konsultasi individual. Konseling individual merupakan langkah positif untuk membimbing terpidana mati sesuai dengan kebutuhannya. Sayangnya, pembimbingan tersebut belum didasarkan pada hasil pemeriksanaan psikologis, prosesnya juga belum menggunakan prinsip-prinsip konseling sehingga hasilnya belum optimal. Jika pedoman tersebut ada, petugas pemasyarakatan dapat menyusun langkah-langkah pembimbingan secara sah, efisien dan efektif dalam bimbingan dan konseling, sehingga terpidana mati siap dieksekusi.This research aims at describing the urgence of designing model of sentenced-death prisoner health mental supervision. This research is empiric-law research with psychological- juridical approaches. Based on research result, the supervision is conducted based on the interpretation of each officers as long as it does not violate the rule. The aim of this sort of supervision is that the sentenced-death prisoner does not violate the rule and prepare for the death sentence. Supervisors may come from inside or outside the prison. The process is integrated through religious supervision activity with massive sermon and individual consultation. Individual counceling is a positive step to supervise sentenced-death prisoners based on their needs. Unfortunately, the supervision has been based on psychological test, the process has not implement counceling principles that the result can be optimal. If the prison has the guidence, the officers can make legitimate, effective and effficient supervison steps in supervising and counceling in order the prisoners are ready to be executed.
دراسة ØÙˆÙ„ ØÙ…لة منظمة العÙÙˆ الدولية إللغاء تطبيقها عالميا وبينها ÙÙŠ العالم اإلسالمي
Hamdan, Ali
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 4, No 1: Juni 2012
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v4i1.2158
Islam memperhatikan dan memelihara lima hak dasar dalam syari’atnya. Yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pelanggaran terhadap lima hak dasar ini akan dianggap sebagai tindak pidana dan kriminal yang layak untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Sebagian Organisasi Ilmiah, Sosial, yayasan asing, dan lembaga non pemerintah (NGO), salah satunya Yayasan Amnesty International melihat, bahwa Hukum-hukum syara’ bertentangan dengan Hak Azazi Manusia serta menuntut membatalkan hukum pancung (Qishas). Sumber tuntutan yang mencurigakan ini hanya satu, yaitu intoleransi dan resistance terhadap islam yang disebabkan ketidak tahuan yang jelas terhadap hukum syara’, justifikasi dan realitasnya. اعتىن اإلسالم ØØ¨Ùظ الضروريات اخلمس اليت اتÙقت الشرائع اإلهلية على ØÙظها، وهي: ØÙظ الدين ÙˆØ§Ù„Ù†ÙØ³ والعقل واألنساب واملال، واعترب التعدي عليها جناية وجرمية تستØÙ‚ عقابا مناسبا. وترى بعض اجلهات العلميات واالجتماعيات واملؤسسات األجنبيات، واملنظمة غري اØÙ„كومي، Ø£ØØ¯Ù‡Ø§ منظمة العÙÙˆ الدولية، أن اØÙ„دود الشرعية تتناى٠مع ØÙ‚وق اإلنسان، وتطالب بإلغاء عقوبة اإلعدام. ومصدر هذه املطالبات املشبوهة شيء ÙˆØ§ØØ¯ وهو التعصب ضد اإلسالم ومقاومة االجتاه اإلسالمي، بسبب اجلهل البني باØÙ„كم الشرعي ومسوغاته ÙˆØÙ‚يقته. Â
MENGHINDARI KEKERASAN TERHADAP ANAK MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
Sugianto, Sugianto
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 4, No 1: Juni 2012
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v4i1.2159
Bentuk kekerasan sering dialami oleh seorang anak baik secara fisik maupun non fisik. Pasca pemberlakuan UU No. 23 tahun 2002 terntang perlindungan anak, pemerintah senantiasa dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari bahaya kekerasan. Bentuk perlindungan anak selain diwujudkan dalam bentuk pencegahan melalui pemberlakuan sanksi, juga diwujudkan dalam bentuk pembinaan yang perlu melibatkan berbagai pihak. Meskipun demikian, ternyata bentuk kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, sehingga anak yang seharusnya mendapatkan hak-haknya secara patut masih sering terabaikan. Apapun yang menjadi penyebab, tentu tidak lepas dari implementasi undang- undang yang belum terjalan secara baik. Â Violence is mostly experienced by a child physically and non-physically. After the implementation of regulation Number 23 year 2002 on children protection, government is demanded to give the protection for the children from the danger of violence. The form of protection can be a prevention through the implementation of sanction and education which invites the participation from all parties. However, violence is still experienced by children that their rights are still ignored mostly. That is due to the implementation of regulation Number 23 year 2002 has not run well.
PERLINDUNGAN HAK PATEN DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM DAN PERAN UMAT ISLAM DALAM BIDANG IPTEK
Hidayah, Khoirul
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 4, No 1: Juni 2012
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v4i1.2160
Hak Paten adalah bagian dari hak atas kekayaaan intelektual (HKI). HKI sebagai hak yang timbul dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Hak Paten merupakan bentuk reward yang diberikan terhadap seseorang dalam bentuk hak eksklusif. Jika ditinjau dari hukum Islam, keberadaan hak paten dibenarkan, namun tidak diperkenankan kalau hak paten yang sudah diperoleh hanya semata-mata untuk memperkaya diri sendiri. Minimnya jumlah paten negara Islam yang terdaftar di Dirjen HKI ataupun PCT menunjukkan betapa minimnya penelitian yang dilakukan oleh umat Islam. Padahal Al Qur’an telah banyak memberikan pesan agar manusia selalu berpikir menggunakan akalnya untuk menemukan segala. Sudah saatnya umat Islam harus bangkit di era globalisasi. Negara Islam harus mampu menunjukkan eksistensinya melalui riset dan teknologi, sehingga bisa mengungguli negara-negara Barat. Indonesia sebagai negara mayoritas Islam tentunya juga harus memulai eksistensinya dalam IPTEK yaitu dengan memulai melakukan penelitian-penelitian yang berbasis paten.  Paten is a part of Intelectual Property Rights (IPRs). HKI refers to product of human’s intellectual that is beneficial for human being.  Patent is a reward which is awarded to someone in exclusive form. In Islamic perspective, patent right is justified but it is forbidden to get patent merely for economic or financial interest. The inadequate number of muslim countries that are registered in HKI directorate general or PCT shows that only a few number of research conducted by muslims. In fact, Quran has sent its messages to human beings to use their brain in thinking to gather knowledge. This is the time for muslims to awake in this globalization era. Islamic states must be able to show their existences through research and technology in order they go beyond western countries. Indonesia as muslim majority country should start its existence in technology by conducting research which is patent-based. Â
MAQASID SHARI’AH SEBAGAI PENDEKATAN SISTEM DALAM HUKUM ISLAM
Nasrulloh, Nasrulloh
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 2: Desember 2010
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (358.793 KB)
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v2i2.2970
Fiqh is not God’s regulation that must be obeyed because it is faqih’s (the expert of fiqh) understanding on Qur’an and Sunnah. Therefore, this understanding product may be different one another since it has the possibility to be valid or invalid as human’s thinking. Jaseer offers Maqasid Shari’ah as a systematical approach in Islamic law to get valid fiqh product based on universal meaning of these two Islamic doctrine sources. In this writing, there are five concepts contributing by Jasser to formulate and to understand shariah to be fiqh product namely validating all-cognition, holism, openness and self-renewal, multi-dimensionality dan purposefulness. Fiqh bukanlah aturan Tuhan yang mesti harus ditaati, karena fiqh hanyalah hasil produk seorang faqih dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah, maka hasil produk satu faqih dengan yang lainnya pastilah berbeda, karena ia sekali lagi adalah hasil pemikiran manusia yang bisa mempunyai kemungkinan benar dan salah. Jaseer menawarkan Maqasid Shari’ah Sebagai Pendekatan Sistem Dalam Hukum Islam, guna mencapai produk fiqh yang benar-benar sesuai dengan makna universal yang dikandung oleh al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam tulisan ini, ada lima konsep yang disumbangkan oleh Jaseer untuk mengolah dan memahami Shari’ah sebelum ia menjadi produk fiqh, yaitu validating all-cognition, holism, openness and self-renewal, multidimensionality dan purposefulness.
RELEVANSI SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW DALAM PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN BAKU DI INDONESIA
Widodo, Ernu
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 2: Desember 2010
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (340.059 KB)
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v2i2.2971
Legislation and court decisions have limited the power of the freedom principle of contract enforcement. In the business world, it has been imposed the restrictions on the principle of freedom of contract through a standard agreement (standard contract). In the practice realm, this restriction do not preclude the parties to fulfill their legal interests through definite agreement. This kind of agreement has been growing to meet legal needs of society despite its substantial and procedural material has not fulfilled the principle of freedom of contract. This assessment system is to show the relevance of the Civil Law and Common Law in the development of standard contract arrangement. Peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan telah membatasi daya berlakunya asas kebebasan berkontrak. Di dalam dunia bisnis, telah diberlakukan pembatasan pula atas asas kebebasan berkontrak melalui perjanjian baku (standard contract). Di dalam prakteknya, pembatasan tersebut tidak menghalangi para pihak untuk memenuhi kepentingan hukumnya melalui perjanjian baku. Perjanjian baku semakin berkembang dalam memenuhi kebutuhan hukum masyarakat meskipun perjanjian baku baik secara substansiil maupun prosedural belum memenuhi sepenuhnya berlakunya asas kebebasan berkontrak. Pengkajian ini hendak menunjukkan relevansi sistem Civil Law dan Common Law dalam pengembangan pengaturan perjanjian baku.
OTORITARIANISME ULAMA (Analisis atas MUI dengan Pemikiran Khaled Abou El Fadhl)
Purnomo, Agus
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 2: Desember 2010
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (294.609 KB)
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v2i2.2972
Since its emergence in 70st MUI has been signaled by some parties as a an institution which is intendedly bias and political-based interest although its founded for solving socio-religious problems. It can be seen from its fluctuative movement. There is a radicalization symptom within the body of this institution after the affiliation of DDII exponents into its organizational structure in 90st. the phenomenon has been strengthen by the affliation of some radical oraganization into Moslem Forum. Besides, its fatwas tend to ignore the plurality of school of thoughts. In this context, using Khaled Abou ElFadhl’ theory, MUI is authoritarian because it does not give chance to other arguments particularly in pluralism legal status and Ahmadiayah sect cases. Sejak kelahirannya di tahun 70-an, MUI disinyalir oleh beberapa pihak sebagai institusi yang cenderung bias dan sarat dengan kepentingan politik meski tujuan awal pendiriannya adalah memberikan solusi atas persoalan sosial-keagamaan. Hal ini terbukti dalam dinamika perjalanan intitusi ulama tersebut yang demikian fluktuatif. Di antaranya dapat dilihat gejala adanya radikalisasi di tubuh MUI ini setelah banyaknya eksponen DDII yang masuk dalam struktur kepengurusan pada tahun 90-an. Hal tersebut semakin kuat pada tahun 1998-an sejak bergabungnya sejumlah organisasi Islam radikal dalam wadah Forum Umat Islam (FUI). Di samping itu, juga dapat dilihat pada fatwa-fatwanya yang cenderung kurang mempertimbangkan pluralitas madzhab dan pemikiran. Dalam konteks inilah, tampaknya jika dilihat dengan teori yang digagas Khaled Abou ElFadhl, bahwa MUI dinilai otoriter karena tidak memberi peluang kepada pendapat lain, seperti dalam kasus pengharaman pluralisme dan sesatnya aliran Ahmadiyah.
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945: SEBUAH KENISCAYAAN
Darnela, Lindra
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 2: Desember 2010
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (287.452 KB)
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v2i2.2973
The 1945 Constitution of Indonesian Republic (UUD 1945) has been a set of sacred norm and national administration reference for four decades. However, since the reform era Indonesian people are now able to review, discuss, and criticize its content consistent with recent national progress. Amendment of the 1945 Constitution becomes a new momentum to improve the state’s management, which has apparently deviated from the country’s foremost objectives written in the national philosophy of “Pancasilaâ€. In response to the amendment, there are three diverse perspectives that highlight its process. First, there are people who wish to keep the ori ginality of the 1945 Constitution. Second, there are individuals who agree with the last amendment of the 1945 Constitution. Lastly, there is a public view which supports the continuous amendment process of the 1945 Constitution until it achieves the supreme mandate of the country and the people. This paper will focus on the third perspective as the main issue of discussion. UUD 1945 telah menjadi norma yang sakral dan referensi administrasi nasional selama empat dekade ini.Akan tetapi, sejak era reformasi masayarakat Indonesia mampu mereview, endiskusikan dan mengkritik isi dari UUD 1945 seiring dengan keajuan bangsa saat ini. Perubahan UUD 1945 menjadi momentum untuk meningkatkan manajemen Negara yang nampaknya menyimpang dari tujuan Negara pada awalnya yang tercantum dalam pancasila. Dalam menyikapi perubahan UUD 1945 tersebut, ada tiga pendapat yang berbeda yang menggarisbawahi proses tersebut. Yang pertama, sebagian masyarakat menginginkan keaslian dari UUD 1945. Yang kedua, sebagian masayarakat menginginkan perubahan terkhir dari UUD 1945. Yang terakhir, ada pendapat publik yang mendukung keberlanjutan dari proses perubahan UUD 1945 hingga mencapai mandat tertinggi dari Negara dan rakyat. Tulisan ini secara fokus akan mendiskusikan isu dari pendapat yang terakhir dari amandemen UUD 1945
PEREMPUAN PERSPEKTIF TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER
Anam, Khoirul
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 2: Desember 2010
Publisher : Fakultas Syariah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (298.026 KB)
|
DOI: 10.18860/j-fsh.v2i2.2974
Al-Qur’an is a written text of God which is revealed to dignify human from all kinds of subordination and violence. Working is an obligation for human regarless women to fulfill their primary need. This research describes and analizes women’s position in relation with annisa verse by classic and contemporer interpretation. er by Ath-Thabari represented classic interpretation with his atomistic method, Abduh and Mahmud Syaltut represented modern interpretation by thematic method, while Fazlurrahman and al-Faruqi represented neo-modern interpretation with holistic, thematic, and histories methods. The result reveals that clasic interpretation argued women are not the same with men, modern interpretation assumed that women mostly the same with men, while neo-modern interpretation assumed that women and men are the same and equal. Al-Qur’an adalah kalamullah yang berbentuk teks, diturunkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dari segala bentuk penindasan dan kedhaliman. Usaha dan bekerja merupakan kewajiban manusia, tak terkecuali kaum perempuan dalam rangka memenuhi hajat hidupnya. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui posisi kaum perempuan dalam pemikiran tafsir klasik dan kontemporer. Ath-Thabari mewakili tafsir klasik dengan metode Atomistik, Abduh dan Mahmud Syaltut mewakili tafsir modern dengan metode tematik, sedangkan Fazlurrahman dan Al-Faruqi mewakili tafsir neo modern dengan metode holistik, tematik, historis. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa, tafsir klasik memandang perempuan tidak sama dengan laki-laki, tafsir modern memandang perempan hampir sama dengan laki-laki dan tafsir neo modern memandang kedudukan perempuan sama dan sejajar dengan laki-laki