cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Analisis Kebijakan Pertanian
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Arjuna Subject : -
Articles 269 Documents
Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah di Indonesia Dewa K.S. Swastika; J. Wargiono; Soejitno Soejitno; A. Hasanuddin
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 1 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v5n1.2007.36-52

Abstract

Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen dari pendudukIndonesia. Sejak awal kemerdekaanIndonesiatelah berusaha keras untuk meningkatkan produksi padi. Namun demikian, selama lebih dari tiga dekadeIndonesiabelum mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, sehingga masih tergantung pada impor. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi melandai. Ke depan, harus ada terobosan dalam meningkatkan produksi padi, meskipun konversi lahan terus berlangsung. Studi ini mencoba mengkaji kinerja pemanfaatan lahan sawah, kontribusi dan prospeknya dalam peningkatan produksi padi nasional. Hasil studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi. Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84 juta ha, dengan rataan indeks pertanaman 1,61. Angka ini menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui peningkatan indeks pertanaman. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa peningkatan indeks pertanaman merupakan kebijakan strategis sebagai kompensasi dari konversi lahan. Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul disertai dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT).  Penerapan kebijakan ini harus didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju. 
Kebijakan Pengembangan Pertanian Kota Berkelanjutan: Studi Kasus di DKI Jakarta Sostenis Sampeliling; Santun R.P. Sitorus; Siti Nurisyah; Bambang Pramudya
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 3 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n3.2012.257-267

Abstract

Revitalisasi sektor pertanian pada dasarnya adalah menempatkan kembali arti pentingnya pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di perdesaan maupun perkotaan. Melihat kondisi pertanian di daerah perkotaan, khususnya DKI Jakarta, dan hubungannya dengan berbagai masalah lingkungan, perlu dirancang dan dirumuskan kebijakan yang komprehensif untuk pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberlanjutan dan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan. Metode analisis yang digunakan adalah MDS (multi-dimensional scaling) dan teknik Rap-Ur-Agri (Rapid Appraisal for Urban Agriculture). Analisis faktor kunci menggunakan leverage factor yang diikuti dengan penentuan indeks keberkelanjutan dan skenario kebijakan pengembangan pertanian dengan menggunakan metode analisis prospektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan pada kondisi existing menunjukkan nilai indeks 48,70 persen atau kurang berkelanjutan. Faktor kunci keberlanjutan pertanian perkotaan mencakup empat aspek dan kebutuhan stakeholder mencakup empat aspek pengembangan sistem pertanian perkotaan. Kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta perlu dilakukan dengan pendekatan integratif dengan mempertimbangkan enam faktor kunci penentu keberlanjutan: (1) Luas pekarangan, (2) Pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan, (3) Penyuluhan dan kelembagaan pertanian, (4) Perluasan lahan/ruang usaha tani, (5) Kerjasama antar stakeholder, dan (6) Pemberian insentif pertanian. Opsi kebijakan adalah perluasan lahan/ruang usaha tani, pengembangan komoditas dan teknologi ramah lingkungan dan pengembangan kelembagaan pertanian.
Sistem Distribusi Berbasis Relationship: Kajian Penyempurnaan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Kepada Petani Spudnik Sudjono
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 4 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v9n4.2011.313-330

Abstract

Kebijakan subsidi pupuk masih merupakan kebutuhan pada tingkat petani untuk menopang produktivitas dan perbaikan kesejahteraan petani, sekaligus mempertahankan stabilitas ketahanan pangan nasional. Sistem penyaluran pupuk bersubsidi telah beberapa kali mengalami perbaikan, antara lain dengan uji coba sistem Kartu Kendali dan uji coba Sistem Subsidi Pupuk Langsung ke Petani. Untuk mengembangkan penyaluran pupuk bersubsidi di masa mendatang, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah sistem distribusi pupuk bersubsidi berbasis relationship marketing. Pendekatan ini menyarankan pembinaan hubungan jangka-panjang antara produsen dan distributor, dengan mengedepankan mata rantai distribusi dan hubungan interpersonal pada setiap titik distribusi pupuk bersubsidi.
Analysis of Biosecurity Control Measure Policy Implementation on Highly Pathogenic Avian Influenza in Jakarta Muhammad Iqbal; Rozany Nurmanaf; Adang Agustian
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 1 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v7n1.2009.65-86

Abstract

Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) was first detected inJakartain 2003 in which since that time, the virus has become pandemic in the area and has resulted in poultry and human deaths. Based on these facts, the provincial government ofJakartahas launched two policies on biosecurity control measure, namely Governor Legislation No. 15/2007 and Provincial Government Legislation No. 4/2007 in order to control raising poultry and its distribution in this area. It was implemented through field inspection towards free-range poultry, depopulation, stamping out, and poultry certification as well as planned poultry collection point and slaughter facility relocations. Nevertheless, certain reactions occurred which particularly derived from poultry business actors. Incomprehensive campaign and lack of community socioeconomic consideration were among the issues perceived as detrimental about the adopted policy. It therefore seems necessary to carry out participatory approach towards rearrangement concept to arrive at a comprehensive and holistic biosecurity control measure policy feedback.
Membangun Kemandirian Pangan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional Delima Hasri Azahari
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 2 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v6n2.2008.174-195

Abstract

Pangan merupakan Hak Azasi Manusia, pangan juga menentukan kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa dan pangan merupakan pilar ketahanan nasional. Ketahanan pangan merupakan pilar pembangunan sektor lainnya. Ketergantungan pangan dari impor dan ketidakmampuan suatu bangsa mencapai kemandirian pangan akan menyebabkan ketahanan nasional akan terganggu. Beberapa tahun terakhir terjadi kelangkaan pangan di pasar dunia yang ditunjukkan dengan adanya kenaikan harga pangan yang dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi, menurunnya produksi pangan beberapa negara penghasil pangan, konversi pangan menjadi energi dan meningkatnya permintaan pangan dari negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi dan dengan populasi yang besar. Situasi pasar pangan dunia mempengaruhi pasar pangan domestik yang ditandai dengan adanya kenaikan harga pangan di pasar domestik dan kelangkaan komoditas pangan yang tingkat penyediaannya berasal dari impor masih tinggi, seperti kedelai dan jagung. Secara umum, Indonesia masih merupakan negara importir pangan. Upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan keragaman pangan yang bersumber dari dalam negeri belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Tingkat konsumsi beras masih tinggi dan diversifikasi pangan menggunakan bahan baku tepung terigu memperbesar posisi impor pangan Indonesia. Upaya peningkatan produksi pangan masih menghadapi masalah internal seperti konversi lahan, penyediaan input pertanian terutama benih dan pupuk, serta keterbatasan infrastruktur untuk kelancaran distribusi. Peningkatan produksi pangan juga masih tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar dan modal yang pada umumnya dikuasai oleh negara maju. Sementara negara berkembang seperti Indonesia hanya dijadikan pasar yang akan terus bergantung pada negara maju. Untuk mencapai kemandirian pangan, pemerintah harus mengambil langkah keberpihakan dan kebijakan yang kondusif serta intervensi melalui optimalisasi peran Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara yang melakukan fungsi operasi pasar, penyanggaan stok, distribusi, impor dan ekspor.
Urgensi Pembentukan Bank Pertanian Indonesia Lukman Adam
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n2.2012.103-117

Abstract

Di banyak negara, alokasi kredit untuk sektor pertanian dilakukan melaluilembaga perbankan khusus. Tujuan dari tulisan ini adalah menganalisis keberhasilan Bank Pertanian di negara lain, melakukan telaah terhadap peraturan mengenai perbankan, dan menganalisis kinerja perbankan nasional dalam perspektif pembentukan Bank Pertanian Indonesia. Tujuan dari pembentukan bank pertanian di beberapa negara adalah untuk pengembangan sektor pertanian, mengkoordinasikan dan mengawasi pemberian kredituntuk kegiatan pertanian, dan menyediakan pinjaman dan fasilitas kredit. Peraturan perundang-undangan mengenai perbankan yang ada di Indonesia perlu disinergikan dengan tujuan pembentukan Bank Pertanian Indonesia. Bank Pertanian Indonesia dibentuk tidak dengan mendirikan bank baru, tetapi menetapkan Bank BRI sebagai Bank Pertanian Indonesia. Pemerintah, Bank Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan kewenangan masing-masing harus berupaya merealisasikan pembentukan Bank Pertanian Indonesia. Program-program pemerintah terkait dengan pembiayaan sektor pertanian disalurkan melalui Bank Pertanian Indonesia.
Kebijakan Pengembangan Budi Daya Kedelai Menuju Swasembada melalui Partisipasi Petani Amar K. Zakaria
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 3 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v8n3.2010.259-272

Abstract

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang strategis di Indonesia. Dengan kedudukan kedelai sebagai komoditas palawija yang kaya akan kandungan protein nabati yang dalam pemanfaatannya memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai bahan baku industri makanan (tempe, tahu, tauco dan susu kedelai) dan bahan baku industri pakan ternak. Berdasar kondisi tersebut, kebutuhan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun namun produksi kedelai domestik tidak dapat mengimbanginya, sehingga untuk mencukupinya harus impor. Produksi kedelai dalam negeri terus menurun secara tajam sejalan dengan penurunan areal tanam. Menurunnya areal tanam kedelai sebagai akibat rendahnya partisipasi petani dalam menanam kedelai, karena budidaya kedelai yang diusahakan tidak memberi keuntungan yang layak kepada petani. Hal tersebut, karena terbatasnya ketersediaan teknologi dan rendahnya adopsi teknologi di tingkat petani serta rendahnya tingkat harga yang diterima, sehingga menurunnya nilai tukar petani. Program kebijakan insentif dengan kegiatan penguatan kelembagaan dan pembiayaan yang dilaksanakan melalui penggalangan partisipasi petani dalam wadah kelompok tani yang disertai pembinaan melalui sekolah lapang merupakan strategi untuk meningkatkan produksi serta mengurangi impor kedelai dan menuju swasembada kedelai. Penerapan teknologi budidaya perlu didukung dengan memperkuat kebijakan pemerintah dalam agribisnis kedelai, seperti penyediaan benih unggul bermutu dan pupuk bersubsidi, pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), manajemen pasca panen, penetapan harga dasar, kegiatan penyuluhan melalui kelompok tani serta kemudahan teknologi dan rangsangan insentif lainnya bagi petani. Dengan kondisi, tersebut dapat memperkuat tingkat partisipasi dan minat petani untuk memproduksi kedelai dengan penerapan teknologi yang disediakan, khususnya pengembangan program SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) yang berkesinambungan di tingkat usahatani.
Achieving Economic Benefits Through Agricultural Trade Reforms in Indonesia Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 1 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v6n1.2008.56-74

Abstract

The Indonesian economy has achieved a remarkable transformation from an agricultural economy to a modern economy that is estimated to grow at a high rate of 6 per cent. Sustaining it requires the continual adoption of economic reforms. Part of it requires the adoption of freer trade practices in sectors of the economy where resources are retained due to large government assistance. This paper aims to examine the economy-wide effects of a bilateral agricultural trade liberalization program between Australia and Indonesia.  The analytical framework adopted in this paper is a global general equilibrium model known as GTAP (Global Trade Analysis Project). Increasing the agricultural trade between Australia and Indonesia will lead to benefits arising from higher incomes and resource allocation efficiency. In this study, the removal of tariffs on agricultural imports in Indonesia resulted in efficiency gains of US$ 1.67 – 3.35 million and GDP increase by   US$ 3.55 – 7.08 million.   This shows that freer trade practices contribute to the economic growth process in Indonesia.
Analisis Keunggulan Komparatif Beras Indonesia Delima H. Azahari; Kusno Hadiutomo
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 1 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v11n1.2013.61-73

Abstract

Komoditas beras menjadi sumber pangan utama bagi 95 persen penduduk di Indonesia. Produksi padi tahun 2013 diperkirakan sebesar 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG) setara dengan 42,52 juta ton beras atau naik 0,26 persen dibanding produksi padi 2012 yang tercatat 69,1 juta ton GKG. Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2014 mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan yang melaju dengan cepat yakni sebesar 1,27 persen per tahun pada periode tahun 2005-2010. Konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia mempunyai kecenderungan mengalami penurunan yakni dari 139 kg/kapita/tahun pada tahun 1993 menjadi 113 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Total konsumsi beras nasional mencapai 34,75 juta ton. Dengan demikian, seharusnya Indonesia sudah swasembada beras. Di masa depan, kalkulasi Indonesia akan kekurangan beras jauh lebih realistis ketimbang surplus beras, oleh karena itu kebijakan peningkatan ekonomi dan daya saing beras perlu diarahkan ke dalam bentuk kebijakan operasional baik dari sisi produksi maupun permintaan dalam upaya mencapai target swasembada beras berkelanjutan dan surplus beras nasional sebesar 10 juta ton pada tahun 2014. Dari hasil analisis keunggulan komparatif ini menunjukkan bahwa nilai Indeks Spesialisasi Pemasaran (ISP) beras baik segar maupun olahan mempunyai nilai negatif pada kisaran antara -1,0 hingga -0,71 yang berarti bahwa beras Indonesia mempunyai daya saing yang sangat rendah dan terus mengalami penurunan daya saing dari tahun ke tahun. Berdasarkan nilai Import Depedency Ratio (IDR) beras mempunyai nilai 0,80 - 1,02 persen, ini berarti supply beras Indonesia masih tergantung pada beras impor walaupun dalam kuantitas yang kecil, terutama pada jenis beras segar. Nilai Self-Sufficiency Ratio (SSR) beras Indonesia dari tahun 2008 – 2012 lebih dari 90 persen, yang berarti bahwa hampir sebagian besar kebutuhan beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Hasil perhitungan nilai Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) menunjukkan bahwa beras Indonesia tidak mempunyai daya saing di pasar dunia. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RSCA yang negatif yaitu sekitar -0,96hingga -0,99 persen pada tahun 2008-2012.
Analisis Dampak ACFTA dan Kebijakan Perdagangan Kakao di Pasar Domestik dan China Adrian Darmawan Lubis; Sri Nuryanti
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 2 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v9n2.2011.143-156

Abstract

Indonesia dan Malaysia bersama dengan negara ASEAN lainnya telah melakukan liberalisasi perdagangan melalui perjanjian ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Liberalisasi tersebut dimulai dengan pelaksanaan Early Harvest Program (EHP) pada tahun 2005. Dengan menggunakan analisis daya saing Revealed Symetric Comparative Advantage (RSCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), dan analisis regresi berganda diketahui bahwa daya saing biji kakao Indonesia di pasar China terhadap Malaysia ternyata tidak meningkat sejak pelaksanaan ACFTA. Daya saing ekspor biji kakao Indonesia di pasar China telah memasuki tahap kematangan. Malaysia telah menghentikan ekspor biji kakao ke China dan menggeser ke produk setengah jadi. Indonesia tidak meraih keuntungan dalam perdagangan bebas ACFTA hanya dengan mengekspor produk primer seperti biji kakao ke China. Oleh karena itu, Indonesia harus mengekspor produk kakao seperti kakao bubuk, kakao pasta dan lemak kakao untuk memperoleh nilai tambah dan memperbaiki daya saing kakao di pasar China maupun internasional.

Filter by Year

2003 2021


Filter By Issues
All Issue Vol 19, No 2 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Desember 2021 Vol 19, No 1 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Juni 2021 Vol 18, No 2 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 18, No 1 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 2 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 1 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 2 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 1 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 2 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 2 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 1 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 2 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 1 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 4 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 3 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 1 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 4 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 3 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 2 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 1 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 4 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 3 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 2 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 1 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 4 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 3 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 2 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 1 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 4 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 3 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 2 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 1 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 4 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 3 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 2 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 1 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 4 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 3 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 2 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 1 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 4 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 3 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 2 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 1 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 4 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 3 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 2 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 1 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 4 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 3 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 2 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 1 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian More Issue