cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Analisis Kebijakan Pertanian
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Arjuna Subject : -
Articles 269 Documents
ICOR Sektor Pertanian sebagai Basis Arah Investasi dalam Pembangunan Pertanian berbasis Kabupaten/Kota di Indonesia Adi Setiyanto
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v13n1.2015.75-108

Abstract

EnglishIncremental Capital Output Ratio (ICOR) is useful to estimate required investment according to targeted economic growth rate. This study aims to estimate ICOR of agriculture sector by regency/municipality in Indonesia. Secondary data used in this study come from institutions at the central, pr ovincial, and regency/municipality levels from 2008 to 2012. The ICORs range from 2.65 to 4. 97 with average food crop, horticulture, estate crop, and livestock subsectors are each of 3.22, 3.40, 3.20 and 3.23. Total regencies/municipalities classified as h igh and medium are 73.24 percent in food crop subsector, 81.09 percent in horticulture subsector, 80.89 percent in estate crop subsector, 81.49 percent in livestock subsector, and 70.63 percent for agricultural subsector. Implications of this study are: (i ) central and regional governments need to collaborate in order to determine focused investment and to improve regional investment; (ii) it is necessary to estimate investment by subsector in all regencies/municipalities based on each targeted economic gro wth rate; and (iii) related first echelons in the Ministry of Agriculture along with regency/municipality governments could collaborate to determine focused subsector to achieve targeted growth rates. IndonesiaIncremental Capital Output Ratio (ICOR) dapat digunakan untuk menghitung besaran target kebutuhan investasi yang diperlukan berdasarkan target pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai. Kajian ini bertujuan untuk memperkirakan nilai ICOR sektor pertanian menurut kabupaten/kota seluruh Indonesia dan menghitung jumlah kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi efisiensi tinggi, sedang, dan rendah dari nilai ICOR yang dimiliki. Kajian menggunakan data sekunder tahun 2008–2012 yang bersumber dari lembaga-lembaga terkait baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Hasil analisis menunjukkan kisaran nilai ICOR pada masing-masing kabupaten/kota adalah antara 2,65 hingga 4,97 dengan rata-rata nilai ICOR subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan serta sektor pertanian secara berurutan adalah 3,22, 3,40, 3,20, dan 3,23. Jumlah kabupaten/kota yang berada pada kategori efisiensi relatif tinggi dan sedang mencapai 73,24 persen pada subsektor tanaman pangan, 81,09 persen pada subsektor hortikultura, 80,89 persen pada perkebunan, 81,49 persen pada subsektor peternakan, dan 70,63 persen untuk sektor pertanian. Hasil analisis ini berimplikasi di antaranya pada: (1) pemerintah pusat bersama pemerintah daerah berkoordinasi kebijakan untuk memberikan fokus investasi pada subsektor atau sektor pertanian dalam rangka meningkatkan investasi di daerah baik yang bersumber dari investasi pemerintah, swasta maupun masyarakat; (2) perlu dilakukan perhitungan kebutuhan investasi menurut subsektor dan masing-masing pelaku investasi pada seluruh kabupaten/kota setelah sasaran pertumbuhan ekonomi ditetapkan; dan (3) unit-unit eselon I terkait di Kementerian Pertanian dapat melakukan koordinasi penentuan fokus utama subsektor dan kabupaten/kota untuk menyandingkan perencanaan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sehingga pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan investasi dapat dilakukan bersama-sama. 
Kebijakan Antisipatif terhadap Peraturan dan Kebijakan Perunggasan Pemerintah DKI 2010 Saptana Saptana; Sumaryanto Sumaryanto
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 4 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v7n4.2009.319-335

Abstract

Perunggasan merupakan basis ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (growth with equity), apabila dikelola dengan baik dan benar.  Industri perunggasan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, terutama wabah penyakit menular seperti flu burung (Avian Influenza/AI). Dengan adanya Perda DKI No. 4 Tahun 2007 tentang pengaturan pemeliharaan dan pengendalian peredaran unggas di wilayah DKI dan tuntutan pemasaran dari unggas hidup ke daging unggas melalui rantai dingin (cold chain), maka diperkirakan akan menyebabkan permasalahan distribusi ayam hidup dari daerah pemasok utama ke wilayah DKI Jakarta.  Kondisi ini menuntut peternak rakyat untuk bergabung dalam kemitraan usaha terpadu yang mampu memfasilitasi pengadaan infrastruktur rantai dingin. Peternak harus merencanakan pengembangan secara matang mulai dari jumlah pasar, pangsa pasar, dan tujuan pasar yang dituju selanjutnya ke arah pengembangan produksi baik dari aspek jumlah dan distribusi antar waktu, serta sistem penanganannya. Dari sisi permintaan produk yang dihasilkan oleh industri perunggasan (broiler) ke depan, harus disadari bahwa dengan adanya peraturan dan kebijakan Pemda DKI Jakarta tersebut maka bagi pelaku ekonomi perunggasan harus membangun manajemen rantai pasok (supply chain management/SCM) yang efisien melalui rantai dingin agar dapat memenuhi persyaratan Pemerintah DKI dan tuntutan konsumen. Implikasi kebijakan penting berkaitan dengan implementasi kebijakan Pemerintah DKI hanya akan berhasil dengan baik kalau mampu mengintegrasikan antara berbagai aspek, baik aspek teknis, ekonomi atau bisnis, kelembagaan dan aspek kebijakan dan peraturan.
Financial Performance of Sugarcane Cooperatives in East Java Ening Ariningsih
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v12n1.2014.35-49

Abstract

East Java is the largest sugarcane producing center in Indonesia where cooperatives have an important role on sugarcane agribusiness. This study aimed to analyze the financial performance of sugarcane cooperatives in East Java. Financial ratios related to profitability, liquidity and solvency coupled with a set of panel data over the period 2008-2011 were used in this study. The results of the study indicated that the majority of sugarcane cooperatives in East Java, both KPTRs and KUDs, had a relatively low profitability, and were liquid but not solvent. However, the existence of some sugarcane cooperatives in East Java that had relatively a high net surplus indicated a good sign on their development. Based on the results of this study, the suggestion to improve further implementation strategies of sugarcane cooperatives in East Java are as follows: (1) improvement of cooperative management and implementation of cooperative principles, (2) significant differentiation of services upon cooperative membership, (3) strengthening the members’ capital share, and (4) government support in terms of facility and subsidy as well as supporting their autonomy.
Kebijakan Pembangunan Bahan Bakar Nabati (Jarak Pagar) di Maluku Sjahrul Bustaman
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 3 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v5n3.2007.254-266

Abstract

Upaya pengembangan bahan bakar alternatif berupa bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel sudah begitu mendesak, terutama bertujuan untuk mengurangi beban penderitaan masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Bahanbaku untuk pengembangan BBN cukup tersedia di Maluku antara lain ubi kayu, ubi jalar, uwi, gembili, kelapa, sagu dan jagung. Pengusahaan bahan-bahan tersebut didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup luas, namun pemanfaatan bahan ini untuk BBN masih berkompetisi dengan kepentingan lain seperti kebutuhan bahan  pangan masyarakat setempat. Jarak pagar bisa menjadi salah satu alternatif BBN yang cocok karena keberadaannya tidak berkompetisi dengan penggunaan lain, dapat tumbuh dengan baik di lahan marginal dan bisa dibudidayakan dengan cara yang relatif mudah. Total luas lahan yang sangat sesuai (S1) 662.672 ha, sesuai (S2) 1.327.550 ha, kurang sesuai (S3) 64.149 ha dan tidak sesuai (N) 2.515.879 ha. Teknologi budidaya tanaman jarak pagar dan pengolahan biji menjadi minyak telah tersedia di Badan Litbang Pertanian. Keuntungan finansial usahatani jarak pagar dapat dijadikan sebagai salah satu sumber PAD. Strategi usaha minyak jarak pagar dibedakan atas beberapa pola yang disesuaikan dengan kelompok sasaran dan kepentingan. Kebijakan Pemda Maluku diperlukan untuk mendukung pembangunan jarak pagar dalam usaha menghasilkan BBN.
Teknologi Panen dan Pascapanen Padi: Kendala Adopsi dan Kebijakan Strategi Pengembangan Dewa Ketut Sadra Swastika
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 4 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n4.2012.331-346

Abstract

Pada kondisi konversi lahan pertanian yang sulit dibendung dan teknologi usahatani padi yang hampir jenuh, sulit mengharapkan pertumbuhan produksi yang tinggi dari perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Di pihak lain, angka kehilangan hasil masih relatif tinggi. Penurunan kehilangan hasil melalui perbaikan penerapan teknologi panen dan pascapanen nampaknya merupakan sumber pertumbuhan produksi yang prospektif. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketersediaan teknologi maju pascapanen dan kendala petani, buruh, pedagang, dan penggilingan padi dalam mengadopsi teknologi maju tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa sudah cukup banyak tersedia teknologi maju panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan padi. Namun tingkat adopsi dari teknologi tersebut masih relatif rendah. Berbagai kendala yang dihadapi dalam mengadopsi teknologi maju pascapanen, antara lain: (i) Ketidaktahuan petani, buruh, dan pedagang tentang teknologi tersebut, (ii) Harga alat dan mesin pascapanen yang kurang terjangkau oleh petani individu, (iii) Belum adanya jasa penyewaan alat dan mesin pascapanen, (iv) Adanya tekanan dari buruh dan pengasak, karena khawatir akan kehilangan lapangan pekerjaan, (v) Tidak adanya insentif perbedaan harga bagi pedagang untuk melakukan kegiatan pengeringan, dan (vi) Rasa puas penggilingan padi dengan alat dan mesin yang dimiliki saat ini. Untuk mempercepat adopsi teknologi maju pascapanen, diperlukan beberapa alternatif kebijakan strategis, antara lain: mengintensifkan introduksi, promosi dan demonstrasi alat dan mesin pascapanen melalui penyuluhan dan pelatihan di tingkat kelompok tani, memperbaiki harga pembelian gabah dan beras untuk memberi insentif bagi petani dan pedagang melakukan pengeringan, dan penyediaan kredit lunak dengan administrasi sederhana bagi perorangan atau perusahaan penyewaan alat dan mesin pascapanen.
Policy Support for Climate Risk Adaptation the Role of Microfinance Sahat M. Pasaribu; Mat Syukur
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 1 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v8n1.2010.1-11

Abstract

Agricultural development in Indonesia is being faced by the unpredictable climate situation. With such a high risk, however, Indonesia should be able to provide sufficient food for all of the people and access to food at affordable prices. In this regard, the climate field school is important to improve farmer’s konowledge to anticipate such climate change. While adapting to the climate change, agricultural activities should be protected and reduced the risk to the lowest possible level. Agricultural insurance is introduced to protect the farms, share the risk, and favor the farmers. Rice farm insurance, in particular, is applicable to share the risk of harvest failure caused by flood, drought and pest and disease infestations. Government support to provide subsidy for premium payment is encouraged. Such subsidy would be reduced gradually and integrated in the farm cost of production. In the absence of agricultural bank in Indonesia, microfinance institution is required to provide sufficient fund to cover cost of production. For a short-term follow up action, the current Rural Agribusiness Development Program (PUAP) is expected to help farmers through its microfinance institution in funding the farm activities. The role of microfinance is part of the climate change anticipation strategy and is very significant to help farmers to envisage the effect of harvest failure risk.
Analisis dan Kinerja Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP) Studi Kasus: Kabupaten Ngawi Jawa Timur Ashari Ashari
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 2 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v7n2.2009.147-169

Abstract

Untuk melindungi petani padi dari anjloknya harga, pemerintah sejak tahun 2003 telah mengimplementasikan Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM LUEP). Salah satu tujuan DPM LUEP yang  krusial dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan petani adalah meningkatkan kemampuan LUEP untuk membeli gabah/beras petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Makalah ini bertujuan melihat gambaran umum kinerja pelaksanaan DPM LUEP serta peranannya dalam pengamanan HPP di Jawa Timur, dengan studi kasus di Kabupaten Ngawi. Hasil studi menunjukkan keberadaan DPM LUEP mendapat respon cukup baik dari petani, pengusaha LUEP dan pemerintah daerah. Dengan DPM petani memperoleh kemudahan dalam pemasaran seperti  pembayaran lebih lancar, lebih fleksibel dan tidak rumit. Berdasarkan indikator keberhasilan yang ditetapkan Badan Ketahanan Pangan, menunjukkan bahwa kegiatan DPM LUEP memiliki kinerja yang cukup baik. Namun demikian, sebagai instrumen kebijakan untuk mempengaruhi harga gabah wilayah, nampaknya masih belum sesuai dengan harapan. Harga gabah secara umum masih cenderung mengikuti harga pasar, sehingga pada masa-masa panen raya, harga rata-rata tingkat wilayah seringkali di bawah HPP. Untuk mengefektifkan pelaksanaan DPM LUEP diupayakan agar pencairan dana dapat dipercepat yaitu menjelang panen raya serta rentang waktu pengembalian dapat lebih lama lagi sehingga  pemupukan modal usaha LUEP lebih optimal.
Nilai Strategis Industri Sawit Sri Nuryanti
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 4 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v6n4.2008.378-392

Abstract

Industri minyak sawit merupakan salah satu industri pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Namun, kebijakan Pungutan Ekspor (PE) telah memperlambat pembangunan industri hilir. Pengembangan sisi hilir perlu lebih diprioritaskan untuk mengubah posisi Indonesia dari pengekspor bahan baku menjadi pengekspor produk olahan berbasis minyak sawit. Untuk meningkatkan posisi tawar dalam pasar minyak sawit dunia, Indonesia harus merevitalisasi industri minyak sawit dari sisi hulu sampai hilir. Benih, pupuk, dan peremajaan tanaman menjadi agenda penting di sisi hulu. Sisi hilir tidak saja memerlukan perbaikan infrastruktur, tetapi juga kebijakan yang bersifat insentif bagi investasi. Keberadaan Dewan Minyak sawit Indonesia harus sepenuhnya didukung oleh penelitian dan pengembangan (litbang) yang terpadu dengan lembaga penelitian, universitas, dan industri. Pungutan ekspor untuk minyak sawit dan produk turunannya sebaiknya dikembalikan kepada industri untuk membiayai litbang, dan jejaring pengaman. Besaran pungutan ekspor seyogyanya mengalami penurunan seiring tingkat proses. Semakin tinggi tingkat proses semakin rendah besaran pungutan. Kebijakan ini akan menjadi insentif dan pendorong bagi pengembangan sisi hilir industri sawit yang pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki daya saing.
Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia Mohammad Maulana
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 3 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v10n3.2012.211-223

Abstract

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan kebijakan HPP gabah dan beras yang selama ini telah ditempuh dan prospek alternatif kebijakan HPP multikualitas gabah dan beras. Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk kualitas tunggal yang selama ini diterapkan memang telah mampu melindungi petani dari kejatuhan harga saat panen raya tetapi belum dapat meningkatkan kualitas gabah dan beras yang dihasilkan petani. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan mampu meningkatkan produksi gabah dengan kualitas lebih baik dan keuntungan usaha tani melalui peningkatan produktivitas dan adanya insentif petani meningkatkan kualitas gabahnya dari kualitas medium ke premium. Sementara kebijakan HPP multikualitas pada beras juga diyakini mampu mendorong pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras berkualitas yang berasal dari proses penggilingan gabah berkualitas lebih baik, perbaikan mesin dan operator (meningkatkan rendemen beras), dan adanya insentif melakukan penggilingan lebih sempurna untuk gabah kualitas medium untuk menghasilkan beras berkualitas premium.
Implementasi Kebijakan Perberasan di Tingkat Petani: Kinerja dan Perspektif ke Depan Surya Abadi Sembiring; Harianto Harianto; Hermanto Siregar; Bungaran Saragih
Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 4 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/akp.v8n4.2010.339-361

Abstract

Implementasi kebijakan perberasan yang efektif menyebabkan tujuan kebijakan perberasan tercapai. Tujuan makalah adalah  menganalisis kinerja dan perspektif kedepan implementasi kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden terhadap petani. Basis informasi penelitian adalah 30 orang kontak tani yang ditentukan secara pursposive sampling dari 59 kelompok tani pada  enam desa sentra produksi padi di kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan (1) implementasi  Bantuan Langsung Benih Unggul, pupuk bersubsidi dan perbaikan jaringan irigasi tidak efektif, sebaliknya implementasi Harga Pembelian Pemerintah efektif, dan (2) implementasi kebijakan yang tidak efektif menyebabkan kelangkaan pupuk, pemupukan berimbang tidak tercapai, terjadi peningkatan biaya produksi dan konversi lahan sawah. Kebijakan strategis yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah (1) membangun dan memperbaiki jaringan irigasi, (2) mengawasi distribusi pupuk bersubsidi, (3) membeli langsung gabah petani, (4) menaikkan harga pembelian pemerintah, (5) mendorong peningkatan kinerja penyuluh pertanian lapangan, dan (6) memberikan bantuan benih unggul kepada petani 25 kg per ha.

Page 10 of 27 | Total Record : 269


Filter by Year

2003 2021


Filter By Issues
All Issue Vol 19, No 2 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Desember 2021 Vol 19, No 1 (2021): Analisis Kebijakan Pertanian - Juni 2021 Vol 18, No 2 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 18, No 1 (2020): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 2 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 17, No 1 (2019): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 2 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 16, No 1 (2018): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 2 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 15, No 1 (2017): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 2 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 14, No 1 (2016): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 2 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 13, No 1 (2015): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 2 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 12, No 1 (2014): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 2 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 11, No 1 (2013): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 4 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 3 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 2 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 10, No 1 (2012): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 4 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 3 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 2 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 9, No 1 (2011): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 4 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 3 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 2 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 8, No 1 (2010): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 4 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 3 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 2 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 7, No 1 (2009): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 4 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 3 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 2 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 6, No 1 (2008): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 4 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 3 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 2 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 5, No 1 (2007): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 4 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 3 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 2 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 4, No 1 (2006): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 4 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 3 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 2 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 3, No 1 (2005): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 4 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 3 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 2 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 2, No 1 (2004): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 4 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 3 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 2 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1, No 1 (2003): Analisis Kebijakan Pertanian More Issue