cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Buletin Iptek Tanaman Pangan
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 189 Documents
Kutu Kebul: Hama Kedelai yang Pengendaliannya Kurang Mendapat Perhatian Marwoto Marwoto; Inayati Inayati
Iptek Tanaman Pangan Vol 6, No 1 (2011): Juni 2011
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu gangguan dalam meningkatkan produksi kedelai adalah serangan hama kutu kebul (Bemisia tabaci). Tanaman kedelai yang terserang kutu kebul daunnya menjadi keriting dan apabila serangan parah disertai dengan infeksi virus, daun menjadi keriting berwarna hitam dan pertumbuhan tanaman terhambat. Ekskreta kutu kebul menghasilkan embun madu yang merupakan media tumbuh cendawan jelaga, sehingga tanaman terserang tampak berwarna hitam. Kehilangan hasil akibat serangan hama kutu kebul dapat mencapai 80%, bahkan pada serangan berat dapat menyebabkan puso (gagal panen). Pengendalian kutu kebul pada tanaman kedelai oleh petani sering mengalami kegagalan. Untuk mengantisipasi serangan hama ini perlu diketahui biologi, tingkat kerusakan, kehilangan hasil, dan cara pengendalian di tingkat petani sebagai dasar untuk menyusun strategi pengendalian yang tepat. Pengendalian hama kutu kebul dapat dilakukan dengan pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) menggunakan komponen pengendalian yang kompatibel termasuk waktu tanam, varietas tahan, musuh alami, aplikasi pestisida berlandaskan pada azas ekologi dan ekonomi. Dengan pendekatan PHT diharapkan pengendalian kutu kebul lebih efektif.
Pengelolaan Lahan Kering Masam untuk Budi Daya Kedelai Sudaryono Sudaryono
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lahan kering masam Ultisol yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua menjadi tumpuan pengembangan kedelai. Kondisi lahan kering Ultisol harus diperbaiki agar memiliki tingkat kesesuaian dan kesuburan yang layak untuk pengembangan kedelai. Inti masalah pada tanah Ultisol adalah: (1) Al yang dapat dipertukarkan (Aldd) dan kejenuhan Al tanah tinggi sehingga menjadi racun dan menghambat ketersediaan P karena fiksasi (Al-P) sehingga P tidak tersedia untuk tanaman; (2) kadar besi (Fe) tinggi, potensial menjadi racun dan memfiksasi P (Fe-P) sehingga ketersediaan P rendah tersedia; (3) kadar bahan organik umumnya rendah, menyebabkan daya sangga (buffering capacity) tanah rendah. Tanaman kedelai tidak dapat tumbuh optimal pada Ultisol yang memiliki kemasaman tinggi (pH tanah < 4,5) dan kejenuhan Aldd > 20%. Untuk pemecahan masalah keracunan Al dan Fe pada Ultisol umumnya memakai amelioran tanah dengan bahan baku mineral seperti kapur pertanian (kalsit atau CaCO3, kapur tohor atau CaOH), dolomit maupun zeolit. Detoksifikasi Al dan Fe pada Ultisol dengan pupuk organik belum banyak dikerjakan sehingga membuka topik penelitian selanjutnya. Penggunaan pupuk organik, khususnya limbah pabrik tapioka dan pupuk kandang terfermentasi, memiliki arti penting untuk budi daya kedelai di lahan kering masam. Kesuburan tanah ideal untuk lahan kering masam dapat diwujudkan melalui tindakan manipulatif pengelolaan lahan, baik bersifat fisik-mekanik, maupun kimia, hayati, dan konservasi. Tindakan praktis yang disarankan adalah (1) perbaikan kesuburan fisik melalui penyiapan lahan untuk mencapai kondisi solum tanah cukup dalam (40-50 cm), struktur tanah gembur, daya simpan lengas meningkat, (2) perbaikan kesuburan kimia melalui ameliorasi tanah (zeolit, dolomit, kapur, amelioran organik), pemupukan organik dan anorganik (NPK, dan hara mikro), (3) perbaikan kesuburan hayati dengan pupuk hayati yang mengandung mikroba tanah terutama bakteri pelarut fosfat, mikoriza,dan bakteri penambat N nonsimbiotik, dan (4) pengaturan pola tanam atau rotasi tanaman yang lebih produktif.
Perbedaan Hasil Padi Antarmusim di Lahan Sawah Irigasi Satoto Satoto; Yuni Widyastuti; Untung Susanto; Made Jana Mejaya
Iptek Tanaman Pangan Vol 8, No 2 (2013): Desember 2013
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia as a tropical country, has two distinct planting seasons, i.e. rainy (WS, October-April) and dry season (DS, May-September). The difference between the two seasons include the amount of rainfall, air temperature, humidity, solar radiation, and cloudiness which cause yield gap between seasons. Rice yield testing at various locations and seasons using inbred and hybrid varieties showed the occurrence of yield gap patterns. In East Java during the 2001-2003 testing showed inconsistence yield gap between planting seasons across locations. Testing of 29 very early maturing accessions in Kuningan (550 m asl) during DS 2010 and WS 2010/2011 showed no significant yield gap between planting seasons. Similarly, testing of 10 GSR inbred lines along with four check varieties during DS 2012 and WS 2012/2013 showed no significant yield gap due to seasons, genotypes, and plant spacing. Factors which presumably affected the yield gap include air temperature, CO2 concentration, and solar radiation during grain filling period. Increasing temperature had reduced the grain yield, where as increasing CO2 concentration increased plant biomass formation, while optimum solar radiation during grain filling increased grain yield. To reduce yield gap between seasonal planting, the more readily observable causing the yield gap should be anticipated, such as: pests and diseases in each season for each location, assigning suitable variety for specific location and planting season, and application of most appropriate cultivation techniques for each location and season (fertilizers application, plant spacing, irrigation, and pest/diseases management).
Pemanfaatan Biji Keriput Kacang Tanah sebagai Benih Rahmianna, Agustina Asri; Purnomo, Joko; Harnowo, Didik
Buletin Iptek Tanaman Pangan Vol 10, No 2 (2015): Desember 2015
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

State Law No. 12/92 on agricultural systems for food crops stated that good quality seeds is seeds of correct and pure variety with high genetic, physiological and physical qualities, and in accordance with the quality standard of its class. The demand for groundnut seeds were almost entirely fulfilled by informal seed supply, which may come from a traditional system (farmers use their own seeds), buying from agricultural shops that process their own harvested pods into seeds, or buying from informal seed growers. Whilst the certified seeds produced by official seed growers is very limited in amount and supplys only a small portion of the total national seed demand. Under such condition, selection for seed quality is mainly based on the physical seed condition, such as seed size, brightness of seed coat color, and maturity of seeds. In other words, farmers prefer to select sound mature kernels and reject the shriveled kernels. Research results, however, indicated that plants generated from shriveled kernels were not significantly different to those generated from pithy kernels in term of growth and pod yield. Given the high cost and limited stocks of seed during the high planting season, it is advisable seed sorting process is not too tight and the use of wrinkled seeds for planting is prioritized. When there are overstock seeds, it is suggested to keep the sound or pithy seeds or to consume these seeds for food safety issue. This is because research results showed that shriveled seeds are more susceptible to Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination than the pithy seeds.
Strategi Pencapaian Diversifikasi dan Kemandirian Pangan: Antara Harapan dan Kenyataan Roosganda Elizabeth
Iptek Tanaman Pangan Vol 6, No 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Strategy for food diversification and food self reliance: Fact and doubt. Food as a basic need for human life, affect the quality of individuals, which is conditioned by ones economic status, education and culture. Food sufficiency determines the national security, where as food import dependency indicates the inability of the nation to feed its people security. The problem may be alleviated by providing technology and relevant information to farmers, couple with a conducive policy and adequate support of agricultural extension and marketing. Economic crisis on world level and climate changes had weaked the purchasing power of the poor, rendered to inability of the lower income people to buy food adequately. There is a need to re evaluate the agriculture development policy with regard to food policy, directed toward food diversification and improved purchasing power of the people primarily in rural area, by inducing the growth of food agro industries using the available local produces.
Sumbangan Pemikiran bagi Penentuan Kebijakan Peningkatan Produksi Kedelai Achmad M. Fagi; Farid A. Bahar; Joko Budianto
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 2 (2009): Desember 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Upaya untuk mencapai swasembada kedelai telah lama dirintis. Upaya itu lebih terfokus setelah dicanangkannya Gema Palagung 2000 (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung 2000) oleh Departemen Pertanian. Bersamaan dengan upaya tersebut ada tawaran fasilitas GSM 102 atau PL 480 oleh produsen kedelai luar negeri dengan segala kemudahannya. Tawaran ini diawali oleh Letter of Intent (LoI) pada 31 Oktober 1997, dan LoI 24 Juni 1998, yaitu persyaratan dari IMF kepada Pemerintah Indonesia, antara lain menyangkut tataniaga komoditas pertanian, termasuk kedelai. Akibat dari semua itu, impor kedelai makin banyak dan kedelai produksi dalam negeri kalah bersaing dengan kedelai impor. Oleh karenanya ada kekhawatiran Indonesia akan semakin tergantung pada kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri, dan usahatani kedelai semakin tidak diminati oleh petani. Untuk menghindari hal tersebut, Direktur Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan mengusulkan kebijakan tataniaga kedelai pada tahun 2001, yaitu: (a) menerapkan tarif bea impor kedelai, dan (b) membentuk lembaga produsen-importir kedelai. Usul itu dibahas di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada 27 April 2001. Usul kebijakan pengenaan tarif impor tidak didukung oleh peserta diskusi. Berdasarkan teori MCP (Market Closure Process), pembatasan impor kedelai melalui peningkatan tarif bea impor akan merugikan konsumen produk olahan berbahan baku kedelai. Kenaikan harga kedelai di pasar internasional yang sangat tajam pada awal tahun 2008 terjadi akibat ketidak-seimbangan antara penawaran dan permintaan, sehingga harga kedelai di pasar domestik, yang didominasi oleh kedelai impor juga naik. Kenaikan harga di dalam negeri tersebut diharapkan dapat mendorong kenaikan harga tingkat petani dan memacu peningkatan produksi kedelai nasional. Peluang kenaikan produksi kedelai harus dimanfaatkan melalui intensifikasi dan perluasan areal kedelai ke kawasan potensial terutama di wilayah yang beriklim mirip iklim sub-tropik.
Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke D. Djaenudin
Iptek Tanaman Pangan Vol 2, No 2 (2007): September 2007
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Wilayah Kabupaten Merauke bagian Selatan merupakan dataran aluvial terbentuk dari bahan aluvium sungai dan marin, di bagian Utara yang berbukit-bukit terbentuk dari batuan sedimen. Dataran Kabupaten Merauke bagian selatan beriklim kering, dan bagian utara di daerah upland yang berbukit-bukit beriklim basah. Adanya bulan kering yang nyata dengan lama penyinaran matahari yang panjang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan generatif dan produktivitas khususnya tanaman pangan, asalkan tidak mengalami kekurangan air pada masa pertumbuhan vegetatif. Di dataran Merauke banyak terdapat sungai dan rawa yang mengalir sepanjang tahun sehingga airnya dapat dimanfaatkan untuk pengairan dan kebutuhan hidup. Kualitas air sungai di bagian hilir yang umumnya buruk karena terjadi intrusi air laut. Demikian pula kualitas air sumur di beberapa tempat yang buruk, karena masih adanya ìsisa-sisaî pengaruh intrusi air laut masa lalu. Pembentukkan tanah di dataran aluvial sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan pola aliran sungai. Sedangkan di dataran pantai dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut. Di wilayah Kabupaten Merauke pada lahan basah terdapat tanah yang mengandung bahan sulfidik, dan tanah berkadar garam tinggi. Sedang di lahan kering ada tanah yang bertekstur pasir kuarsa, dan tanah yang berkonkresi besi. Tanah-tanah tersebut kurang atau tidak potensial untuk pertanian. Namun secara keseluruhan lahan di wilayah Kabupaten Merauke cukup berpotensi untuk pertanian, sehingga sangat mendukung untuk menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung pangan nasional di Kawasan Timur Indonesia.
Dampak Insektisida Deltametrin Konsentrasi Subletal pada Perilaku dan Biologi Parasitoid Meilin, Araz; Praptana, R. Heru
Iptek Tanaman Pangan Vol 9, No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Parasitoids are natural enemies of insect pests that can be used for biological pest control. Effective performance of parasitoid on the insect pest can be disrupted by the use of insecticides. This paper discussed the effect of insecticides on parasitoids, as well as the effect of deltamethrin insecticide on the behavior and biology of parasitoids. The effect of insecticides on parasitoids generally was studied by using sublethal dosage. Review of literatures indicated that deltamethrin insecticide disturbed parasitoids which affected the nervous system, and ultimately changed the behavior and biology of parasitoids. Inappropriate use of insecticide in the field reduced the ability of parasitoids in controlling insect pests.
Potensi Parasitoid Telur sebagai Pengendali Hama Penggerek Batang dan Penggerek Tongkol Jagung Surtikanti Surtikanti
Iptek Tanaman Pangan Vol 1, No 2 (2006): November 2006
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Trichogramma evanescens merupakan agensia hayati untuk pengendalian hama utama jagung yaitu penggerek batang (Ostrinia furnacalis) dan penggerek tongkol (Helicoverpa armigera). Perbanyakan T. evanescens dilakukan dengan mengguna- kan inang pengganti yaitu Corcyra cephalonica. Untuk mendapatkan hasil perbanyakan yang maksimal (90%) digunakan perbandingan 1 : 6 (satu ekor T. evanescens betina dan enam butir telur C. cephalonica). Kemampuan satu ekor T. evanescens betina untuk memarasit telur O. furnacalis sebanyak 100 butir dan C. cephalonica sebanyak 100 butir adalah 35% dan 43%. Hasil survey didapatkan bahwa telur penggerek batang jagung O. furnacalis di lapang sudah terparasit T. evanescens, parasitasi dapat mencapai 81% pada varietas Bisma di Takalar. Di laboratorium didapatkan pula bahwa T. evanescens dapat memarasit telur H. armigera sebanyak 92,3%. T. evanescens mempunyai harapan untuk dikembangkan sebagai agensia hayati dalam pengendalian hama utama jagung yaitu O.furnacalis dan H. armigera.
Menuju Swasembada Kedelai Melalui Penerapan Kebijakan yang Sinergis I K. Tastra; Erliana Ginting; Gatot S.A. Fatah
Iptek Tanaman Pangan Vol 7, No 1 (2012): Juni 2012
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

As a protein source and functional food, soybean has a strategic value in supporting sustainable national food security. Currently, domestic soybean production is only 32% of the national needs, while the balance is imported. Therefore, the improvement of soybean national production system as a sub-system of national food security is essential. The first step to improve the performance of soybean production system is to identify the main succeptible parameters that would dictate the sustainability of soybean production system leading to selfsufficiency. Strategic improvement of soybean production system should be performed through simultaneously empowering all parameters of component technologies so that the sinergic impacts can be gained by farmers as producers, processors/industries and users and consumers. However, this strategy needs support and appropriate policies from the government through reposition of BULOG (National Logistic Agency) function in soybean trade arrangement as well as providing price insentive to both farmers and soybean food processors in case of price fluctuation. This is similar to protection mechanism performed by some developed countries to their farmers. Using a simulation model, 15 scenarios are obtained to suit different agroecosystem of soybean producing areas leading to soybean self-sufficiency in 2015. Based on verification of this model using soybean production figures from 2009 to 2010, scenario 4 is selected which consists of a combination input of extended area program (15% per year), increase in productivity, population and soybean consumption ( 4%, 1.5% and 1.0% per year, respectively) and decrease of postharvest losses (2%).

Page 5 of 19 | Total Record : 189