cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Buletin Iptek Tanaman Pangan
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Arjuna Subject : -
Articles 189 Documents
Dukungan Pengendalian Hama Terpadu dalam Program Bangkit Kedelai Marwoto Marwoto
Iptek Tanaman Pangan Vol 2, No 1 (2007): Juni 2007
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kebutuhan kedelai pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 2,24 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya 1,25 juta ton dan kekurangannya terpaksa diimpor. Untuk memenuhi kebutuhan dan menekan laju impor kedelai akan diupayakan melalui strategi peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, sejak tahun 2003 telah melakukan upaya terobosan pengembangan agribisnis kedelai melalui Program Bangkit Kedelai. Salah satu ancaman pengembangan kedelai di Indonesia adalah gangguan hama. Serangan hama dapat menurunkan hasil kedelai sampai 80%, bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian. Hingga saat ini petani masih mengandalkan insektisida sebagai pengendali hama di lapangan, namun teknik aplikasinya masih sering tidak memenuhi rekomendasi sehingga berakibat timbulnya resistensi, resurgensi, terbunuhnya musuh alami, dan keracunan pada ternak dan bahkan manusia. Oleh karena itu, dukungan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sangat diperlukan dalam Program Bangkit Kedelai. PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan. PHT mendukung secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama dan penyakit berdasarkan asas ekologi dan ekonomi.
Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskular sebagai Media Pengendalian Penyakit Busuk Pelepah pada Jagung Soenartiningsih Soenartiningsih
Iptek Tanaman Pangan Vol 8, No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sheath blight is soil borne disease caused by Rhizoctonia solani, an important disease in maize. It could cause 100% yield loss on susceptible varieties. R. solani infects lower sheath, spreading upward to the ear, causing ear rot. Symbiosis of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and maize, in addition to improving growth of plant by increasing the absorption of nutrients, especially P, was reported that the fungus was capable of inhibiting the growth of soil borne pathogens. Inhibition or control of soil borne pathogen was probably due to the increase of fenol, to stimulate the formation of flavonoids which increase the activation of phenyl alanine ammonium lyase (PAL) enzyme. Increasing flavonoid structure, however, was not directly involved in plant resistance, but it serves to synthesize chitinase and phenyl alanine ammonium lyase enzyme, which induces plant resistance. The association between AMF and maize was also causing the occurrence of lignified of the roots so that the plant was forming a physical barrier to the entry of pathogens. The development of disease caused by R. solani on the mycorrhizal roots was relatively lower compared with that of uninfected mycorrhiza. The AMF decreased the intensity of sheath blight disease up to 41% based on research conducted in the greenhouse. The AM fungi trial in the field was able to suppress sheath blight disease by 36% when in symbiotic growth with Glomus sp, while symbiosis with Acaulospora mellea suppresses the disease up to 28%.
Pengelolaan Lahan Sawah dan Reorientasi Target Alih Teknologi Usahatani Padi di Jawa Sumarno Sumarno; U. G. Kartasasmita; Lukman Hakim
Iptek Tanaman Pangan Vol 5, No 2 (2010): Desember 2010
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemilik lahan tidak selalu harus melakukan pengelolaan usahatani padi sendiri, apabila memiliki kesempatan usaha di luar pertanian. Untuk memperoleh informasi perubahan status penguasaan lahan dan pengelolaan usahatani padi sawah di sentra produksi padi di Jawa dilakukan penelitian di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, pada tahun 2009, masing-masing mengambil sampel dua kabupaten sentra produksi padi sawah, di ketiga provinsi tersebut, yakni Karawang dan Subang di Jawa Barat, Klaten dan Boyolali di Jawa Tengah, dan Ngawi dan Pasuruan di Jawa Timur. Setiap kabupaten diwakili oleh dua kecamatan, dan di setiap kecamatan diwawancarai minimal dua kelompok tani responden. Luas pemilikan lahan sawah dari 70% petani responden di tiga provinsi tersebut berkisar antara 0,2-0,4 ha/RTP (rumah tangga petani), yang mengindikasikan kecilnya skala usahatani sebagian besar petani padi di Jawa. Sebanyak 45% petani pemilik lahan menyakapkan lahan sawahnya, dan 55% pemilik lahan berfungsi sebagai petani operator. Tingkat penyakapan lebih dari 50% pemilik lahan terdapat di Klaten dan Boyolali, tetapi hanya 15% di Subang. Di Karawang, Ngawi, dan Pasuruan, penyakapan lahan mencapai 40-48%. Alasan utama pemilik lahan menyakapkan lahan adalah kecilnya pendapatan usahatani padi yang diperoleh dari lahan sempit, sehingga petani pemilik lahan memilih usaha di bidang nonpertanian. Penyakap adalah petani penggarap tanpa lahan, yang memperoleh bagian 25-35% dari hasil panen bersih. Penguasaan teknologi oleh petani penyakap pada umumnya masih rendah, rata-rata 63%. Intensitas kontak antara petani penyakap dengan penyuluh pertanian pada umumnya rendah, informasi teknologi lebih sering diperoleh dari petugas sales atau petani tetangga. Oleh karena itu, penyuluhan perlu lebih memprioritaskan kepada petani penyakap dan petani yang memiliki lahan sempit, kurang dari 0,34 ha/RTP, yang merupakan bagian terbesar dari pelaku usahatani padi di Jawa. Masih rendahnya penguasaan teknologi oleh petani memberikan implikasi perlunya peningkatan penguasaan teknologi oleh penyuluh pertanian, dengan meningkatkan hubungan kerja fungsional yang lebih intensif antara penyuluh dengan peneliti. Penyakapan diperkirakan akan terus meningkat porsinya karena banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan. Diperlukan ketentuan baku pembagian hasil panen yang saling menguntungkan antara pemilik lahan dan petani penyakap, dan secara keseluruhan perlu dibangun sistem insentif ekonomi bagi petani padi dalam sistem produksi pangan nasional.
Strategi Pengendalian Hama Kedelai dalam Era Perubahan Iklim Global Marwoto Marwoto; S. W. Indiati
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu masalah dalam proses produksi kedelai di Indonesia adalah gangguanhama. Serangan hama pada tanaman kedelai dapat menurunkan hasil sampai80%. Tanaman kedelaimerupakan inang berbagai insekta, terbukti dari banyaknya hama yang menyerang, terdiri atas hama dalam tanah, lalat bibit, ulat daun, hama penggerek batang, dan hama polong kedelai. Pemanasan global mengubah karakteristik iklim global, regional dan lokal, dan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan dan ekobiologi sektor pertanian. Salah satu dampak perubahan iklim global adalah meningkatnya populasi hama. Tanaman kedelai mempunyai kompleksitas hama. Dengan meningkatnya suhu di bumi diperkirakan akan berakibat pada dinamika populasi hama. Hama kedelai yang populasinya diperkirakan meningkat akibat kenaikkan suhu udara antara lain adalah a) lalat bibit kacang (Ophiomyia phaseoli), b) kutu daun (Bemisia tabaci), Aphis spp dan Empoasca spp., c) ulat daun (Spodoptera litura), d) perusak polong (Etiella spp dan Riptortus linearis). Meningkatnya populasi hama pada tanaman berarti akan mengancam produksi kedelai. Upaya untuk mengatasi meningkatnya populasi hama akibat dampak pemanasan global antara lain optimalisasi berlangsungnya pengendalian alami dan pengendalian fisik dan mekanik dengan menerapkan teknik bercocok tanam. Prinsip mengatasi masalah hama kedelai dengan pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tetap relevan.
Peluang Peningkatan Produktivitas Kedelai di Lahan Sawah T. Adisarwanto
Iptek Tanaman Pangan Vol 2, No 2 (2007): September 2007
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam jangka waktu 12 tahun areal pertanaman kedelai mengalami penurunan yang nyata (66%) dari luasan 1.700.000 ha (1992) tinggal menjadi 570.000 ha pada tahun 2002. Dari luasan tersebut, pertanaman kedelai di lahan sawah masih cukup luas yaitu mencapai 325.000 ha (65%). Kombinasi antara faktor sosial ekonomi dan teknis berpengaruh terhadap perkembangan luas penanaman kedelai tersebut. Di lahan sawah tanaman kedelai masih men-jadi salah satu pilihan di beberapa pola tanam yang ada berdasarkan ketersediaan air irigasi yaitu padi-padi-kedelai (sawah irigasi teknis), padi-kedelai-palawija lain (sawah irigasi ½ teknis), padi-kedelai-bero (sawah tadah hujan). Ada beberapa faktor penentu yang harus dipenuhi agar tanaman kedelai masuk dalam pola tanam di lahan sawah tersebut antara lain: umur yang sesuai dengan pola tanam yang berlaku (< 80 hari), potensi produktivitas tinggi (> 2,0 t/ha), dapat meningkatkan pendapatan petani (mampu bersaing dengan tanaman lain). Di sisi lain, meningkatkan produksi melalui peningkatan produktivitas kedelai masih berpeluang dilakukan pada lahan sawah apabila menerapkan beberapa komponen kunci dari hasil penelitian yang dapat meningkatkan produktivitas sebesar 100-150%. Komponen-komponen tersebut adalah penyiapan lahan, penggunaan varietas unggul, pengaturan waktu tanam yang tepat, penggunaan benih bermutu dan populasi tanaman optimal, pengendalian OPT secara terpadu. Hal ini terbukti melalui pendekatan PTT Kedelai selama musim tanam 2005 dan 2006 melalui standart prosedur baku menerapkan komponen komponen teknologi tersebut ternyata mampu mencapai produktivitas tinggi (> 2,0 t/ha) dan secara ekonomis menaikkan pendapatan petani.
Jagung Hibrida Genjah: Prospek Pengembangan Menghadapi Perubahan Iklim Muhammad Azrai
Iptek Tanaman Pangan Vol 8, No 2 (2013): Desember 2013
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Global climate changes threaten the sustainability of maize production and maize consumption. Early maturing, high yielding hybrid maize varieties could be used as an adaptive measure to the climate changes. The national breeding program had released two hybrid varieties, Bima 7 and Bima 8, with yield potential of more than 10 t/ha and matures in 90 days after planting. The breeding research at ICERI is supported by the molecular techniques. Using the SSR markers showed that 24 combinations of drought tolerant inbred lines and 15 combinations of acid-tolerant inbred lines produced high level of heterosis (>75%). These inbred line combinations could be potentially developed into superior hybrids with early maturity. Three ICERI elite inbred lines of yellow grain color and tolerant to downy mildew had been top crossed by using 41 inbred lines of white grain color, super-early maturing, tolerant to drought and high temperature, obtained from CIMMYT-Kenya outreach program. This activity is part of the joint research between CIMMYT and some maize-producing countries in Asia to develop super early maturing hybrid maize, tolerant to drought. By utilizing molecular marker techniques as a tool for selection, it is expected that within the next 3-4 years, this research collaboration could result an early maturing maize tolerant to drought, high temperature and downy mildew disease. Thus, breeding research to develop early maturing hybrid maize could be the solution to anticipate the climate changes.
Peranan Galur Mandul Jantan dalam Perakitan dan Pengembangan Padi Hibrida Satoto Satoto; Indrastuti A. Rumanti
Iptek Tanaman Pangan Vol 6, No 1 (2011): Juni 2011
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mandul jantan merupakan suatu kondisi bunga dimana tanaman tidak mampu memproduksi polen fungsional. Sistem mandul jantan berfungsi mempermudah produksi benih hibrida dari sejumlah tanaman menyerbuk sendiri seperti padi, kapas, dan sejumlah tanaman sayuran dalam skala komersial. Galur mandul jantan (GMJ) padi diklasifikasikan berdasarkan empat kriteria yaitu (1) berdasarkan pengendali sifat mandul jantan, GMJ dibedakan menjadi empat tipe yaitu mandul jantan genetik (genetic male sterility), mandul jantan sitoplasmik-genetik (cytoplasmic-genetic male sterility), mandul jantan sensitif faktor lingkungan (environment sensitive genic male sterility), dan mandul jantan nongenetik atau karena perlakuan kimiawi (non-genetic or chemically induced male sterility); (2) perilaku genetik dari gen ms, GMJ dibedakan menjadi dua tipe yaitu sporofitik dan gametofitik; (3) pola pelestarian dan pemulihan (maintaining-restoring) dari GMJ, terdapat tiga tipe yaitu WA, Honglian, dan Boro type (BT), dan (4) morfologi polen, GMJ digolongkan ke dalam tipe typical abortion, spherical abortion, dan stained abortion. Pengembangan padi hibrida dengan menggunakan sistem GMJ sitoplasmik-genetik mutlak memerlukan tetua jantan yang disebut galur pemulih kesuburan (restorer line). Karakter pemulihan kesuburan dikendalikan oleh gen dominan tunggal ‘Rf’ yang mempunyai pengaruh gametofitik. GMJ dan pemulih kesuburan dimanfaatkan untuk merakit varietas hibrida sistem tiga galur. Dua cara utama untuk mendapatkan tanaman mandul jantan yaitu: (a) dari persilangan kerabat jauh, misalnya persilangan antarspesies (O. sativa x O. glaberrima), persilangan antar-ras (indika x japonika), dan persilangan antar varietas yang sangat berbeda sumber asalnya; dan (2) dari tanaman mandul jantan alami, yang biasanya merupakan hasil dari mutasi gen, sehingga tidak ditemukan galur pelestari pasangannya. Bioteknologi juga menjadi salah satu metode alternatif untuk merakit GMJ, antara lain dengan memanfaatkan sinar gamma, teknik kultur jaringan seperti kultur antera, marker added selection (MAS), quantitative trait loci (QTL), dan transformasi genetika.
Kendali Genetik dan Karakter Penentu Toleransi Kedelai terhadap Salinitas Ayda Krisnawati; M. Muchlish Adie
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 2 (2009): Desember 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Saat ini, salinitas menjadi salah satu ancaman bagi sistem produksi bahan pangan, termasuk kedelai. Salinitas pada kedelaimenyebabkan penurunan tingkat perkecambahan, nekrosis daun, berkurangnya warna hijau daun, menghambat pertumbuhan akar, dan menurunkan jumlah nodul. Hal tersebut mengakibatkan penurunan biomass tanaman, tinggi tanaman, ukuran daun, hasil biji, kualitas biji, dan kemampuan tumbuh. Salah satu strategi untuk mengatasi dan mengeliminasi penurunan produksi kedelai akibat meluasnya salinitas adalah merakit varietas toleran salinitas. Keberhasilan perakitan varietas kedelai toleran salinitas ditentukan oleh tersedianya sumber gen toleran, yang dapat diperoleh melalui identifikasi terhadap koleksi plasma nutfah kedelai. Beberapa karakter morfologi dan fisiologi potensial digunakan sebagai dasar penentu toleran kedelai terhadap salinitas. Namun, pengalaman penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa penggunaan identifikasi toleransi terhadap salinitas berdasarkan karakter tunggal seringkalimenyulitkan, sehingga diperlukan karakter gabungan yang potensial untuk digunakan sebagai penyeleksi toleransi kedelai terhadap salinitas.
Wereng Cokelat sebagai Hama Global Bernilai Ekonomi Tinggi dan Strategi Pengendaliannya Baehaki S. E.; Made Jana Mejaya
Iptek Tanaman Pangan Vol 9, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Brown planthopper (BPH) is a global rice pest, widespread in the Palaeartik, Oriental, and Australian regions. This pest had caused high losses of economic value, both as yield losses and as funds, to be used for research in the technological control. Both nymphs and adults of BPH are damaging on rice plants, through an extensive sucking of the cell sap. BPH also transmits viruses, thus increases level of BPH infestation occasionally are accompanied by substantial losses of rice crop by virus diseases resulting in hopperburn. Countries most affected by BPH attacks and had spent high number of funds to control are China, Vietnam, Thailand, Philippines, Malaysia, and Indonesia. BPH attack disrupts the nutrient uptake processes occurring on the roots, whereas the rice roots are not only playing a major role in taking up nutrients and water, but also functioning as sites for biosynthesis of substances that affect physiological activities, such as cytokinins, zeatin, and zeatin riboside. Senescence process of the leaves, transportation and distribution of assimilates, grain flling, and grain yield are closely correlated with the function of root systems of the rice plant. Strategy for BPH control includes assembling durable resistance of rice varieties using the available germplasm, tightening resistant line screening, action program such as simultaneous planting based on triangle strategies, increasing the use of light traps to monitor the populations dynamic and reducing insect populations. Control of brown planthopper using insecticides should consider the latest economic threshold, depending on the price of grain at harvest.
Tataguna Air Irigasi di Tingkat Usahatani: Kasus di Barugbug, Jatiluhur Achmad M. Fagi
Iptek Tanaman Pangan Vol 1, No 1 (2006): Juli 2006
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Air dari bendungan modern memiliki multifungsi dan ketersediaannya semakin terbatas. Petani padi pada lahan irigasi selama ini masih menganggap air sebagai komoditi yang harus ada dengan sendirinya, oleh karena itu, mereka perlu disadarkan bahwa air harus digunakan secara hemat dan efisien. Studi dengan meng- gunakan kasus subsistem bendung Barugbug, wilayah pengairan Jatiluhur, Subang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa untuk meningkatkan efisiensi pengairan perlu upaya komprehensif, meliputi pemeliharaan fasilitas irigasi (kalibrasi pintu air, pemeliharaan saluran), teknik budi daya hemat air dan kedisiplinan petugas dan petani dalam menyalurkan air ke petakan sawah. Peningkatan efisiensi pada subsistem Barugbug masih terhambat oleh kerusakan fasilitas irigasi, tidak tersedianya bendung pembagi, dan tidak digunakannya papan paster sebagai dasar penyaluran air irigasi. Kehilangan air pada saluran induk sepanjang 4,5 km masih cukup besar, sekitar 35%. Teknik irigasi padi sawah secara macak-macak (tanah basah tidak tergenang) selama periode 35-85 hari setelah tanam (HST) atau macak-macak sejak tanam hingga menjelang panen meningkatkan efisiensi produksi penggunaan air dari sekitar 6 kg/mm/ha untuk genangan terus-menerus, menjadi 9-10 kg/mm/ha untuk pengairan macak-macak. Kebutuhan air untuk palawija yang efektif melalui teknik pengairan yang efisien perlu dijadikan dasar perhitungan volume air bagi perluasan tanaman palawija dan sebagai dasar perbaikan neraca air pengairan.

Page 3 of 19 | Total Record : 189