Forum Penelitian Agro Ekonomi
Forum penelitian Agro Ekonomi (FAE) adalah media ilmiah komunikasi penelitian yang berisi review, gagasan, dan konsepsi orisinal bidang sosial ekonomi pertanian, mencakup sumber daya, agribisnis, ketahanan pangan, sosiologi, kelembagaan, perdagangan, dan ekonomi makro.
Articles
395 Documents
Tataniaga Kentang Sumatera Barat Keluar Daerah: Studi Kasus di Kecamatan Banuhampu Sungai Puar Kabupaten Agam ke Pakan Baru
Buharman B
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 1, No 2 (1983): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v1n2.1983.37-47
IndonesianKentang termasuk komoditi pangan yang cukup penting karena merupakan sumber protein dan karbohidrat yang tinggi. Konsumsi kentang Indonesia relatif rendah (1 gk/kapita/tahun) dibanding negara lain. Perkembangan penduduk dan perbaikan pendapatan merupakan faktor penunjang dalam meningkatkan produksi, tetapi sebaliknya produksi kentang di Sumatera Barat dalam 5 tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Rendahnya harga dan meningkatnya biaya masukan dianggap sebagai penyebab tidak meningkatnya produksi. Pembuktian lebih lanjut dari anggapan ini dilihat dengan melakukan analisa biaya produksi serta analisa penyebaran harga dari produsen hingga konsumen. Dari biaya korbanan langsung sebesar Rp 844.650 diperoleh keuntungan Rp 594.190 (B/C=1,7) pada tingkat produksi rata-rata 8,39 ton/ha. Saluran utama dalam tataniaga kentang terdiri atas 4 mata rantai. Analisa penyebaran hanya menunjukkan bahwa besarnya margin petani adalah 64,15 persen pada level harga Rp 170/kg margin biaya 19,73 persen dan margin keuntungan 16,12 persen. Biaya tataniaga sebagian besar diserap untuk transport cost disamping ini selama pemasaran terjadi penyusunan sebesar 8,5 persen.
Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia
Sudi Mardianto;
Yana Supriyatna;
Nur Khoiriyah Agustin
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 23, No 2 (2005): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v23n2.2005.116-131
EnglishRice and unhusked rice marketing systems are highly correlated with farmers’ income. The paper discusses rice and unhusked rice marketing patterns in Indonesia and observes the function of each channel in details. Food marketing system is affected by the government policy, but how the government intervenes in a market is still debatable. Types and targets of the government’s intervention in market mechanism are different between the developing and developed countries. Currently the consumers’ preference changes from purchasing rice as a commodity to rice as a product. It should satisfy the following criteria, namely containing certain nutrients, low glucose content, and organic product. The consumers’ preference change results in rice marketing patterns, which are segmented into income groups. At farm level, however, unhusked rice and rice marketing patterns do not change significantly. The paper describes marketing patterns in three regions in Indonesia during the controlled price (New Order) period and free market era. Rice policy in the country is highly correlated with Bulog. Thus, role of and results achieved by Bulog are presented.IndonesianSistem pemasaran gabah dan beras memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan tingkat pendapatan petani. Makalah ini mengkaji tentang pola pemasaran gabah dan beras di Indonesia untuk melihat secara lebih mendalam fungsi dari masing-masing tingkatan perdagangan gabah dan beras. Sistem pemasaran pangan tidak terlepas dari peranan pemerintah, namun bagaimana peranan pemerintah dalam suatu pasar seharusnya masih menjadi polemik. Bentuk dan sasaran intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar tersebut bervariasi antara negara maju dengan negara berkembang. Dewasa ini mulai terjadi perubahan preferensi konsumen yang tidak lagi sekedar membeli beras sebagai komoditas, namun mulai bergeser ke arah beras yang dipandang sebagai produk, yakni yang mengandung nutrisi tertentu, kandungan glukosa yang rendah dan proses produksi yang tidak menggunakan bahan kimia. Perubahan preferensi konsumen tersebut berdampak terhadap pola pemasaran beras yang tersegmentasi menurut kelas-kelas pendapatan konsumen. Berkaitan dengan pola pemasaran gabah dan beras, hingga saat ini pola pemasaran gabah dan beras di tingkat petani tidak mengalami perubahan yang berarti. Untuk membuktikan hal tersebut, maka diuraikan perkembangan pola pemasaran di tiga daerah di Indonesia pada periode harga terkendali (Orde Baru) dan periode pasar bebas. Kebijakan perberasan di Indonesia juga sangat terkait dengan Bulog, sehingga peranan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh Bulog relevan untuk disajikan.
Analisis pasar komoditas hortikultura sayuran tanah karo: Kasus kentang dan bawang daun
Budiman Hutabarat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 11, No 2 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v11n2.1993.37-46
IndonesianPengembangan komoditas syuran di Sumatera utara mempunyai harapan yang baik karena propinsi ini memiliki keunggulan kompetitif dalam dua hal: i) komoditas hortikulturanya sangat luas, ii) sumberdaya alamnya mendukung, dan iii) jarak geografisnya sangat dekat kepada pasar luar negeri. Makalah ini ditujukan untuk menyelidiki keragaan dan hubungan antara pasar produsen dan pasar konsumen (dalam negeri dan ekspor) sayuran terutama kentang dan bawang daun di Sumatera Utara. Penelitian ini menyimpulkan bahwa alternatif rantai pemasaran komoditas kentang lebih beragam daripada komoditas bawang daun. Pengimpor utama komoditas hortikultura Sumatera Utara adalah Malaysia dan Singapura. Tetapi peningkatan volume ekspor ini terutama disebabkan oleh terjadinya depresi rupiah terhadap dolar malaysia dan Singapura. Di dalam negeri sendiri terlihat hubungan yang sangat nyata antara harga produsen dengan harga konsumen.
Penataan Ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Kelembagaan dalam Perspektif Pemantapan Pengelolaan Usahatani
Tri Ratna Saridewi;
Setia Hadi;
Akhmad Fauzi;
I Wayan Rusastra
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 32, No 2 (2014): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v32n2.2014.87-102
EnglishRapid development on Ciliwung watershed converts farmland to other uses causing decreased catchment area and flood. Flood occurrence on Ciliwung watershed indicates that current land use planning is not in accordance with its carrying capacity. Currently, most of the policies issued to manage watershed are dominated by structural approach. Moreover, land use planning often leads regional and sectoral conflicts. Based on a literature study, a non-structural approach should be done prior to a structural approach. Land use planning using an institutional approach is part of a non-structural approach. An institutional approach in managing Ciliwung watershed could be based on Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD). Payment mechanism for environmental services and compensation can be carried out through the operation and maintenance of irrigation and watershed management simultaneously. Good watershed quality is able prevent flood incidence and to guarantee continuity of irrigation water supply resulting in farming productivity improvement. Optimum allocation of Ciliwung watershed can be achieved by accommodating both conservation and economic requirements simultaneously. Effective institutional interaction is the appropriate way to ensure implementation of integrated watershed management. IndonesianPembangunan yang sangat pesat di Daerah Aliran Sungai Ciliwung mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Hal ini menyebabkan berkurangnya daerah resapan air sehingga terjadi banjir. Banjir tersebut merupakan indikasi bahwa tata ruang saat ini tidak sesuai dengan daya dukung wilayah. Selama ini, kebijakan pemerintah untuk penyelesaian pengelolaan kawasan DAS lebih didominasi oleh penyelesaian secara struktural. Selain itu, perencanaan penataan ruang yang telah disusun seringkali menimbulkan adanya konflik sektoral dan kewilayahan. Melalui studi literatur, dapat diketahui bahwa pendekatan yang bersifat nonstruktural harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pendekatan struktural. Penataan ruang menggunakan pendekatan kelembagaan merupakan bagian dari pendekatan nonstruktural. Pendekatan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan DAS Ciliwung dapat mengacu pada Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD). Mekanisme imbal jasa lingkungan dan pemberian kompensasi dapat dilakukan melalui operasi dan pemeliharaan irigasi serta pengelolaan DAS secara bersamaan. Kualitas DAS yang terjaga dengan baik mampu menanggulangi banjir sekaligus menjaga kontinuitas air irigasi sehingga produktivitas usahatani meningkat. Alokasi tata ruang kawasan DAS Ciliwung yang optimum dapat diperoleh dengan mengakomodir kebutuhan konservasi dan ekonomi secara bersamaan. Interaksi kelembagaan yang efektif merupakan langkah yang tepat untuk menjamin implementasi pengelolaan DAS secara terpadu.
Industri Perunggasan: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan
nFN Saptana;
Rosmijati Sayuti;
Khairina M. Noekman
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 1 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v20n1.2002.50-64
EnglishRegarding sustainable economic development, the government have to consider three main roles, i.e. : to accelerate growth through efficiency improvement, to generate equity and justice, and to maintain stability as well as macro-economic growth. The economic system being exclusively bias to one of the said economic dimensions will not sustainable in the long-run. The assessment which accommodate complementary growth and equity on poultry industry is important, due to structural problems on the respective industry, in addition to marginalization of smallholder poultry farmers. Government policies being bias toward economic growth in the condition of economic crisis have substantial negative impact on national poultry industry. IndonesianDalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan pemerintah mempunyai tiga fungsi sentral yaitu meningkatkan efisiensi guna mempercepat pertumbuhan, menciptakan pemerataan dan keadilan, memacu pertumbumhan ekonomi secara makro dan menjaga stabilitasnya. Suatu sistem perekonomian yang bias ke salah satu tujuan akan menghasilkan kinerja pembangunan ekonomi yang rapuh. Dalam kontek ini, kajian yang memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan pada industri perunggasan di pandang sangat relevan, karena pada bidang usaha ini telah terjadi ketimpangan struktur pasar input, pasar hasil (output), integrasi vertikal dan horisontal, dan tersisihnya peternakan rakyat. Kebijakan pemerintah yang bias ke pemacuan pertumbuhan ekonomi adanya dampak krisis ekonomi berkepanjangan telah berdampak buruk pada kinerja industri perunggasan
Struktur dan distribusi pendapatan di pedesaan Sumatera Barat
Mewa Arifin;
Yuni Marisa
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 8, No 1-2 (1990): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v8n1-2.1990.29-34
IndonesianMembicarakan masalah kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, berarti membicarakan distribusi pendapatan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan distribusi pendapatan dikaitkan dengan luas pemilikan sawah di pedesaan Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dari sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama rumahtangga. Pendapatan rumahtangga pada daerah-daerah yang dominan menanam padi lebih rendah daripada daerah yang dominan sayuran atau tanaman keras. Luas pemilikan sawah mempengaruhi besar pendapatan dari sektor pertanian dan ada kecenderungan semakin luas pemilikan sawah pendapatan dari usahatani juga semakin besar. Secara umum, daerah yang pendapatannya tertumpu pada lahan sawah terdapat ketimpangan pemilikan sawah diikuti oleh ketimpangan pendapatan.
Keragaan Tumpangsari Hutan dalam Peremajaan Hutan dan Penghasil Pangan: Analisis Kasus Tumpangsari di KPH Cepu.
Agus Pakpahan;
Bambang Irawan;
nFN Hendiarto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 1, No 2 (1983): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v1n2.1983.19-36
IndonesianTumpangsari hutan merupakan suatu penerapan konsep agroforestry yang telah berjalan lebih dari satu abad sejak Buurman memperkenalkannya pada tahun 1873. Permasalahan yang dirasakan pada penerapan metoda tumpangsari dalam sistem peremajaan hutan dewan ini adalah adanya gejala semakin langkanya pekerja hutan yang dapat dikontrak sebagai pembuat tanaman. Kesulitan itu disinyalir disebabkan adanya kecenderungan penurunan produktivitas lahan sehingga pendapatan pesanggem dari hasil usahataninya berkurang. Di pihak lain metoda peremajaan ini merupakan metoda peremajaan hutan yang diandalkan karena kelebihan-kelebihannya dibanding dengan metoda peremajaan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai keragaan tumpangsari hutan terutama yang berhubungan dengan perubahan penerimaan dan biaya, resiko dan respon dari faktor-faktor produksi terhadap hasil sebagai akibat adanya perubahan teknik berproduksi dari tumpangsari tradisional ke Inmas tumpangsari. Untuk sampai pada tujuan tersebut telah digunakan metoda analisis budget, pembandingan koefisien variasi (CV), dan analisis fungsi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan atas biaya tunai meningkat sebesar 75 persen dan 13 persen masing-masing untuk perubahan tumpangsari tradisional ke Inmas tumpangsari pada lahan bonita 3 dan bonita 4. Resiko yang dihadapi dalam usahatani tumpangsari cukup tinggi seperti tergambar dalam CV yang pada umumnya lebih dari 40 persen. Elastisitas penerimaan atas biaya tunai (dihitung dengan metoda aritamtik biasa) terhadap perubahan biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan pestisida adalah 45 persen dan 22 persen masing-masing untuk perubahan tumpangsari tradisional ke Inmas pada lahan bonita 3 dan bonita 4. Adapun hasil pengujian statistik dari fungsi produksi, secara parsial tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berarti dari setiap masukan usahatani dan jarak antara lahan andil dengan rumah petani. Walaupun begitu, pengaruh peubah-peubah bebas tersebut secara sekaligus keseluruhan menunjukkan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap
Undang Fadjar
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 1 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v24n1.2006.46-60
EnglishDevelopment of estate crops sub-sector in Indonesia aims to achieve realistic growth and equality. However, the policy is not easily implemented due to the latent problems of the gap between estate crop companies and smallholders. Integrating estate companies and smallholders is still debatable. However, actual reality shows that synergy of both estate companies and smallholders are really needed to overcome structural constraints at global and local levels. Partnership in estate crops between the companies and the smallholders has not been successfully overall gap, but empowering both smallholders and companies will lessen the gap. All parties need to conduct rational discussion to improve self correction and capital social. It is expected to enhance partnership structure, such as improved business opportunities in order to advance the smallholders. IndonesianPembangunan sub-sektor perkebunan di Indonesia ditujukan untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan. Namun demikian, hal ini tidaklah mudah karena akan berhadapan dengan persoalan laten peninggalan masa kolonial, yaitu ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang upaya untuk mengintegrasikan usaha perkebunan besar dengan perkebunan rakyat. Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa sinergi antara keduanya semakin dibutuhkan, terutama untuk membangun kekuatan bersama dalam menghadapi hambatan struktural pada aras global serta untuk mengatasi kesenjangan pada aras lokal. Meskipun pelaksanaan program kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan secara maksimal, namun dengan memberdayakan petani mitra dan juga perusahaan mitra menjadi masyarakat perkebunan yang komunikatif; kelemahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu, semua pihak perlu mengembangkan perbincangan yang rasional yang membawa pencerahan, refleksi diri, dan pengembangan modal sosial. Lebih lanjut hal ini dapat diharapkan akan membuahkan konsensus bersama di antara komponen yang bermitra untuk melakukan perbaikan struktur kemitraan. Dalam hal ini, struktur kemitraan yang diharapkan adalah sebuah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha, sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani kecil.
Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Padi Melalui Valuasi Ekonomi
Ening Ariningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 33, No 2 (2015): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v33n2.2015.111-125
EnglishIndonesia has potency of widely diverse genetic resources of rice useful to assembly the new varieties. This study aimed to analyze (1) diversity of genetic resources and their utilization in the assembly of rice varieties; (2) importance of preserving the diversity of rice genetic resources; (3) a conceptual overview of economic valuation of genetic resources of rice; and (4) economic value of genetic resources of rice. This paper is a literature review related to genetic resources and economic valuation of rice. The results show that the economic valuation of genetic resources of rice necessary to do in order to become a reference for breeders of rice in assembling new varieties of rice in accordance with preferences of rice farmers and consumers, so that the new varieties of rice produced to be widely adopted and provide economic impact on communities. In addition, in the conditions of limited conservation budgets, economic valuation can be used to better focus efforts to manage genetic resources that are considered to provide greater economic benefits. The management of genetic resources could be done through exploration, conservation, characterization and evaluation, documentation, as well as the exchange of material and information between research institutions from home and abroad. IndonesianIndonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya genetik padi yang sangat beragam yang dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietas unggul baru padi. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian mengenai (1) keanekaragaman sumber daya genetik padi dan pemanfaatannya dalam perakitan varietas unggul; (2) pentingnya pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik padi; (3) tinjauan konseptual valuasi ekonomi sumber daya genetik padi; dan (4) nilai ekonomi sumber daya genetik padi. Tulisan ini merupakan review dari berbagai literatur terkait dengan sumber daya genetik padi dan valuasi ekonomi, khususnya valuasi ekonomi sumber daya genetik padi. Hasil kajian menunjukkan bahwa valuasi ekonomi sumber daya genetik padi penting untuk dilakukan supaya dapat menjadi acuan bagi para pemulia padi dalam merakit varietas unggul baru padi yang sesuai dengan preferensi petani padi maupun konsumen beras, sehingga varietas unggul baru padi yang dihasilkan dapat diadopsi secara luas dan memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat. Di samping itu, dalam kondisi anggaran konservasi yang terbatas, valuasi ekonomi dapat digunakan untuk lebih memfokuskan upaya pengelolaan sumber daya genetik yang dinilai memberikan manfaat ekonomi lebih besar. Pengelolaan sumber daya genetik tersebut dilakukan dengan eksplorasi, konservasi, karakterisasi dan evaluasi, dokumentasi, serta pertukaran material dan informasi antara lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri.
Masalah Pertanahan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Tindak Lanjut Pembaruan Agraria
nFN Sumaryanto;
nFN Syahyuti;
nFN Saptana;
Bambang Irawan
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 2 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21082/fae.v20n2.2002.1-19
EnglishFor many years, to spoor agricultural growth and development Indonesia has been being constrained by its problems of land tenure. Land ownership and holding by farmers are very small, unconsolidated, and deteriorated. The tenure has not been being improved because of inconsistent both policy and its implementation. Assuming that Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 with regard to agrarian reform and natural resource management reflected political will of the nation, we need some inputs for its follow up. To meet the need, better understanding of land tenure and its relation to both agricultural and rural development is required. IndonesianSalah satu masalah mendasar yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem pertanian yang tangguh adalah struktur pengusaan yang tidak terkonsolidasi, serta penguasaan rata-rata per petani yang sangat kecil dan timpang. Sampai saat ini upaya memperbaiki struktur penguasaan tanah tidak tercapai. Hal itu merupakan akibat dari rumusan kebijaksanaan yang tidak mampu mengakomodasi faktor-faktor strategis dalam masalah pertanian dan implementasi kebijaksanaan yang kurang konsisten. Dengan anggapan bahwa Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Penguasaan Sumberdaya Alam mencerminkan aspirasi politik bangsa, maka arah perbaikan menjadi lebih terbuka. Dalam konteks demikian itu, pemahaman masalah pertanahan secara komprehensif sangat di perlukan agar tindak lanjut Tap tersebut mencapai sasaran. Tulisan ini mencoba menginventarisasi, mengidentifikasi dan membahas konstelasi permasalahan di bidang pertanahan yang secara empiris sangat kompleks. sasarannya adalah meningkatkan pemahaman dan kearifan dalam merumuskan kebijaksanaan di bidang pertanahan dan implementasinya.