Unifikasi: Jurnal Ilmu Hukum
Unifikasi: Jurnal Ilmu Hukum, an ISSN national journal p-ISSN 2354-5976, e-ISSN 2580-7382, provides a forum for publishing research result articles, articles and review books from academics, analysts, practitioners and those interested in providing literature on Legal Studies. Scientific articles covering: Sustainable Development Goals (SDGs) Law, Natural Resources Law and Environmental Law.
Articles
155 Documents
THE IMPLEMENTATION OF MINIMUM WAGE ESTABLISHMENT BASED ON LAW NUMBER 13 OF 2003 CONCERNING MANPOWER
Nona Rizki Nusantara;
Dikha Anugrah;
Fathanudien Anthon
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.707
This study aims to analyze the procedure of minimum wage establishment based on Law No. 13 of 2003 concerning Manpower as well as the implementation of minimum wage establishment based on Law No. 13 of 2003 in Kuningan District. The method used in this study was a descriptive analytical method with an empirical juridical approach. The data were collected through interviews and literature study with data collection tool in the form of field notes. The data were then analyzed by applying qualitative analysis technique. As results, it was revealed that the procedure of minimum wage establishment is based on Law No. 13 of 2003 concerning Manpower in which the establishment of minimum wage is directed towards meeting the decent living needs. The minimum wage is established by the Governor after considering the recommendations provided by Provincial Wage Councils and/or District Heads/Mayors. Meanwhile, the components of and the implementation of the phases of achieving the decent living needs are specified and determined with a Ministerial Decision. Briefly, in general, the implementation of minimum wage establishment which is based on Law No. 13 of 2003 in Kuningan District is quite good since the minimum wage establishment is regulated by the Governor with the consideration that the Governor is more aware of the social, economic and employment conditions in West Java.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur penetapan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta implementasi penetapan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di Kabupaten Kuningan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan studi kepustakaan dengan alat pengumpul data berupa catatan lapangan. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur penetapan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri; serta implementasi penetapan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di Kabupaten Kuningan secara umum cukup baik sebagaimana penetapan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan pertimbangan bahwa Gubernur lebih mengetahui kondisi sosial, ekonomi, dan ketenagakerjaan di Jawa Barat.
THE POSITION AND AUTHORITY OF THE ELECTION SUPERVISORY BOARD IN INDONESIAN CONSTITUTIONAL SYSTEM
Uu Nurul Huda
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1807
The institutional arrangement of election organizers through the strengthening of the Election Supervisory Board is regulated in Law No. 7 of 2017 concerning General Elections. One of these arrangements is related to the strengthening of the position and authority of the Election Supervisory Board in handling election violations. This study aims to find out the position of the Election Supervisory Board in Indonesian administration system and to analyze the authority of the Election Supervisory Board in handling election violations. The method used in this study was a normative juridical method by employing library research. The collected data were then analyzed qualitatively. The results showed that the position of the Election Supervisory Board in Indonesian administration system is one of the state election organizers in which its position is equal to the General Election Commission and the Honorary Council of Election Committee. Meanwhile, the authorities of the Election Supervisory Board include; receiving and following up on reports relating to alleged violations in the implementation of legislations governing general election; examining, analyzing and deciding on violations in general election administration; examining, analyzing and deciding on violations of money politics; and receiving, examining, mediating or adjudicating, and deciding upon the resolution of election process disputes. Based on these authorities, the Election Supervisory Board as an institution is a super-body general election organizer in handling election violations. Penataan kelembagaan penyelenggara pemilu melalui penguatan Badan Pengawas Pemilihan Umum telah diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penataan tersebut salah satunya berkaitan dengan penguatan kedudukan dan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam penanganan pelanggaran pemilu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kedudukan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan Indoensia, dan untuk mengetahui serta menganalisis wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam penanganan pelanggaran pemilu. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan penelitian studi kepustakaan dan analisisnya menggunakan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam sistem ketatanegaraan merupakan salah satu lembaga negara penyelenggara pemilu, di samping Komisi Pemilihan Umun dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Adapun wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum di antaranya“menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu; memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu; memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang; menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.”Berdasarkan wewenang tersebut, Badan Pengawas Pemilihan Umum secara kelembagaan merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang superbody dalam penanganan pelanggaran pemilu.
LAW ENFORCEMENT MODEL IN COMMUNITY-BASED WASTE MONITORING AND MANAGEMENT AS A REALIZATION OF GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE PRINCIPLES IN WEST SUMATERA, INDONESIA
Puspita, Lona
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1629
The increasing number of population and industry will have an impact on the number of waste produced, such as plastic waste, paper waste, and packaging products containing toxic materials. This research aims to create a law enforcement model in community-based waste monitoring and management as a realization of the principles of Good Environmental Governance. The research method used was empirical juridical. The results showed that the law enforcement model adapted in community-based waste monitoring and management to realize good environmental governance in West Sumatra Province is started from the monitoring carried out by the community towards the community members littering or do not do waste sorting in which its results will be reported to the Department of Environment. In addition to being based on regional regulations, the law enforcement model is also carried out in the form of social sanctions in which the persons will be being announced on social media for 30 days or participating in various programs conducted by the Department of Environment for 30 days. Hence, community involvement must start from the management, processing, monitoring, and law enforcement. Peningkatan jumlah penduduk dan usaha industri akan memberikan pengaruh terhadap sampah yang akan dihasilkan seperti sampah plastik, kertas, produk kemasan yang mengandung Bahan Beracun Berbahaya. Tujuan penelitian ini adalah bagimana membuat model penegakan hukum dalam pengawasan dan berbasis masyarakat sebagai perwujudan prinsip Good Environmental Governance. Metode penelitian ini bersifat yuridis empiris. Hasil penelitian ini model penegakan hukum dalam pengawasan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat demi terwujudnya good environmental governance di Provinsi Sumatera Barat dimulai dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap warga yang membuang sampah sembarangan atau yang tidak melakukan pilah sampah, yang hasilnya nanti dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup kota setempat. Model penegakan hukum yang dilakukan selain berdasarkan Peraturan Daerah setempat juga penegakan hukum dalam bentuk sanksi sosial berupa di umumkan dalam media sosial selama 30 hari atau ikut serta dalam program Dinas Lingkungan Hidup setempat selama 30 hari. Keterlibatan masyarakat harus dimulai dari pengelolaan, pengolahan, pengawasan dan penegakan hukumnya
THE ROLE OF COMMUNITY EMPOWERMENT CARRIED OUT BY VILLAGE GOVERNMENT IN THE REGIONAL AUTONOMY ERA
Agustina, Enny
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1483
Realizing prosperity in the community needs to be supported by a good development management. In the governance system, it is necessary to have governance behaviour that is honest, open, responsible and democratic. In the community structure, a mechanism providing opportunities for the community in the decision-making process for public interests needs to be developed. This study discusses the role of the village head in empowering village communities. This study used a community-based approach so that the community knows in detail concerning the role of the village head in the Framework for the Implementation of Village Autonomy based on Law No. 6 of 2014 concerning Village. The results showed that village head must have a fair and wise attitude in carrying out his duties and obligations. Besides, the village head must give an easy access to the community in providing assistances. Yet, the most important thing is that, as a leader, the village head must be able to provide a good example for their subordinates so as to create maximum results and good community environment. Mewujudkan kesejahteraan di masyarakat, perlu didukung oleh manajemen pembangunan yang baik. Dalam tatanan tata pemerintahan, perlu untuk memiliki perilaku tata kelola yang jujur, terbuka, bertanggung jawab dan demokratis, sementara dalam tatanan masyarakat suatu mekanisme perlu dikembangkan yang memberikan peluang bagi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. studi ini membahas bagaimana peran kepala desa dalam memberdayakan masyarakat pedesaan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu lebih detail tentang Peran Kepala Desa dalam Kerangka Pelaksanaan Otonomi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Hasil penelitian ini yaitu dalam melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa mereka harus mempunyai tingkah laku yang adil, bijaksana dan tidak mempersulit dalam memberikan layanan kepada semua masyarakat. Namun yang lebih penting lagi bahwa sebagai seorang pemimpin harus bisa memberikan contoh untuk bawahan sehingga mendapatkan hasil yang maksimal dan terciptanya persatuan komunitas yang baik.
THE AXIOLOGY OF PANCASILA IN THE RECONSTRUCTION OF LEGAL CULTURE IN INDONESIA
Junaedi Junaedi
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1815
Pancasila is the result of a consensus with the founding fathers of the nation. Pancasila as a view of life and an ideology of the Unitary State of the Republic of Indonesia provides direction and goal to create an equitable and prosperous community. This study aims to analyze how the Axiology of Pancasila in the Reconstruction of Legal Culture in Indonesia. The method used in this study was normative juridical. The results showed that Pancasila is listed in the Preamble of the 1945 Constitution as a state constitution that needs to be actualized in daily life. Consequently, the values of Pancasila as a result of the crystallization of the nation’s culture that is multiculturalism must be reflected in the mindset, creativity, taste and behavior of Indonesian people. In the field of law, the values of Pancasila must be reflected in law enforcement with a sense of social justice for all Indonesian people. Hence, the legal culture characterized by the values of Pancasila needs to be actualized in order to realize national legal awareness in an effort to develop laws that protect and provide a sense of justice for all Indonesian people.Pancasila adalah hasil konsensus bersama para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa memberikan arah dan tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam NKRI. Tujuan penelitian ini adalah bagaimana Aksiologi Pancasila dalam Rekonstruksi Budaya Hukum Di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian yaitu Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai konsitusi Negara yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga memberikan konsekuensi, bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai hasil kristalisasi budaya bangsa yang bersifat multikulturalisme harus tercermin dalam pola pikir, cipta rasa dan tingkah laku masyarakat Indonesia. Dalam bidang hukum, nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam penegakan hukum yang berwatak rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga budaya hukum yang berkarakter nilai-nilai Pancasila perlu diaktualisasikan demi terwujudya kesadaran hukum nasional dalam upaya membangun hukum yang mengayomi dan memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
CREDIT BANKING IN BUSINESS LAW PERSPECTIVE
Lukmanul Hakim
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1614
The purpose of this study is to encourage an increase in community prosperity, especially in banking legal aspects that can be seen by several things including credit agreements made by banking institutions and customers. In addition, the existence of business risk management has made banking institutions safeguard the health level of the bank so that people continue to believe in the existence of banking institutions. The method in this study uses qualitative analysis which will be given conclusions in accordance with the identification of problems. The results of this study conclude that credit is given to banking institutions in the perspective of business law by using credit agreements as risk mitigation so that non-performing loans will occur which will lead to a decline in bank soundness and the implementation of banking risk management from the perspective of current business law the bank's prudential principle by establishing management operational standards so that banks avoid business risks. The conclusion of this study is that banking institutions must implement procedures in accordance with the standards of each bank so that there will be no legal problems or other business risks. In addition, the application of the precautionary principle must always be applied considering one banking principle is the principle of caution. Tujuan penelitian ini adalah mendorong peningkatan kemakmuran masyarakat terutama dalam aspek hukum perbankan yang dapat terlihat dengan adanya beberapa hal diantaranya adalah perjanjian kredit yang dibuat oleh lembaga perbankan dan nasabah. Selain itu adanya manajemen risiko bisnis menjadikan lembaga perbankan lebih menjaga tingkat kesehatan bank agar masyarakat tetap percaya akan adanya lembaga perbankan. Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang akan diberikan kesimpulan yang sesuai dengan identifikasi permasalahan. Hasil penelitian ini menyimpulkan mengenai kredit diberikan kepada lembaga perbankan dalam perspektif hukum bisnis dengan menggunakan perjanjian kredit sebagai mitigasi risiko agar tidak terjadi kredit bermasalah yang akan mengakibatkan tingkat kesehatan bank menurun dan serta penerapan manajemen risiko bisnis lembaga perbankan ditinjau dari perspektif hukum bisnis saat ini dengan menerapkan prinsip kehati-hatian bank dengan membuat standar operasional manajemen sehingga bank terhindar dari risiko bisnis. Simpulan dari penelitian ini adalah lembaga perbankan harus menerapkan prosedur sesuai dengan standar dari masing-masing bank sehingga tidak akan terjadi masalah hukum atau risiko bisnis lainnya selain itu penerapan prinsip kehati-hatian harus selalu diterapkan mengingat salah satu azas perbankan adalah adanya Azas kehati-hatian.
THE EFFECTIVENESS OF PRISON SENTENCES ON NARCOTICS ADDICTS
Ahmad Hunaeni Zulkarnaen;
Akbar Sanjaya
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1389
Narcotics are substances or drugs that can cause a decrease or change of consciousness, loss of pain and can cause dependence. The dangerous potential of narcotics then becomes the reason of the issuance of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. This study aims to analyze the effectiveness of prison sentences in guiding narcotics addicts and to identify alternative sanctions, other than prison sentences, which are more effective in guiding narcotics addicts. This study applied a normative juridical method. The results revealed that narcotics addicts or narcotics abusers have special characteristics because their status as both offenders and victims. Until now, the sanctions that are commonly sentenced to narcotics addicts by judges are prison sentences. This sanction is given in the hope that narcotics addicts could recover from their addictions while in prison. Yet, the lack of facilities and experts at the correctional institution cause many problems, ranging from prisonization to labeling ex-prisoners. As a result, narcotics addicts who are expected to recover themselves from their addictions through guidance have even more difficult to return to the community. Narkotika adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Potensi berbahaya dari narkotika kemudian menjadi penyebab diundangkannya Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis Efektifkah pidana penjara dalam membina pecandu Narkotika agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan Adakah alternatif lain selain penjara dalam membina para penyalahguna narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative. Hasil penelitian yaitu bahwa Pecandu Narkotika merupakan salah satu pelaku penyalahgunaan narkotika yang memiliki karakteristik istimewa, karena statusnya sebagai pelaku sekaligus korban. Sampai saat ini sanksi yang lazim diputus oleh hakim kepada pecandu narkotika adalah pidana penjara. Putusan ini dijatuhkan dengan harapan bahwa selama menjalani pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana pecandu narkotika bisa sembuh dari kecanduannya, namun minimnya fasilitas dan tenaga ahli di lembaga pemasyarakatan menimbulkan banyak permasalahan, mulai dari prisonisasi narapidana, sampai dengan pelabelan (labelling) mantan narapidana. Akibatnya pecandu narkotika yang setelah menjalani pembinaan, yang seharusnya sembuh dari kecanduannya justru semakin kesulitan kembali ke masyarakat.
SANCTIONS TOWARDS THE TREASURERS OF GOVERNMENT AMIL ZAKAT AGENCY IN PAGARALAM CITY, INDONESIA
Fitria Kusumawardhani
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1435
This study aims to identify and analyze the imposition of sanctions on the government treasurers of Amil Zakat Agency in Pagaralam City, Indonesia. Law No. 20 of 2011 concerning the Eradication of Criminal Acts of Corruption, theory of zakat, agreement between the Treasurer and the Amil Zakat Agency as well as Regulation of the Finance and Development Supervisory Agency were employed in this study. This study applied a normative juridical approach that is a legal systematic approach identifying the core of law. The objects of this study include; a. Legal Subject; b. Rights and obligations; and c. Legal events in legislations. The collected data were then analyzed qualitatively. The results indicated that there was embezzlement of funds carried out by the government treasurers of Amil Zakat Agency on zakat funds which should be used for people who need financial assistance and which should be used to empower low-socio economic community groups.Tujuan dari penulisan ini agar mengetahui dan mengidentifikasi serta menganalisis tentang pemberian sanksi terhadap bedahara Badan Amil Zakat Pemerintah di Kota Pagaralam, Indonesia. Pendekatan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga pendekatan teori mengenai zakat, perjanjian antara Bendahara Gaji dengan Badan Amil Zakat serta Pengaturan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Kasus ini. Metode penelitian yang dipergunakan ialah yuridis normatif yakni sistematika hukum yaitu mengindentifikasi terhadap pengertian pokok dalam hukum. Objek penelitiannya meliputi : a. Subjek Hukum; b. Hak dan Kewajiban; c. Peristiwa hukum dalam peraturan perundang-undangan, menggunakan metode kualitatif. Pendekatan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga pendekatan teori mengenai zakat, perjanjian antara Bendahara Gaji dengan Badan Amil Zakat serta Pengaturan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya penggelapan dana yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah terhadap dana zakat yaitu Badan Amil Zakat yang seharusnya dana zakat tersebut dipergunakan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan dana, yang dapat diberdayakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat dikatakan kurang mampu dalam pendapatan/penghasilan yang disalurkan oleh Badan Amil Zakat.Kata Kunci: Pemberian Sanksi; Korupsi; Dana Zakat, Bendahara Pemerintah, Badan Amil Zakat
Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Penuntut Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Yasmirah Mandasari Saragih, Teguh Prasetyo dan Jawade Hafidz
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 5, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Kuningan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25134/unifikasi.v5i1.763
Abstrak : Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi dasar hukum bagi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyidikan dan penuntutan? Apa kendala-kendala yang dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana Korupsi?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil penelitan yaitu Kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU KPK bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Namun, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK. Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada hal lain yang menjadi kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU KPK dan Pasal 50 UU KPK. Kesimpulan diperlukan pengaturan yang disepakati bersama untuk menghilangkan anggapan adanya tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi muncul setelah dikeluarkannya UndangKata Kunci : Penuntut, Tindak Pidana Korupsi. THE ANALYSIS JURIDIS FOR AUTHORITY THE CORRUPTION ERADICATION COMMISSION AS PROSECUTOR TOWARD THE ACTORS OF CORRUPTION Abstract : The increasing uncontrolled corruption in general will bring disaster to the life of national economy and nation and state. The existence of a public report on corruption is not followed up, and all the consequences of the process of handling corruption in a protracted manner without a justifiable reason then the corruption eradication commission takes over the aforementioned and the demands. The purpose of this study is to know and analyze what is the basis law for the authority of the Corruption Eradication Commission to conduct investigations and prosecutions, and what are the constraints faced by the Corruption Eradication Commission to conduct investigations and prosecutions in Corruption. The research method used is juridical normative, the type of data used is secondary data. The result of research is KPK's authority to handle corruption cases regulated in Article 6 letter C of KPK Constitution, that KPK has duty to conduct investigation, investigation and prosecution of corruption crime. However, the KPK has the additional authority of being able to take over the corruption case even though it is being handled by the Police or Prosecutor's Office (Article 8 paragraph (2) of the KPK Constitution). However, the acquisition of such corruption cases must be for reasons set out in Article 9 of the KPK Constitution. In addition to that authority, there is another matter which becomes the authority of KPK that is as regulated in Article 11 and Article 50 of KPK Constitution. The conclusion is that there is a mutually agreed arrangement to dispel the assumption of overlapping authority in terms of who is authorized to prosecute corrupt acts, arising after the issuance of Constitution.Keywords: Prosecutor, Corruption.