Kertha Semaya
E-Journal Kertha Semaya merupakan jurnal elektronik yang dimiliki oleh Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana. Materi muatan jurnal ini memfokuskan diri pada tulisan-tulisan ilmiah menyangkut lapangan Hukum Perdata atau Bisnis. Secara spesifik, topik-topik yang menjadi tema sentral jurnal ini meliputi antara lain: Hukum Perikatan, Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Perbankan, Hukum Investasi, Hukum Pasar Modal, Hukum Perusahaan, Hukum Pengangkutan, Hukum Asuransi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Hukum Perburuhan.
Articles
19 Documents
Search results for
, issue
"Vol 11 No 6 (2023)"
:
19 Documents
clear
LEGALITAS ABORTUS PROVOCATUS TERKAIT TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PERKAWINAN (MARITAL RAPE)
Tia Monica Sihotang;
A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p02
Penelitian ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui legalitas abortus provocatus terkait tindak pidana perkosaan dalam perkawinan. Penelitian ini dibuat menggunakan metode penelitian hukum normatif dan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini antara lain sampai saat ini Indonesia masih belum mengakui adanya perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan dalam perkawinan masih dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga tidak dapat diberikan hak untuk aborsi. Hal ini disebabkan Undang-undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dalam pasalnya menggunakan frasa perkosaan dimana pengertian perkosaan ini masih merujuk pada KUHP yang mensyaratkan perbuatan perkosaan harus berada di luar perkawinan. Hal ini membuat tindakan aborsi bagi korban perkosaan dalam perkawinan menjadi sesuatu yang ilegal. ABSTRACT This research was written with the aim of knowing the legality of abortion provocatus related to the crime of rape in marriage. This research was made using normative legal research methods and using a statutory approach. The results of this study, among others, until now Indonesia still has not acknowledged the existence of marital rape. Rape in marriage is still categorized as a criminal act of sexual violence according to the Law of the Republic of Indonesia Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. Victims of domestic sexual violence cannot be given the right to abortion. This is because the Law of the Republic of Indonesia concerning Health Number 36 of 2009 in its article uses the phrase rape where the meaning of rape still refers to the Criminal Code which requires that the act of rape must be outside of marriage. This makes abortion for victims of marital rape illegal.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA ACCOUNT NETFLIX PREMIUM SHARING YANG DIPEROLEH SECARA ILEGAL MELALUI PIHAK KETIGA
Ni Made Cahyani Indiraswari;
Putu Devi Yustisia Utami
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p03
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keabsahan dari perjanjian sharing yang dilakukan oleh penguna akun Netflix premium dengan pihak ketiga dan perlindungan hukum bagi pengguna akun Netflix premium sharing yang diperoleh atau dibeli secara illegal. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normative dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan menggunakan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu syarat sebab yang halal karena pihak penjual akun ilegal telah berbuat tidak jujur dalam melakukan kegiatan usaha dan ingin mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Pihak penjual akun ilegal tidak sesuai dengan asas-asas dalam perjanjian yaitu asas itikad baik (good faith) dan telah melanggar syarat dan ketentuan (term and conditions) dari pihak resmi Netflix. Maka dari itu, perlindungan hukum terhadap pengguna akun Netflix premium sharing dan penjual ilegal tidak dapat diberikan karena akibat tidak terpenuhinya syarat objektif (sebab yang halal) sebagai syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 BW (Burgerlijk Wetboek). Syarat objektif suatu perjanjian dapat dikatakan sah, yaitu adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam syarat-syarat objektif membahas tentang objek dari perbuatan hukum yang telah dilakukan. Jika, tidak terpenuhinya syarat-syarat sah dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau batal demi hukum (null and void) dan dianggap bahwa perjanjian tidak pernah ada. ABSTRACT The purpose of this writing is to find out the legal protection for users of Netflix premium sharing accounts obtained or purchased illegally and to find out the validity of the agreements that occur between users and third parties. This paper uses normative research methods with a statutory approach and uses a conceptual approach. The results of this study explained that the agreement that occurred between the two parties did not meet the conditions for the validity of the agreement, namely the halal condition because the illegal account seller had been dishonest in carrying out business activities and wanted to take advantage of himself. The seller of illegal accounts is not in accordance with the principles in the agreement, namely the principle of good faith, and has violated the terms and conditions of the official Netflix party, therefore, legal protection for users of Netflix premium sharing accounts and illegal sellers cannot be provided due to the non-fulfillment of objective conditions (halal causes) as a condition of the validity of the agreement contained in Article 1320 BW (Burgerlijk Wetboek). The objective terms of a treaty can be said to be valid, namely the existence of a certain thing and a lawful cause. In objective terms discusses the object of the legal action that has been carried out. If, the non-fulfillment of the valid conditions in the agreement, then the agreement becomes invalid or null and void and it is considered that the agreement never existed.
PENGATURAN HUKUM HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR MASYARAKAT BATAK DALAM PUTUSAN PERCERAIAN
Vina Yulia;
Abdul Salam
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p04
Penelitian ini mengkaji tentang pengaturan mengenai hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian orangtuanya menurut Undang-Undang Perkawinan dan penerapan hukum adat Batak dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan terhadap hak asuh anak akibat putusnya perkawinan berkaitan dengan Putusan No. 619/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel. Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu yuridis normatif. Hak asuh anak dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Ayah dan Ibu sebagai orang tua berkewajiban untuk memelihara anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab orang tua terhadap anak ini mengandung 2 (dua) kewajiban, yaitu memelihara dan mendidik Memelihara berarti memberikan penghidupan bagi anak, berupa sandang, pangan dan papan. Sedangkan mendidik berarti memberikan pendidikan kepada anak, baik diberikan secara langsung dari orang tua dengan memberikan arahan dan bimbingan yang baik, maupun dengan memberikan pendidikan formal dengan cara menyekolahkan si anak. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak akan berakhir dengan putusnya perkawinan orang tua, oleh karena putusnya perkawinan baik karena perceraian, kematian maupun putusan pengadilan. Hukum adat Batak dalam hak asuh anak menganut sistem patrilineal dimana anak akan meneruskan marga dari garis ayah maka dari itu hak asuh anak dibebankan kepada pihak ayah. This study examines the arrangements regarding custody of minors as a result of their parents' divorce according to the Marriage Law and the application of Batak customary law associated with the Marriage Law on child custody due to the dissolution of marriage related to Decision No. 619/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel. The research method used in conducting this research is normative juridical. Child custody in Article 45 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage states that fathers and mothers as parents are obliged to look after their children as well as possible. The responsibility of parents towards children contains 2 (two) obligations, namely nurturing and educating. Caring means providing a living for children, in the form of clothing, food and shelter. While educating means providing education to children, whether given directly from parents by providing good direction and guidance, or by providing formal education by sending the child to school. The responsibility of parents towards children will not end with the breakup of the parents' marriage, due to the breakup of the marriage either due to divorce, death or a court decision. Batak customary law in child custody adheres to a patrilineal system where the child will continue the clan from the father's line, therefore child custody is borne by the father.
HAKEKAT INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Nasution Nasution;
Siti Hasanah;
Imran Imran;
Firzhal Arzhi Jiwantara
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p05
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari intevensi pihak manapun dalam menegakkan kebenaran dan keadilan substantive dalam sistem ketatanegaraan negara republik indonesia. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian ini adalah Indenpendensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat yang sangat penting bagi hakim dalam menjalankan kegiatan yudisialnya, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara di pengadilan. Indenpendensi kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran, kehormatan, martabat, dan kewibawaan hakim. Jika tidak, maka akan terjadi manipulasi dan mafia hukum di lembaga peradilan, yang bisa saja berlindung di bawah independensi peradilan, sehingga membuat para hakim menyalahgunakan jabatannya dan menjadi sulit tersentuh hukum dan menunjukan bahwa independensi Kekuasaan kehakiman dalam arti bebas dari campur tangan dan pengaruh dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, sikap hakim dalam proses persidangan akan amat menentukan objektivitas dalam memutuskan suatu perkara. Kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim.
ANALISIS PERILAKU KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN KADALUWARSA: STRATEGI PENGURANGAN LIMBAH MAKANAN
Rachel Rachel;
Richard C. Adam
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p01
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki fase pertama dan kedua dalam analisis perilaku konsumen terhadap produk pangan kadaluwarsa sebagai strategi pengurangan limbah makanan. Maksudnya yaitu bagaimana konsumen mempersepsikan makanan yang telah rusak dan bagaimana hal itu mempengaruhi apakah mereka menerimanya atau tidak. Metode penelitian yang digunakan adalah dua fase yang berbeda dengan sebuah pertanyaan terbuka. Tanggapan pertanyaan diperiksa secara cermat untuk mengidentifikasi gagasan dan pendapat. Pre test terdiri dari survei singkat 11 produk yang berbeda. Kuesioner ini disebarkan melalui media sosial. Hasil penelitian mengungkapkan pendapat peserta tentang makanan yang rusak bervariasi, dengan beberapa menolaknya karena mereka berusaha untuk kesempurnaan dalam makanan yang mereka beli. Namun, beberapa orang sering puas dengan barang inferior, terutama jika mereka senang memasak dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Secara keseluruhan, penelitian ini berimplikasi pada tindakan pemasaran serta strategi untuk mengurangi limbah makanan. This study aims to cover the first and second stages in the analysis of consumer behavior towards expired food products as a food waste reduction strategy. The point is how consumers perceive spoiled food and how it affects whether they accept it or not. The research method used is two different phases with an open question. Responses to questions were carefully scrutinized to identify ideas and opinions. The pre test consists of a brief survey of 11 different products. This questionnaire was distributed via social media. The results revealed that the participants' opinions of spoiled food varied, with some being disapproved of because they strive for perfection in the food they buy. However, some people are often content with inferior goods, especially if they enjoy cooking and have a concern for the environment. Overall, this research has implications for marketing actions as well as strategies to reduce food waste.
PEER TO PEER (P2P) LENDING:UPAYA MENGATASI LAYANAN PINJAMAN ONLINE ILEGAL TERHADAP KEAMANAN DATA PRIBADI
Ni Wayan Nitya Varshini Sahare;
Putu Devi Yustisia Utami
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p12
Tujuan penelitian ini guna untuk mengetahui perlindungan data pribadi debitur dalam pinjaman online kemudian untuk memahami bagaimana upaya dalam mengatasi pinjaman online ilegal terhadap perlindungan data pribadi. Dalam hal ini bahwa dalam pinjaman online terdapat sebuah perlindungan demi mengantisipasi adanya pinjaman berbasis Ilegal di antaranya Pasal 1234 KUHPerdata Wanprestasi, Pasal 26 UU No. 19 Tahun 2016 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik, POJK Nomor 77/POJK.07/2016 selanjutnya Satgas Waspada Investasi (SWI) dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Komisioner OJK No. 01/KDK.01/2016. Disamping itu metode penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan melakukan kepustakaan terkait Peraturan Perundang-undangan misalnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Rancangan UU tentang Perlindungan Data Pribadi dan juga terkait dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasil dalam penelitian ini perlindungan data pribadi sebagai bagiannya atas hak pribadi. Hal mengenai itu diberi pengaturannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 mengenai proses lindungan data individu pada penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Kemudian, sudah menjadi hak dan kewajiban memberikan perlindungan kepada konsumen untuk melindungi konsumen yang telah mengadakan kontrak. The purpose of this research is to find out the protection of the debtor's personal data in online loans and then to understand how to overcome illegal online loans on the protection of personal data. In this case, in online loans there is a protection in order to anticipate illegal-based loans, including Article 1234 of the Civil Code for Default, Article 26 of Law no. 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions, POJK Number 77/POJK.07/2016 furthermore the Investment Alert Task Force (SWI) was established based on the Decree of the OJK Commissioner No. 01/KDK.01/2016. In addition, the research method used is a normative juridical approach by conducting literature related to laws and regulations such as Law no. 19 of 2016 concerning Information and Transactions. Draft Law on Personal Data Protection and also related to the Financial Services Authority (OJK). The results of this study protect personal data as part of personal rights (privacy rights). This is regulated in Government Regulation Number 71 of 2019 concerning the protection of personal data in the operation of electronic systems and transactions. Then, it is the right and obligation to provide protection to consumers to protect consumers who have entered into contracts.
KEWENANGAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM MENANGANI PERKARA PELANGGARAN PRAKTEK MONOPOLI
Kadek Earliana Putri;
I Made Dedy Priyanto
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p17
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam melakukan penegakan terhadap pelaku usaha praktek monopoli serta membahas tentang apa saja kewenangan yang diperlukan oleh KPPU dalam pengaturannya untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran praktek monopoli. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa KPPU sendiri berwenang untuk melakukan penanganan perkara pada usaha praktek monopoli, yang dimaksud dengan penanganan ini adalah KPPU berhak melakukan penyelidikan, pemeriksaan, sampai dengan penjatuhan sanksi. Kewenangan yang diperlukan KPPU dalam pelaksanaan tugasnya adalah untuk melakukan penggeledahan secara mandiri tanpa kerjasama dari Kepolisian serta berwenang untuk memaksa kehadiran pelaku usaha atau saksi. This research is aimed to analyse how the Indonesia Competition Commission (ICC) authority in enforcing monopolistic practice business actors and discuss what authorities are required by ICC in its regulation for law enforcement against monopolistic practice violations. This study uses a normative juridical method with a statutory approach. The results of this research showing that ICC itself has the authority to handle cases in monopolistic practices, what is meant by this handling is that ICC has the right to conduct investigations, examinations, and impose sanctions. The authority required by the ICC in carrying out its duties is to conduct searches independently without the cooperation of the Police and has the authority to force the presence of business actors or witnesses
PERTIMBANGAN PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PIDANA PADA PENANGANAN MEDIS SEORANG DOKTER TANPA INFORMED CONSENT
Putu Agestya;
Diah Ratna Sari Hariyanto
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p08
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui formulasi kebijakan dalam hukum pidana terhadap tindakan dokter tanpa informed consent yang menimbulkan kerugian dan dasar pertimbangan pertanggungjawaban pidana mengenai kelalaian dokter dalam informed consent hingga berindikasi pada kecacatan permanen atau kematian pasien. Metode pada penulisan ini menggunakan metode hukum normatif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Hasil temuan studi bahwa pada pengaturan atas tindakan dokter tanpa informed consent dapat berkaitan dengan malapraktik, baik yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian. Oleh karenanya terhadap bentuk kesalahan apapun dengan atau tidak disertainya suatu kerugian yang dialami pasien, yang dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia maka dokter tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya mulai dari sanksi secara administrasi hingga pada pemidanaan. Maka formulasi dalam hukum pidana mengenai tindakan dokter tanpa informed consent pada hakekatnya baik dari segi aturan umum dan khusus telah mempersempit gerak dokter bilamana ingin melakukan tindakan tanpa informed consent. Pertimbangan dipidananya kelalaian dalam informed consent yaitu dengan menilai adanya akibat kerugian yang cukup besar atas kelalaian berat (culpa lata) yang dapat menyebabkan kecacatan atau matinya seseorang, atas tindakan sembrono dan kurang hati-hati tersebut dapat mengancam keamanaan dan dapat membahayakan pasien yang bersangkutan. ABSTRACT The purpose of writing this scientific paper is to find out the formulation of policies in criminal law against the actions of doctors without informed consent that cause harm and the basis for considering criminal liability regarding doctor negligence in informed consent to indicates permanent disability or patient death. The method in this writing uses the normative legal method. The type of approach used is a statutory approach, a conceptual approach and a case approach. The results of study found that in the setting of doctors' actions without informed consent, it could be related to malpractice, whether done intentionally or by negligence. Therefore, for all forms of wrongdoing with or without being accompanied by losses suffered by the patient, which in criminal law regulations in Indonesia, doctors can be held accountable for their actions ranging from administrative sanctions to punishments. So the formulation in criminal law regarding the actions of doctors without informed consent is essentially both in terms of general and specific rules and has narrowed the movement of doctors when they want to take action without informed consent. The consideration of the punishment for negligence in informed consent is by assessing the existence of a fairly large loss due to gross negligence (culpa lata) which can cause the disability or death of a person, for that reckless and careless act that can threaten the security and can be dangerous the patient concerned.
PERLINDUNGAN MASYARAKAT PENGHASIL INDIKASI GARAM AMED BALI UNTUK MENINGKATKAN POTENSI EKONOMI DAERAH
Simona Bustani
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p13
Studi ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis penerapan perlindungan indikasi geografis garam amed, baik dari segi hukumnya maupun sosial ekonominya. Selain itu, menganalisis tanggungjawab pemerintah terhadap sector ekonomi masyarakat penghasil indikasi geografis garam amed. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undanggan dan konseptual, dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa selama ini perlindungan indikasi geografis diakomodasi dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi geografis. Sehingga perlindungannya belum dapat diimplementasi secara optimal. Selain itu, pemanfataan secara ekonomi belum maksimal yang berdampak masyarakat penghasil garam amed belum merasa manfaat perlindungan indikasi geografis. Oleh karenanya, perlu adanya undang-undang tersendiri secara sui generis dan tanggungjawab pemerintah perlu ditingkatnya untuk membuka jangkauan pemasaran dan promosi agar terwujud kesejahteraan masyarakat penghasil indikasi geografis. ABSTRACT This study aims to describe and analyze the application of the protection of the geographical indication of Amed salt, both from a legal and socio-economic perspective. In addition, analyzing the government's responsibility for the economic sector of the community producing the geographical indication of Amed salt. The research method used is a normative legal research method with a statutory and conceptual approach, analyzed qualitatively. The results of this study explain that so far the protection of geographical indications has been accommodated in Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications. So that the protection cannot be implemented optimally. In addition, economic utilization has not been maximized, which has an impact on Amed salt-producing communities who do not yet feel the benefits of protecting geographical indications. Therefore, it is necessary to have a separate law on a sui generis basis and the government's responsibility needs to be increased to open up the reach of marketing and promotion in order to realize the welfare of the people who produce geographical indications.
PSIKIATRI FORENSIK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Pradiptha Himawan Putra;
Amiruddin Amiruddin;
Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p18
Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis peran psikiatri forensik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif empiris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran psikiater di dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai legal agent dalam membantu aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan (penyidikan, pemeriksaan tambahan pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di persidangan) untuk menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya diduga menderita gangguan jiwa. Kedudukannya adalah sebagai ahli atau saksi ahli dan dapat dilibatkan dalam setiap tahapan pemeriksaan tersebut. Selanjutnya keterangan ahli tersebut juga merupakan alat bukti yang sah yang membedakan keterangan dari psikiater tersebut adalah disebut sebagai keterangan ahli adalah ketika disampaikan di persidangan secara lisan dengan mengingat sumpah jabatannya, disebut bukti surat terletak pada Visum et Repertum Psychiatricum mulai dari tahap penyidikan sampai Visum et Repertum Psychiatricum dihadirkan di muka sidang secara tertulis dan disebut bukti keterangan saksi ketika diberikan oleh dokter yang bukan dokter kehakiman/forensik terhadap kondisi kejiwaan sipembuat, Dalam beberapa kasus, hakim dapat meminta psikiater untuk menjelaskan lagi alat bukti berupa Visum et Repertum Psychiatricum kepada hakim ke muka persidangan (keterangan ahli). Hal ini wajar mengingat bahasa yang digunakan psikiater adalah bahasa medis yang tidak dimengerti oleh hakim. Oleh karena itu psikiater pada umumnya berusaha untuk menggunakan bahasa yang sekiranya dapat untuk dimengerti hakim. This study aims to analyze the role of forensic psychiatry in the criminal justice system in Indonesia. The type of research used is empirical normative legal research. The results of this study indicate that the role of psychiatrists in the criminal justice system is as a legal agent in assisting law enforcement officials for the purposes of examination (investigations, additional examinations at the prosecution stage and examinations at trial) to resolve criminal cases where the perpetrators are suspected of suffering from mental disorders. His position is as an expert or expert witness and can be involved in every stage of the examination. Furthermore, the expert's statement is also valid evidence that distinguishes the statement from the psychiatrist. It is referred to as an expert's statement, when it is delivered orally in court by remembering the oath of office, it is called documentary evidence located on the Visum et Repertum Psychiatricum starting from the investigation stage to the Visum et Repertum Psychiatricum is presented before the hearing in writing and is called witness testimony when it is given by a doctor who is not a judicial/forensic doctor regarding the mental condition of the maker. In some cases, the judge may ask the psychiatrist to explain again the evidence in the form of Visum et Repertum Psychiatricum to the judge before the trial (expert testimony). This is reasonable considering the language used by psychiatrists is medical language which the judge does not understand. Therefore psychiatrists generally try to use language that judges can understand.