cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Magister Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 112 Documents
PEMIDANAAN TERHADAP PELANGGARAN ZAKAT (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007) Muhammad Bulqia, Rusjdi Ali Muhammad, Mohd. Din.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 4: November 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.652 KB)

Abstract

Abstract: Zakat is one of the main five pillars in Islam. It is derived from arabic, and means special treasure, which is distributed and given to certain groups including poor people. In Indonesia, the management of zakat is regulated by Law Number 23/ Year 2011 and termed as“Management of Zakat”. This kind of islamic law was formulated in the national law and might be translated that there is an effort to embed an islamic law in the national law, so that it can be impelemented throughly at the national level. Referring this, basically, those who refuse to pay zakat or further referred as “zakat offenders” albeit his/her abilities, then they could be imposed on criminal penalty. However, this law is still considered as weak as there has been no criminal court further arranged until nowadays. Particularly in Aceh as the only province in Indonesia implementing the syaria’ law, its law or commonly referred as Qanun Aceh - Number 10/ Year 2007 regarding Baitul Mal at Subject 50 alphabet a has already stated the possibility to subject zakat offenders with a criminal penalty and they have to compensate penalty payment, with a maximum twice higher than the initial amount. Such weak penalty is regarded as irrelevant and would not increase self-consideration or self-engagement among zakat offenders. Based on this study, this can be concluded that: first, zakat offenders can be imposed to ta’zir law. Second, there has been no criminal penalty for zakat offenders although it is actually already regulated in Law Number 23/ Year 2011. Third, the criminal penalty as it is arranged in Qanun Aceh - Number 10/ Year 2007 still considered as weak. Four, a strong criminal law enforcement, bold, and ideal positive regulation is strongly recommended in the future.Keywords: criminal, syaria’ law, Qanun Aceh, zakat, zakat offender. Abstrak: Zakat adalah salah satu pilar utama dalam hukum islam. Diambil dalam bahasa arab, dan berarti harta khusus yang dibagikan dan diberikan ke orang-orang tertentu termasuk orang miskin. Di Indonesia, tata laksana zakat diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan dikenal sebagai “Tentang Pengelolaan Zakat”. Salah satu jenis hukum islam yang diformulasikan dalam hukum nasional dan dapat diartikan bahwa adanya usaha untuk  menjadikan hukum islam sebagai salah satu bagian dari hukum nasional, sehingga pelaksanaan zakat dapat dilakukan secara menyeluruh pada skala nasional. Menurut hukum ini, pada dasarnya, siapa saja yang menolak membayar zakat atau selanjutnya disebut sebagai mangkir zakat walapun yang bersangkutan memiliki kemampuan, maka mereka bisa dikenakan hukuman pidana. Namun, hukum ini dianggap masih lemah dikarenakan belum ada tindah pidana kriminal yang mengatur hal tersebut hingga saat ini. Khususnya di Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum syariah, hukum yang berlaku yang umum disebut sebagai Qanun Aceh - Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal pada pasal 50 huruf a yang menyatakan kemungkinan untuk memidanakan mangkir zakat dengan hukuman kriminal dan mereka harus membayar denda, maksimum dua kali dari jumlah awal. Hukuman tersebut dianggap tidak relevan dan tidak meningkatkan kesadaran atau keterikatan diantara para wajib pajak. Berdasarkan studi ini, dapat dikonklusikan bahwa: pertama, para mangkir zakat dapat dikenakan hukuman ta’zir. Kedua, belum ada hukuman pidana untuk para mangkir zakat walaupun sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. Ketiga, hukuman kriminal seperti yang telah diatur dalam Qanun Aceh - Nomor 10 Tahun 2007 masih dianggap lemah. Keempat, hukum pemidanaan yang kuat, jelas, dan hukum positif yang ideal sangat direkomendasikan di masa yang akan datang.Kata Kunci : kriminal, hukum syariah, Qanun Aceh, zakat, mangkir zakat.
MILIK PEMERINTAH ACEH SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH . Suhaimi, Husni A. Jalil, Eddy Purnama.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1: Februari 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (64.677 KB)

Abstract

Abstract: The implementation of the Appointment of the Children and Mother Hospital Belonging to Aceh Government, the Aceh Governor has established Reviewer Team to asses the Hospital to be increased its fund management becomes to Regional Public Service. After being verified towards technical requirements and administrative as ruled by the Government Regulation Number 23, 2005 regarding the Management of Fund at the Public Service institution and the Home Minister Affair Regulation Number 61, 2007 regarding the Guidance of Fund Management at Regional Public Service Institution, the hospital has been determined as Regional Public Service and has been determined as Regional Public Service, in its implementation of the review on documents submitted by the Management of the Hospital to Aceh Governor is actually not accordance with existing mechanism as there are technical requirement relating financial report and final report audit as administrative requirement is not provided during the assessment, nevertheless, the team persist to submit it to the Governor to determine the Hospital and the financial management is not suitable to the standard of the management of regional public service. Keywords : Regional Public Service, Financial Management Method, and Hospital. Abstrak: Pelaksanaan Penetapan Status Rumah Sakit Ibu dan Anak Milik Pemerintah Aceh, Gubernur Aceh membentuk tim penilai kelayakan Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk ditingkatkan pengelolaannya menjadi Badan Layanan Umum Daerah. Setelah dilakukan verifikasi terhadap dokumen persyaratan teknis dan administrasi sebagaimana ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, Rumah Sakit Ibu dan Anak telah ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah, dalam pelaksanaan penilaian dan pengkajian dokumen-dokumen yang diusulkan oleh Manajemen Rumah Sakit Ibu dan Anak kepada Gubernur Aceh sebenarnya belum sesuai dengan mekanisme yang berlaku karena ada persyaratan teknis menyangkut dengan laporan kinerja keuangan dan laporan audit terakhir yang merupakan persyaratan administratif tidak dilengkapi pada saat dilakukan penilaian, namun Tim Penilai tetap merekomendasikan kepada Gubernur Aceh untuk menetapkan Rumah Sakit Ibu dan Anak sebagai Badan Layanan Umum Daerah dan dalam tata kelola keuanganpun belum memenuhi standar pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah. Kata kunci : Badan Layanan Umum Daerah, Pola Pengelolaan Keuangan, Rumah Sakit.
PENETAPAN BARANG BUKTI DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA Emil Khaira S., Mohd. Din, Dahlan.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.469 KB)

Abstract

Abstract: Pasal 181 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam proses pidana, kehadiran barang bukti dalam persidangan sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materil suatu perkara. Demikian pula halnya perkara tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dasar penetapan barang bukti dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika didasarkan pada pemeriksaan awal terhadap pelaku, yaitu melalui tes urine. Tes urine yang dinyatakan positif mengandung unsur narkotika dan pelaku memiliki narkotika dapat dikategorikan sebagai pelaku penguna, apabila pada tes urine tidak ditemukan adanya unsur narkotika, maka pelaku dapat digolongkan sebagai pengedar atau pengangkut narkotika. Barang bukti memiliki peran dalam mengungkap kebenaran telah terjadinya suatu tindak pidana narkotika Faktor penyebab terjadinya hambatan dalam penyelidikan dan penyidikan guna pembuktian tindak pidana narkotika adalah akibat ketiadaan barang bukti dalam penyidikan tindak pidana narkotika dan akibat ketidakseragaman dalam menentukan barang bukti. Hal ini dapat diakibatkan oleh faktor yang berasal penyidik (intern) dan faktor dari luar penyidik (ekstern). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam penyelidikan dan penyidikan guna pembuktian tindak pidana narkotika adalah dengan melakukan peningkatan pengetahuan anggota satreskrim unit narkoba dalam penguasaan perundang-undangan dan teknologi pendukung, melakukan olah TKP sesegera mungkin guna meminimalisir hilangnya barang bukti, melakukan kerja sama dengan satres unit narkoba dari wilayah kepolisian lain guna menangkap pelaku dan juga mengupayakan segera mungkin memperoleh izin penyitaan dari pengadilan. Kata Kunci: Barang Bukti, Penyelidikan dan Penyidikan Narkotika.
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP IKLAN ROKOK YANG MERUGIKAN KONSUMEN DALAM SISTEM HUKUM POSITIF Al Qudri; Iskandar A. Gani; Syarifuddin Hasyim
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 4: November 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.69 KB)

Abstract

Abstract : The purposes of this study were to determine and analyze the form of government responsibility on cigarette advertisement that prejudice community as consumers in the positive law, the law establishment of violation cigarette industry, and to create the legal protection for disadvantaged community because of negative consequences of cigarette advertising. The method used in this research was a normative juridical approach to assess, test and examine the aspects of constitutional law which is related to the responsibilities of government on cigarette advertising that prejudice the consumers. The results showed that the government’s responsibility on the regulation of cigarette and advertising industry has been manifested in the law, but in practice only few responsibility was run by the local goverments and was obeyed by the cigarette and advertising industry. The role and function of local governments have to be improved to protect young people, adolescents and children from the negative effects of cigarettes advertisement.Keywords :  Cigarette advertisement, smoke-free, advertisement violators sanction. Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap iklan rokok yang merugikan masyarakat selaku konsumen dalam hukum positif, penegakan hukum terhadap industri rokok yang melanggar, serta mendapatkan rumusan tentang perlindungan hukum terhadap masyarakat yang dirugikan akibat negatif iklan rokok. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, yaitu mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum tatanegara yang berkaitan dengan tangung jawab pemerintah terhadap iklan rokok yang merugikan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab pemerintah dalam pengaturan industri rokok dan industri periklanan sudah termanifestasi dalam peraturan perundangan, namun demikian dalam prakteknya hanya sedikit sekali dijalankan oleh pemerintah daerah dan dipatuhi oleh industri rokok serta pengusaha periklanan. Perlu ditingkatkan fungsi dan peran pemerintah daerah untuk melindungi generasi muda, remaja dan anak-anak dari pengaruh negatif iklan rokok.Kata kunci: Iklan Rokok, Bebas Asap Rokok, Sanksi Pelanggar Iklan
PENYALURAN KREDIT PADA BANK ACEH Muhammad Fudhil, Dahlan, Sanusi Bintang
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.903 KB)

Abstract

Abstrack:Article 29 of the Act Number 10, 1998 regarding the Change of the Act Number 7, 1992 regarding Banking states that the guidance in verse (1) means the efforts done by determining the rules relating institutional aspect, the owning, activities, report and other relating operational bank aspect. The meaning of supervision in verse (1) covers indirect supervision especially preliminary supervision through research, analysis, and the evaluation of bank report and direct supervision through investigation followed by reparation. In accordance with that, the Indonesian Bank is granted the power, responsibility, and duty fully to guide and supervise on the bank by doing some preventive and repressive efforts. On the other hand, the bank is compulsory to have and apply supervision system internally in terms of securing the decision process in managing the bank that based on the careful principle of bank. Due to the fact that the bank is working with the fund from people deposited based on the trust, every bank is necessary to keep healthy and keep the trust of the people. In fact, the internal supervision at Bank Aceh has not been working due to debt risk.This research aims to explain the application of internal monitoring of bank on providing loan that has been suitable to the law, the obstacles faced in monitoring on the loan and the consequence of law on the bank if the internal monitoring in providing loan is conducted not properly. This is normative-empirical research based on library and field research. Library research is conducted to obtain secondary data by reviewing the literatures and laws relating to the research problems. Field research is conducted to primary data by interviewing respondents and informants. The data obtained are then analysed qualitatively by descriptive analytical approach. The research shows that the implementation of internal bank monitoring on the debt provision has not been conducted well and based on the law due to the monitoring function has not been done maximally namely the provision of it is not conducted based on the Policy of Bank Credit, the procedure of credit provision and internal bank regulation, the developing of debtors including the monitoring through visiting them and warn them earlier regarding the decrease of credit quality that is expected to risk the bank is not implemented fully, the quality of credit that is not based on the Indonesian Bank Regulation, the truth of the provision between related parties and the Bank is not fully based on the bank policy, the administration of the loan documents is not in according with the law. The obstacles faced in the monitoring are the independency of the bank management, tight competition, many debt programs, and the customer’s loyalty. The constraints in providing credit at the Bank of Aceh are the analysis of credit provision cannot done maximally that is the review on the character of debtors and the limit of time given by the bank management for the monitoring is limited. The legal consequences towards the monitoring that is not conducted based on the law are the weakness in providing the debt causing the problem and risking in cashing the money that is not based on the requirements, the extension of time that is not based on the regulation, there is the debt transaction that is not based on the Standard Operational Procedure of credit provision.It is recommended that the Bank of Aceh could monitor more intensive in providing the credit hence the risk from the credit provision can be minimalized. The government should provide more freedom for the bank management to decide the policy professionally, provide more time to review the capability of the debtors hence the review can be optimally done, and the analysis of 5 C’s can be fulfilled in providing the credit and it is a necessary a regulation on the internal monitoring of the bank thus the mechanism of the monitoring can be more clear and providing the punishment if the internal monitoring is conducted against the law. Keywords: Internal Monitoring, Bank of Aceh and Credit Provision. Abstrak: Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UUP) menyebutkan, yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggungjawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya”. Kenyataannya pengawasan internal pada Bank Aceh belum dapat berjalan, karena masih terjadinya kredit bermasalah atau resiko kredit.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pelaksanaan pengawasan internal bank terhadap penyaluran kredit telah berjalan menurut peraturan perundang-undanga, hambatan bank dalam melakukan pengawasan internal terhadap penyaluran kredit dan konsekuensi hukum terhadap bank bila pengawasan internal penyaluran kredit oleh bank tidak sebagaimana mestinya.Penelitian ini bersifat normatif-empiris yang didasarkan kepada penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.Penelitian kepustakaaan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer dengan cara mewawancarai responden dan informan. Keseluruhan data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan desriftif analisis.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan Internal Bank terhadap Penyaluran Kredit belum dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya, karena fungsi pengawasan kredit belum dilakukan secara maksimal antara lain pemberian kredit belum dilaksanakan sesuai dengan Kebijakan Perkreditan Bank, prosedur pemberian kredit dan ketentuan internal Bank yang berlaku, perkembangan kegiatan debitur termasuk pemantauan melalui kegiatan kunjungan kepada debitur dan memberikan peringatan dini mengenai penurunan kualitas kredit yang diperkirakan mengandung risiko bagi Bank belum sepenuhnya dilakukan, adanya kualitas kredit yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kebenaran pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan Bank dan debitur-debitur besar belum sepenuhnya sesuai Kebijakan Perkreditan Bank, adanya pelaksanaan pengadministrasian dokumen perkreditan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Hambatan-hambatan dalam melakukan pengawasan internal pada Bank Aceh adalah independensi manajemen bank, persaingan yang ketat, kredit program yang banyak, dan loyalitas nasabah. Hambatan-hambatan dalam pemberian kredit pada PT Bank Aceh analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal adalah penilaian terhadap watak (character) debitur dan batasan jangka waktu yang diberikan oleh manajemen bank bagi melakukan pengawasan kredit terbatas. Konsekuensi hukum terhadap pengawasan internal bank yang tidak berjalan sebagaimana mestinya adalah terjadinya kelemahan-kelemahan dalam penyaluran kredit sehingga dapat terjadinya kredit bermasalah dan risiko kredit.pencairan kredit yang tidak memenuhi persyaratan, perpanjangan jangka waktu yang tidak memenuhi persyaratan, adanya transaksi keuangan debitur yang tidak sesuai dan tidak berpedoman pada Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan perkreditan.Disarankan kepada Bank Aceh untuk dapat melakukan pengawasan yang lebih intensif dalam penyaluran kredit, sehingga risiko atau kredit bermasalah dapat diminimalisir. Diharapkan pemerintah dapat memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada Manajemen Bank untuk secara profesional memutuskan kebijakan perkreditan, memberikan tenggang waktu yang memadai untuk penilaian kelayakan kredit sehingga pelaksanaan analisis penilaian kredit berjalan optimal dan analisis 5 C’s dapat terpenuhi dalam pemberian kredit dan diperlukan suatu aturan yang tegas terhadap pengawasan internal bank, sehingga mekanisme pengawasan dapat lebih jelas dan memberikan sanksi yang tegas jika pengawasan internal bank tidak dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Kata Kunci:Pengawasan Internal, Bank Aceh dan Penyaluran Kredit.
PENGGUNAAN INSTRUMEN HUKUM POLIGAMI DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN KAITANNYA DENGAN ASAS MONOGAMI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975 Yusrizal, Hamid Sarong, Iman Jauhari.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 2: Mei 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.468 KB)

Abstract

Abstract: Article 29 of the Indonesia Constitution 1945 states that nation guarantees the freedom of each citizen to profess their own religion and to worship according to their religion and their belief. Then, in the Article 28 B of the third amendement of the Indonesia Constitution 1945 states that everyone is entitle to have a family and continue descending through a legal marriage. Based on the article 29 UUD 1945, the Act Number 1 Year 1974 regarding Marriage was then issued. As descendent from Mariage regulation, the Government Regulation Number 9 Year 1975 was also issued so both regulations could be the basic law in marriage including polygamy. However, in problems solving related to polygamous marriages, the provisions of Criminal Code (KUHP) was still used. The aims of this research were to examine the legal arrangement regarding to polygamous marriages in Indonesia and the use of the law and regulation on polygamy problems solving. A normative juridical research was used in this research with the data sources were secondary data consisted of primary, secondary and tertiary legal sources. The collected data was then analyzed with qualitative approach and was interpreted as the basic of taking conclusion. The results showed that the Marriage Act had no implication on absolute monogamous but it affected the open monogamous principle, however the principle attaching on the Islamic Law Compilation was the closed polygamous principle. The polygamous problem solving was done using the provisions in The Marriage Act and the Implementing Regulation. Islamic Law Complication was also applied for Muslim. The institution for non-Muslim was the District Court, whereas the institution for Muslim was the Religion Court or in Aceh it is known as Mahkamah Syari’ah.Keywords: polygamy, general court, monogamous principle. Abstrak: Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Di dalam amandemen ke-3 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B menentukan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai turunan dari Undang-Undang Perkawinan tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sehingga kedua peraturan tersebut menjadi dasar hukum dibidang perkawinan termasuk tentang poligami. Akan tetapi, dalam menyelesaikan masalah perkawinan, khususnya terkait poligami masih digunakan ketentuan dalam KUHP. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan mengetahui pengaturan hukum tentang perkawinan poligami di Indonesia dan penggunaan aturan hukum dalam penyelesaian permasalahan poligami. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan sumber datanya adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan diinterpretasikan untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya Undang-Undang Perkawinan tidak berimplikasi monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka, namun asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam adalah asas poligami tertutup. Penyelesaian permasalahan poligami dilakukan dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya. Khusus bagi yang beragama Islam juga berlaku Kompilasi Hukum Islam. Lembaga yang digunakan bagi yang non-muslim adalah pengadilan negeri, sedangkan bagi yang beragama Islam diselesaikan di pengadilan agama atau di Aceh disebut mahkamah syari’ah.Kata kunci : Poligami, peradilan umum, asas monogami.
PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP NOTARIS OLEH MAJELIS PENGAWAS DAERAH DI KOTA BANDA ACEH Edison, Dahlan, Ilyas Ismail.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 4: November 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (127.587 KB)

Abstract

Abstract: The violations committed by the notary in conducting its authority are the act is made without witnesses, not being read, signed before the notary and submit the act minute to other party. Apart from that, the violation of criminal law such as forgery, and embezzlement, act counterfeiting, conflict among notaries, ethical violation of notary conduct. The causes factors of the violations are relative relationship, consumptive behaviour, and lack of faith to God. The implementation of monitoring is conducted as a prevention kind in order to avoid the misusage of the power and the criminal violations; the monitoring is also curative conducted by providing guidance for the notary. The obstacles faced are the board members form the notary institutions, senior influence, of the Board from the organisation of notary with notary that is watched, the level of trust of notary toward the board, the monitor keeping the act reported to the board, lack of awareness of notary from the report and the call by the Board. Legal consequence because of lack of the Board, as it should be is between the openess of possibility by the notary in conducting the power and its authority. Key words: Monitoring and the Notary Monitoring Board Abstrak: Pelanggaran yang dilakukan notaris dalam menjalankan kewenangan sebagai pejabat umum diantaranya akta dibuat tanpa adanya saksi, tidak dibacakan, tidak ditandatangani di hadapan notaris dan menyerahkan minuta akta pada pihak lain sehingga akta yang dibuat hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan saja. Selain itu, pelanggaran pidana seperti penipuan dan penggelapan, pemalsuan surat/akta otentik, perselisihan antar notaris dan pelanggaran kode etik profesi notaris. Faktor penyebab terjadinya pelanggaran adalah faktor adanya sifat hubungan kekeluargaan, akibat pengaruh jabatan, ingin memenuhi kebutuhan (konsumtif) dan lemahnya iman notaris. Pelaksanaan pengawasan terhadap notaris oleh Majelis Pengawas Daerah di Kota Banda Aceh merupakan wewenang MPD Kota Banda Aceh dalam bentuk preventif guna menghindari terjadinya penyalahgunaan jabatan dan pelanggaran pidana, pengawasan yang bersifat kuratif dilakukan dengan melalui pembinaan terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya. Hambatan yang dihadapi dalam pengawasan antara lain anggota Majelis Pengawas yang berasal dari wakil organisasi Notaris, Pengaruh senioritas, Tingkat kepercayaan Notaris yang diawasi terhadap kemampuan Majelis, Pengawas menjaga rahasia akta yang dilaporkan kepada Majelis Pengawas, kurangnya tingkat kesadaran Notaris terhadap laporan dan pemanggilan Majelis Pengawas. Akibat hukum yang timbul terhadap tidak dilaksanakannya pengawasan oleh Majelis Pengawas Daerah sebagaimana mestinya antara terbukanya kemungkinan terjadi penyimpangan oleh Notaris dalam melaksanakan kewenangan dan jabatannya. Kata Kunci: Pengawasan dan Majelis Pengawas Notaris
PEMERINTAH ACEH. Mardiati, Ilyas Ismail, Muhammad Shaleh Sjafei.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (115.314 KB)

Abstract

Abstract: Article 213 paragraph (2) of Law No. 11 in 2006 and in Article 2 of Decree of the President of Republic of Indonesia Number 34 Year 2003, said that the authority of the Government in response to land held by the District / City. Of the few cases that imposed to the Government of Aceh, there are still many unresolved cases. The study aims to determine the implementation of land conflict resolution by the Provincial Government of Aceh and analyze constraints in land conflict resolution by the Provincial Government of Aceh. Based on the Object problem there are 2 ( two ) studies used in this thesis , the normative legal research and empirical legal research. Reaseach findings shows that there are 33 (Thirty Three) cases of land conflict and 5 (five) cases were completely resolved by the Government of Aceh where the adjudication process performed through negotiation, mediation, customary law and the rule of law. Barriers that occur in this implementation are :( 1) Lack of awareness of the district and city / Dispute Resolution team to resolve the issue of land (2) The duality of authority settlement of land conflicts between the National Land Agency and the Government of Aceh-Indonesia; (3) The number of agencies involved in the process of handling land issues. All parties involved in conflict and other related parties in the process of completion are advised to emphasize more on consensus while it is still guided by a system of laws and regulations and the Government of Aceh optimize performance through Land Conflict Resolution Facilitation Team both at the provincial and district / city. Keywords: Land Conflicts. Abstrak: Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 menyebutkan bahwa kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari beberapa kasus yang masuk ke Pemerintahan Aceh, masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Tujuan untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan oleh Pemerintah Provinsi Aceh dan menganalisis hambatan-hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Berdasarkan Objek masalah terdapat 2 (dua) penelitian yang digunakan dalam tesis ini, penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.Hasil Penelitian menunjukan terdapat 33 (Tiga Puluh Tiga) kasus konflik pertanahan dan 5 (lima) kasus yang selesai terselesaikan oleh Pemerintah Aceh dimana proses penyelesaiannya dilakukan melalui Negosiasi, Mediasi, Hukum Adat dan Aturan PerUndang-Undangan. Hambatan yang terjadi pada pelaksanaan ini (1) Kurangnya kepedulian pemerintah kabupaten dan kota/Tim Penyelesaian Sengketa untuk menyelesaikan persoalan pertanahan (2) Dualisme kewenangan penyelesaian Konflik pertanahan antara Badan Pertanahan Nasional-RI dan Pemerintah Aceh; (3) banyaknya instansi yang terlibat dalam proses penanganan permasalahan pertanahan. Disarankan Seluruh pihak yang berkonflik dan pihak terait lainnya dalam proses Penyelesaian lebih mengedepankan musyawarah mufakat dengan tetap mempedomani sistem peraturan perundang-undangan dan Pemerintah Aceh mengoptimalkan kinerja melalui Tim Fasilitasi Penyelesaian Konflik Pertanahan baik di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kata Kungci : Konflik Pertanahan.
SEPERTIGA GAJI PEGAWAI NEGERI KEPADA ISTERI YANG DICERAIKAN (Suatu Penelitian Di Wilayah Hukum Mahkamah Syariyah Kota Banda Aceh) Siti Murni, Dahlan Ali, Adwani.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 3: Agustus 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.896 KB)

Abstract

Abstract: The Government Regulation Number 10, 1983 junction the Government Regulation Number 45, 1990 regarding the Marriage Permit and Divorce for Civil Servants, Article 8 states that a husband who is civil servant obliges provides one third of salary for a wife that has been divorced. This is juridical normative and socio legal research. the factors of judges of Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh do not put in the decision regarding the implementation of the obligation of a husband who is civil servants to provide one third salary for ex-wife that has been divorced because of the rule is administrative type of the authority of the official.The husband disobeys his obligation in providing one third of salary for his ex-wife due to the fact that they are not asking for it credit cut burdening the husband salary.Efforts done by the ex-wife to obtain one third salary is to demand one third of salary to the judges deciding this case. it is recommended that the judges should oblige the husband to provide the salary and the ex wife should also have to ask for judges to get one third of her ex husband salary. Keywords : Implementation of the Obligation One Third Salary. Abstrak: Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. PP. No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, Pasal 8 disebutkan bahwa Suami Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan Sepertiga Gaji Kepada mantan isterinya. Penelitian ini bertujuan mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Faktor hakim tidak mewajibkan Suami Pegawai Negeri memberikan sepertiga gaji kepada mantan isterinya karena aturan tersebut sifatnya administratif wewenang pejabatnya sehingga diserahkan kepada instansi masing-masing. Faktor suami Pegawai Negeri tidak memberikan sepertiga gaji karena mantan isterinya tidak memohon, dan gaji Pegawai Negerisudah dipotong kredit. Upaya yang dilakukan oleh mantan isteri Pegawai Negeri memohon sepertiga gaji tersebut kepada hakim yang mengadili perkara perceraiannya. Disarankan kepada hakim supaya mewajibkan Suami Pegawai Negeri untuk memberikan sepertiga gaji kepada mantan isterinya. Disarankan kepada Pegawai Negeri tidak mengabaikan kewajibannya untuk menyerahkan sepertiga gajinya kepada mantan isterinya. Dan disarankan juga kepada Mantan Isteri Pegawai Negeri agar menempuh upaya hukum memohon sepertiga gaji kepada hakim yang mengadili perkara perceraiannya. Kata Kunci :PelaksanaanAturan, Kewajiban, SepertigaGaji, PegawaiNegeri.
INDEPENDENSI JAKSA DALAM MENJALANKAN TUGAS DAN KEWENANGANNYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 Melta Variza, Mohd. Din, Riza Nizarli.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.798 KB)

Abstract

Abstrak-Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untukmenganalisa independensi kejaksaan didalam undang-undang dan untuk menganalisa kendala-kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam mewujudkan independensi terhadap tugas dan kewenangannya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif. Hasilpenelitianmenunjukkanbahwaindepedensi kejaksaan di dalam undang-undang belum terwujud secara sempurna. Hal ini dapat dilihat pada pengaturan Pasal 2 ayat (1) Undang-UndangNomor 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan Republik Indonesia bahwa Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pasal ini mengandung makna bahwa kejaksaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif, dalam hal ini kejaksaan tidak bersifat independen, karena dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Kendala-kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam mewujudkan independensi terhadap tugas dan kewenanganya yaitu dipengaruhi oleh karakter birokrasi kejaksaan, kedudukan kejaksaan dalam konteks hukum nasional yang masih di bawah lingkungan eksekutif dan struktur organisasi kejaksaan. Disarankan agar kedepan Independensi Kejaksaan semestinya diartikan sebagai “kekuasaan penuntutan yang merdeka” dalam arti tidak memiliki keterkaitan atau terpengaruh oleh pihak manapun serta memiliki kemampuan untuk memutuskan tindakannya di bidang penuntutan secara obyektif. Disarankan kedepan lembaga kejaksaan agar lebih independen layaknya hakim Mahkamah Agung yang tidak berada dibawah presiden.Disarankan agar kedepan dibentuknya suatu sistem penuntutan yang dapat meminimalisasi intervensikekuasaan eksekutif terhadap kejaksaan.

Page 5 of 12 | Total Record : 112