cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Magister Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 112 Documents
PENGGUNAAN DISKRESI OLEH PEJABAT PEMERINTAH UNTUK KELANCARAN PENYELENGGARAANPEMERINTAHAN DAERAH (Suatu Penelitian di Kabupaten Pidie) Teuku Mustafa, Eddy Purnama, Mahdi Syahbandir.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 2: Mei 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.486 KB)

Abstract

 Abstract : The creativity of local governments’ officials to innovate is possible with the discretion through government law no.30 in the year of  2014 on public administration.  This law strictly regulated the usage of discretion by public officials. This often due to the improper administration of public officials alleged to have committed irregularities of authority for issuing a policy. This also occurs in administration in the Pidie district, where many local officials were caught of corruption cases and become the victims of a policy followed in the execution of their daily tasks. Based on the problem, this research used empirical methods.Research results show that the cause of local government officials rarely using discretion hearts regional government is their fears and concerns become corruption suspects because of a difference perception with investigators. It is advisable to review the settlement yang can be reached hearts singer problem is the government and pidie district law enforcement officials must have legal rules or standard operating procedures the principal obviously hearts duties and functions of their day - day and work together to review among them equalize perception and insights thinking.Keywords: Discretion, Public Officials, District Geverment. Abstrak : Kreatifitas pejabat pemerintahan daerah untuk berinovasi dimungkinkan dengan adanya ruang bagi diskresi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang ini mengatur secara tegas ketentuan diskresi oleh pejabat publik. Hal ini perlu ditegaskan karena seringkali akibat kesalahan administrasi pejabat publik dinyatakan telah melakukan pelanggaran hukum, melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan karena mengeluarkan suatu kebijakan. Hal ini juga terjadi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pidie, banyak pejabat pemerintahan daerah tersangkut perkara korupsi dan menjadi korban dari sebuah kebijakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas. Berdasarkan objek masalah, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab pejabat pemerintah daerah jarang menggunakan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah adanya ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi tersangka pelaku tindak pidana korupsi disebabkan terjadinya perbedaan persepsi dengan penyidik. Disarankan untuk penyelesaian yang dapat ditempuh dalam masalah ini adalah Pemerintah Kabupaten Pidie dan aparat penegak hukum harus memiliki aturan hukum atau Standar Operasional Prosedur yang jelas dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka sehari-hari dan bekerjasama diantara mereka untuk menyamakan persepsi dan wawasan berpikir.Kata kunci : Diskresi, Pejabat Pemerintah, Pemerintahan Daerah.
WARIS ISLAM DI INDONESIA . Azharuddin, A. Hamid Sarong, Iman Jauhari.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.25 KB)

Abstract

Abstrak: Dalam Putusan No. 86 K/AG/1994 dan No. 184 K/AG/1995 Mahkamah Agung membenarkan anak perempuan sebagai ashabah sebagaimana halnya dengan anak laki-laki, padahal secara umum peraturan hukum waris dalam Islam (fiqih yang dikembangkan oleh ulama Sunni), tidak membenarkan anak perempuan sebagai ashabah, terlebih mempunyai fungsi sebagai penghijab saudara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi. Berdasarkan objek yang dikaji dalam tesis ini, maka penelitian ini termasuk dalam kategori hukum normatif. Permasalahan waris memang selalu menjadi krusial dalam keluarga, oleh karena itu Al-Qur’an memberikan penjelasan waris dengan sedetail-detailnya, namun walaupun demikian dibutuhkan juga pemahaman yang lebih mendalam terkait setiap kasus waris yang dijelaskan oleh Al-Qur’an. Kata walad merupakan salah satu permasalahan yang selalu timbul dalam pemikiran ulama-ulama mujtahid sejak dari dahulu sampai sekarang ini. Untuk mengatasi kasus ini, dibutuhkan kembali pengkajian ulang terhadap makna walad yang sesungguhnya, dengan arti kata apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Al-Qur’an terkait pemaknaan kata walad tersebut. Serta juga disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh Bangsa (Indonesia) yang penuh dengan berbagai adat kebiasaan dan budaya. Ternyata setelah ditelusuri Al-Qur’an lebih condong memberikan pemaknaan kata walad sebagai anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga hak waris anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam menghijab saudara dan juga sebagai ashabah. Akan tetapi ulama Sunni memaknai kata walad sebagai anak laki-laki saja, sehingga hak waris anak perempuan tidak bisa sebagai ashabah terlebih menghijab saudara. Putusan Mahkamah Agung tersebut memakai dasar selagi masih ada anak laki-laki dan anak perempuan, maka hak waris orang yang masih ada hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan isteri akan tertutup (terhijab), putusan ini juga sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Disarankan kepada para penegak hukum (hakim yang berada di lingkungan Peradilan Agama dan yang sejenisnya), supaya dalam menghadapi kasus waris anak perempuan dengan pihak saudara supaya dapat mengambil kebijakan dengan cara melihat hasil putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut, karena hasil putusan tersebut nampaknya lebih cocok dipakai di negara ini, dan juga kepada pihak legislatif supaya membuat sebuah peraturan yang terperinci tentang waris, supaya ada keseragaman hukum yang digunakan oleh para hakim. Kata kunci : Anak Perempuan sebagai Ashabah.
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK CIPTA PROGRAM KOMPUTER )Kajian Normatif dan Sosiologis di Kota Banda Aceh) Nurdin Yunus, M. Nur Rasyid, Sanusi Bintang.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 2: Mei 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.764 KB)

Abstract

Abstract:This research explores the protection on copy rights in terms of computer program ruled in Article 12 of the Copy Rights Act in Banda Aceh. The problems discussed that are focussed in exploring how the implementation of law protection on copy rights of computer program, the settlement of the violation of computer software adn the obstcales faced in Banda Aceh.The legal research applied in this research is normative and sociological legal approach. Nornative research is the research by describing the regulation in the existing statutes. Then by applying sociological approach, the rules in the act is then articulating to the fact in the practice.In collecting field data, interviewing technique is applied. Interview is conducted directly. The research shows that the law protection on copy rights of computer program software has not been imposed well as demanded by the law makers. It is proved by the cases of violation of the copyrights in terms of computer program in Banda Aceh cannot be solved well hence nowaday.It is arecommended that the defenders of law in the future should be more prioritising the law tan social aspect in order to protect copyrights of computer programme as demanded by statutes that are existing. Keywords : Law Protection, Copyrights, Computer Program. Abstrak: -Tesis ini membahasperlindungan hukum hak cipta program komputer diatur dalam pasal 12 UUHC di Banda Aceh. Adapun masalah yang difokuskan adalah penerapan perlindungan hukum hak cipta program komputer, penyelesaian kasus pelanggaran program komputerdan penghambatan yang dihadapi. Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan normatif dan sosiologis. Penelitian normatif yaitu penelitian dengan menerangkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. pendekatan sosiologis yaitu ketentuan peraturan perundang undangan tersebut yang dikaitkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dalam pengumpulan data lapangan digunakan teknik wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum hak cipta program komputer belum berjalan sebagaimana diharapkan. Hal ini terbukti dari kasus-kasus pelanggaran hak cipta program komputer di Kota Banda Aceh belum dapat diselesaikan dengan baik hingga saat ini.Disarankan aparat penegak hukum agar dimasa mendatang lebih mementingkan hukum ketimbang aspek sosial guna terlindungi hak cipta program komputer sebagaimana yang diharapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata kunci :Perlindungan Hukum, Hak Cipta, Program Komputer.
KEDUDUKAN HUKUM TENAGA KERJA KONTRAK PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT UMUM dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Sarah Hayuna, Husni, Eddy Purnama
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 3: Agustus 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.061 KB)

Abstract

Abstract, Article 33 (1) of the Government Regulation Number 23, 2005 regarding the Financial Management of Public Service Board states that Officials who are managers of the board and its officials may consist of civil servants and/or professional officials that are non-civil servants based on the need of the board that can be employed permanently or based on contract. In fact, practically, there are officials non civil servants of the Board discriminate and there is an inequal treatment of the local government compared to civil servants. The legal status of contracted employees at the Public Service Board of the Zainoel Abidin Public Hospital (RSUZA) Banda Aceh as contracted officials who are non-civil servants bound by working agreement in certain time and they are who are having functional official position. The existing of the work relationship is based on the regulation of State Official Act and Labor Act; hence there is possible that the violation towards the rights of contracted officials in regard with they are only bound for certain time and there is also cut of working relationship by one side. The protection forms preventively namely official status protection for contracted officials, protection on training and skill rights, protection on welfare, protection on strike right, and right to create workers union in defending colleagues rights and protection on fired action. Key words: Contracted Employees and Regional Public Service Board ABSTRAK, Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum menyebutkan pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan/atau tenaga professional Non PNS sesuai dengan kebutuhan BLU, dimana tenaga professional non PNS tersebut dapat dipekerjakan secara tetap atau berdasarkan kontrak. Dalam praktik adanya pegawai non PNS BLUD menimbulkan diskriminasi dan kesewenang-wenangan pemerintah daerah dibandingkan dengan pegawai negeri sipil. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pegawai kontrak pada BLUD Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin Banda Aceh diikat melalui hubungan kerja dalam jangka waktu tertentu dan pegawai tetap non PNS yang memegang jabatan fungsional sesuai dengan keahliannya. Adanya hubungan kerja tersebut didasar pada ketentuan UU Kepegawaian dan UU Ketenagakerjaaan sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi pelanggaran terhadap hak pegawai kontrak dari kemungkinan dilakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Bentuk perlindungan hukum secara preventif antara lain perlindungan atas status kepegawaian bagi tenaga kerja kontrak, perlindungan atas hak mendapatkan pelatihan dan keterampilan, perlindungan atas Kesejahteraan Pegawai, perlindungan atas hak mogok dan hak membentuk serikat pekerja dalam membela kepentingan rekan sejawat dan perlindungan atas tindakan PHK. Kata Kunci: Tenaga Kerja Kontrak dan Badan Layanan Umum Daerah.
KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI ACEH Andriansyah, Mahdi Syahbandir, Adwani.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 4: November 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.775 KB)

Abstract

Abstract : Law Number 11 Year 2006 concerning Aceh Government Article 133 states that the task of inquiry and investigation to the enforcement of Islamic law under the authority of the Syar'iyah Court along the jinayah was conducted by the Indonesian National Police and Civil Servant Investigators. Therefore, Qanun Aceh Number 12 Year 2012 concerning the Civil Servant Investigators was established. Article 1 number 11 the investigators Qanun mentioned that official Civil Servant Investigators abbreviated to PPNS are certain Civil Servant investigators which are defined in the KUHAP (Criminal Code). The aims of this research were to examine the position, duties and functions of PPNS in Aceh, the implementation of duties and functions of PPNS in Aceh, and the inhibiting factors of the duties and functions implementation of PPNS in Aceh. Normative legal research method was used. The results showed that firstly, PPNS in Aceh was resident and responsible to the Governor/Regent/Mayor, run the function as enforcers of local regulations/Aceh Qanun and other legislations in Aceh. Secondly, the implementation of the duties and functions was not fully guided on PPNS Qanun. Thirdly, the main inhibiting factor of duties and functions implementation of PPNS in Aceh was regulation, had no standard operational procedure as guidance of duties implementation of PPNS in Aceh, as well as the internal and external factors. Therefore, it was suggested that the Government of Aceh and District/City must have a high commitment in supporting the duties and functions of PPNS.Keywords: Civil Servant Investigator and Local Regulation Number 12 Year 2012. Abstrak: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 133 menyebutkan bahwa tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syariat Islam yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Atas dasar tersebut dibentuk Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pasal 1 angka 11 Qanun PPNS menyebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan tentang kedudukan, tugas dan fungsi PPNS di Aceh; mengetahui dan menjelaskan implementasi pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS di Aceh; dan mengetahui serta menjelaskan faktor penghambat pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS di Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, PPNS di Aceh berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Gubernur/Bupati/Walikota, menjalankan fungsi sebagai aparat penegak peraturan daerah/Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lainnya di Aceh. Kedua, implementasi pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS di Aceh belum sepenuhnya berpedoman pada Qanun PPNS. Ketiga, faktor utama penghambat pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS di Aceh adalah regulasi, belum ada SOP sebagai petunjuk pelaksanaan tugas PPNS di Aceh, faktor internal dan eksternal. Disarankan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus memiliki komitmen yang tinggi dalam mendukung tugas pokok dan fungsi PPNS.Kata kunci : Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Qanun Nomor 12 tahun 2012.
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 DALAM KAITANNYA DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-X/2012. Mursyid, Husni A. Jalil, Iskandar A.Gani
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1: Februari 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (136.422 KB)

Abstract

Abstract: Indonesian political system is a multi-party system, aiming is to adopt the national interests of heterogeneous nature. The legal basis of political parties is the Law Number 2, 2011 on Political Parties and the Law Number 8, 2012 on the Implementation of legislative elections. However, the existence of the Law Number 8, 2012 can be seen by the Constitutional Court Decision No. 52 / PUU-X / 2012, the point is to simplify the political parties contesting the election. Changes in the system are highlighted in the decision of the Court that is the application of Parlimentary Threshold, which previously was the electoral threshold. As a result, the Court's decision is not his next political party that does not cover the seats in parliament in the last election, to be able to follow the 2014 election; hence it discriminates against the value of democracy in Indonesia. Normative juridical is aplled in this research by applying historical approach. This is prescriptive analytical research. Secondary data including primary, secondary and tertiary legal materials. The data are then classified, and grouped, these will be analyzed with a qualitative approach. Keywords : Political Parties, Political Party Simplification. Abstrak: Sistem politik dianut Negara Indonesia adalah sistem multi partai, tujuannya adalah mengadopsi kepentingan warga negara yang sifatnya heterogen. Dasar hukum dari partai politik yaitu UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu Legislatif. Namun, keberadaan dari UU No. 8 Tahun 2012 telah diputuskan oleh MK dengan Putusan No. 52/PUU-X/2012, yang intinya adalah menyederhanakan partai politik peserta pemilu. Perubahan sistem yang ditekankan dalam putusan MK tersebut adalah penerapan Parlimentary Treshold, dimana sebelumnya adalah electoral threshold. Akibat dari putusan MK tersebut adalah tidak bisa ikutnya partai politik yang tidak mencakupi kursi di parlemen pada pemilu sebelumnya, untuk dapat mengikuti pemilu 2014. Sehingga hal tersebut mendiskriminasi nilai demokrasi di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normative, dengan pendekatan historical approach. Spesifikasi penelitian adalah preskriptif analitis. Adapun sumber data penelitian ini digunakan data sekunder yang mencakupi bahan hokum primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier. Setelah data dikumpulkan, diklasifikasi, dan dikelompokkan maka akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Kata kunci : Partai Politik dan Penyederhanaan Partai Politik.
PERSYARATAN PENCALONAN SEBAGAI CALON KEPALA DAERAH DARI PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Kasus Dalam Pemilihan Umum Gubernur Dan Wakil Gubernur Aceh 2012) M. Syuib, Husni, Eddy Purnama.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (133.895 KB)

Abstract

Abstract: Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008, UU Nomor 11 Tahun 2006 (untuk pemilukada di Aceh), dan UU Nomor 43 Tahun 1999 mewajibkan setiap PNS yang maju sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatan negeri. Atas dasar itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui landasan pertimbangan PNS harus mundur serta konsekuensi yuridis bila PNS tersebut tidak bersedia mundur. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan landasan pertimbangan yang digunakan oleh para pembuat undang-undang sehingga PNS yang memiliki jabatan negeri diharuskan mundur dari jabatan negeri jika maju sebagai calon kepala daerah. Selain itu untuk menemukan akibat-akibat hukum jika PNS tersebut menolak mundur. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitik beratkan pada penelitian data kepustakaan atau yang disebut data sekunder, serta mengkaji peraturan perundang-undangan berkaitan dengan persyaratan pencalonan bagi PNS yang maju sebagai calon kepala daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PNS harus mundur dari jabatan negeri adalah bagian dari ketundukkannya terhadap aturan-aturan yang mengatur birokrasi pemerintahan dan aturan-aturan kepegawaian karena ketika seseorang telah memilih menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur dirinya sebagai aparatur negara. Selain itu, agar terhindar dari adanya penyalahgunaan wewenang karena hal itu melanggar hukum. Konsekuensi yuridis bagi PNS yang menolak mundur dapat dikenakan pelanggaran aturan disiplin PNS. Disarankan agar perlu kiranya setiap calon kepala daerah yang berasal dari PNS memperhatikan dengan seksama syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan ketika ingin mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.Kepada pemerintah perlu kiranya mengatur dengan jelas regulasi bagi PNS yang maju sebagai kepala daerah sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dikemudian hari. Kata kunci : Pegawai Negeri Sipil, Kepala Daerah dan Syarat.
PENANGGULANGAN KOMUNITAS PUNK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINAL DI KOTA BANDA ACEH Ridayani Ridayani; Mohd. Din; M. Saleh Syafei
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 4: November 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.683 KB)

Abstract

Abstract: In December 2011, the world highlighted the arrest and fostering of 64 Punk communities (five of them were women) in Aceh. They were arrested in the city of Banda Aceh by Wilayatul Hisbah (Sharia Police; WH), Local Government of Aceh and sent to the State Police (Polresta) Banda Aceh. Punk community in Banda Aceh increased significantly and must be addressed, but there were no specific rules on governing the punk community in Aceh. Therefore, it was necessary to study how the juridical principle on the response of the punk community in Banda Aceh city and then how the criminal policy pursued by the city authorities could tackle the punk community in Banda Aceh. The methods used to obtain the data in this research were literature reviews and field research. The results showed that the legal basic or juridical principle used to combat the punk community in Banda Aceh was still limited to the provisions of Article 11 Paragraph 3 of Regulation Number 5 Year 2000 and the criminal policy. Efforts of the city government in the response to the punk community in Banda Aceh was by sending them in to the State Police School (SPN) Seulawah, Aceh Besar or the office of Satpol PP and WH, Province of Aceh.Keywords: Punk community, criminal policy, managing Abstrak: Desember 2011, dunia menyoroti penangkapan dan pembinaan 64 komunitas Punk (lima diantaranya perempuan) di Aceh. Mereka ditangkap di kota Banda Aceh oleh Wilayatul Hisbah (WH) Polisi Syariah Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh, dan dititipkan pada Kepolisian Resort Kota (Polresta) Banda Aceh. Komunitas  punk di Kota Banda Aceh meningkat secara signifikan dan harus ditanggulangi, namun di Aceh belum ada aturan khusus mengatur tentang komunitas punk, karena itu perlu diteliti tentang bagaimana landasan yuridis dalam penanggulangan komunitas punk di kota Banda Aceh, kemudian bagaimana kebijakan kriminal yang ditempuh pemerintah kota dalam menanggulangi komunitas punk di kota Banda Aceh. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Hasil dari penelitian ini adalah landasan hukum atau landasan yuridis yang digunakan untuk menanggulangi komunitas punk  di kota Banda Aceh masih terbatas pada ketentuan Perda  Pasal 11 ayat 3 Nomor 5 Tahun 2000 dan kebijakan kriminal. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah kota dalam penanggulangan komunitas punk di kota Banda Aceh adalah dengan pembinaan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, dan pembinaan di kantor Dinas Satpol PP dan WH Provinsi Aceh.Kata kunci : Komunitas punk, kebijakan kriminal, penanggulangan
PERSAMAAN HAK JABATAN FUNGSIONAL PAMONG BELAJAR DAN GURU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Thabrani, Eddy Purnama, Iskandar A.Gani
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.899 KB)

Abstract

Abstract: Preamble to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 mention one goal is the formation of the intellectual life of the nation state. One of the most important components to achieving these goals is the availability of teaching staff. Law Number 20 Year 2003 on National Education System, consisting of teacher educators, lecturers, pamong belajar, tutors, trainers or other terms. The purpose of this study is to analyze and explain the rules of law relating to pamong belajar as educators in the implementation of non-formal education and to assess the consequences of functional positions juridical pamong belajar in the implementation of non-formal education in the national education system. This study used a descriptive approach and analytical preskriftif, that is by the depiction of the existence and rights of pamong belajar as educators in the implementation of non-formal education. The study concluded that pamong belajar an educator who is recognized by the Law on National Education System. Pamong belajar not to get the rights acquired as a teacher educator. Functional position pamong belajar not received the same treatment with the teacher. There is no specific law or regulation (Qanun) that regulate and fulfill the rights in the functional position of pamong belajar that compared to the professorship that has successfully defined in Law No. 14 Year 2005 on Teachers and Lecturers, where the enactment the law allows a teacher certified by the profession as well as improvements in capacity and welfare arrangements. It is recommended to the Government to change and add to Article 1 paragraph 1 of Article figure 1a into the sound of "Educators are divided into 2 (two) is called formal educators with teachers and non-formal educators called as pamong belajar". So that the entire contents of the law also apply to pamong belajar. Keyword : Functional, pamong belajar, teacher. Abstrak: Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan salah satu tujuan terbentuknya negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu komponen terpenting untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan tersedianya tenaga pendidik. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tenaga pendidik terdiri dari guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara atau istilah lain. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dan menjelaskan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pamong belajar sebagai pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan non formal dan untuk mengkaji konsekuensi yuridis dari jabatan fungsional pamong belajar dalam penyelenggaraan pendidikan non formal dalam sistem pendidikan nasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis dengan pendekatan deskriptif dan preskriftif analitis, yaitu dengan cara penggambaran terhadap eksistensi dan hak-hak pamong belajar sebagai tenaga pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan non formal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pamong belajar merupakan pendidik yang diakui oleh Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pamong belajar belum mendapatkan hak-hak sebagai pendidik sebagaimana yang diperoleh guru. Jabatan fungsional pamong belajar belum mendapat perlakukan yang sama dengan guru. Belum ada undang-undang khusus atau peraturan daerah (Qanun) yang mengatur dan memenuhi hak-hak dalam jabatan fungsional pamong belajar tersebut dibandingkan dengan jabatan guru yang sudah berhasil ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dimana dengan undang-undang tersebut memungkinkan seorang guru mendapat sertifikasi atas profesinya serta perbaikan-perbaikan kapasitasnya dan juga pengaturan kesejahteraan. Disarankan kepada Pemerintah untuk mengubah dan menambah Pasal 1 angka 1 menjadi Pasal angka 1a dengan bunyi “Pendidik terbagi menjadi 2 (dua) yaitu pendidik formal yang disebut dengan guru dan pendidik non formal yang disebut sebagai pamong belajar”. Sehingga keseluruhan isi dari undang-undang tersebut berlaku juga bagi pamong belajar. Kata Kunci: Fungsional, Pamong Belajar, Guru.
PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PROSES PERADILAN DI MAHKAMAH SYAR’IYAH Hadifadhillah Rusli; Iman Jauhari; Dahlan Ali
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 3: Agustus 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.954 KB)

Abstract

Abstract: The use of information technology in the judicial process could improve public service of Religious Courts. However, the response of information technology implementation did not  simultaneously occur in the Religious Courts throughout Indonesia. The aims of this research were to examine the legal arrangements and the use of information technology restrictions on the judicial process in the Sharia Court. Legislation approach method with normative juridical was used in this research. Data was collected by literature review and the data was a secondary data. The results showed that the use of information technology on judicial process in the Sharia Court has been regulated by the Information and Electronic Transaction Law and the Supreme Court Chairman Decree on The Guidelines of Information Services. However, there was no further provision on technical matters in the Sharia Court. Therefore, there was no clear restriction on the use of information technology on the judicial process in the Sharia Court.Key Words: Information Technology, Judicial Proceedings, Sharia Court Abstrak: Penggunaan teknologi informasi dalam proses peradilan dapat menjadikan pelayanan publik pada Pengadilan Agama menjadi lebih baik. Namun, respon terhadap implementasi teknologi informasi tidak serentak terjadi pada Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengaturan hukum dan pembatasan mengenai penggunaan teknologi informasi dalam proses peradilan di Mahkamah Syar’iyah. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan perundang-undangan dengan jenis penelitian yuridis normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan sumber data berupa data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam proses Peradilan di Mahkamah Syar’iyah telah diatur oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelayanan Informasi, namun belum ada ketentuan pelaksananya yang bersifat teknis di Lingkungan Mahkamah Syar’iyah sehingga belum ada batasan yang jelas untuk penggunaan teknologi informasi dalam proses Peradilan di Mahkamah Syar’iyah.Kata Kunci: Teknologi Informasi, Proses Peradilan, Mahkamah Syar’iyah

Page 7 of 12 | Total Record : 112