Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search
Journal : Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tatalaksana Anestesi pada Pasien Geriatri dengan Hematoma Subdural, Intraserebral, dan Subarahnoid yang Menjalani Kraniotomi Evakuasi Hematoma Widiastuti, Monika; Rachman, Iwan Abdul; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.391 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.449

Abstract

Cedera otak traumatik pada geriatri memiliki insiden 734% dengan penyebab utama adalah jatuh. Perdarahan subdural merupakan jenis cedera yang paling sering terjadi pada populasi geriatri. Hal ini sesuai dengan proses penuaan yang terjadi pada jaringan otak sehingga menyebabkan populasi ini sering mengalami perdarahan subdural jika mengalami cedera. Pasien perempuan berusia 72 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala pasca terjatuh 6 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran E3M5V6, tanpa adanya kelainan dan defisit neurologis dan hemodinamika stabil. Dari pemeriksaan penunjang Computed Tomography (CT) scan ditemukan subdural hematoma di regio frontotemporoparietalis dextra dan regio frontalis et temporalis sinistra yang menyebabkan midline shift ke arah sinistra, perdarahan subarahnoid di regio frontalis sinistra, perdarahan intraserebral di lobus temporalis sinistra. Operasi kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan selama 3 jam dengan anestesi umum. Pertimbangan anestesi pada pasien ini adalah neuroanestesi dan anestesi geriatri dengan memperhatikan proses penuaan yang mempengaruhi perubahan fisiologi dan farmakologi pada pasien geriatri, riwayat komorbiditas dan polifarmasi. Tatalaksana perioperatif yang baik penting untuk mencegah cedera sekunder pada jaringan otak.Anesthetic Management of Geriatri Patient with Subdural, Intracerebral, and Subarachnoid Hemorrhage Underwent Craniotomy for Hematoma EvacuationAbstractWorldwide, the incidence of traumatic brain injury in geriatrics is 734%, with falls as the most common cause. Subdural hemorrhage is the most common injury that occur and is associated with the aging process of the brain, making geriatric patients prone developing subdural hemorrhage. A 72-years-old female came with a headache after fell to the ground 6 days before hospital admission. Physical examination revealed E3M5V6 without neurologic deficits and hemodynamically stable. A computed tomography scan resulted in subdural hematoma in right frontotemporoparietal region causing midline shifting to the left, subarachnoid hemorrhage in the left frontal region, intracerebral hemorrhage in the left temporal lobe. The patient underwent craniotomy evacuation of hematoma and lasted for 3 hours under general anesthesia. Anesthetic concerns are neuroanesthesia and geriatric patient considering the aging process affects physiologic and pharmacologic changes, comorbidities and polypharmacy. Comprehensive perioperative management is essential to prevent secondary brain injury and improve the outcome.
Tatalaksana Anestesi Pasien Adenoma Hipofisis dengan Riwayat Hipotiroid Maharani, Nurmala Dewi; Bisri, Dewi Yulianti; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.476 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.469

Abstract

Adenoma hipofisis merupakan tumor otak dengan gejala klinis tergantung hormon yang dihasilkan oleh sel tumor, ukuran, dan invasi lokal. Perempuan 50 tahun dengan adenoma hipofisis dengan riwayat hipotiroid. Pada pemeriksaan prabedah GCS E4M6V5, tekanan darah 114/76 mmHg, denyut nadi 81x/menit, pernafasan 18x/menit, dan saturasi 99%. Pada pemeriksaan fisik berat badan dan visus mata kanan menurun. Pemeriksaan fungsi tiroid kesan hipotiroid, lalu pasien diterapi levotiroksin natrium 100 g perhari tablet selama 14 hari sampai dengan eutiroid. Tatalaksana lanjutan yang dilakukan adalah kraniotomi reseksi adenoma hipofisis. Premedikasi hidrokortison 100 mg dan midazolam 0,1mg/kgbb intravena. Induksi propofol 1 mg/kgbb, fentanyl 2g/kgbb, rocuronium 1 mg/kgbb, lidokain 1 mg/kgbb dan propofol pengulangan dosis 0,5 mg/kgbb. Manitol diberikan 0,5 mg/kgbb dan dexamethason 10 mg. Rumatan anestesi sevoflurane 0,5% dan propofol 50100 g/kgbb/menit. Pasca operasi pasien di ICU diberikan dexmedetomidine 0,2 g/kgbb/jam dan suplemen steroid H-1 diberikan 25 mg hidrokortison setiap 12 jam. Pada H-2 diberikan 20 mg hidrokortison pagi hari dan 10 mg sore hari kemudian dapat dihentikan. Pasien dirawat di ICU 3 hari sebelum pindah ruang rawat biasa. Manajemen perioperatif adenoma hipofisis dengan riwayat hipotiroid adalah mengoptimalkan pra operasi pasien sehingga pasien mencapai eutiroid, menjaga stabilitas hemodinamik, mengoptimalkan oksigenasi serebral, mencegah serta mengatasi komplikasi.Anesthesia Management of Patient with Pituitary Adenoma with Hystory of HypothyroidismAbstractPituitary adenoma is a brain tumor has clinical symptoms depending on hormones produced by tumor cells, size, and local invasion. A 50-year-old woman with pituitary adenoma with history of hypothyroidism. On preoperative, GCS E4M6V5, blood pressure was 114/76 mmHg, pulse was 81x/minute, respiration was 18x/minute, and saturation was 99%. On physical examination, body weight and the visual acuity in the right eye decreased. Examination of thyroid function suggests hypothyroidism before surgery, patient was treated with levothyroxine sodium 100 g per day tablets for 14 days until euthyroid. The next treatment was resection craniotomy of the pituitary adenoma. Premedicated with hydrocortisone 100 mg and midazolam 0.1 mg/kg body weight. Induction propofol 1 mg/kg body weight, fentanyl 2 g/kg body weight, rocuronium 1 mg/kg body weight, lidocaine 1 mg/kg body weight and repeated doses of 0.5 mg/kg body weight propofol. Mannitol was given 0.5 mg/kgbw and dexamethasone 10 mg. Maintenance anesthesia with sevoflurane 0.5% and propofol 50-100 g/kgbw/min. Postoperative the patient in the ICU was given dexmedetomidine 0.2 g/kgbw/hour and steroid supplement day-1 was given 25 mg hydrocortisone every 12 hours. On day-2, 20 mg of hydrocortisone in the morning and 10 mg in the evening, then can be discontinued. The patient was admitted to the ICU for 3 days before moving to the ward. Perioperative management of pituitary adenoma with a history of hypothyroidism is optimizing preoperatively the patient reaches euthyroid, maintaining hemodynamics, optimizing cerebral oxygenation, preventing and treatment if there are complications.
Penggunaan Dexmedetomidin pada Neurotrauma Prihatno, MM Rudi; Lian, Abdul; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (497.383 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.173

Abstract

Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju. Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak. Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien.The Use of Dexmedetomidine on Neurotrauma The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector. The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety is maintained properly and not worsen the patient's condition.
Dexmedetomidine sebagai Terapi Ajuvan untuk Operasi Tumor Fossa Posterior pada Bayi Umar, Nazaruddin; Silalahi, David
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (351.979 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.162

Abstract

Dexmedetomidine, agonis reseptor ?2 adrenergik-memberikan efek "sedasi kooperatif," ansiolitik, dan analgesia tanpa depresi pernafasan, efek simpatolitik dan antinosisepsi memungkinkan untuk stabilitas hemodinamik perioperatif. Kasus ini akan membahas neurofarmakologi dan neurofisiologi dari ?2-adrenergik agonis dan penerapan dexmedetomidine sebagai ajuvan. Bayi 1 tahun,10 kg, didiagnosa hidrosefalus obstruktif oleh adanya tumor di regio fossa posterior (yang telah menjalani 3 kali revisi VP-shunt), GCS10: E4V2M4, tekanan darah 90/40mmHg, laju nadi 150 x/menit, laju nafas 30 x/menit, suhu 36,8C, akan menjalani kraniektomi untuk pengangkatan tumor di regio fossa posterior pada posisi prone. Monitor non-invasif (tekanan darah, denyut jantung, SpO2, EKG, Kapnograph dan kateter urin). Premedikasi dengan midazolam 0,5 mg intravena. Induksi anestesi dengan ajuvan dexmedetomidine. Pemeliharaan anestesi dengan oksigen/udara, sevoflurane 0,6-1,0%, infus kontinyu dexmedetomidine dan pemberian selimut penghangat 370C. Pemantauan ketat dilakukan di ICU anak (PICU) dengan ventilasi mekanik dan diekstubasi pada esok pagi. Setelah hari ke-10 rawatan di PICU, pasien dipindahkan ke ruangan tanpa komplikasi neurologis perioperatif (GCS 12: E4V3M5). Manajemen, evaluasi serta pencegahan yang tepat terhadap kemungkinan komplikasi yang terjadi dapat meningkatkan luaran pasien.Dexmedetomidine as Ajuvant Therapy for Infant Undergoing Posterior Fossa Surgery Dexmedetomidine, an ?2-adrenergic receptor agonist offers a unique cooperative sedation, anxiolysis, analgesia without respiratory depression, sympatholytic and antinociceptive properties allow for hemodynamic stability at critical moments both for neurosurgical stimulation and emergence phase of anesthesia. One year infant, 10 kgs, admitted with loss of consciousness and head enlargement since 2 months of age, diagnosed obstructive hydrocephalus due to posterior fossa tumor and had underwent three VP-shunt revision surgeries. Preoperative with GCS8 E4V1M3, blood pressure 90/40mmHg, heart rate 150 beats/minute, respiratory rate 30/minute, temperature 36.8C, underwent craniectomy tumor removal for posterior fossa tumor in prone position. Premedication with midazolam 0.5 mg intravenous. Induction of anesthesia with ajuvant dexmedetomidine. Maintenance of anesthesia used oxygen/air with sevoflurane 0,6-1,0%, continuous infusion of dexmedetomidine, insertion of subclavian central vein cannulation and temperature preservation with warm blanket set to 370C. Post operation, patient was mechanically ventilated and monitored in Pediatric Intensive Care Unit (PICU) and extubated on the next morning. During in PICU, hemodynamic was stable and no worsening complication of neurologic deficit (GCS11 E4V3M5). After 10 days, patient moved to ward. The proper management, evaluation and prevention the possibility of these complications may improve patient outcome
Penatalaksanaan Anestesi pada Perdarahan Intracerebral yang Disebabkan Stroke Hipertensi AR, Muhammad; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.749 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.176

Abstract

Perdarahan intracerebral (ICH) secara primer pada banyak kasus disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah akibat hipertensi kronis yang disebut hipertensif vaskulopati. Akibat perdarahan terjadi hematoma intracerebral yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis yang bila tidak diatasi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan, maka perlu penanganan yang cepat dan tepat. Seorang laki-laki 56 tahun berat badan 70 Kg, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran yang terjadi tiba-tiba, sebelumnya paien mengeluh sakit kepala mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, sejak lama dan tidak terkontrol. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan tambahan serta CT Scan didiagnosa dengan Stroke Hemorrhage dengan ICH luas di hemisfer kiri + hemiplegi kanan + hipertensi. Dilakukan operasi kraniotomi dekompresi externa, dengan bantuan anestesi umum, post operasi pasien di rawat ICU kesadaran penderita menjadi membaik, keadaan umum membaik, tekanan darah terkontrol, namun defisit neurologis masih tetap, pasien pulang / pindah ke rumah sakit terdekat untuk perawatan lanjutan berupa fisioterapi dan kontrol hipertensi pada hari ke-22. ICH karena stroke hemorrhage mempunyai angka kematian dan kecacatan yang tinggi, defisit neurologis yang sukar dihilangkan. Tindakan operasi bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mencegah kematian dan kecacatan tersebut. Maka tindakan yang cepat dan tepat harus segera dilakukan.Anaesthesia Management in Intracerebral Bleeding Caused by Hypertension StrokeIntracerebral hemorrhage (ICH) is primary in many cases are caused by the rupture of blood vessels due to chronic hypertension called vasculopathy hypertensive hematoma due to intracerebral haemorrhage occurred which resulted in an increase in intracranial pressure and pressure on surrounding brain tissue causing neurological deficits. which if not treated quickly can result in death or disability, it is necessary fast and precise handling. A 56 year male 70 kg weight gain admission with a chief complaint of decreased consciousness occur suddenly, before os os complain of headaches and a history of high blood pressure and uncontrolled for a long time. After a physical examination and CT scan and an additional diagnosed with ICH with extensive Hemorrhage Stroke at left hemisfer + right hemiplegi hypertension. Craniotomy surgical decompression externa, with the help of general anesthesia, postoperative care of patients in ICU patients with a better awareness, improved general condition, blood pressure under control, but the neurological deficit persists, the patient returned/moved to a near by hospital for further treatment in the form of physiotherapy and hypertensive on day-to-22. ICH due to hemorrhagic stroke have a high mortality and high disability, neurological devisit difficult removed. Surgery aims to reduce intracranial pressure and prevent death and disability is. So rapid and appropriate action must be done immediately.
Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 2224 Minggu Sumardi, Fitri Sepviyanti; Umar, Nazaruddin; Rehatta, Nancy Margareta; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2434.859 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i2.67

Abstract

Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita hamil pernah mengalami trauma yang dapat menyebabkan kematian ibu akibat traumanya, bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani operasi dengan anestesi umum di luar seksio sesarea, terutama operasi bedah kepala, memberikan tantangan tersendiri kepada para ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien yang harus dikelola agar menghasilkan nilai luaran klinis yang baik untuk keduanya. Kami akan melaporkan seorang wanita 22 tahun G1P0A0 dengan kehamilan 2224 minggu, yang akan menjalani operasi evakuasi hematoma epidural akibat kecelakaan motor yang terjadi sebelumnya, tanpa dilakukan seksio sesarea, mengingatkan usia kehamilan masih dalam trimester kedua. Pertimbangan perubahan anatomi dan fisologis pada kehamilan, upaya agar aliran darah uteroplasenta adekuat serta efek teknik dan obat anestesi terhadap otak dan aliran darah uteroplasenta harus dipikirkan secara matang, karena faktor-faktor kritis akan menunjukkan derajat cedera kepala yang lebih berat, sehingga hasil nilai luaran klinis ibu dan janin buruk. Pada kasus ini ini ibu dapat pulang dengan kehamilan yang baik.Management of Anesthesia in Epidural Hematoma Evacuation with Pregnancy 22-24 WeeksSeven to 8% of pregnant women had experienced trauma that can lead to maternal deaths due to trauma not as result of her pregnancy. Management of anesthesia in pregnant women who will undergo surgery with general anesthesia outside caesarean section, especially neurosurgery, providing a challenge to the anesthesiologist, because there are two patients who must be managed in order to have good clinical score outcomes for both patients. We will report a 22-year-old woman who will undergo surgery epidural hematoma evacuation due to a motorcycle accident that occurred previously, without performed caesarean section, reminiscent of gestation is still in the second trimester. Consideration of anatomical and physiological changes in pregnancy and effort that uteroplacental blood flow should be considered carefully, because critical factors will indicate the degree of head injury more severe, so that the results of the clinical outcomes of mother and fetus is bad. In this case mother and her pregnancy can discharge from hospital with good condition.
Perdarahan Berulang Pascakraniotomi pada Pasien Cedera Kepala Ringan Fithrah, Bona Akhmad; Oetoro, Bambang J.; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2115.348 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i3.72

Abstract

Kraniotomi adalah prosedur pembedahan yang digunakan untuk mengangkat tumor untuk memperbaiki lesi vascular atau menurunkan tekanan intrakranial. Salah satu komplikasi dari prosedur ini adalah terjadinya perdarahan hingga harus dilakukan pembedahan kembali. Cedera kepala ringan memiliki angka kejadian sekitar 8090% dari seluruh cedera kepala dan memiliki angka kematian sekitar 0,1% itu terjadi disebabkan oleh perdarahan intra cerebral yang terlewat. Seorang laki laki usia 47 tahun, berat badan 106 kg dirujuk dari rumah sakit kecil setelah terpelesat saat turun dari angkutan umum. Pasien tidak sadarkan diri dan saat tersadar sudah di instalasi gawat darurat. Hemodinamik pasien baik,GCS E4M6V5, telah dilakukan CT scan dan tidak didapatkan perdarahan apapun. Pasien dua hari di ruang rawat dan terus mengeluh sakit kepala yang bertambah. Dilakukan CT scan ulang dan didapatkan perdarahan intracerebral. Dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematom dan pasca operasi pasien dirawat di ICU. Dua hari di ICU pasien kembali mengalami penurunan kesadaran dan pada CT scan didapatkan kembali perdarahan pada tempat yang sama. Dilakukan kembali kraniotomi evakuasi hematom dan pasca tindakan pasien dirawat di ICU. Dengan pengawasan yang baik dan tindakan yang cepat cedera kepala ringan yang mengalami perdarahan intracerebral dapat diatasi dengan baik dan tidak menjadi suatu kematianRecurrent Post Craniotomy Hemorrhage in Patient with Mild Head InjuryCraniotomy is a procedure performed to remove brain tumor, repair vascular lesion or relieve intracranial pressure. Sometimes complication arise that need re-do craniotomy. Incidence mild traumatic brain injury 8090%from all traumatic brain injury and has mortality 0,1% related with missed intra-cranial hemorrhage. Patient, 47 years old, body weight 106 kgs referred from smaller hospital after slipped and falling down from the bus. Patient said he had unconscious for several minutes. Patient had already had CT scan and no bleeding at all. Patient stayed in the ward for two days and keep complaining severe headache. CT scan conduct again and the result said there were intracranial hemorrhage. Craniotomy evacuation hemorrhage performed and after operation patient stayed in the ICU. Two days in the ICU patient had decreased of consciousness. CT scan immediately performed and there was another intracranial hemorrhage in the same place with bigger volume. Re-do craniotomy evacuation hemorrhage performed again. With a good monitoring in the room/ICU, a fast diagnostic and craniotomy this patient wouldnt become a mortality case
Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat Halimi, Radian Ahmad; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak; Rehatta, Nancy Margareta
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2132.479 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i2.66

Abstract

Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara industri lainnya di dunia. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dengan diagnosa cedera kepala berat akibat perdarahan subdural di temporo occipital kiri dan fraktur terdepresi yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian tiga meter, direncanakan dilakukan kraniektomi dekompresi karena terjadi penurunan kesadaran signifikan. Berbagai komplikasi dan permasalahan terjadi yakni perdarahan masif intraoperatif, edema otak kongestif disertai demam pascaoperasi di ruang perawatan intensif, hingga akhirnya pasien dapat pindah ke ruang perawatan biasa dan dilakukan rawat jalan. Penanganan COT berat memerlukan kemampuan seorang ahli anestesi dalam melakukan resusitasi otak dengan ABCDE neuroanestesi, kontrol terhadap hipertensi intrakranial, neuroproteksi dan neurorestorasi.Perioperative Treatment Pediatric Patients with Head InjuriesTraumatic brain injury (TBI) is the largest cause of death and disability in the United States and other industrialized countries in the world. Young age patient who suffered severe TBI typically face significant disability for decades. A 3 years old boy with diagnosis of severe TBI as a result of subdural hemorrhage in the left temporo occipital and fracture depressed due to fall from a height of three meters, was planed to perform decompresive craniectomy because decreased conciouseness significantly.Various complications and problems occur, intraoperative masive bleeding, postoperative diffuse brain edema with persistent hyperthermia on the intensive care unit, until the patient can be moved to a regular ward and can be done outpatient. The management of severe head injury requires the ability of an anesthesiologist in performing brain resuscitation with ABCDE neuroanesthesia, control of intracranial hypertension and neurorestoration.
Anestesia pada Tindakan Dekompresi Foramen Magnum pada Pasien dengan Malformasi Arnold Chiari Umar, Nazaruddin; Prabowo, Haryo; Hamdi, Tasrif
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.862 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.163

Abstract

Malformasi Arnold Chiari tipe 1 adalah pergeseran tonsil serebellum kearah kaudal kanalis spinalis tulang belakang servikal melalui foramen magnum. Siringomielia adalah gangguan degeneratif progresif yang ditandai dengan amiotropi brakhial dan kehilangan fungsi sensorik dan secara patologi dengan kavitasi bagian sentral dari medula spinalis, siringomielia pada malformasi Chiari terjadi antara level servikalis 46. Seorang laki-laki usia 29 tahun datang dengan riwayat nyeri tumpul di kedua lengan atas. Dalam perjalanannya setelah 2 tahun terjadi atropi thenar dan hipothenar dan kehilangan kemampuan motorik pada kedua lengan atas. Pemeriksaan neurologis menunjukkan gangguan sensorik pada lengan kanan dan lengan kiri. Pencitraan MRI menunjukkan herniasi tonsil ke foramen magnum dan siringomielia dari medula oblongata ke level T4. Laporan kasus ini adalah kasus langka seorang laki-laki dengan malformasi Arnold Chiari tipe 1 dengan manifestasi lambat dan siringomielia yang sukses menjalani prosedur operasi dekompresi foramen magnum dengan teknik anestesi umum.Anesthesia for Foramen Magnum Decompression in Patient with Arnold Chiari Malformation The Arnold Chiari malformation type I (Chiari malformation) is a caudal displacement of the cerebellar tonsils into the cervical spinal canal through the foramen magnum. Syringomyelia is a chronic progressive degenerative disorder characterized clinically by brachial amyotrophy and segmental sensory loss of dissociated type, and pathologicaly by cavitation of the central parts of the spinal cord, syringomyelia is often associated with Chiari Malformation type I and is commonly seen between the C-4 and C-6 levels. A 29-year-male had experienced a history of dull pain in her both arm for 2 years. Additionally, after two years hipothenar and thenar muscle became atropi and the patient lossing his upper extremity motorik ability. The neurological examination revealed sensory disturbances in his right arm,and left arm. MRI showed cerebellar tonsillar herniation into the foramen magnum and syringomyelia from the medulla oblongata to the T4 level. This report is a very rare case of an middle age male with late-onset Arnold Chiari malformation type I and syringomyelia that was successfully undergo foramen magnum decompression under general anesthesia.
Penatalaksanaan Cedera Otak pada Anak AR, Muhammad; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.54 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.178

Abstract

Trauma kepala (TBI) pada anak merupakan suatu problem khusus dalam neuroanestesi. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, disamping otak anak yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan. Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas dan morbilitas serta angka kecatatan yang lebih tinggi, yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Patah tulang kepala, perdarahan epidural, subdural dan intracerebral, edema otak akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan berefek pada organ-organ lain. Seorang anak laki-laki, 4 tahun 10 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah terjatuh dari kendaraan karena kecelakaan lalu lintas. Datang ke rumah sakit lebih kurang 6 jam setelah kecelakaan, sebelumnya dirawat di rumah sakit terdekat. Pada pemeriksaan didapat GCS 10, pupil isokor 2/2mm, reflek cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan didiagnosa kerusakan otak karena trauma (GCS 10) + didapatkan fraktur terbuka tulang frontoparietal kanan + fraktur tulang frontal kiri kontusio hemorrhagik + anemia. Dilakukan operasi debridemen dan koreksi fragmen tulang yang patah dengan bantuan anestesi umum. Pascabedah pasien di rawat di ICU dengan kesadaran meningkat, keadaan membaik. Kemudian pasien di pulangkan setelah 15 hari perawatan. Penanganan anestesi pada trauma kepala anak mempunyai problem khusus yang berbeda dengan dewasa, maka perlu pemahaman tentang anatomi, fisiologi dan psikologi yang baik dalam persiapan dan penatalaksanaan yang khusus sehingga dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit post operasi.Management of Brain Trauma in Children AbstractHead trauma (TBI) in children is a particular problem in neuroanestesi. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as children who are experiencing brain development / growth. In the event of trauma will cause mortality and morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of children. Skull fracture, epidural hemorrhage, subdural and intracerebral, brain edema may lead to an effect on growth and other organ. A boy, 4 years 10 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after falling from a vehicle due to traffic accidents. Come to the hospital approximately 6 hours after the accident, previously treated in nearly hospitals. On examination 10 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +, hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an additional examination brain damage due to trauma (GCS 10) + obtained frontoparietal bone fracture open fracture of the right frontal bone fracture + left + contusio hemorrhagic + anemia. Surgical debridement and correction of the broken bone fragments under general anesthesia. Post surgery patients cared for in ICUs with increased awareness, things got better. Then the patient at discharge after 15 days. Anesthesia management in head trauma the child has special problems that are different from adults. It is necessary to an understanding of the anatomy, physiology and psychology are both in preparation and stylists specifically so as to prevent or reduce the likelihood of postsurgery complications.